Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, June 8, 2016

Manusia Mulia Ala Stoa


Stoikisme juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah nama sebuah ajaran atau aliran filsafat-hellenisme yunani-kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Setelah Zeno, orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli.


Kosmologi fisik Stoikisme

Menurut Stoikisme, alam-semesta adalah material, substansi-rasional yang kita kenal sebagai Tuhan atau Alam (God or Nature). Tuhan (God) adalah alam-semesta itu sendiri.

Alam-semesta tersusun oleh unsur aktif dan pasif yang berinteraksi sebagai sebuah kesatuan. Substansi-pasif adalah material, sebuah substansi yang berada pada keadaan diam/lemas dan siap untuk diapakan saja. Substansi-pasif tetap diam, jika tidak ada yang menggerakan. Substansi-aktif disebut juga hukum-absolut/takdir (fate) atau akal-universal (absolut-reason/universal-reason/logos) adalah yang menggerakan material-pasif. Hubungan antara substansi-pasif dan aktif adalah seperti hubungan badan dan jiwa pada manusia.

Stoikisme mempunyai pendapat bahwa dunia diatur oleh subtansi-rasional (akal/reason). Dunia bergerak sesuai aturan/hukum akal-universal. Hal ini mengandung arti bahwa ada sebuah-tujuan dalam gerak-dunia dan oleh karena itu dunia menjadi teratur, harmonis, indah dan merupakan suatu rancangan. Dunia merupakan subjek dari hukum-absolut yang ditentukan oleh kepastian-yang-ketat berupa hukum-sebab-akibat.

Dalam keadaan itu, seorang manusia menjadi tidak bebas. Tidak ada kebebasan yang sebenar benarnya dimiliki manusia dalam dunia yang diatur dengan kepastian. Manusia bisa berpendapat, bahwa dia memilih untuk melakukan hal ini atau itu dan beranggapan semua tindakannya dilakukan secara sukarela-tanpa-paksaan. Tetapi manusia sesungguhnya hanya menyetujui apa yang harus dilakukannya dan apa yang dilakukan tidak-lain ditentukan oleh suatu penyebab-yang-pasti.

Stoikisme berpandangan bahwa jiwa manusia dan binatang merupakan hasil emanasi dari substansi-rasional-primodial-alam-semesta oleh karena itu jiwa ---seperti yang lain---- merupakan subjek bagi akal-universal. Hal ini juga mengandung arti bahwa jiwa adalah substansi-rasional (akal/reason) yang merupakan esensi dari manusia.


Etik Stoikisme

Stoikisme sesungguhnya memberikan penjelasan yang menyeluruh dan integral tentang alam-semesta, yang terdiri dari logika-formal, fisika-monistik dan etik-naturalistik. Dari semuanya itu, Stoikisme menekankan etik sebagai perhatian utama dari pengetahuan manusia.

Etik Stoikisme berlandaskan pada dua-prinsip kosmologi fisiknya yaitu dunia diatur oleh hukum-absolut yang berarti tidak ada pengecualian (bersifat mutlak terhadap semua) dan jiwa sebagai esensi manusia merupakan substansi-rasional (akal/reason) yang berasal dari akal-universal.

Keduanya tercakup dalam slogan kaum Stoa yang terkenal yaitu hidup-selaras-dengan-alam. Semboyan ini mempunyai dua aspek. Yang pertama, manusia harus menyesuaikan diri dengan dunia dalam arti-luas yaitu pada hukum-alam-semesta. Yang kedua, manusia harus menyesuaikan dengan dunia dalam arti-sempit pada esensi-diri-nya sendiri yaitu jiwa sebagai substansi-rasional (akal/reason). Keduanya merupakan hal-yang-sama.

Stoikisme mengajarkan bahwa emosi yang destruktif/negatif dihasilkan karena penilaian (judgment) yang salah terhadap hubungan-aktif antara aturan-kosmos yang pasti dengan kebebasan-manusia untuk memilih tindakan yang dilakukan. Stoikisme memegang keyakinan bahwa keutamaan/kemuliaan manusia adalah menjaga kesesuaian antara kehendak-bebas-manusia untuk bertindak dengan hukum-akal-universal. Karena itulah Stoikisme menyajikan filosofi sebagai cara-menjalani-hidup (way of live) dan berpendapat bahwa indikasi-kualitas-manusia yang utama/mulia adalah bukan apa yang diucapkan tapi bagaimana bertingkah-laku. Untuk menjalani-hidup-yang-baik, seorang manusia harus memahami aturan-akal-universal karena Stoikisme berpandangan bahwa segalanya berdasar, berasal, bersumber pada alam-semesta.

Pengikut Stoikisme berikutnya, Seneca dan Epictetus menekankan lebih-lanjut bahwa keutamaan/kemuliaan manusia adalah syarat-cukup untuk mencapai kebahagiaan. Seorang yang telah mencapai keutamaan/kemuliaan melalui pencarian filosofi akan terhindar dari kesialan/hal-hal-buruk. Kaum Stoa memandang hanya mereka yang mencapai keutamaan/kemuliaan dapat dianggap benar-benar-bebas dan mereka menganggap semua kerusakan-moral sebagai racun.

Stoikisme mengajarkan bagaimana manusia mengembangkan pengendalian-diri (self-control) dan ketabahan sebagai cara untuk mengatasi emosi destruktif/negatif. Filosofinya berpendapat bahwa berpikir-jernih dan tidak-bias membuat manusia bisa memahami hukum-absolut. Aspek sasaran-utama dari Stoikisme adalah meningkatkan etik dari individual dan mempunyai moral-yang-baik. Keutamaan/kemuliaan sebagai manusia tersusun dari kehendak tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum-absolut. Prinsip ini juga diterapkan pada hubungan antar-sesama seperti untuk bebas dari rasa marah, iri dan cemburu dan memandang setara kepada manusia-lain bahkan seorang budak sekalipun karena semua manusia dipandang-sama sebagai produk alam-semesta.

Etik Stoikisme mendukung pandangan determinisme bahwa dunia bergerak dengan pasti atas dasar hukum-absolut. Penganut Stoikisme yang belum mencapai keutamaan, oleh Cleanthes diibaratkan seorang yang diikat dan ditarik oleh kereta dan terpaksa mengikuti kemanapun kereta berjalan. Tentu dia berada dalam keadaan yang belum memahami hukum-absolut. Dia belum bisa memahami kemana kereta akan membawanya dan mengapa kereta menuju kesana atau kesini. Maka ketika melakukan penilaian (judgment), dia mempunyai kemungkinan menghasilkan penilaian yang benar atau salah. Jika penilaiannya benar, maka dia berkeyakinan kereta menuju ke tempat yang baik dan dia merasa bahagia. Sebaliknya jika penilaiannya salah, dia berkeyakinan kereta menuju ke suatu tempat yang buruk dan dia merasa tersiksa.

Sebaliknya keutamaan/kemuliaan menurut Stoikisme sanggup merubah keadaan jiwa/apa yang hadir dalam jiwa dan menjaganya. Hal itu disebabkan keadaan yang sudah memahami hukum-absolut. Penilaian dilakukan dengan jernih dan memegang keyakinan bahwa semua kejadian adalah kepastian yang tak-bisa dihindari dan memahami dengan pasti mengapa hal ini atau itu terjadi. Dia sudah memahami dengan pasti kemana kereta akan membawanya, dan dia paham dengan pasti mengapa kereta menuju kesana atau kesini. Sehingga penilaiannya selalu menghasilkan kebenaran sesuai dengan hukum-absolut yang ada. Dalam sebuah kalimat Epictetus berkata :

" Dalam sakit tetap bahagia, dalam bahaya tetap bahagia, dalam keadaan sekarat tetap bahagia, dalam pelarian tetap bahagia, dalam pembuangan tetap bahagia, dalam keadaan malu yang sangat pun tetap bahagia "

Dengan demikian manusia yang utama/mulia menggunakan kehendak-bebas-nya secara mandiri dan pada saat yang sama menyelaraskan dengan hukum-absolut yang kaku menjadi sebuah kesatuan menyeluruh.

Stoikisme kuno seringkali salah dipahami karena istilah yang digunakan menyinggung konsep yang berbeda di masa lalu dan apa yang dipahami sekarang. Kata Stoa sekarang memiliki arti tidak-mempunyai-emosi (unemotional) atau tidak merasakan penderitaan/kepedihan dikarenakan etik Stoikisme mengajarkan kebebasan dari penderitaan/kepedihan (passions) dengan cara mengikuti akal (reason). Tetapi Stoikisme tidak mengajarkan untuk menghilangkan sama sekali emosi destruktif/negatif tetapi merubahnya. Kemampuan ini diperoleh melalui-latihan terus-menerus (askestis) yang membuat seseorang mampu mengembangkan penilaian-jernih (clear-judgment) dan jiwa-yang-tenang (inner-calm). Logika, refleksi dan konsentrasi adalah metode pelatihan untuk disiplin diri.

Meminjam pandangan dari paham Sinisme landasan pandangan dari etik Stoikisme adalah keutamaan/kemuliaan berada di-dalam-keadaan-jiwa itu sendiri dalam bentuk sikap-bijaksana (wisdom) dan kontrol-diri (self-control). Etik Stoikisme menekankan aturan yang mengikuti kemana akal (reason) mengarah. Oleh karena itu seseorang harus berjuang membebaskan-diri dari penderitaan/kepedihan (passions). Dalam pengertian Stoikisme, eupathea adalah perasaan yang dihasilkan dari penilaian-yang-jernih sedang passions merupakan perasaan yang berasal dari penilaian-yang-salah terhadap peristiwa yang terjadi.

Ide etik Stoikisme adalah membebaskan-diri dari kepedihan/penderitaan melalui apathea yang berarti ketenangan-jiwa (peace-of-mind). Sebuah keadaan-jiwa tanpa emosi destruktif/negatif (passions). Ketenangan-jiwa dipahami sebagai jiwa-yang-objektif-rasional yang mampu melakukan penilaian-secara-jernih dan menjaganya untuk menghadapi kehidupan yang naik dan turun.

Bagi kaum Stoa, jiwa sebagai substansi-rasional (akal/reason) tidak hanya berarti menggunakan-logika tetapi juga memahami-proses yang terjadi pada alam-semesta. Akal-universal adalah inheren dalam segala benda. Bagi mereka, menjalani hidup sesuai akal/reason dan keutamaan/kemuliaan berarti hidup-harmoni dengan aturan-alam-semesta.


Sumber:
www.iep.utm.edu/stoicism
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoicism
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading, 6 Juni 2016


No comments:

Post a Comment