Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan.
Pembukaan pada Konstitusi-Amerika menyebut bahwa salah satu tujuan utama negara Amerika adalah "untuk menegakan-keadilan"
James Madison, bapak pendiri bangsa, pada tahun 1788, menulis dalam karyanya The Federalist Papers bahwa keadilan harus menjadi tujuan dari semua pemerintahan dan semua masyarakat-beradab, bahwa setiap warga bersedia menanggung resiko apapun untuk mengejar keadilan bahkan apabila kebebasan dipertaruhkan.
Anak-anak sekolah Amerika dibuat menghafal dan melafalkan sebuah ikrar-kesetiaan (Pledge of Allegiance) yang ditutup dengan kalimat "demi kebebasan dan keadilan bagi semua".
Dengan demikian keadilan adalah sebuah dambaan-ideal bangsa Amerika yang telah terpendam lama. Kita, sekarang harus menelaah bagaimana salah satu filsuf terbesar Amerika, John Rawls membahas dambaan-ideal ini.
Kita harus mencermati bagaimana Rawls meletakan tekanan yang lebih-besar kepada "kesetaraan/persamaan" daripada yang dilakukan oleh para pemikir-awal Eropa, mungkin penekanan ini merupakan refleksi dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika bahwa "semua manusia diciptakan sama". (Penekanan yang lebih-besar pada kesetaraan/persamaan merefleksikan pengaruh Marx, yang seringkali disebut oleh Rawls).
Setelah menelaah kontribusi Rawls yang besar dan kuat kepada teori-keadilan dan beberapa penerapannya, kita harus menyimpulkan telaah ini dengan suatu bahasan singkat mengenai alternatif-alternatif konsep-keadilan setelah Rawls (post-Rawlsian).
Sebuah fokus-kunci yang akan membedakan pembahasan bagian-ini dengan bagian-sebelumnya adalah upaya dalam mencapai sebuah konsep-keadilan yang menyasar konsep-keadilan sebagai keseimbangan yang masuk-akal antara kebebasan-dan-kesetaraan/persamaan
a. Rawls
Rawls melesat terkenal pada tahun 1958 bersama publikasi makalah ilmiahnya yang merupakan "game-changing" merubah-arah pembahasan berjudul "Justice as Fairness (Keadilan sebagai Sikap-Tengah)"
Meski bukanlah publikasi pentingnya yang pertama, makalah itu menghidupkan kembali teori kontrak-sosial yang telah lama melemah selama tumbuhnya kritik dari Hume dan pemudaran oleh para utilitirian dan kaum pramagtis, namun makalah itu merupakan sebuah kontrak-sosial versi Kantian yang disuarakan oleh Rawls.
Karya itu mengarah kepada sebuah versi buku yang sangat-berkembang berjudul A Theory of Justice (Sebuah Teori tentang Keadilan) dipublikasikan pada tahun 1971, yang dapat dikatakan sebagai buku paling-penting tentang filsafat Amerika yang diterbitkan dalam paruh kedua abad terakhir ini.
Rawls menjelaskan bahwa teorinya yang disebut olehnya “justice as fairness (keadilan sebagai sikap-tengah)" mengasumsikan suatu pandangan Kantian terhadap seseorang sebagai “free and equal (bebas dan setara)”, secara moral otonom, agen-rasional, yang tidak-selalu egois.
Sejak awal, ia juga menjelaskan maksudnya untuk mempersembahkan teorinya sebagai sebuah alternatif yang lebih-menarik daripada teori-keadilan para utilitarian.
Ia meminta kepada kita untuk membayangkan seseorang dalam sebuah kondisi hipotesis “initial situation (situasi-awal)” yang disebutnya “the original position (posisi-asal)”
(memiliki hubungan analogi dengan kondisi “state of nature (keadaan-alami)” atau “natural condition (kondisi-alamiah)” yang dikemukakan oleh Hobbes, namun jelas tidak disajikan sebagai semacam fakta historis atau pra-historis).
“Initial situation (situasi-awal)” kondisi ini dikarakterisasi dengan ketat oleh apa yang disebut Rawls “the veil of ignorance (selubung-ketidak-tahuan)”, suatu alat yang dirancang untuk meminimalisasi pengaruh bias sifat-egois dalam upaya untuk menentukan apa-yang-adil.
Jika anda harus memutuskan tentang masyarakat macam-apa dimana anda dapat mengikat diri-anda untuk menerima sebagai seorang anggota-tetap dan memutuskan dengan tidak melibatkan faktor pengetahuan spesifik tentang diri-anda seperti ---identitas gender, ras, kesukuan, tingkat kecerdasan, kekuatan fisik, kecepatan dan stamina dan lainnya--- maka anda dapat diasumsikan akan melakukan pilihan-rasional untuk menciptakan masyarakat yang seadil mungkin (fair) bagi setiap orang, agar anda tidak berada di posisi paling bawah dalam masyarakat tersebut selama sisa hidup anda.
Dalam sebuah situasi “purely hypothetical (murni-hipotetis)” seperti itu, Rawls meyakini bahwa kita secara rasional akan mengambil dua-prinsip-keadilan-dasar yang utama bagi masyarakat kita :
"Prinsip-pertama mensyaratkan kesetaraan dalam pemberian hak-dan-kewajiban-dasar sedang prinsip-kedua memegang bahwa ketidak-setaraan-sosial-dan-ekonomi ---sebagai contoh ketidak-setaraan kesejahteraan dan otoritas--- adalah adil jika menghasilkan kompensasi manfaat yang menguntungkan bagi setiap orang dan khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak-beruntung."
Disini kita melihat Rawls membuat konsep-keadilan, merupakan kutamaan-sosial-primer yang mensyaratkan kesetaraan-kebebasan-dasar bagi semua warga dan sebuah pra-anggapan kesetaraan/persamaan bahkan terkait dengan barang-barang kebutuhan sosio-ekonomi.
Ia menekankan pada pandangan bahwa prinsip-prinsip ini mengeluarkan dari kategori tidak-adil menurut justifikasi-utilitarian tentang kerugian bagi sejumlah orang karena keuntungan yang lebih-besar bagi yang lainnya, karena hal itu secara rasional tidak bisa diterima oleh seorang yang berada dibawah pengaruh selubung-ketidak-tahuan.
Seperti Kant, Rawls dipertentangkan dengan langkah-gambit teleologis atau konsekuensialis tentang penentuan apa-yang-benar (termasuk adil) dalam pengertian "memaksimalkan kebaikan", namun ia deontologis ---seperti Kant--- yang terikat pada suatu "prioritas hak diatas kebaikan". Keadilan tidak dapat direduksi menjadi kemanfaatan atau keinginan pragmatis.
Kita harus mencermati bahwa prinsip pertama keadilan, yang mensyaratkan kesetaraan-maksimum pada hak-dan-kewajiban bagi semua anggota masyarakat dalam “urutannya” adalah sebelum yang kedua, yaitu yang menetapkan bagaimana ketidak-setaraan sosio-ekonomi dapat dibenarkan (Theory, pp. 12-26, 31, 42-43).
Kembali, ini adalah anti-utilitarianisme, dalam hal tidak-ada penambahan keuntungan sosio-ekonomis bagi siapapun dapat membenarkan apapun kecuali kesetaraan-maksimum pada hak-dan-kewajiban bagi semua.
Sehingga, sebagai contoh, jika memperbudak sedikit anggota masyarakat menghasilkan keuntungan yang jauh lebih-besar bagi mayoritas daripada kewajiban-kewajiban mereka sesuai hukum, maka kesepakatan semacam itu tidak termasuk adil, secara kategoris disebut sebagai tidak-adil.
Rawl terus mengembangkan artikulasinya tentang dua-prinsip-keadilan ini dengan lebih hati-hati.
Ia merumus ulang prinsip-pertama dengan pengertian tentang kesetaraan-maksimum-kebebasan, menulis bahwa "setiap orang memiliki hak yang sama hingga kebebasan-dasar yang paling luas, yang ada bersama-sama secara harmonis dengan sebuah kebebasan serupa yang dimiliki orang-lain."
Kebebasan dasar yang dimaksud semacam hak-hak sipil seperti yang dilindungi dalam konstitusi kita --kebebasan bicara, kebebasan berkumpul, kebebasan mengikuti hati nurani, hak memiliki harta benda pribadi, hak memilih dan menduduki jabatan publik, kebebasan dari penahanan dan penyitaan sewenang-wenang, dan lain-lain.
Urutan prioritas secara tertulis dari prinsip di atas mensyaratkan bahwa prinsip itu harus bersifat kategoris dalam hal bahwa satu-satunya pembenaran untuk pembatasan kebebasan-dasar apapun adalah harus memperluas kebebasan-dasar yang lain.
Sebagai contoh, adalah adil untuk membatasi kebebasan akses bagi pers terhadap sebuah proses hukum yang dapat diikuti untuk melindungi hak-hak terdakwa mendapat sebuah peradilan yang adil (fair).
Rawls menyatakan kembali prinsip-keduanya untuk tetap berpendapat bahwa "ketidak-setaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa hingga keduanya (a) secara rasional diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang, dan (b) dilekatkan dengan posisi dan jabatan publik yang terbuka bagi semuanya". Sehingga ketidak-setaraan sosial-ekonomi dapat dibenarkan namun hanya jika kedua syarat itu terpenuhi.
Syarat pertama (a) adalah "prinsip-perbedaan" dan menerima gagasan dengan serius bahwa setiap perbedaan sosial-ekonomi yang memisahkan satu anggota masyarakat dari yang lain haruslah menguntungkan bagi semua orang, termasuk didalamnya seseorang dengan tingkat kasta terendah.
Syarat kedua adalah salah satu tentang "kesetaraan-kesempatan yang adil (fair)", dalam hal bahwa keuntungan-keuntungan sosial-ekonomi haruslah terhubung dengan posisi-posisi jabatan publik dimana semua anggota masyarakat mempunyai akses kepadanya.
Sebagai contoh, jabatan resmi presiden dikaitkan dengan prestise-sosial dan pendapatan yang lebih-besar daripada prestise dan pendapatan yang tersedia bagi hampir semua dari kita.
Apakah itu adil ? Bisa saja itu adil, dengan berasumsi bahwa semua dari kita --sebagai warga-negara-- dapat memperoleh jabatan-publik itu beserta segala kompensasinya dan bahkan bagi mereka diantara kita yang berada pada atau dekat dengan skala sosial-ekonomi paling bawah mendapat manfaat dari orang yang cerdas, berbakat yang menerima kewajiban-kewajiban yang luar biasa dari jabatan-publik itu.
Keadilan sebagai prinsip-pertama haruslah lebih utama dari prinsip-kedua, Rawls juga mempertahankan pendapat bahwa "kesempatan yang adil (fair) adalah lebih diutamakan di atas prinsip-perbedaan".
Karenanya, jika kita harus memilih antara kesetaraan-kesempatan bagi semua atau sosial dan ekonomi yang menguntungkan bagi anggota masyarakat "yang paling tidak beruntung", yang-pertama memiliki prioritas di atas yang-kedua.
Hari ini, kebanyakan dari kita mungkin lebih-mudah bersimpati kepada prinsip-pertama dan kondisi kesetaraan-kesempatan meskipun menjumpai prinsip-perbedaan akan menjadi egaliterian yang tidak pas, hingga pada titik ancaman yang mendorong kontribusi yang berlebihan daripada yang dibutuhkan.
Rawls memikirkan suatu "konsep-campuran" tentang keadilan bahwa kebanyakan dari kita akan menilai sebagai lebih-menarik "muncul ketika prinsip kemanfaatan rata-rata yang dibatasi oleh sebuah nilai sosial-minimum tertentu digantikan oleh prinsip-perbedaan, sementara prinsip yang lainnya tetap tidak berubah".
Tetapi akan muncul sebuah persoalan tentang kesepakatan-tengah mengenai nilai-sosial-minimum yang dapat diterima dan kesepakatan itu akan berubah-ubah sesuai gerak perubahan keadaan.
Mendorong keingin-tahuan bahwa teorinya tentang "keadilan sebagai sikap-tengah" diserang oleh para sosialis seperti Nielsen (dia yang harus kita tinjau) karena mengorbankan kesetaraan demi kebebasan dan oleh libertarian seperti Nozick (dia juga harus kita tinjau) karena memasrahkan terlalu banyak kebebasan demi keseteraan.
Rawls secara singkat berpendapat bahwa teorinya tentang keadilan sebagai sikap-tengah dapat diterapkan secara umum dalam hubungan internasional dan secara khusus pada teori perang yang adil (ibid., pp. 60-65, 75, 83, 302-303, 316, 378).
Rawls menerapkan teorinya tentang keadilan kepada persoalan pembangkangan-sipil warga melawan negara.
Tidak ada masyarakat yang adil-sempurna sepenuhnya. Suatu masyarakat yang umum atau "masyarakat yang hampir-adil" dapat mempunyai hukum yang tidak-adil, dalam kondisi ini, warga dapat atau tidak-dapat memiliki kewajiban untuk taat pada hukum, tergantung pada seberapa seriusnya ketidak-adilan hukum itu sendiri.
Jika tingkat keseriusan dari ketidak-adilan tidak-besar, maka penghargaan kepada aturan demokrasi-mayoritas dapat memerintah ketaatan secara moral.
Sebaliknya, warga negara dapat merasakan sebuah kewajiban-moral untuk terlibat dalam pembangkangan-sipil, yang didefinisikan Rawls sebagai :
"suatu tindakan publik, tanpa kekerasan namun berusaha-keras, bersifat politis, melawan hukum, biasa dilakukan dengan tujuan membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah."
Kondisi-kondisi tertentu harus dipenuhi agar sebuah tindakan pembangkangan-sipil dapat dibenarkan :
(1) Biasanya tindakan itu berkaitan dengan pelanggaran terhadap kesetaraan kebebasan-sipil (prinsip-pertama keadilan) dan/atau pelanggaran terhadap "kesetaraan kesempatan yang adil (fair)" (bagian kedua dari prinsip-kedua keadilan), disertai pelanggaran terhadap prinsip-perbedaan (bagian pertama dari prinsip-kedua) menjadi lebih suram dan oleh karena itu lebih sulit dibenarkan.
(2) Tindakan pembangkangan-sipil harus muncul hanya setelah proses hukum banding kepada mayoritas-politik telah dicoba dan gagal.
(3) Pembangkangan-sipil harus diharapkan untuk mencapai kebaikan yang lebih-besar daripada merugikan/merusak ketertiban-sosial.
Namun, bahkan jika tiga-kondisi ini semua tampak terpenuhi dan tindakan pembangkangan-sipil tampak benar, masih tetap ada pertanyaan praktis disana apakah "bijak atau berhati-hati menghindari resiko" untuk terlibat dalam tindakan pembangkangan-sipil dibawah kondisi-kondisi ini.
Pada akhirnya, setiap individu harus memutuskan bagi dirinya apakah tindakan semacam itu secara moral dan prudensial dapat dibenarkan atau tidak.
Tindakan pembangkangan-sipil oleh Martin Luther King (kepadanya Rawls mengacu dalam catatan kaki) tampak memenuhi semua kondisi, untuk dilakukan atas nama keadilan dan telah dibenarkan secara moral (ibid., pp. 350-357, 363-367, 372-376, 389-390, 364n).
Buku kedua Rawls adalah Political Liberalism (Liberalisme Politik). Dalam karya ini ia membahas bagaimana konsep keadilan-politik mungkin untuk mengembangkan sebuah kompromi/jalan-keluar “overlapping consensus (konsensus yang tumpang-tindih)" tanpa terpengaruh adanya tantangan-tantangan kepada persatuan-sosial yang terkandung dalam pluralisme "doktrin-doktrin-komprehensif yang masuk-akal" yang beragam.
Ini, tentu saja perlu sejumlah penjelasan. Sebuah masyarakat yang adil harus melindungi kebebasan-dasar yang setara bagi semua anggotanya, termasuk didalamnya kebebasan-berpikir dan kondisi-kondisi yang dibutuhkan, dan kebebasan-berekspresi.
Tetapi, di dalam sebuah masyarakat yang bebas yang melindungi kebebasan-dasar ini, suatu pluralisme pandangan-dan-nilai mungkin akan berkembang, sedemikian rupa hingga masyarakat umum dapat dengan serius tidak-setuju terhadap hal-hal yang dijunjung tinggi.
Pandangan-dan-nilai akan mengembangkan "doktrin-doktrin-komprehensif" atau "sistem-keyakinan" sendiri yang dapat mengatur semua aspek penting kehidupan mereka.
Doktrin-doktrin-komprehensif atau sistem-keyakinan ini mungkin dapat bersifat relijius (seperti Kristianitas) atau filosofis (seperti Kantianisme) atau moral (seperti Utilitirian)
Namun suatu jenis doktrin-doktrin-komprehensif yang berpotensi konflik mungkin dapat sedemikian rupa hingga semuanya menjadi masuk-akal.
Dalam kasus seperti itu, kesatuan-sosial mensyaratkan penghargaan terhadap toleransi kepada kelompok keyakinan-keyakinan yang lain.
Adalah tidak-adil, dengan sengaja menekan doktrin-doktrin-komprehensif hanya karena berbeda dengan doktrin-doktrin yang kita miliki.
Persoalan mengenai liberalisme-politik hari-hari ini adalah bagaimana kita mampu mengatasi "sebuah masyarakat yang stabil dan adil, yang memiliki warga yang bebas-dan-setara dipecah belah secara tajam oleh doktrin-doktrin relijius, filosofis dan moral yang saling bertentangan dan bahkan tidak dapat dinilai dengan ukuran yang standar."
Apa yang diperlukan adalah suatu "konsepsi politik tentang keadilan" milik bersama yang netral dibanding doktrin-doktrin-komprehensif yang saling bersaing.
Ini dapat mengijinkan adanya "sebuah konsensus tumpang-tindih dari doktrin-doktrin yang masuk-akal" sehingga toleransi dan saling-menghargai dapat beroperasi bahkan diantara doktrin-doktrin yang mengikat pada pandangan-dan-nilai yang tidak selaras selama doktrin-doktrin itu masuk-akal (Liberalism, pp. 291-292, 340-342, 145, xviii, 13, 152n., 59-60, 133, 154-155, 144, 134).
Sehingga, sebagai contoh, suatu Kristian Kantian dan Ateistik Utiliterian, meski tidak-sepakat pada sejumlah prinsip-prinsip etik, gagasan-gagasan filosofi, dan keyakinan relijius dapat bersatu saling menerima ---sebagai contoh Konstitusi Amerika sebagai pengikat yang memadai bagi semua kita dengan setara.
Kesepakatan ini akan membuat mereka secara mutual mampu berpartisipasi dalam kerjasama-sosial, pengertian yang bersifat tengah-tengah dan imbal-balik dua arah dan yang dapat memberi kontribusi pada kebaikan yang masuk-akal bagi seluruh masyarakat.
Mendekati akhir hidupnya, Rawls mempublikasikan karya The Law of Peoples (Hukum Masyarakat), didalamnya ia mencoba menerapkan teori-keadilannya pada hubungan-internasional.
Mengingat bahwa tidak semua masyarakat bertindak adil dan bahwa masyarakat memiliki suatu hak untuk mempertahankan diri melawan kekuatan serangan-kekerasan, maka disana terdapat hak untuk pergi berperang (jus ad bellum).
Meski begitu, dalam peperangan tidak semuanya adil (fair), dan aturan tentang peperangan yang adil (jus in bello) harus dipatuhi :
(1) Tujuan perang haruslah sebuah "keadilan dan kedamaian abadi"
(2) Pasti harus terlibat peperangan untuk mempertahankan kebebasan dan keamanan dari serangan/agresi.
(3) Upaya-upaya yang masuk-akal harus dilakukan, dengan tidak menyerang orang-orang yang tidak-berperang yang tak-bersalah.
(4) Hak-hak manusia musuh (sebagai contoh hak tidak-disiksa) harus dihormati.
(5) Usaha-usaha harus dilakukan untuk menetapkan hubungan yang damai.
(6) Taktik praktis harus selalu tetap berada didalam parameter prinsip-prinsip moral.
Setelah pertempuran berhenti, penakluk yang adil harus memperlakukan taklukan mantan-musuh dengan hormat ---sebagai contoh, tidak memperbudak mereka atau menolak kebebasan-sipil mereka.
Rawls menambah suatu yang sangat kontroversial "pengecualian darurat tertinggi" terkait dengan aturan ketiga ---ketika keberlangsungan masyarakat yang relatif adil berada dibawah ancamam serius bahaya besar, serangan kepada populasi-sipil musuh seperti pengeboman kota dapat dibenarkan.
Lebih umum, Rawls menerapkan teori-keadilannya pada hubungan-internasional, menciptakan delapan-aturan yang menilai bagaimana rakyat dari masyarakat-lain harus diperlakukan.
Meski kita tidak mempunyai waktu untuk membahas lebih dalam delapan-aturan semuanya, aturan yang terakhir cukup provokatif sehingga layak untuk kita tinjau :
"rakyat mempunyai kewajiban untuk membantu rakyat-lain yang berada dibawah kondisi kehidupan yang tidak-nyaman, yang mencegah mereka mempunyai penguasa politik-dan-sosial yang adil atau penguasa-yang-baik yang diterima secara sosial."
Tentu saja hal ini melampaui sekedar bukan mengeksploitasi, mencurangi, memanipulasi, menipu dan melakukan campur-tangan pada yang lain, menjadi sebuah tugas positif dari upaya membantu mereka dengan biaya waktu, uang dan sumber daya lain.
Keadilan menuntut tindakan yang sulit bahwa kita berupaya membantu apa yang disebut Rawls “burdened societies (masyarakat yang terbebani)” sehingga melakukannya bukanlah tindakan baik yang berlebihan secara moral. Apa yang paling menarik disini adalah apa yang tidak diungkapkan oleh Rawls.
Meskipun masyarakat yang berbeda ---dalam konteks internasional--- dapat dibayangkan berada dalam posisi-awal dibawah "selubung ketidak-tahuan", dan Rawls lebih cenderung mendorong kesetaraan-kebebasan-dan-kesempatan bagi semua, Rawls menolak untuk menerapkan prinsip-perbedaan secara global sedemikian rupa untuk menunjukan bahwa keadilan membutuhkan suatu redistribusi kesejahteraan yang masif dari masyarakat yang lebih-kaya ke yang lebih-miskin (Peoples, pp. 94-96, 98-99, 37, 106, 114-117).
Dari sudut pandang kritis, Teori Rawls tentang pembangkangan-sipil adalah mengagumkan, begitu pula teori liberalisme-politik dan teori perang yang adil versinya, kecuali untuk "pengecualian-darurat-tertinggi" yang keluar dari karakteristik dengan mencoba untuk menjadikan hak sebagai suatu fungsi kebaikan-teleologis.
Pandangannya pada bantuan-internasional tampak dibahas begitu baik, namun ironis pandangannya mempertanyaakan bagian teori umum keadilan itu sendiri.
Tampak tidak dapat diterima bahwa prinsip-perbedaan harus diterapkan secara intra-masyarakat tetapi tidak secara internasional.
Persoalannya mungkin pada prinsip-perbedaan itu sendiri. Prinsip-perbedaan tidak sepenuhnya jelas bahwa pelaku-rasional dalam sebuah posisi-asli hipotesis akan menngambil prinsip-egaliter semacam itu.
Selubung-ketidak-tahuan mengarah kepada prinsip-kontroversial ini dengan sendirinya dapat dipertanyakan sebagai semu dan tidak-realistik, mungkin ada yang keberatan, bahwa jauh dari menjadi netral secara metodologis, selubung-ketidak-tahuan menetapkan sebuah bias (sebagai contoh terhadap sikap menghindari resiko) yang menyebabkan prinsip-keadilan Rawls yang menarik hampir menjadi kesimpulan yang dapat diperkirakan kepastiannya.
