Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, September 25, 2016

Socrates 2 : Pikiran-Pikirannya


Apa Yang Dipikirkan Socrates ?

Dengan sumber-sumber yang ada, tugas menjelaskan kembali apa yang dipikirkan Socrates adalah tidak mudah. Meskipun demikian, dengan membaca karya Plato --Apology-- adalah mungkin untuk mengartikulasikan sejumlah hal yang saat ini biasa diasosiasikan dengan Socrates oleh para ahli/sarjana.

Plato sebagai penulis diakui sendiri oleh Socrates, hadir di dalam ruang sidang pembelaan dirinya (Apology 34a). Meski ini tidak berarti Plato mencatat transkrip pembelaan Socrates kata-demi-kata tetapi itu adalah suatu yang paling mendekati untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya dikatakan Socrates pada satu-titik dalam kehidupannya yang nyata.

Filsafat Prasokrates Dan Kaum Sofis

Socrates membuka pidato pembelaannya dengan membela diri terhadap beberapa penuduhnya yang lebih-tua (Apology 18a), Socrates menyatakan bahwa pikiran para-juri dalam persidangannya telah diracuni oleh mereka sejak masih muda-belia. Di antara penuduh ini adalah Aristophanes.

Untuk memperkuat pernyataanya, Socrates membuat argumen yang-buruk menjadi lebih-kuat --ada rumor bahwa Socrates menghindar untuk berbicara tentang alam-semesta, hal-hal di atas langit dan di bawah bumi-- Jawaban Socrates untuk rumor itu adalah ia tidak-pernah membahas topik-topik tersebut (Apology 18a-c). Disini, Socrates membedakan dirinya tidak-hanya dari kaum Sofis serta --dugaan-- kemampuan mereka untuk membalikkan argumen yang-kuat menjadi lemah, tetapi juga dari orang-orang yang kita kenal sekarang sebagai para filsuf Prasokrates.

Istilah Prasocrates tidak-hanya merujuk pada filsuf yang datang sebelum Socrates, tetapi juga beberapa filsuf yang hidup-sejamannya. Istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan bahwa Socrates memperhatikan bidang Etika sedang para filsuf Prasokrates tidak. Suatu yang menyesatkan, karena terdapat bukti bahwa sejumlah-filsuf Prasocrates juga melakukan eksplorasi pada masalah Etika.

Istilah Prasocrates paling-tepat digunakan untuk merujuk pada kelompok-pemikir yang tidak dipengaruhi Socrates, yang mencari kesatuan-dasar-karakteristik untuk menjelaskan dunia (alam) melalui prinsip-prinsip yang melekat dalam-dirinya. Filsuf abad ke-6 SM Thales dari Miletus, misalnya, percaya bahwa prinsip-dasar dari segala sesuatu (alam) adalah air. Anaximander percaya prinsip-dasar segala sesuatu adalah sesuatu yang-tak-terbatas yang disebut Apeiron, dan untuk Anaxamines itu adalah udara.

Selanjutnya dalam karya Plato (Apology 26d-e), Socrates dengan retoris menanyakan apakah Meletus (salah satu penuntutnya) berpikir akan menuntut Anaxagoras seorang pemikir abad ke-5 SM yang berpendapat bahwa alam-semesta pada awalnya adalah campuran unsur-unsur yang sejak adanya digerakkan oleh Nous atau Mind. Socrates menunjukkan bahwa ia tidak terlibat dalam jenis pertanyaan kosmologis yang sama, yang menjadi fokus-utama dari banyak pemikir Prasocrates.

Kelompok lain yang terhadap mereka Socrates membandingkan-diri adalah kaum Sofis, orang-orang terpelajar yang melakukan perjalanan dari kota-ke-kota mengajar kepada para kaum-muda untuk memperoleh imbalan. Meski Socrates mengklaim, adalah hal yang mengagumkan untuk mengajar seperti Gorgias, Prodicus, atau Hippias yang mengajarkan kebijaksanaan (Apology 20a), Socrates berpendapat ia sendiri tidak-memiliki pengetahuan tentang keunggulan-manusia atau kemuliaan/kebijaksanaan (Apology 20b-c). Meski Socrates mempertanyakan sifat-kebijaksanaan, ia sendiri mengaku tidak-mengetahui apa itu kebijaksanaan, dan tentu saja Socrates tidak-meminta bayaran untuk percakapannya.

Tema Dan Pikiran Socrates Dalam Karya Plato -Apology-

i. Ketidaktahuan Socrates


Dalam karyanya, Plato bergerak maju menjelaskan alasan mengapa Socrates memperoleh reputasi serta mengapa begitu banyak warga tidak-menyukainya. Oracle di Delphi berkata pada teman Socrates, Chaerephon:

" Tidak ada yang lebih bijaksana dari Socrates. " (Apology 21a)

Sebaliknya Socrates justru menjelaskan bahwa ia tidak-mengetahui kebijaksanaan apapun yang dimiliki dirinya. Karena itu Socrates mencari seseorang yang memiliki-kebijaksanaan untuk menunjukkan perkataan Oracle adalah keliru.

Socrates pertama pergi ke para-politisi tetapi menyimpulkan bahwa mereka tidak-mempunyai kebijaksanaan. Selanjutnya, dia mengunjungi para-penyair dan menemukan bahwa, meskipun mereka berbicara dengan ayat-ayat yang indah, mereka melakukannya karena inspirasi-ilahi, bukan karena mereka memiliki-kebijaksanaan apapun. Akhirnya, Socrates menemukan bahwa orang-yang-ahli memiliki pengetahuan tentang karya-mereka-sendiri, tetapi sayang mereka percaya bahwa dirinya mengetahui lebih-banyak dari apa yang sesungguhnya mereka lakukan.

Akhirnya Socrates menyimpulkan bahwa ia lebih-baik dari sesama warga Athena karena, mereka berpikir mereka mengetahui sesuatu padahal sesungguhnya tidak, sedang Socrates menyadari ketidaktahuannya sendiri. Menurutnya, Dewa yang berbicara melalui Oracle adalah yang benar-benar bijaksana, sedang kebijaksanaan-manusia hanya bernilai-sedikit atau tidak-ada sama sekali (Apology 23a ).

Kesadaran seseorang akan tidak-adanya pengetahuan dalam dirinya adalah apa yang dikenal sebagai Ketidaktahuan-Socrates (Socratic Ignorance) dan merupakan hal yang bisa diperdebatkan bahwa hal tersebutlah yang paling membuat Socrates menjadi terkenal.

Ketidaktahuan-Socrates kadang-kadang disebut juga ketidaktahuan-sederhana, agar dapat dibedakan dari ketidaktahuan-ganda para warga Athena yang dengan mereka Socrates berbicara. Ketidaktahuan-sederhana adalah kesadaran seseorang bahwa dirinya tidak-mengetahui sesuatu, sedangkan ketidaktahuan-ganda adalah kesadaran-seseorang yang tidak-menyadari-ketidaktahuannya sementara ia berpikir/menganggap dirinya mengetahui. Seperti yang ditunjukan oleh banyak tokoh berpengaruh di Athena bahwa mereka sesungguhnya tidak-mengetahui apa yang mereka pikir/anggap tahu mengenai sesuatu, Socrates datang untuk dibenci oleh banyak-kalangan.

Socrates mengklaim bahwa dia menyadari ketidaktahuannya dan apa-pun yang ia tahu adalah tidak-bernilai. Socrates memiliki sejumlah keyakinan yang-kuat mengenai apa yang dapat membuat kehidupan menjadi baik, meskipun demikian ia tidak-bisa mengartikulasikan dengan tepat mengapa keyakinannya adalah suatu kebenaran.

Sebagai contoh, ia yakin bahwa tidaklah-adil untuk menyakiti siapa pun, apakah teman atau musuh. Tetapi Socrates tidak bisa memberikan penjelasan yang sistematis sifat-keadilan yang bisa menunjukkan mengapa hal ini benar (setidaknya dalam Buku I Republik).

Karena kesungguhannya terus mengulang pertanyaan dan mencari jawaban, Socrates berhasil menyempurnakan keyakinannya sedemikian rupa sehingga ia dapat memiliki pandangan khusus tentang keadilan seraya tetap menjaga-sikap bahwa dia tidak-tahu sifat-keadilan yang lengkap/sempurna.

Kita bisa melihat kontradiksi ini cukup jelas dalam pemeriksaan silang Socrates pada penuduhnya Meletus. Karena ia dituduh merusak generasi-muda, Socrates bertanya :

" Jadi siapa yang membantu para pemuda untuk mengembangkan diri ? " (Apology, 24d-25a )

Socrates menggunakan analogi yang sama seperti kita mengambil kuda dari seorang pelatih-kuda untuk melatihnya menjadi kuda yang tangkas, Socrates bermaksud mengetahui --dari siapa-- kita mengambil orang-muda untuk mendidik dan meningkatkan dirinya. Meletus hanya terdiam sambil mengutuk dirinya: Dia tidak pernah repot-repot merenungkan hal tersebut, dan karena itu dia tidak menyadari ketidaktahuannya tentang hal yang merupakan dasar dari tuduhannya (Apology 25b-c).

Dalam hal ini, apakah Socrates atau Plato --sesungguhnya-- berpendapat adalah mungkin untuk mencapai keahlian dalam kebajikan dan kebijaksanaan merupakan subjek yang para-sarjana tidak sepakat.

ii. Prioritas Perawatan Jiwa

Sepanjang pidato pembelaannya (Apology 20a-b, 24c-25c, 31b, 32d, 36c, 39d) Socrates berulang kali menekankan bahwa manusia harus merawat/memperhatikan jiwanya lebih dari apa pun (lihat juga Crito 46C-47D, Euthyphro 13b-c , Gorgias 520a4ff).

Socrates menemukan bahwa warga Athenalebih-peduli pada kekayaan, reputasi, dan tubuh mereka sementara mengabaikan jiwa mereka (Apology 29d-30b).Socrates percaya bahwa misinya dari Tuhan adalah untuk memeriksa sesama warga Athena dan membujuk/mengajarkan pada mereka bahwa kebaikan yang paling-penting untuk manusia adalah kesehatan-jiwa.

Socrates bersikeras kekayaan tidak membawa keunggulan, kemuliaan, kebajikan dan kebijaksanaan manusia, namun sebaliknya kebajikan/kebijaksanaan yang membuat kekayaan dan segala sesuatu yang lain menjadi baik bagi manusia (Apology 30b).

Socrates meyakini misinya merawat-jiwa telah meluas ke keseluruhan kota Athena. Dia berpendapat Tuhan mengirim dirinya ke kota Athena sebagai hadiah dan misinya adalah untuk membantu memajukan dan mengembangkan kota Athena. Dengan demikian Socrates mencoba menunjukkan bahwa ia tidak-bersalah melakukan penghinaan agama/keyakinan warga Athena, karena segala yang dilakukannya justru menanggapi Oracle dan untuk melayani Dewa. Socrates mencirikan dirinya sebagai lalat pengganggu dan kota Athena sebagai kuda-lamban yang perlu dicambuk, dikendalikan dan dipacu (Apology 30e).

Tanpa penyelidikan filosofis, demokrasi menjadi stagnan dan puas dengan kondisi yang ada, sehingga demokrasi berada dalam bahaya yang merugikan dirinya sendiri dan yang lain. Sama seperti lalat-pengganggu yang merangsang kuda tetapi sekaligus mendorong/membangkitkan kuda untuk bergerak, Socrates mengandaikan bahwa tujuannya adalah melakukan-agitasi pada orang di sekitarnya sehingga mereka mulai memeriksa/menguji dirinya.

Orang mungkin membandingkan pendapat ini dengan pernyataan Socrates dalam Gorgias bahwa, sementara rekan-sejawatnya pada jamannya bertujuan memperoleh pemberian gratifikasi, Socrates melakukan keahlian-politik yang sejati karena bertujuan meraih apa yang terbaik (521d-e).

Pernyataan tersebut --menguatkan bukti sejarah yang kita miliki-- bahwa pembelaan Socrates yang paling kuat adalah ia tidak menjadi beban bagi demokrasi tetapi aset besar untuk itu.

iii. Hidup Yang Tak Diuji

Setelah juri memutus vonis pada Socrates dan menjatuhkan hukuman-mati, ia membuat salah satu pernyataan yang paling terkenal dalam sejarah filsafat. Dia berkata kepada juri bahwa dia tidak pernah bisa diam, karena

" Kehidupan yang tidak-diuji adalah hidup yang tidak-berguna bagi manusia. " (Apology 38a)

Dalam pendapat Socrates ini, kita menemukan bahwa kita semua diajak untuk merenungkan apa yang kita percaya, sebuah penjelasan untuk apa yang kita ketahui dan tidak-diketahui.

Secara umum Socrates berbicara untuk mencari dan mempertahankan hidup sesuai dengan pandangan/nilai-nilai untuk menjalani-hidup yang baik dan penuh-makna.

Disini beberapa ahli memperhatikan penekanan Socrates pada sifat-manusia dan berpendapat bahwa panggilan untuk menjalani --hidup yang diuji-- bersumber dari sifat kita sebagai manusia.

Kita secara alami dikendalikan oleh kenikmatan dan rasa-sakit. Kita tertarik pada kekuasaan, kekayaan dan reputasi, begitu juga dengan warga Athena yang tertarik pada nilai-nilai yang sama. Panggilan Socrates untuk menjalani --hidup yang diuji-- belum tentu merupakan desakan untuk menolak semua motivasi tersebut, melainkan perintah untuk menilai kebenaran yang berguna bagi jiwa-manusia.

Tujuan dari --kehidupan yang diuji-- adalah untuk merenungkan motivasi kita sehari-hari serta nilai-nilainya dan selanjutnya menyelidiki apa yang benar-benar berguna --setidaknya-- untuk melakukan penyelidikan pada apa yang kita miliki dan yakini. Jika kita tidak memiliki/meyakini suatu nilai atau bahkan jika kita memegang nilai yang berbahaya, semuanya terserah pada kita untuk mengejar hal-hal yang benar-benar bernilai.

Dengan membaca Apology, Seseorang dapat melihat bahwa Socrates menguji kehidupan-juri selama persidangannya. Dengan menegaskan keutamaan --hidup yang diuji-- setelah ia divonis dan dijatuhi hukuman-mati, Socrates yang dituntut justru berperan menjadi jaksa-penuntut, dia diam-diam menuduh orang-orang yang menghukumnya hidup dengan tidak-menghormati kemanusiaan mereka sendiri. Dia mengatakan kepada mereka bahwa dengan membunuh-dia mereka tidak akan berhasil lolos dari ujian kehidupan mereka.

Lolos dari ujian-hidup, memberikan penjelasan, hidup seseorang adalah mungkin baik dan tidak-baik. Socrates berpendapat yang-terbaik adalah mempersiapkan diri untuk menjadi sebaik-mungkin (Apology 39d-e).

Disini kita menemukan konsepsi kehidupan-yang-baik, yang berbeda dari pandangan yang didukung oleh banyak filsuf-kontemporer. Saat ini, kebanyakan filsuf akan berpendapat bahwa kita harus menjalani hidup-yang-baik (meskipun arti hidup-yang-baik ini tentu saja menjadi bahan perdebatan) tetapi untuk menjadi orang-baik, seseorang tidak perlu terlibat dalam diskusi seperti yang dilakukan Socrates sehari-hari.

Orang-baik --kita bisa mengatakan-- adalah seseorang yang menjalani kehidupan-yang-baik sejauh yang dapat dilakukan olehnya, tetapi tidak perlu konsisten terlibat dalam perdebatan-filosofis misalnya tentang sifat-keadilan atau tujuan-negara. Tidak diragukan lagi Socrates tidak-setuju dengan pendapat itu, bukan hanya karena hukum mungkin tidak-adil atau negara mungkin melakukan terlalu banyak atau terlalu sedikit, tetapi karena, sejauh kita adalah manusia, menguji diri selalu bermanfaat bagi kita.

Pandangan Lain Dan Argumen Socrates

Sebagai tambahan, selain tema-tema yang ditemukan dalam Apology, berikut adalah beberapa pandangan lain dalam kumpulan tulisan karya Plato yang biasanya dianggap berasal dari pikiran Socrates.

i. Kesatuan Nilai-Nilai Kebajikan; Semua Nilai Kebajikan Adalah Pengetahuan

Dalam Protagoras (329b-333b) Socrates berpendapat mengenai pandangan bahwa semua nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian, kesalehan, dan sebagainya adalah satu-kesatuan.

Dia memberikan sejumlah argumen untuk tesis ini. Sebagai contoh, sementara adalah biasa untuk berpikir bahwa seseorang dapat menjadi bijak tanpa menjadi temperamental, Socrates menolak pendapat ini dengan alasan bahwa kebijaksanaan dan temperamental keduanya memiliki hal berlawanan yang sama yaitu kebodohan. Jika kedua hal tersebut benar-benar berbeda, maka masing-masing akan memiliki lawan sendiri. Kesamaan lawan keduanya (yaitu: kebodohan) menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat memiliki kebijaksanaan tanpa temperamental dan sebaliknya.

Tesis ini kadang-kadang dipasangkan dengan pandangan Socrates yang lain, yaitu bahwa nilai-nilai kebajikan adalah merupakan bentuk-pengetahuan (Meno 87e-89a; lih Euthydemus 278d-282a). Hal-hal seperti keindahan, kekuatan, dan kesehatan bermanfaat bagi manusia, tetapi juga dapat membahayakan jika tidak disertai dengan pengetahuan atau kebijaksanaan. Jika nilai-nilai kebajikan menjadi bermanfaat pasti karena adanya pengetahuan, karena semua kualitas-jiwa dalam dirinya-sendiri tidaklah menguntungkan dan tidak-berbahaya, tetapi hanya bermanfaat jika disertai dengan kebijaksanaan dan berbahaya jika disertai dengan kebodohan.

ii. Tidak Ada Orang Yang Berbuat Salah Dengan Sadar / Sengaja

Socrates terkenal menyatakan bahwa tidak ada manusia yang keliru atau membuat kesalahan dengan sengaja (Protagoras 352c, 358b-b). Di sini kita menemukan contoh intelektualitas Socrates. Ketika seseorang melakukan sesuatu-dengan-salah, kegagalan mereka untuk melakukan apa-yang-benar adalah kesalahan-intelektual, atau karena ketidaktahuan mereka-sendiri tentang apa-yang-benar. Jika orang tersebut mengetahui apa-yang-benar, ia akan melakukannya. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi seseorang secara bersamaan mengetahui apa-yang-benar dan melakukan apa-yang-salah. Jika seseorang melakukan apa-yang-salah, mereka melakukannya karena mereka tidak-mengetahui apa-yang-benar. Jika mereka mengklaim telah mengetahui apa-yang-benar pada saat mereka melakukan yang-salah, mereka sesungguhnya membuat pengakuan-yang-keliru, karena jika mereka benar-benar mengetahui apa-yang-benar, mereka pasti akan melakukannya.

Oleh karena itu Socrates menyangkal kemungkinan Akrasia, atau kelemahan-kehendak. Tidak ada perbuatan-keliru yang sengaja-dilakukan (Protagoras 345c4-e6). Sementara itu mungkin tampak bahwa Socrates menyamakan antara sadar dan sengaja, dengan membaca Gorgias 466a-468e membantu memperjelas tesisnya.

