Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Tuesday, January 16, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 5 : Pengertian Yang Relevan 'Tidak-Bergantung-Pada-Pengalaman'


Penting juga untuk memeriksa secara lebih rinci bagaimana justifikasi-apriori dianggap tidak-bergantung-pada-pengalaman. Di sini sekali lagi karakterisasi-standar pada umumnya bersifat negatif. Setidaknya ada dua cara bagaimana justifikasi-apriori sering dikatakan bergantung-pada-pengalaman.

Pertama, dimulai dengan mencermati bahwa sebelum seseorang dapat melakukan justifikasi secara apriori untuk mempercayai sebuah pendapat tertentu, seseorang harus memahami pendapat tersebut terlebih dahulu. Alasannya adalah banyak pendapat-apriori mensyaratkan seseorang memiliki konsep-yang-pasti untuk memahaminya (Kant, 1781). Perhatikan kembali pendapat bahwa :

"Jika suatu benda berwarna-merah-seluruhnya maka benda itu tidak-berwarna-hijau-seluruhnya."

Untuk memahami proposisi itu, saya harus memiliki konsep-warna-merah dan warna-hijau, yang pada gilirannya mengharuskan saya memiliki pengalaman-visual-sebelumnya tentang warna-warna itu.

Namun, akan menjadi kesalahan, untuk menyimpulkan dari sini bahwa justifikasi yang dimaksudkan di atas pada dasarnya bergantung-pada-pengalaman. Alasan sesungguhnya, saya berpikir bahwa pendapat yang relevan itu adalah benar tidak muncul dari pengalaman, melainkan dari pemikiran-murni atau refleksi-rasional, atau hanya dengan memikirkan sifat/ciri dan relasi dalam proposisi itu. Terlebih lagi, gagasan tentang justifikasi-epistemis membutuhkan prasyarat-pemahaman seperti itu. Dalam menilai apakah seseorang memiliki alasan-epistemis yang mendukung salah satu keyakinan-nya, bahwa orang itu memang memahami proposisi yang dipercayainya, hal itu hanya diterima begitu saja. Oleh karena itu, pada umumnya pengalaman seringkali merupakan prasyarat untuk melakukan justifikasi-apriori.

Kedua, banyak filsuf-kontemporer menerima pendapat justifikasi-apriori adalah bergantung-pada-pengalaman dalam pengertian-negatif bahwa pengalaman terkadang dapat melemahkan/merusak atau bahkan mengalahkan justifikasi-apriori itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan pendapat banyak filsuf-sejarah yang mengambil posisi bahwa justifikasi-apriori adalah mutlak. Kebanyakan filsuf-kontemporer menolak kemutlakan ( infalibilitas ) semacam itu, namun kemutlakan dari justifikasi-apriori tidak dengan sendirinya selalu berarti justifikasi-apriori dapat dilemahkan/dirusak oleh pengalaman. Adalah mungkin justifikasi-apriori adalah tidak-mutlak, tetapi --dalam kasus tertentu-- kita tidak mempunyai alasan untuk berpikir bahwa justifikasi itu dilemahkan/dirusak oleh pengalaman. Selanjutnya, sifat tidak-mutlak dari justifikasi-apriori konsisten dengan kemungkinan bahwa hanya pada kasus justifikasi-apriori yang lain, pengalaman dapat merusak atau mengalahkan-nya.

Meskipun demikian, ditemukan kasus langsung dimana justifikasi-apriori dapat dilemahkan/dirusak atau dikesampingkan oleh pengalaman. Misal, anggaplah saya menghitung berapa-jumlah-pendapatan-kena-pajak dengan menambahkan sejumlah angka di kepala saya. Saya melakukan ini dengan hati-hati dan menghasilkan suatu jumlah-akhir-tertentu. Anggaplah, kepercayaan saya terhadap jumlah-akhir-tertentu-ini adalah benar dan merupakan justifikasi-apriori. Namun, jika saya memutuskan untuk memeriksa kembali penambahan yang saya lakukan dengan menggunakan kalkulator dan menghasilkan jumlah-akhir-yang-berbeda, saya sangat mungkin untuk melakukan revisi-keyakinan-saya terhadap jumlah-akhir-yang-semula dan menganggap saya-keliru dalam melakukan perhitungan sebelumnya. Tampak jelas bahwa keyakinan-saya-setelah-direvisi adalah benar dan justifikasi ini akan menjadi sebuah justifikasi-aposteriori, karena melalui pengalaman saya mengenal apa yang terbaca pada kalkulator dan dengan fakta bahwa kalkulator adalah instrumen perhitungan yang andal. Ini tampak merupakan kasus di mana justifikasi-apriori dikoreksi, dan memang dikalahkan oleh pengalaman.

Meskipun demikian, adalah penting untuk tidak melebih-lebihkan sifat bergantung-justifikasi-apriori-pada-pengalaman dalam kasus seperti itu, karena sejak awal, justifikasi-positif yang dimaksud adalah seluruhnya bersifat apriori. Misal pada contoh di atas keyakinan-awal-saya tentang jumlah-yang-relevan, sepenuhnya didasarkan pada perhitungan-mental/pikiran saya. Itu bergantung-pada-pengalaman hanya dalam pengertian adalah mungkin bagi pengalaman untuk melemahkan/merusak atau mengalahkan justifikasi-apriori. Bergantung secara negatif antara justifikasi-apriori dan pengalaman ini menimbulkan sedikit keraguan dari sudut pandang bahwa justifikasi-apriori pada dasarnya tidak-bergantung-pada-pengalaman.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H5
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment