Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, June 30, 2016

Sinisme


Sinisme adalah sebuah paham atau aliran-filsafat yang berasal dari ajaran-filsafat Hellenisme yunani-kuno sekitar pertengahan abad ke-4 SM. Paham Sinisme mengaku mempunyai hubungan dengan ajaran Socrates. Dalam sebuah kalimat, Plato menyebut paham Sinisme sebagai :

" Socrates yang gila ! "

Meskipun demikian, untuk menyebut Sinisme sebagai paham-filsafat-formal-akademis memunculkan kesulitan tersendiri karena paham Sinisme adalah tidak-konvensional dan anti-teori.

Kaum Sinisme memusatkan perhatian utamanya pada bidang etik. Akan tetapi konsep etik Sinisme lebih pada cara-menjalani-hidup daripada doktrin yang memerlukan berbagai detail penjelasan teoritis. Seperti melakukan askesis ----bahasa Yunani yang berarti melatih-diri---- merupakan hal-fundamental pada ajarannya.

Paham Sinisme ----juga dengan Stoikisme yang mengikuti ajarannya---- keduanya mempunyai ciri-khas-sama yaitu apa yang disebut jalan-hidup Sinisme (the-cynics-way-of-life). Sebuah cara-menjalani-hidup sebagai jalan-pintas mencapai kemuliaan. Meskipun kaum Sinisme berpendapat telah menemukan jalan-tercepat dan mungkin-paling-pasti menuju kemuliaan-hidup, kaum Sinisme mengakui betapa-sulitnya menempuh jalan-itu.

Bentuk cara-hidup Sinisme yang beraneka-ragam memunculkan sejumlah permasalahan tersendiri. Keberhasilan paham Sinisme menjadi sebuah aliran-filosofi-formal serta dokumentasi-akademis ciri-khasnya diperoleh melalui proses diskusi yang rumit terhadap sejarah-individu-tokoh-tokohnya. Kerumitan semakin bertambah karena jarangnya sumber-sumber yang menjelaskan paham-ini. Bukti-bukti Sinisme terbatas pada kata-kata-pendek, kalimat-bijak dan kabar atau cerita dari mulut-kemulut dari masa lalu. Tidak ada karya-tertulis peninggalan kaum Sinisme yang bertahan. Tradisi mencatat dan merekam prinsip-ajaran-pokok Sinisme berdasar pada bagaimana para-penganut Sinisme menjalani-hidupnya, melalui praktek yang biasa dilakukan, dan melihat kepribadiannya, yang kemudian bisa membuat dimengerti apa-perbedaan antara etik Sinisme dengan paham-yang-lain.


Sejarah Nama

Asal kata Sinisme (cynic) adalah kunikos kata dari bahasa Yunani yang berarti seperti-anjing (dog-like) sebuah kata yang menjadi pangkal-perdebatan. Terdapat dua-cerita yang bersaing menjelaskan asal-muasal nama itu, yang-pertama menggunakan figur Antisthenes dan yang-kedua menggunakan figur Diogenes dari Sinope.

Antisthenes adalah seorang guru yang mengajar di sebuah-tempat yang disebut cynosarges sebuah kata Yunani yang berarti anjing-putih, anjing-yang-lincah atau daging-anjing. Cynosarges adalah sebuah tempat belajar dan berkumpul, disana terdapat pula kuil tempat pemujaan bagi kaum Nothoi yaitu sebutan untuk seorang bukan-warga Athena yang disebabkan terlahir sebagai budak, orang asing atau pelacur. Seseorang juga disebut Nothoi jika terlahir dari pasangan warga Athena tetapi tidak melakukan pernikahan dengan legal.

Berdasar pada penjelasan pertama, istilah Sinisme (cynic) diambil dari nama-tempat dimana gerakan pendiri aliran Sinisme melakukan kegiatan praktek dan lebih penting lagi belajar mengajar. Sejauh ini, hal tersebut masih berupa-dugaan seperti yang dilakukan oleh para-penulis jaman berikutnya yang membuat cerita berdasar analogi yang sama dimana istilah Stoic berasal dari Stoa-Poikile yang menunjukan tempat dimana Zeno dari Citium mengajar pada murid-muridnya. Meski dapat dipastikan adanya hubungan antara Antisthenes atau kaum Sinisme dengan cynosarges. Antisthenes sendiri adalah seorang Nothos dan kuil yang ada adalah tempat pemujaan terhadap Hercules, pahlawan kaum Sinisme yang paling-dihormati.

Kemungkinan asal-muasal kedua, bersumber dari dugaan julukan bagi Antisthenes yaitu haplokuon sebuah kata yang sangat mungkin berarti seekor-anjing yang menunjukan bagaimana cara Antisthenes menjalani-hidup dengan sederhana-dan-murni. Meski Antisthenes dikenal sebagai orang yang kasar, primitif, tidak-tahu-sopan-santun, sederhana-dan-murni ----hal yang mungkin menyebabkan dirinya diberi julukan anjing---- teman seangkatan seperti Plato dan Xenophon tidak menyebutnya seperti itu. Justru para-pengarang jaman berikutnya seperti Aelian, Epictetus dan Stobaeous yang mengidentifikasikan Antisthenes dengan kuon (anjing). Hal tersebut memberi keyakinan pada pengertian bahwa julukan-itu diberikan pada Antisthenes setelah kematiannya dan hanya setelah Diogenes dari Sinope ilustrasi filsuf-anjing muncul kembali.

Jika Antisthenes bukan orang-pertama penganut Sinisme yang dari sana diambil nama-paham Sinisme maka asal-muasal sebutan Sinisme jatuh kepada Diogenes dari Sinope, seorang yang memang dikenal menjalani hidup mirip dengan seekor-anjing. Istilah itu mula-mula merupakan bentuk-hinaan dan cemooh pada gaya-hidup Diogenes, khususnya pada kecenderungannya untuk melakukan semua-aktivitas-di-tempat-umum. Tidak mempunyai rasa-malu, yang membuat Diogenes menggunakan setiap-tempat untuk melakukan-apa-saja adalah alasan-utama untuk memberi julukan padanya yaitu Diogenes si-anjing (Diogenes-the-dog)

Sumber akurat mengenai asal-muasal istilah Sinisme (cynic) menjadi tidak-penting daripada kesesuaian pengertiannya. Kaum Sinisme (cynic) yang pertama, dimulai paling jelas pada Diogenes dari Sinope yang memperoleh gelar-julukan dengan cara-membentak pada mereka yang membuatnya tidak-senang, menolak etik Athena dan hidup-dari-alam. Dengan kata-lain, apa yang pada awalnya merupakan julukan olok-olok menjadi sebuah penanda untuk suatu-paham-filosofis dan kaum-yang-menganutnya.

Akhirnya karena paham Sinisme menunjukan cara-hidup. Sangatlah tidak-tepat untuk menyamakan Sinisme dengan sekolah-paham lainya pada saat itu. Sinisme tidak-mempunyai perangkat dan tempat untuk melakukan aktivitas belajar-mengajar seperti Garden sekolah-ajaran Epicurus, Lyceum sekolah-ajaran Aristoteles atau Academi sekolah-ajaran Plato. Bagi Diogenes dan Crates jalan-jalan di Athena merupakan tempat-yang-baik untuk mengajar atau melakukan-praktek, lebih dari itu kaum Sinisme mempunyai sikap mengabaikan dan sering-kali menganggap konyol terhadap pandangan-pandangan filosofi-yang-spekulatif. Kaum Sinisme adalah pengkritik-keras terhadap pemikiran-yang-dogmatis, teori-teori yang mereka anggap tidak-berguna serta esensi-dari-metafisika.


Etik Sinisme

Hal-utama untuk memahami konsep-etik Sinisme ialah pendapatnya bahwa kemuliaan dicapai dengan-cara menjalani-hidup-selaras-dengan-alam. Menurut kaum Sinisme, alam telah memberi petunjuk yang jelas bagaimana manusia harus menjalani-hidupnya-dengan-baik sebuah perilaku-hidup yang dicirikan dengan kesesuaian-akal, kecukupan-diri dan kebebasan. Meskipun demikian, kaum Sinisme berpendapat kesepakatan-sosial menghalangi seseorang untuk menjalani-hidup-dengan-baik. Hal ini dikarenakan kesepakatan-sosial mengkompromikan kebebasan dan menentukan sejumlah aturan-yang-bertentangan-dengan-alam-dan-akal. Kesepakatan pada dasarnya bukan-hal-yang-buruk meski menurut Sinisme kesepakatan sering-kali absurd dan penuh-kekonyolan. Kaum Sinisme mencemooh-pemujaan pada dewa-dewa Olympic serta para politkus atau filsuf yang menghadiri tempat-peribadatan, pakaiannya dan berdoa untuk memohon kejayaan-dan-keberuntungan atau hal-hal-semacamnya.

Begitu seorang berhasil-melepaskan-diri dari batasan-yang-menghambat untuk menjalani-hidup-etik, maka Ia dapat disebut sebagai-orang-yang-benar-benar-bebas. Oleh karena itu, kaum Sinisme (cynic) menganjurkan askesis atau latihan daripada teori sebagai-alat untuk membebaskan-diri dari kesepakatan-sosial, meningkatkan-rasa-kecukupan-diri dan hidup-selaras-dengan-alam. Askesis mengarahkan penganut Sinisme untuk hidup-dalam-kemiskinan, bertahan-dalam-penderitaan (kekurangan kebutuhan pokok), bekerja-keras-sepanjang-waktu dan mengijinkan pengikutnya untuk berbicara-bebas mengenai kebodohan dan kebiasaan-buruk. Kaum Sinisme terus berusaha menggali prinsip-prinsip paling-murni dari kebudayaan Athena, tetapi hal-itu dilakukan untuk mengganti dengan prinsip-lain yang sesuai-dengan-akal-alam-dan-kemuliaan.

Meskipun perintah hidup-selaras-dengan-alam lebih-tepat dikaitkan dengan paham Stoikisme. Paham Stoikisme sesungguhnya mengikuti paham Sinisme yang terlebih-dahulu berpendapat demikian. Diogenes dari Sinope sangat-menolak kesepakatan-sosial (nomos) dengan bersikap mencemooh kesegala-arah, pada tatanan-sosial-masyarakat Athena, pandangan-relijius, norma-politik, menginjak-injak otoritas keagamaan dan para-pemimipin-politik. Hal mendasar dari sikap-ini adalah melakukan definisi-ulang terhadap pertanyaan bagaimana menerima-rasa-malu. Tubuh Diogenes adalah semrawut, berantakan dan tak-terawat sebuah penampilan-yang-memalukan bagi warga Athena tetapi sebaliknya merupakan tempat-penampungan untuk prinsip-tanpa-rasa-malu bagi penganut Sinisme.

Diogenes menggunakan tubuhnya untuk membalikkan nilai-nilai-kepantasan hasil kesepakatan-sosial menjadi sebuah-kebaikan. Dia mematahkan etika dengan melakukan di-depan-umum aktivitas yang biasa dilakukan secara pribadi oleh orang-orang Athena. Sebagai contoh Diogenes makan, minum dan melakukan masturbasi di pasar dan mengejek perasaan-malu seseorang ketika tubuhnya tampak-kikuk, gugup dan canggung. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti Diogenes tidak mempunyai pandangan mengenai bagaimana seseorang seharusnya menghadapi rasa-malu. Sebuah anekdot ketika Diogenes mengamati seseorang yang sedang menyelaraskan-nada pada harpa, dia berkata :

" Apakah anda tidak malu ? "

Diogenes kemudian melanjutkan :

" Untuk memberikan kayu itu suara yang harmonis, sedang anda sendiri gagal melakukan harmonisasi antara jiwa dan kehidupan anda ! "

Kepada seorang yang melakukan protes kepadanya dan berkata :

" Saya tidak-cocok belajar filsafat ! "

Diogenes menjawab :

" Jika kamu tidak-peduli dengan hidup yang baik. Lalu, mengapa menjalani hidup ?! "

Karena Diogenes melakukan penilaian-kembali terhadap rasa-malu, kaum Sinisme bukanlah penganut relativitis-etik. Nilai-nilai-alam mengganti kesepakatan-sosial sebagai standar-penilaian. Kaum Sinisme meyakini hanyalah melalui alam seseorang dapat-hidup-dengan-baik dan tidak melalui kesepakatan-sosial seperti etika atau agama.

Diogenes dari Sinope akan marah bila melihat seorang yang berdoa memohon-hal yang tampak-baik buat mereka, bukan-memohon sesuatu yang benar-benar-baik. Hal ini memotret hal paling-penting mengenai ajaran hidup-selaras-dengan-alam yang berlawanan dengan kesepakatan-sosial. Memohon kemakmuran, kejayaan atau bentuk-hiasan-lain kesepakatan-sosial mengarahkan seseorang untuk meyakini kebaikan sebagai suatu hal-yang-menyenangkan. Menurut paham Sinisme, ini merupakan suatu keyakinan-yang-keliru. Hidup seperti yang ditentukan alam sudah-penuh-dengan-petunjuk bagaimana menjalani-hidup-dengan-baik, tetapi manusia tersesat, dipermalukan oleh hal-hal-rendah dan berjuang dengan keras mengejar hal-hal yang justru tidak-penting. Akibat selanjutnya adalah kebebasan yang hilang oleh kesepakatan-sosial.

Kaum Sinisme jelas menghargai kebebasan, tetapi tidak sekedar kebebasan-personal seperti kemerdekaan-yang-negatif. Kebebasan yang dianjurkan paham Sinisme mempunyai tiga-bentuk yang saling-berhubungan yaitu :

Eleutheria yang artinya kemerdekaan
Autarkeia yang berarti kecukupan-diri dan
Parrhēsia yang berarti kebebasan-berbicara atau keterusterangan.

Konsep-kebebasan mereka mengandung hal-yang-sama dengan ajaran-kuno-yang-lain. Paham otonomi yang berasal dari penekanan bahwa akal-mengendalikan-nafsu ditemukan pada banyak pemikir klasik dan Hellenisme. Khusus untuk paham Sinisme, kebebasan terbukti dan ditemukan pada Parrhēsia

Elemen Parrhēsia ----yang dapat ditinjau ketika didefinisikan sebagai bebas-berbicara atau berterus terang---- adalah resiko yang menyertai ketika berbicara-bebas dan berterus-terang sepenuhnya . Contoh legendaris kebebasan berbicara tanpa-rasa-takut terjadi dalam percakapan antara Diogenes dengan Alexander Agung, ketika Diogenes sedang berbaring berjemur sendiri di Cranium, Alexander menghampiri dan berdiri dihadapannya sehingga menutupi sinar-matahari yang menghangatkan badannya. Alexander lalu berkata dengan sopan :

" Mintalah padaku anugerah apapun yang kau inginkan. "

Pada pertanyaan itu Diogenes menjawab :

" Minggirlah ! Jangan halangi aku dari matahariku ! "

Di percakapan lain Alexander menunjukan reputasinya pada Diogenes dengan berkata :

" Saya Alexander, Raja-Yang-Agung ! "

Diogenes juga membalas dengan menyebut reputasinya :

" Saya, Diogenes-Si-Anjing ! "

Contoh diatas mendemonstrasikan pertemuan humor-yang-unik, berbicara kebenaran tanpa-rasa-takut dan perlawanan-politis yang menunjukan perbedaan cara-hidup Sinisme dengan paham-yang-lain.

Dengan beberapa catatan-pengecualian, para filsuf-kuno sering-kali terikat dan dipengaruhi oleh aturan-aturan lingkungannya. Plato, Aeschines, dan Aristippus semua melakukan-pemujaan pada Dewa-Dionysius, Xenophon berkaitan-erat dengan Cyrus, Aristoteles dengan keluarga penguasa Macedonia, dan sebagainya. Sebaliknya paham Sinisme, membuat sebuah-titik untuk menghindari kontak-tersebut. Kaum Sinisme berjuang untuk mencapai kecukupan-diri dan kekuatan, bukan kemampuan untuk mempertahankan-pengaruh dengan masuk ke dalam suatu kesepakatan permainan politik. Kehidupan seorang filsuf-miskin, tapi berbudi-luhur dan mandiri adalah lebih-baik daripada kehidupan seorang filsuf yang sangat menginginkan memperoleh-pengaruh dari lingkungan.

Diogenes Laertius meriwayatkan bahwa, Plato melihat Diogenes dari Sinope sedang mencuci selada, dia lalu menghampirinya dan dengan tenang Plato berkata :

" Jika anda sudah memberi persembahan pada dewa Dionysius, anda sekarang tidak-akan mencuci selada. "

Diogenes dengan ketenangan yang sama menjawab :

" Jika anda telah mencuci selada, anda tidak-perlu memberi persembahan pada dewa Dionysius. "

Pelajaran yang dipetik dari percakapan ini adalah jelas bahwa Plato memandang memberi persembahan berarti membebaskan seseorang dari kemiskinan, sebaliknya kaum Sinisme melihat kemiskinan berarti membebaskan seseorang dari keharusan untuk memberi persembahan pada dewa-dewa sesuai aturan yang ada. Pengertian kebebasan seperti yang terakhir sangat-dianjurkan oleh kaum Sinisme, yaitu kebebasan yang terdiri dari Autarkeia atau kecukupan-diri dan Parrhēsia atau kebebasan-berbicara-kebenaran. Seseorang yang berada di dalam tempat persembahan tidak-pernah-bebas untuk melakukan sesuatu. Maka tidak mengherankan bila Diogenes ditanya :

" Hal apa yang paling indah di dunia ? "

Jawab Diogenes adalah :

" Parrhēsia ! "

Untuk menjalani cara-hidup Sinisme, seseorang harus terbiasa dengan bermacam kesulitan-fisik yang selalu mengikuti jika ingin memperoleh kebebasan. Oleh karena itu, untuk menjalani kehidupan yang baik memerlukan pelatihan-konstan dan terus-menerus atau askēsis. Istilah askēsis didefinisikan sebagai semacam pelatihan-diri tetapi yang juga berarti latihan-fisik yang diadopsi dari pelatihan-fisik cabang olah-raga atletik. Bukan melatih tubuh untuk meraih kemenangan di Olimpiade, memenangkan pertempuran di medan perang atau sekedar untuk menjaga kesehatan tetapi kaum Sinisme melatih tubuh demi kebaikan-jiwa.

Ada bermacam contoh pelatihan yang dilakukan oleh kaum Sinisme. Antisthenes memuji kerja-keras-dan-kesulitan sebagai kebaikan, Diogenes dari Sinope berjalan tanpa-alas-kaki di atas salju, memeluk patung yang dingin, dan bergulingan di atas pasir musim-panas yang panas di dalam kontainer besarnya, Crates melepaskan kekayaannya yang besar untuk menjadi penganut Sinisme. Kemampuan untuk hidup tanpa-memakai suatu komoditas biasanya dianggap keliru karena merupakan suatu yang tidak mungkin untuk dihindarkan. Tetapi bagi kaum Sinisme hal-itu berarti membebaskan-diri dan suatu yang menguntungkan. Hal-ini merupakan pelajaran yang sulit. Diogenes dari Sinope sebagai seorang pelatih mengatakan bahwa ia meniru metode yang dilakukan oleh pelatih-paduan-suara. Pelatih mengatur nada dengan suara-yang-lebih-keras, untuk memastikan bahwa yang-lain mengeluarkan nada-yang-tepat.


Sumber:
www.iep.utm.edu/cynics
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading, 26 Juni 2016


No comments:

Post a Comment