Sesungguhnya, "konsepsi-campuran" yang ditelaah dan ditolak Rawls sendiri tampak lebih bisa diterima dan dapat diterapkan lebih universal ---dengan tetap mempertahankan prinsip-pertama dan bagian-dua prinsip-kedua tetapi mengganti prinsip-perbedaan salah satunya kemanfaatan-rata-rata yang dibatasi oleh beberapa nilai-minimum-sosial, yang dapat disesuaikan dengan perubahan-lingkungan.
Oleh karena itu kita dapat menentukan syarat-syarat dari esensi konsep-keadilan Kant fengan memuaskan, seperti persyaratan penghargaan pada harga-diri semua-orang sebagai manusia bebas-dan-setara, pelaku rasional moral.
Meskipun kurang-egaliter dibanding yang ditawarkan oleh Rawls, hal itu akan membuktikan sebauah alternatif yang menarik.
Sampai derajat berapa kebebasan harus dibatasi oleh kesetaraan dalam sebuah masyarakat yang adil ?
Ini persoalan inti yang memisahkan Rawls dari banyak tokoh post-Rawlsians, sampai beberapa diantaranya sekarang akan kita bahas secara singkat.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Pembukaan pada Konstitusi-Amerika menyebut bahwa salah satu tujuan utama negara Amerika adalah "untuk menegakan-keadilan"
James Madison, bapak pendiri bangsa, pada tahun 1788, menulis dalam karyanya The Federalist Papers bahwa keadilan harus menjadi tujuan dari semua pemerintahan dan semua masyarakat-beradab, bahwa setiap warga bersedia menanggung resiko apapun untuk mengejar keadilan bahkan apabila kebebasan dipertaruhkan.
Anak-anak sekolah Amerika dibuat menghafal dan melafalkan sebuah ikrar-kesetiaan (Pledge of Allegiance) yang ditutup dengan kalimat "demi kebebasan dan keadilan bagi semua".
Dengan demikian keadilan adalah sebuah dambaan-ideal bangsa Amerika yang telah terpendam lama. Kita, sekarang harus menelaah bagaimana salah satu filsuf terbesar Amerika, John Rawls membahas dambaan-ideal ini.
Kita harus mencermati bagaimana Rawls meletakan tekanan yang lebih-besar kepada "kesetaraan/persamaan" daripada yang dilakukan oleh para pemikir-awal Eropa, mungkin penekanan ini merupakan refleksi dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika bahwa "semua manusia diciptakan sama". (Penekanan yang lebih-besar pada kesetaraan/persamaan merefleksikan pengaruh Marx, yang seringkali disebut oleh Rawls).
Setelah menelaah kontribusi Rawls yang besar dan kuat kepada teori-keadilan dan beberapa penerapannya, kita harus menyimpulkan telaah ini dengan suatu bahasan singkat mengenai alternatif-alternatif konsep-keadilan setelah Rawls (post-Rawlsian).
Sebuah fokus-kunci yang akan membedakan pembahasan bagian-ini dengan bagian-sebelumnya adalah upaya dalam mencapai sebuah konsep-keadilan yang menyasar konsep-keadilan sebagai keseimbangan yang masuk-akal antara kebebasan-dan-kesetaraan/persamaan
a. Rawls
Rawls melesat terkenal pada tahun 1958 bersama publikasi makalah ilmiahnya yang merupakan "game-changing" merubah-arah pembahasan berjudul "Justice as Fairness (Keadilan sebagai Sikap-Tengah)"
Meski bukanlah publikasi pentingnya yang pertama, makalah itu menghidupkan kembali teori kontrak-sosial yang telah lama melemah selama tumbuhnya kritik dari Hume dan pemudaran oleh para utilitirian dan kaum pramagtis, namun makalah itu merupakan sebuah kontrak-sosial versi Kantian yang disuarakan oleh Rawls.
Karya itu mengarah kepada sebuah versi buku yang sangat-berkembang berjudul A Theory of Justice (Sebuah Teori tentang Keadilan) dipublikasikan pada tahun 1971, yang dapat dikatakan sebagai buku paling-penting tentang filsafat Amerika yang diterbitkan dalam paruh kedua abad terakhir ini.
