Saat ingin baik, justru tersiksa. Ketika ingin semua orang menganggapmu baik, kau terbelenggu. Biar, biarkan mereka menilaimu sebagai manusia. Engkau memang bukan dewa atau berhala ! Dipundakmu terbebani dosa, seperti yang manusia lain bawa. Jiwamu terbelah dua.
Perang, setiap saat kau berperang. Engkau berharap menjadi pahlawan dengan darah berlumuran di ujung pedang. Tapi awas nafsu licik dan licin. Saat kau khilaf, ia menikammu dari belakang. Engkaupun tersungkur bersimbah darah. Berbondong bondong mereka menangkapmu berbuat dosa. Hati berbulu ! Jiwa kotor ! Dan sejuta kata lain meluncur tajam dari lidah yang kejam.
Engkau kalah itu wajar. Karena kau dikeroyok pengecut pengecut yang berbalik menyerangmu. Manusia manusia yang menilai dirinya terlalu tinggi karena berharap dianggap mulia. Manusia yang tak mampu melihat dirinya. Manusia manusia munafik yang sudah bertekuk lutut. Budak menghamba nafsu.
Engkau kalah, harus diakui. Engkau terluka, kau rasakan. Tapi jangan lupa, masih kau genggam erat pedang itu. Kau masih sanggup berdiri. Engkaukan bangkit waspada dan berani. Asahlah pedang biar tajam. Dan sebentar lagi kemenangan pastilah menjelang. Kembali ke medan perang dengan menghunus pedang. Kau lihat samping, depan, atas dan belakang. Semua penghianat sudah terlihat. Semua musuh siap kau gasak. Gali saja liang kubur yang banyak karena korban segera berserak. Dari depan, samping, atas dan belakang musuh musuh bergelimpangan. Kini semua musuh terkapar meratap. Kau rebut kembali tahta dirimu. Nafsu menyembahmu. Bersimpuh, mengiba ramuan penyembuh luka. Sedang kau masih tertawa. Menatap kilauan pedangmu. Mengusap pedang kemenanganmu. Pedang ketulusan ! Pusaka dari guruku.
Pulo Nangka, 9 November 2003
Pulo Nangka, 9 November 2003
No comments:
Post a Comment