Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, September 7, 2016

Socrates 1 : Kisah Hidupnya


Socrates adalah satu diantara sedikit orang yang bisa dikatakan sangat berpengaruh membentuk peradaban dan perkembangan intelektual dunia. Tanpa Socrates sejarah dunia akan sangat berbeda.

Socrates paling-dikenal dengan metode tanya-jawab untuk mencari/memperoleh pengetahuan/kebenaran.

Dia mengaku dirinya sebagai seorang Ignoran (yang menyadari dirinya tidak mempunyai pengetahuan) dan berpendapat bahwa hidup yang tidak-diuji adalah hidup yang tak-berguna bagi manusia.

Socrates menjadi inspirasi bagi Plato, seorang muridnya dan pemikir yang sangat diakui sebagai pendiri tradisi filsafat-barat. Plato kemudian menjadi guru Aristoteles, yang kemudian ketiganya menjadi trio-filsuf kuno yang sangat terkenal Socrates, Plato dan Aristoteles.

Tidak seperti filsuf pada saat itu, Socrates tidak pernah menuliskan karyanya tetapi dia mengikat-diri untuk menjalani hidup-sederhana dan menyelidik pandangan sehari-hari masyarakat serta pendapat yang populer di kota tempat tinggalnya yaitu Athena.

Pada umur 70 tahun Socrates dihukum-mati oleh tangan teman-teman satu tanah-airnya dengan tuduhan menghina kepercayaan masyarakat dan meracuni atau merusak generasi-muda. Proses pengadilannya dengan kontek latar belakang sosial, budaya dan politiknya telah diakui kebenarannya sesuai dengan banyaknya penelitian para ahli-sejarah-klasik yang jumlahnya sebanding dengan metode dan pendapat yang diperoleh dari sang filsuf.


Sejarah Hidup Socrates

Kelahiran dan Awal Kehidupan

Socrates lahir di Athena pada tahun 469 SM dari pasangan Sophroniscus seorang yang bekerja sebagai pemahat-patung batu dan Phaenarete seorang yang berprofesi sebagai bidan. Keluarganya tidak sangat-miskin, tapi mereka tidak juga berarti kaya-raya dan Socrates tidak-bisa mengklaim dirinya terlahir sebagai warga terhormat seperti Plato.

Socrates dibesarkan di wilayah politik distrik Alopece. Ketika menginjak usia 18 tahun, dia mulai melaksanakan tugas-politik khusus yang diwajibkan kepada setiap warga laki-laki Athena. Tugas ini termasuk wajib militer dan keanggotaan dalam suatu Majelis, sebuah badan yang bertanggung-jawab untuk menentukan strategi-militer dan undang-undang.

Dalam budaya yang menyembah ketampanan laki-laki, Socrates mengalami nasib-sial karena dilahirkan dengan wajah sangat-jelek. Banyak sumber-sumber kuno yang ada membuktikan penampilan-fisiknya yang tampak-aneh dan Plato lebih dari sekali menunjukan keadaan itu dalam karyanya.

Socrates menderita exophthalmic, yang berarti matanya melotot-keluar dari kepalanya dan tidak lurus tapi fokus ke samping. Dia memiliki hidung pesek, yang membuatnya menyerupai seekor babi, dan banyak sumber menggambarkan dia memiliki perut yang buncit.

Socrates hanya sedikit berupaya untuk memperbaiki penampilan-anehnya, dia sering memakai jubah dan sandal yang sama sepanjang hari, baik di siang maupun malam hari. Plato dalam karyanya Symposium (174a) memberikan salah satu penjelasan mengenai bagaimana penampilan fisik Socrates.

Sebagai seorang pemuda Socrates diberi pendidikan yang sesuai dengan status sosialnya. Pada pertengahan abad ke-5 SM, semua laki-laki Athena diajarkan untuk membaca dan menulis. Meskipun demikian orang tuanya berusaha keras untuk memberikan anaknya pendidikan tambahan tentang budaya terutama puisi, musik, dan atletik.

Dalam karya Plato dan Xenophon ditemukan catatan yang menunjukan Socrates fasih dalam puisi, berbakat di musik dan sering berada di rumah dan di gimnasium.

Sesuai dengan kebiasaan masyarakat Athena, ayahnya juga mengajari ilmu berdagang, meskipun demikian Socrates tidak bermatapencaharian sebagai pedagang. Sebaliknya, dia menghabiskan hari-harinya di Agora (pasar Athena), mengajukan berbagai pertanyaan pada orang-orang yang akan berdiskusi dengannya.

Meskipun dalam keadaan-miskin, Socrates dengan cepat memperoleh sejumlah pengikut dari kalangan aristokrat-muda dan kaya salah satunya adalah Plato yang sangat menikmati, mendengarkan Socrates memberi pertanyaan pada mereka yang mengakui Socrates sebagai orang yang paling bijaksana dan laki-laki yang paling-berpengaruh di kota.

Socrates menikah dengan Xanthippe, dan menurut beberapa sumber, Socrates mempunyai istri-kedua. Hampir semua ahli sejarah berpendapat, bahwa dia pertama kali menikah dengan Xanthippe dan melahirkan anak pertamanya, yang bernama Lamprocles. Dia diduga menikahi istri keduanya, Myrto, tanpa mahar, dan Myrto melahirkan dua anak laki-laki lain yang bernama Sophroniscus dan Menexenus.

Penjelasan lain berpendapat Sophroniscus adalah anak dari Xanthippe. Sementara yang lain bahkan menunjukkan Socrates menikah dengan dua-perempuan secara bersamaan karena pada saat itu di Athena kekurangan laki-laki.

Sesuai dengan kebudayaan Athena, Socrates bersikap terbuka mengenai ketertarikan fisik pada laki-laki muda, meskipun demikian dia menganggap ketertarikan-fisiknya pada mereka tidak begitu-penting daripada gairahnya untuk meningkatkan kualitas-jiwa mereka.

Socrates berjuang dengan gagah-berani selama bergabung di dalam militer Athena. Tepat sebelum Perang Peloponnesia dengan Sparta dimulai pada 431 SM, Ia membantu Athena memenangkan pertempuran Potidaea 432 SM, pada saat itu dia menyelamatkan hidup Alcibiades, seorang jendral Athena yang terkenal.

Dia juga bertarung sebagai salah-satu anggota dari 7.000 anggota pasukan dengan senjata perisai-tombak disamping 20.000 tentara di pertempuran Delium 424 SM dan sekali lagi pada pertempuran Amphipolis 422 SM. Athena mengalami kekalahan pada kedua pertempuran tersebut.

Meski pengabdian dan kesetiaan terus menerus diberikan Socrates kepada kotanya, banyak anggota masyarakat Athena merasa Socrates menjadi ancaman bagi sistem demokrasi mereka dan kecurigaan ini yang memberikan kontribusi besar terhadap vonis kesalahannya di pengadilan. Oleh karena itu penting untuk memahami konteks sejarah pada saat dilakukan pengadilan.


Pengadilan Dan Masa Akhir Kehidupan

Perang Peloponnesia dan Ancaman Sistem Demokrasi

Antara 431-404 SM Athena terlibat perang dalam konflik yang paling berdarah dan paling berlarut-larut melawan tetangganya Sparta, perang yang sekarang kita kenal sebagai Perang Peloponnesia. Selain fakta bahwa Socrates terlibat perang dalam konflik itu, adalah penting adanya penjelasan keterkaitan antara kondisi kehidupan saat itu (sosial dan politik) dan proses pengadilan Socrates karena banyak dari mereka (teman teman Socrates-dengan siapa Socrates menghabiskan waktunya) berubah sikap menjadi bersimpati pada Sparta atau paling buruk berkhianat pada Athena.

Hal ini terjadi khususnya pada orang orang dari keluarga aristokrat Athena, yang cenderung mendukung sistem pemerintahan dengan hirarki yang kaku dan pembatasan kekuasaan seperti di Sparta untuk mengganti distribusi kekuasaan yang demokratis dan lebih luas serta kebebasan berbicara untuk semua warga negara yang diperoleh di Athena.

Plato lebih dari sekali berbicara mengenai karakter Socrates yang memuji Sparta dalam karyanya Protagoras 342b, Crito 53a, lih Republic 544c, dalam karya tersebut hampir semua orang berpendapat konstitusi pemerintahan Sparta adalah yang terbaik. Rezim politik Spartaadalah berbentuk Republik yang ditandai oleh sekelompok kecil elit penguasa yang memimpin warga dalam sebuah kota yang ideal.

Terjadi sejumlah peristiwa sejarah penting selama Perang Peloponnesia berlangsung yang mengarah (mempengaruhi) ke proses pengadilan Socrates, tokoh yang dipersepsikan sebagai seorang pengkhianat. Tujuh-tahun setelah pertempuran Amphipolis yang terjadi pada 422 SM, angkatan laut Athena ditetapkan untuk menyerang pulau Sisilia. Beberapa saat, sebelum pemberangkatan pasukan, di kota Athena terjadi peristiwa penghancuran sejumlah patung Herms --patung yang didedikasikan untuk Dewa Hermes pelindung para pendatang--. Peristiwa ini dijuluki Mutilasi-Herms terjadi pada tahun 415 SM, yang menimbulkan rasa-takut pada warga Athena terhadap orang-orang yang berusaha untuk merusak sistem-demokrasi dan juga terhadap mereka yang tidak menghormati kepercayaan pada Dewa.

Berkaitan dengan kejahatan agama ini, Athena juga menyaksikan penghancuran Misteri-Eleusinian, sebuah ritual-keagamaan yang dilakukan hanya di hadapan imam dan dilakukan di dalam rumah-rumah pribadi tanpa adanya sanksi resmi atau pengakuan dan semacamnya. Di antara mereka yang dituduh dan dianiaya karena dicurigai terlibat dalam kejahatan ini adalah sejumlah teman Socrates, termasuk Alcibiades, yang diberhentikan dari posisinya memimpin ekspedisi ke Sisilia. Daripada menghadapi penuntutan kejahatan, Alcibiades memilih melarikan diri dan mencari suaka di Sparta.

Meskipun Alcibiades bukan satu-satunya rekan Socrates yang terlibat dalam kejahatan-keagamaan (Charmides dan Critias diduga juga terlibat), tetapi dia bisa dianggap tokoh yang berperan-besar dalam peristiwa itu. Banyak keterangan yang menyebutkan Socrates jatuh-cinta dengan Alcibiades. Dalam karyanya Plato menggambarkan Socrates mengejar atau berbicara tentang rasa-cintanya pada Alcibiades dalam banyak dialog Symposium 213c-d, Protagoras 309a, Gorgias 481d, Alcibiades I 103a-104c, 131e-132a.

Dalam dialog tersebut Alcibiades biasanya digambarkan sebagai jiwa-mengembara (Alcibiades I 117c-d), tidak terikat pada salah-satu cara menjalani hidup yang konsisten atau pada nilai-keadilan tertentu. Pada kenyataannya, Alcibiades adalah seorang penjilat seperti bunglon yang bisa berubah dan membentuk dirinya untuk menyenangkan orang banyak dan memenangkan dukungan politik ( Gorgias 482a).

Pada tahun 411 SM, sekelompok warga menentang sistem-demokrasi Athena yang mengarah pada kudeta dengan harapan membangun pemerintahan oligarki/republik seperti di Sparta. Meskipun pemerintahan-demokrasi berhasil meredakan kudeta pada tahun itu juga dan memecat Alcibiades memimpin armada Athena di Hellespont, Alcibiades berhasil membantu pemberontak oligarki (yang didukung Sparta) dengan cara mengamankan mereka dengan membentuk sekutu dengan para gubernur dari Persia. Alcibiades karena itu tidak hanya membantu Sparta tetapi juga bersekutu dengan kepentingan Persia. Hubungan kerjasamanya dengan dua musuh utama Athena sedikit tercermin pada Socrates dan Xenophon menjelaskan bahwa hubungan Socrates yang berulang dan rasa-cintanya pada Alcibiades adalah alat untuk memastikan kecurigaan bahwa Socrates adalah seorang yang mendukung Sparta.

Sparta akhirnya mengalahkan Athena pada tahun 404 SM, hanya lima-tahun sebelum persidangan dan eksekusi Socrates. Untuk mengganti sistem pemerintahan-demokrasi, Mereka memasang sebagai penguasa sekelompok-kecil orang Athena yang setia kepada kepentingan Sparta. Yang dikenal sebagai Kelompok-Tiga-Puluh (The-Thirty) atau kadang-kadang disebut Kelompok-Tiran-Tiga-Puluh (Thirty Tyrants), Mereka dipimpin oleh Critias, seorang yang dikenal sebagai kawan-dekat Socrates. Keponakan Critias --Charmides, yang dalam dialog Plato disebut dengan nama yang sama-- juga merupakan anggota Tiran-Tiga-Puluh.