Socrates berkata pada Polus, Tiran memiliki kekuasaan yang lemah terhadap setiap-anggota di dalam kota karena mereka tidak melakukan apa yang dinginkan oleh warganya. Apa yang mereka lakukan adalah tidak-baik atau tidak-menguntungkan meskipun manusia hanya menginginkan apa-yang-baik atau bermanfaat. Dalam keadaan seperti itu kehendak Tiran telah dirusak oleh ketidaktahuan dan selanjutnya tentu akan membahayakan dirinya. Sebaliknya dalam keadaan kehendak-yang-dimurnikan dengan pengetahuan, akan selalu bermanfaat.

iii. Semua Kehendak Adalah Untuk Memperoleh Kebaikan

Salah satu premis dari argumen yang baru disebutkan diatas adalah manusia hanya menginginkan kebaikan. Ketika seseorang melakukan sesuatu demi sesuatu-yang-lain, selalu sesuatu yang-lain-itu yang dia-inginkan. Semua hal-hal buruk atau hal-hal menengah yang dilakukan bukan untuk diri-mereka tetapi demi sesuatu-yang-lain yaitu kebaikan. Sebagai contoh, ketika seorang Tiran mengirim seseorang untuk dihukum-mati, ia melakukan ini karena ia berpikir itu bermanfaat dalam beberapa-hal. Oleh karena itu tindakannya diarahkan menuju kebaikan, karena ini adalah apa yang benar-benar dia inginkan (Gorgias 467-468B).

Sebuah versi yang sama dari argumen ini berada di dalam Meno, 77B-78b. Mereka yang menginginkan hal-hal-buruk tidak mengetahui bahwa hal itu benar-benar-buruk sebaliknya jika mereka mengetahui hal itu adalah sesuatu-yang-buruk maka mereka tidak akan menginginkan atau melakukan itu. Mereka tidak secara alami menginginkan apa-yang-buruk melainkan menginginkan hal-hal yang mereka yakini-baik tetapi sebenarnya-buruk. Mereka menginginkan hal-hal-yang-baik meskipun mereka tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang benar-benar-baik.

iv. Lebih Baik Menderita Ketidakadilan Daripada Melakukan Ketidakadilan

Socrates membuat marah Polus dengan argumen bahwa lebih baik menderita-ketidakadilan daripada melakukan-ketidakadilan (Gorgias 475a-d).

Polus setuju bahwa melakukan-suatu-ketidakadilan lebih memalukan, tetapi mempertahankan-ketidakadilan tidaklah-lebih buruk. Hal-terburuk, dalam pandangannya, adalah untuk menderita-ketidakadilan.

Socrates berpendapat bahwa, jika ada sesuatu yang lebih-memalukan, sesuatu itu berarti melampaui keburukan atau rasa-sakit atau melampaui keduanya. Karena melakukan-ketidakadilan tidak lebih menyakitkan daripada menderita-ketidakadilan, melakukan-ketidakadilan tidak dapat melampaui rasa-sakit dan keburukan. Melakukan-ketidakadilan melebihi menderita-ketidakadilan dalam hal keburukanya. Dengan kata lain, melakukan-ketidakadilan lebih buruk daripada menderita-ketidakadilan. Oleh karena itu, jika diberi pilihan diantara keduanya, kita harus memilih untuk menderita-ketidakadilan daripada melakukan-suatu-ketidakadilan.

Argumen ini harus dipahami dalam hal penekanan Socrates pada perawatan-jiwa. Melakukan-ketidakadilan merusak jiwa-seseorang, dan karena itu melakukan-ketidakadilan adalah hal-terburuk yang dapat dilakukan seseorang pada dirinya-sendiri (lih Crito 47D-48a, Republik I 353d-354a).

Jika seseorang melakukan-ketidakadilan, Socrates bahkan lebih-jauh mengklaim bahwa lebih-baik menjalani-hukuman daripada menghindarinya dengan alasan bahwa hukuman akan membersihkan atau menyucikan jiwa dari kerusakan (Gorgias 476d-478e ).

v. Eudaimonism

Kata Yunani untuk kebahagiaan adalah Eudaimonia, yang berarti merasakan sesuatu dengan cara tertentu. Sebuah makna-yang-berbeda Eudaimonia adalah keadaan-yang-baik (well-being).

Banyak sarjana percaya bahwa Socrates memegang dua-prinsip yang saling terkait tetapi tidak setara mengenai Eudaimonia. Pertama, bahwa rasionalitas diperlukan seseorang untuk membuat kebahagiaannya sendiri sebagai pertimbangan dasar atas-perbuatannya. Kedua, bahwa setiap orang pada kenyataannya mengejar-kebahagiaan sebagai dasar pertimbangan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan.

Hubungan dengan penekanan Socrates pada kebijaksanaan, tidaklah sepenuhnya jelas apa artinya. Kebijaksanaan bisa identik dengan kebahagiaan --dalam hal ini tidak ada perbedaan antara keduanya-- jika saya orang-yang-bijak --dengan definisi itu-- berarti saya-bahagia. Kebijaksanaan bisa menjadi bagian dari kebahagiaan dalam hal ini jika saya-orang-yang-bijak berarti saya-bahagia meskipun saya bisa menambah-kebahagiaan saya dengan sesuatu yang-lain atau kebijaksanaan bisa menjadi instrumen untuk kebahagiaan, dalam hal ini jika saya-orang-bijak saya mungkin bahagia dan saya tidak-bisa bahagia tanpa-kebijaksanaan, tetapi tidak-ada jaminan bahwa saya-bahagia.

Ada sejumlah ayat dalam Apology yang tampaknya menunjukkan bahwa kebaikan-tertinggi bagi manusia adalah melakukan percakapan-filosofis (36b-d, 37e-38a, 40e-41c).

Meno 87C-89a menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebaikan merupakan panduan bagi-jiwa untuk menuju kebahagiaan (lih Euthydemus 278e-282a). Dan pada Gorgias 507a-c, Socrates menunjukkan bahwa orang berbudi-luhur yang bertindak sesuai dengan kebijaksanaan akan mencapai kebahagiaan (lih Gorgias 478c-e : orang paling-bahagia tidak memiliki keburukan-dalam-jiwanya).

vi. Berkuasa Adalah Sebuah Keahlian

Socrates berpendapat Berkuasa adalah suatu jenis pekerjaan yang membutuhkan keahlian atau seni (techne). Karena itu Berkuasa membutuhkan pengetahuan.

Sama seperti dokter memberikan hasil yang diinginkan oleh pasiennya misalnya kesembuhan. Maka seorang Penguasa harus membawa beberapa hasil yang diinginkan oleh warganya (Republik 341c-d, 342c).

Seorang dokter, karena di dalam pikirannya memiliki kepentingan-yang-terbaik bagi pasiennya maka ia tidak-pernah berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari praktek yang dilakukan. Demikian pula, pekerjaan Penguasa adalah melakukan sesuatu bukan untuk kepentingannya-sendiri, tetapi untuk kepentingan warga masyarakat-politik.

Ini tidaklah untuk mengatakan bahwa tidak-mungkin ada sejumlah keuntungan yang diperoleh oleh para praktisi. Dokter, misalnya, mungkin mendapatkan gaji-yang-baik, tetapi keuntungan ini tidak-intrinsik dalam keahliannya mengobati. Seseorang dapat dengan mudah membayangkan seorang dokter yang memperoleh sedikit-uang. Tetapi bagaimanapun, seseorang tidak bisa membayangkan seorang dokter yang tidak-bertindak demi untuk kepentingan-pasiennya.

Analogi hal tersebut adalah Penguasa selalu memerintah demi-kebaikan-warga yang diaturnya dan demi keadilan --berlawanan dengan pendapat yang terkenal dari Thrasymachus --bahwa tidak-semua yang dilakukan untuk kepentingan pihak-yang-berkuasa (Republik 338c-339a).


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 26 September 2016


No comments:

Post a Comment