Aristoteles dan ahli dialektika abad pertengahan pengikutnya menetapkan satu bentuk argumen yang diterima cukup luas, meski terbatas, yang dikenal sebagai silogisme yang terdiri dari premis-umum/mayor, premis-terbatas/minor dan sebuah kesimpulan.
Meskipun Descartes mengakui bahwa bentuk silogisme ini menjaga kebenaran dari premis-premis sampai kesimpulan sedemikian hingga jika premis-premis itu benar, maka kesimpulan-nya pasti benar, dia tetap menemukan adanya kesalahan.
Pertama, premis-premis ini seharusnya diketahui kepastian-nya, faktanya premis-premis itu hanya diyakini karena premis-premis itu hanya mengekspresikan probabilitas berdasarkan sensasi.
Oleh karena itu, kesimpulan yang berasal dari premis-premis yang hanya merupakan kemungkinan saja, dengan sendirinya hanyalah kemungkinan juga, dan oleh karena itu, silogisme-kemungkinan ini lebih meningkatkan keraguan daripada pengetahuan.
Lebih lagi, penggunaan metode ini oleh orang-orang yang mendalami tradisi skolastik telah mengarah pada semacam dugaan dan dugaan-halus. Sehingga argumen-masuk-akal yang melawannya mudah untuk dibangun, yang ini menyebabkan kerancuan/kebingungan yang besar.
Akibatnya, tradisi skolastik telah menjadi semacam jejaring-argumen yang membingungkan, argumen yang bertentangan dengannya dan argumen-argumen dengan perbedaan yang halus/tipis sehingga kebenaran sering tersesat di celah-celah-nya. ( Rules for Direction of the Mind, AT X 364, 405-406 430: CSM I 11-12, 36 51-52 ).
Meskipun Descartes mengakui bahwa bentuk silogisme ini menjaga kebenaran dari premis-premis sampai kesimpulan sedemikian hingga jika premis-premis itu benar, maka kesimpulan-nya pasti benar, dia tetap menemukan adanya kesalahan.
Pertama, premis-premis ini seharusnya diketahui kepastian-nya, faktanya premis-premis itu hanya diyakini karena premis-premis itu hanya mengekspresikan probabilitas berdasarkan sensasi.
Oleh karena itu, kesimpulan yang berasal dari premis-premis yang hanya merupakan kemungkinan saja, dengan sendirinya hanyalah kemungkinan juga, dan oleh karena itu, silogisme-kemungkinan ini lebih meningkatkan keraguan daripada pengetahuan.
Lebih lagi, penggunaan metode ini oleh orang-orang yang mendalami tradisi skolastik telah mengarah pada semacam dugaan dan dugaan-halus. Sehingga argumen-masuk-akal yang melawannya mudah untuk dibangun, yang ini menyebabkan kerancuan/kebingungan yang besar.
Akibatnya, tradisi skolastik telah menjadi semacam jejaring-argumen yang membingungkan, argumen yang bertentangan dengannya dan argumen-argumen dengan perbedaan yang halus/tipis sehingga kebenaran sering tersesat di celah-celah-nya. ( Rules for Direction of the Mind, AT X 364, 405-406 430: CSM I 11-12, 36 51-52 ).
Descartes mencari cara menghindari kesulitan ini melalui kejelasan-dan-kepastian-mutlak dengan demonstrasi-secara-geometris.
Dalam geometri, teorema merupakan kesimpulan yang ditarik dari sekumpulan aksioma yang jelas terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan disepakati secara universal mengenai definisinya.
Sejalan dengan itu, penangkapan kebenaran-langsung-yang-jelas-sederhana-dan-pasti (aksioma) dengan intuisi dan kesimpulan yang ditarik dari kebenaran-nya dapat mengarah pada pengetahuan-baru dan tak-terbantahkan.
Descartes menjanjikan ini karena beberapa alasan.
Pertama, ide/gagasan-geometri-jelas-dan-terpilah, dan karena itu mudah dimengerti tidak seperti ide/gagasan-sensasi yang membingungkan dan tidak-jelas.
Kedua, proposisi-proposisi yang tersusun dari demonstrasi-geometris bukanlah dugaan-probabilistik namun benar-benar-pasti sehingga bisa kebal dari keraguan.
Hal ini memiliki keuntungan tambahan bahwa setiap proposisi yang berasal dari proposisi seperti itu atau kombinasi dari kebenaran yang benar-benar-pasti ini, dengan sendirinya akan benar-benar-pasti.
Oleh karena itu, aturan geometri mengenai pengambilan-kesimpulan (inferensi) kebenaran-pasti-mutlak dari aksioma-sederhana, tidak dapat dipungkiri dan digenggam secara intuitif dengan konsekuensi penarikan kesimpulan mereka, tidak seperti silogisme-kemungkinan-skolastik.
Pilihan metode-geometris adalah jelas bagi Descartes mengingat keberhasilan sebelumnya dalam menerapkan metode ini pada disiplin lain seperti optik.
Namun penerapan metode ini pada filsafat tidak tanpa masalah karena kebangkitan argumen kuno terhadap skeptisisme-total atau skeptisisme-radikal yang didasarkan pada keraguan-penuh terhadap penalaran manusia.
Tetapi Descartes ingin menunjukkan bahwa kebenaran yang digenggam secara intuitif dan kesimpulan yang ditarik darinya melampaui kemungkinan-keraguan ini.
Taktiknya adalah menunjukkan bahwa, disamping argumen-skeptis terbaik, setidaknya ada satu kebenaran-intuitif yang berada diatas semua-keraguan dan dari sana pengetahuan manusia lainnya dapat disimpulkan.
Inilah proyek karya Descartes, Meditations on First Philosophy.
Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menjabarkan beberapa argumen untuk me-ragu-kan semua kepercayaan yang dipegang sebelumnya.
Pertama kali dia mengamati bahwa indra-terkadang-menipu, misalnya, objek dilihat pada jarak tertentu tampak agak kecil, dan tentu tidak bijaksana mempercayai seseorang atau sesuatu yang telah menipu kita meski hanya sekali.
Namun, meskipun ini mungkin berasal dari sensasi yang diperoleh dalam keadaan tertentu, bukankah tampak pasti bahwa :
" Saya di sini, duduk di dekat perapian, mengenakan gaun berpakaian musim dingin, memegang selembar kertas ini di tangan saya, dan seterusnya ? " (AT VII 18: CSM II 13).
Maksud Descartes adalah bahwa meskipun indra-terkadang-menipu kita, dasar apakah yang melandasi adanya keraguan terhadap keyakinan-langsung, misalnya, anda membaca artikel ini ?
Tetapi mungkin " kepercayaan membaca artikel ini " atau " duduk di dekat perapian '" tidak berdasar sensasi-sejati sama sekali tetapi pada sensasi-palsu yang ditemukan dalam mimpi (ada pendapat bahwa kehidupan ini adalah tidak nyata/semu/maya dan di ibaratkan mimpi).
Jika sensasi seperti itu hanya mimpi, maka itu bukanlah yang sebenarnya bahwa " anda sedang membaca artikel ini " tetapi sebenarnya " anda sedang tertidur di tempat tidur ".
Karena tidak ada cara prinsipal untuk membedakan antara kehidupan yang nyata dengan kehidupan dalam mimpi, kepercayaan apapun berdasarkan sensasi telah ditunjukkan penuh-dengan-keraguan.
Ini tidak hanya mencakup kepercayaan-duniawi tentang " membaca artikel ini " atau " duduk di dekat perapian ", tetapi bahkan kepercayaan tentang ilmu-eksperimental adalah penuh keraguan, karena pengamatan yang mendasarinya mungkin tidak-benar, melainkan hanya gambaran sebuah mimpi.
Oleh karena itu, semua kepercayaan berdasarkan sensasi disebut sebagai keraguan, karena itu semua bisa jadi hanya mimpi.
Meskipun demikian, ini tidak berlaku dengan kepercayaan-matematika, karena matematika tidak didasarkan pada sensasi namun berdasarkan penalaran-akal.
Oleh karena itu walaupun seseorang ber-mimpi, misalnya, bahwa, 2 + 3 = 5, kepastian-proposisi ini tidak disebut keraguan, karena 2 + 3 = 5 adalah tetap-pasti, apakah orang yang percaya itu adalah bangun atau ber-mimpi.
Jika kehidupan ini hanya mimpi, Descartes selanjutnya bertanya apakah Tuhan bisa membuat dirinya percaya bahwa ada bumi, langit dan hal-hal lain yang bertubuh ketika pada faktanya semua itu tidak ada sama sekali.
Pada kenyataannya, orang terkadang membuat kesalahan tentang hal-hal yang menurut mereka paling-pasti seperti perhitungan matematis misalnya.
Tetapi mungkin orang keliru tidak hanya dalam waktu tertentu saja tetapi sepanjang waktu misal seperti kepercayaan bahwa 2 + 3 = 5 adalah sejenis kesalahan-kekal dan kolektif, dan jumlah 2 + 3 benar-benar berbeda dari 5.
Namun, tipuan universal seperti itu tampaknya tidak sesuai dengan kebaikan-tertinggi-Tuhan.
Bahkan tipuan sesekali tentang kesalahan perhitungan matematika juga tampak tidak sesuai dengan kebaikan-Tuhan, namun terkadang orang benar-benar membuat kesalahan semacam itu.
Jika demikian, sejalan dengan orang-orang yang skeptis, Descartes menyarankan pendapat, demi membela metode-nya, bahwa Tuhan-tidak-ada, namun yang ada adalah iblis-jahat yang memiliki kekuatan dan kecerdikan super yang semua usahanya menipu dirinya sehingga dia selalu salah, tentang segala hal, termasuk matematika.
Dengan cara itu, Descartes menyebut semua kepercayaan sebelumnya adalah keraguan melalui beberapa argumen-skeptis terbaik pada masanya.
Tetapi dia masih belum puas dan memutuskan untuk melangkah lebih jauh dengan :
" Menganggap salah, kepercayaan apapun yang dikuasai/diancam bahkan oleh keraguan sekecil apa pun. "
Sehingga pada akhir karyanya Meditations on First Philosophy, Descartes menemukan dirinya berada dalam pusaran-kepercayaan-palsu.
Namun, penting untuk disadari bahwa keraguan ini dan dugaan-kepalsuan kepada semua kepercayaan-nya adalah demi metode-nya :
Dia tidak benar-benar percaya bahwa dia sedang ber-mimpi atau ditipu oleh setan-jahat.
Dia menyadari bahwa keraguan-nya hanya hiperbolik.
Tetapi inti dari keraguan-metodologis atau hiperbolik ini adalah untuk membersihkan pikiran dari pendapat yang telah terbentuk sebelumnya yang mungkin mengaburkan kebenaran.
Tujuannya kemudian adalah menemukan sesuatu yang tidak dapat di-ragu-kan meskipun iblis-jahat menipu dia dan meskipun dia sedang ber-mimpi.
Kebenaran-pertama-yang-tak-terbantahkan ini kemudian akan berfungsi sebagai aksioma-metafisik yang dipahami secara intuitif dari sinilah pengetahuan-yang-pasti-mutlak dapat disimpulkan.
Sumber:
http://www.iep.utm.edu/descarte/#H1
Pemahaman Pribadi
http://www.iep.utm.edu/descarte/#H1
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment