Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, June 3, 2016

Burung Putih


Burung-Putih, berbulu bersih tinggi melayang. Terbang kesana kemari mencari harapan. Pada Mendung, ia coba menyapa. Pada Awan, ia tersenyum ramah. Tetapi sayang, tak ada sedikitpun kebaikan yang ia terima. Si-Mendung mukanya bertambah masam ketika disapa. Sedang Si-Awan membalasnya dengan memalingkan muka.

Burung-Putih kecewa. Hatinya gelisah tiada tara. Lama ia berputar putar berpikir hendak kemana. Tanpa sengaja, ia bertemu Sang-Surya yang setia menerangi setiap mahluknya. Burung-Putih menyunggingkan senyum meski murung masih merajai mukanya. Ia mengirim keramahan dengan segenap ketulusan yang tersisa. Seperti biasa, Sang-Surya membalas dengan pancaran sinar kehangatan. Ia persembahkan sinar yang paling indah pada mahluknya. Burung-Putih terpesona. Ia tertegun sekaligus berbunga. Sepertinya ia belum pernah menikmati pagi ketika Sang-Surya menyapa semua mahluknya atau duduk di tepi pantai kala Sang-Surya beranjak menuju peraduannya. Hati Burung-Putih menari nari. Wajahnya berseri. Bulunya memancarkan kemilau kebahagiaan. Dengan riang, ia kembali terbang ke sarang. Tak henti hentinya ia bersiul mendendangkan lagu harapan. Tentang pagi yang indah. Tentang senja yang mempesona.

Sesampainya di rumah, Burung-Putih membasuh muka, membersihkan paruh dan kakinya. Ia mengurai bulu bulunya sambil melangkah menuju peraduannya. Burung-Putih melempar tubuh melepas lelah. Ia terlentang, matanya menatap ke awang menikmati kerlap kerlip Bintang yang mengintip dari sela dedaunan. Bunga warna warni memekar dalam hati. Ia berharap pagi segera menjelang. Agar dapat merasakan belaian kehangatan Sang Surya, menikmati pancaran kebaikan hatinya, menikmati keramahan pribadinya dan merasakan semua keindahan yang ada di sana. Burung-Putih terpejam membayangkan hari esok yang akan selalu dan semakin indah. Burung-Putih terlelap dibuai impiannya.

Esok pagi menjelang, Burung-Putih terjaga. Angin yang berdesir dan suara gesekan daun membangunkan tidurnya. Burung Putih merasa berat bangun dari tumpukan jerami yang menyelimuti tubuhnya. Ia tahu Si-Angin datang untuk menyapa. Ia tahu Si-Angin menunggu di depan beranda. Lama ia termenung seraya berbaring, perasaan malas menggelanyuti tubuhnya. Sekali lagi terdengar suara Si-Angin menyapa dengan lembut. Perasaan Burung-Putih mulai runtuh. Perasaannya tak enak. Dari dalam menyeruak perasaan tak tega untuk menolak. Sementara Si-Angin menunggu dengan sabar di luar. Lesu Burung-Putih menanggalkan selimutnya, dengan gontai ia bangkit menyeret kakinya. Pelan pelan tangannya menarik daun pintu. Sedikit demi sedikit, raut muka Si-Angin menyembul dihadapannya. Ia tersenyum bahagia melihat mahluk yang disayanginya menyambut kehadirannya. Tanpa diminta Si-Angin melangkah masuk, suaranya berdesir menyentuh telinga. Bersungut sungut Burung-Putih berbalik mengikuti langkahnya, mereka lalu duduk berhadapan berbincang bincang kesana kemari tak tentu arah. Bagi Si-Angin ini adalah saat saat terindahnya sedang bagi Si-Burung-Putih ini merupakan bagian yang paling membosankan dalam hidupnya.

Ada perasaan yang selalu menekan nuraninya, menyentak nyentak memaksa dari dasar hatinya. Tetapi Burung-Putih tak kuasa mengungkapkan. Ia khawatir melukai perasaan Si-Angin. Burung-Putih takut melawan ketulusan. Sementara Si-Angin terus berkicau, ia tak perduli yang tersimpan di kedalaman sana. Rasa bahagianya tak terkendali, perasaannya terus mengalir ke lautan suka cita. Bahagia dan hanya bahagia yang ia rasa. Sedang hati Burung-Putih melanglang entah kemana, ia mengarungi kebimbangan. Sendiri, terombang ambing oleh keraguan. Ia bingung lalu jatuh terpekur.

Si-Angin tersentak, ia menatap Burung-Putih yang terdiam dan lesu. Ia mengunci bibirnya rapat rapat. Mulutnya terkatup. Suasana berubah kikuk. Sepi menyelip diantara mereka. Perasaan tak enak melingkupi suasana pagi yang cerah. Kebahagiaan Si-Angin lenyap seketika. Ia bingung harus berbuat apa. Ia memandang dinding, ditatapnya daun kering satu satu, dihitungnya ranting ranting atap untuk menghibur diri. Lambat laun Si-Angin merasa pengap. Dadanya sedikit demi sedikit menyesak. Hingga Si-Angin tak lagi kuasa menahan gerah. Ia berdiri mendekati jendela, dibukanya daun jendela itu lebar lebar.

Sinar Sang-Surya langsung berkelebat menerobos jendela melewati wajahnya. Terus meluncur merangkul tubuh Burung-Putih yang menunduk termenung resah. Penuh gemulai ia membelai halus bulu Burung-Putih dengan kehangatan. Ia hidupkan kembali keindahan pagi yang hilang. Burung-Putih yang terpekur tiba tiba merasa kehangatan menyusur sekujur tubuhnya. Matanya terpejam, menikmati belaian lembut dari Sang-Surya. Wajahnya menengadah, lehernya yang jenjang menahan kenikmatan yang meluap tak terbendung. Tanpa terasa kakinya melayang sendiri ke udara, sayapnya mengepak tanpa sadar. Ia ikuti getaran rasa yang menuntunnya. Dengan tenang, ia terbang ke arah jendela, mengabaikan begitu saja Si-Angin yang hanya terdiam kaku membisu. Tepat di hadapan pintu jendela, Burung-Putih membuka matanya. Sambil tersenyum ia mendesis bahagia "Suryaaa...!", Sang-Surya segera menyambut dengan keindahan sinarnya. Burung-Putih kembali terpesona, serta merta ia terbang ke luar, mengepak cepat, melesat mengejar Sang-Surya. Meninggalkan Si-Angin yang terbengong kosong tak mengerti. Si-Angin hanya memandang hampa. Pandangannya kabur. Tubuhnya lemas. Si-Angin lalu jatuh terkulai tak berdaya. Segalanya berubah tak terlihat. Burung-Putih pun menghilang di telan gelap.


Pulo Mas, 16 Februari 2001



No comments:

Post a Comment