Meskipun Critias mengajukan hukum yang melarang Socrates untuk melakukan diskusi dengan orang-orang muda di bawah usia 30, hubungan Socrates sebelumnya dengan Critias --serta kesediaannya untuk tetap tinggal di Athena dan mendukung/mempertahankan hukum pemerintahan Tiran-Tiga-Puluh daripada lari-- lebih jauh lagi memberikan kontribusi terhadap kecurigaan yang berkembang bahwa Socrates menentang sistem-demokrasi yang ideal dikotanya.

Tiran-Tiga-Puluh memerintah dengan sewenang-wenang --mengeksekusi sejumlah warga Athena yang kaya serta menyita properti mereka, menangkap mereka yang mendukung sistem pemerintahan-demokratis, serta mengasingkan banyak lainnya-- sampai mereka digulingkan pada tahun 403 SM oleh sekelompok pelarian pendukung pemerintahan-demokrasi yang kembali ke dalam kota.

Critias dan Charmides keduanya tewas dan setelah tercapai perjanjian damai yang disponsori Sparta, sistem pemerintahan-demokrasi dipulihkan. Pemerintahan-demokrasi menyatakan amnesti-umum dan dengan demikian mencegah penuntutan hukum bermotif politik yang bertujuan untuk menebus kerugian yang mengerikan yang terjadi pada masa pemerintahan Tiran Tiga Puluh. Harapan mereka adalah untuk mempertahankan kesatuan selama pembentukan kembali demokrasi mereka.

Salah satu penuduh utama Socrates --Anytus- adalah salah satu dari pelarian pendukung pemerintahan demokrasi yang kembali ke kota untuk membantu penggulingan Tiran-Tiga-Puluh. Dalam karya Plato --Meno-- yang disusun pada tahun 402 SM, menggambarkan percakapan antara Socrates dan Anytus. Di mana Anytus berpendapat bahwa setiap warga Athena dapat mengajarkan kebajikan, pandangan yang sangat demokratis sejauh mengasumsikan bahwa pengetahuan hidup-yang-baik tidak hanya didominasi sekelompok elit masyarakat yang sedikit. Sementara dalam diskusi ini, Socrates berpendapat bahwa jika seseorang ingin tahu tentang kebajikan, maka ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli-kebajikan (Meno 91b-94e).

Kekacauan politik yang terjadi, membangun kembali kota Athena menjadi negara-demokrasi setelah hampir tiga-puluh-tahun kehancuran dan pertumpahan darah yang membangkitkan rasa-takut pada warga Athena terhadap ancaman sistem-demokrasi yang datang bukan dari luar tetapi dari dalam kota mereka sendiri.

Meskipun banyak teman temannya menemukan bukti yang cukup terhadap tuduhan pada Socrates, ada juga bukti sejarah tambahan --di samping keterlibatan Socrates dalam dinas militer-- yang menunjukan bahwa Socrates tidak hanya pasif tetapi seorang pendukung aktif sistem pemerintahan-demokrasi.

Dari satu sisi, Socrates merupakan pendukung oligarki tetapi dari sisi yang lain ia juga seorang pendukung pemerintahan-demokrasi, bukti yang ada menunjukan hal itu, termasuk informasi dari keluarga metic Cephalus dan teman Socrates -Chaerephon- pria yang melaporkan bahwa peramal di Delphi telah menyatakan bahwa tidak ada pria lebih bijaksana dari Socrates.

Bukti yang lain adalah ketika ia diperintahkan oleh Tiran-Tiga-Puluh untuk membantu menjemput Jendral Leon pendukung pemerintahan-demokratis dari pulau Salamis untuk dieksekusi mati, Socrates menolak melakukannya. Penolakannya bisa dipahami bukan sebagai pembangkangan terhadap pemerintah yang sah melainkan kesetiaannya kepada proses-hukum yang ideal yang berlaku di bawah pemerintahan-demokrasi sebelumnya.

Memang, dalam karya Plato --Crito-- Socrates menolak untuk melarikan diri dari penjara dengan alasan bahwa ia menjalani seluruh hidupnya dengan kesepakatan tersirat dengan hukum-demokrasi (Crito 50a-54d). Disamping fakta ini, ada kecurigaan yang mendalam bahwa Socrates adalah ancaman bagi sistem-demokrasi di tahun-tahun setelah berakhirnya Perang Peloponnesia.

Tetapi karena adanya amnesti-umum, Anytus dan teman-teman sesama penuduhnya Meletus dan Lycon tidak membawa gugatan terhadap Socrates dengan alasan-politik. Mereka mengganti tuduhan dengan memilih alasan agama/kepercayaan.

Kepercayaan/Agama Yunani dan Penghinaan Socrates

Karena adanya amnesti umum, tuduhan yang dibuat terhadap Socrates dibingkai dengan dasar-agama. Seperti yang dijelaskan oleh Diogenes Laertius (1.5.40), tuduhan itu dinyatakan sebagai berikut:

" Socrates melakukan tindakan kriminal dengan tidak mengakui Dewa yang diakui oleh pemerintah kota Athena, dan lebih jauh lagi dia memperkenalkan Tuhan baru. Dia juga melakukan tindakan kriminal dengan merusak kaum muda. "

(Penjelasan yang sama ditemukan dalam karya: Xenophon, Memorabilia I.I.1 dan Apology 11-12; Plato, Apology 24b dan Euthyphro 2c-3b).

Banyak orang memahami tuduhan tentang merusak-generasi-muda menandakan bahwa Socrates mengajarkan pandangan subversifnya kepada orang lain, sebuah tuduhan yang disangkal dengan tegas dalam pidato pembelaannya dengan menyatakan, bahwa dia tidak memiliki kebijaksanaan untuk mengajar (Plato, Apology 20c) dan bahwa dia tidak bisa bertanggung jawab atas tindakan mereka yang mendengar dia berbicara (Plato, Apology 33a-c).

Sekarang adalah hal yang biasa untuk merujuk pokok-tuduhan yang tertulis pada deposisi yang diajukan ke pengadilan Athena sebagai sebuah tuduhan tindakan-tidak-hormat atau penghinaan. Ritual, upacara dan pengorbanan yang secara resmi diakui oleh pemerintah-kota Athena dan pejabatnya adalah merupakan ciri-khas kepercayaan masyarakat Yunani kuno yang dipegang teguh. Kesakralan terjalin dalam praktek/pengalaman sehari-hari warga yang menunjukkan ketaatan/kesalehan mereka dengan mengikuti secara-benar tradisi leluhur mereka. Interpretasi para Dewa di kuil-kuil mereka adalah domain eksklusif dari imam yang diangkat dan diakui oleh pemerintah-kota.

Oleh karena itu, batas dan pemisahan antara agama dan hal-hal-sekuler yang kita temukan di banyak negara saat ini tidak terdapat di kota Athena. Sehingga sebuah tindakan kejahatan terhadap kepercayaan/agama di Athena mempunyai konsekuensi menjadi tindakan penyerangan tidak hanya terhadap para Dewa, tetapi juga terhadap pemerintahan dan warga kota itu sendiri.

Socrates dan orang pada jaman itu hidup dalam masyarakat politeistik, sebuah masyarakat di mana para Dewa tidak menciptakan dunia, namun para Dewa yang diciptakan oleh masyarakat sendiri. Socrates tumbuh dan dibesarkan bersama cerita para Dewa yang dikisahkan dalam Hesiod dan Homer, di mana para Dewa digambarkan mempunyai sifat Tidak-Maha-Tahu dan Tidak-Kekal melainkan seperti mahluk super yang haus kekuasaan yang secara teratur melakukan intervensi dalam urusan manusia.

Salah satu yang menjadi contoh adalah kisah Dewa-Aphrodite yang menyelamatkan Paris dari kematian oleh tangan Menelaus (Homer, Iliad 3,369-382) atau Dewa-Zeus yang mengirim Apollo untuk menyelamatkan mayat Sarpedon setelah kematiannya dalam pertempuran (Homer, Iliad 16,667-684). Manusia yang takut kepada para Dewa, memberi persembahan korban kepada mereka dan menghormati mereka dengan mengadakan festival dan memohon doa.

Sebaliknya Socrates tampaknya memiliki konsepsi Tuhan/Dewa yang selalu-baik, benar, jujur, berwibawa, dan bijaksana. Baginya, sifat ke-Ilahi-an selalu beroperasi sesuai dengan standar rasionalitas. Meskipun demikian konsepsi ketuhanan Socrates menolak konsepsi ketuhanan-tradisional dalam hal berdoa dan melakukan pengorbanan yang dimotivasi oleh harapan mendapat balasan material.

Teori-Tuhan-Socrates tampak membuat ritual yang paling-penting dan acara pengorbanan di kota Athena menjadi sama-sekali tidak berguna, karena jika para Dewa semua baik, manusia tetap mendapatkan manfaat/keuntungan terlepas dari apakah manusia memberi persembahan dan berdoa kepada mereka atau tidak.

Para-juri di persidangan Socrates mungkin berpendapat bahwa, dengan sikap tanpa berharap imbalan materi atau perlindungan dari para Dewa, Socrates berarti melepaskan kepercayaan/agama dari akar praktek-ritual dan identitas kewarganegaraan kota Athena.

Pada saat Socrates mengkritisi sikap penerimaan buta terhadap para Dewa dan mitos seperti yang ditemukan dalam cerita Hesiod dan Homer, hal yang tentu terdengar keras di Athena pada saat itu. Solon, Xenophanes, Heraclitus, dan Euripides semuanya telah berbicara menentang ketidakteraturan dan perbuatan berlebihan/keterlaluan dari para Dewa tanpa mendapat hukuman sedikitpun.

Hal itu mungkin yang membuat para juri di persidangan tidak mendakwa Socrates karena mempertanyakan Dewa atau menginterogasi arti sebenarnya dari ketaatan/kesalehan. Memang, tidak ada definisi hukum ketaatan/kesalehan di Athena pada waktu itu dan oleh karena itu para juri dalam kondisi membutuhkan penyelidikan apa arti ketaatan/kesalehan yang sebenarnya.

Mereka berada dalam kondisi yang sama seperti kondisi Socrates yang kita temukan dalam karya Plato Euthyphro. Yang menjadi perhatian para juri tampaknya tidak hanya tantangan Socrates terhadap interpretasi tradisional para Dewa yang diakui pemerintah-kota Athena, tetapi sikap mencolok kesetiaannya kepada Tuhan yang sama sekali baru dan asing bagi siapa pun warga kota.

Tuhan/Dewa baru ini adalah apa yang disebut sebagai Daimon Socrates. Meskipun hal yang umum untuk memahami Daimon sebagai roh atau suatu perwujudan Tuhan (misalnya, Simposium 202E-203A), dalam agama Yunani kuno pengertian Daimon bukanlah semata-mata sejenis Tuhan tetapi lebih berarti modus aktivitas atau kekuatan yang mendorong seseorang berbuat sesuatu ketika tidak-ada agen ilahi tertentu yang diketahui (Burkett, 180).

Socrates mengaku telah mendengar Petunjuk (wahyu) berupa tanda atau suara pada saat anak anak yang membimbing dan melarang dia untuk mengikuti melakukan serangkaian tindakan tertentu (Plato, Apology 31c-d, 40a-b, Euthydemus 272e-273a, Euthyphro 3b, Phaedrus 242b, Theage 128-131a, Theaetetus 150C-151b, Rep 496c; Xenophon, Apology 12, Memorabilia 1.1.3-5).

Xenophon menambahkan bahwa Petunjuk (wahyu) itu juga menyampaikan/mengeluarkan perintah perintah yang baik (Memorablia 1.1.4, 4.3.12, 4.8.1, Apology 12). Petunjuk (wahyu) ini hanya dapat dipahami oleh Socrates sendiri secara pribadi dan internal untuk pikirannya sendiri.

Apakah Socrates menerima pengetahuan moral secara berurutan dari Petunjuk (wahyu) itu, hal tersebut merupakan masalah perdebatan ilmiah, tetapi yang tidak diragukan lagi adalah sikap aneh Socrates yang sangat meyakinkan, bahwa ia memperoleh Petunjuk (wahyu) secara pribadi dari Dewa yang tidak diakui oleh pemerintah-kota Athena.

Yang semua itu membuat juri menjadi tahu, bahwa Dewa tersebut dapat menjadi musuh/bahaya bagi kepentingan Athena. Daimon-Sokrates oleh karena itu sangat berpengaruh dalam dakwaannya dengan tuduhan menyembah Dewa-Baru yang tidak dikenal oleh pemerintah-kota (Plato, Euthyphro 3b, Xenophon, Memorabilia I.1.2).

Pada akhirnya, keyakinannya bahwa ia memiliki akses-langsung secara pribadi dengan yang Ilahi membuatnya tampak bersalah yang membuat para-juri merasa cukup memutuskan Socrates dijatuhi hukuman mati.


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 7 September 2016


No comments:

Post a Comment