Rawls menjelaskan bahwa teorinya yang disebut olehnya “justice as fairness (keadilan sebagai sikap-tengah)" mengasumsikan suatu pandangan Kantian terhadap seseorang sebagai “free and equal (bebas dan setara)”, secara moral otonom, agen-rasional, yang tidak-selalu egois.
Sejak awal, ia juga menjelaskan maksudnya untuk mempersembahkan teorinya sebagai sebuah alternatif yang lebih-menarik daripada teori-keadilan para utilitarian.
Ia meminta kepada kita untuk membayangkan seseorang dalam sebuah kondisi hipotesis “initial situation (situasi-awal)” yang disebutnya “the original position (posisi-asal)”
(memiliki hubungan analogi dengan kondisi “state of nature (keadaan-alami)” atau “natural condition (kondisi-alamiah)” yang dikemukakan oleh Hobbes, namun jelas tidak disajikan sebagai semacam fakta historis atau pra-historis).
“Initial situation (situasi-awal)” kondisi ini dikarakterisasi dengan ketat oleh apa yang disebut Rawls “the veil of ignorance (selubung-ketidak-tahuan)”, suatu alat yang dirancang untuk meminimalisasi pengaruh bias sifat-egois dalam upaya untuk menentukan apa-yang-adil.
Jika anda harus memutuskan tentang masyarakat macam-apa dimana anda dapat mengikat diri-anda untuk menerima sebagai seorang anggota-tetap dan memutuskan dengan tidak melibatkan faktor pengetahuan spesifik tentang diri-anda seperti ---identitas gender, ras, kesukuan, tingkat kecerdasan, kekuatan fisik, kecepatan dan stamina dan lainnya--- maka anda dapat diasumsikan akan melakukan pilihan-rasional untuk menciptakan masyarakat yang seadil mungkin (fair) bagi setiap orang, agar anda tidak berada di posisi paling bawah dalam masyarakat tersebut selama sisa hidup anda.
Dalam sebuah situasi “purely hypothetical (murni-hipotetis)” seperti itu, Rawls meyakini bahwa kita secara rasional akan mengambil dua-prinsip-keadilan-dasar yang utama bagi masyarakat kita :
"Prinsip-pertama mensyaratkan kesetaraan dalam pemberian hak-dan-kewajiban-dasar sedang prinsip-kedua memegang bahwa ketidak-setaraan-sosial-dan-ekonomi ---sebagai contoh ketidak-setaraan kesejahteraan dan otoritas--- adalah adil jika menghasilkan kompensasi manfaat yang menguntungkan bagi setiap orang dan khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak-beruntung."
Disini kita melihat Rawls membuat konsep-keadilan, merupakan kutamaan-sosial-primer yang mensyaratkan kesetaraan-kebebasan-dasar bagi semua warga dan sebuah pra-anggapan kesetaraan/persamaan bahkan terkait dengan barang-barang kebutuhan sosio-ekonomi.
Ia menekankan pada pandangan bahwa prinsip-prinsip ini mengeluarkan dari kategori tidak-adil menurut justifikasi-utilitarian tentang kerugian bagi sejumlah orang karena keuntungan yang lebih-besar bagi yang lainnya, karena hal itu secara rasional tidak bisa diterima oleh seorang yang berada dibawah pengaruh selubung-ketidak-tahuan.
Seperti Kant, Rawls dipertentangkan dengan langkah-gambit teleologis atau konsekuensialis tentang penentuan apa-yang-benar (termasuk adil) dalam pengertian "memaksimalkan kebaikan", namun ia deontologis ---seperti Kant--- yang terikat pada suatu "prioritas hak diatas kebaikan". Keadilan tidak dapat direduksi menjadi kemanfaatan atau keinginan pragmatis.
Kita harus mencermati bahwa prinsip pertama keadilan, yang mensyaratkan kesetaraan-maksimum pada hak-dan-kewajiban bagi semua anggota masyarakat dalam “urutannya” adalah sebelum yang kedua, yaitu yang menetapkan bagaimana ketidak-setaraan sosio-ekonomi dapat dibenarkan (Theory, pp. 12-26, 31, 42-43).
Kembali, ini adalah anti-utilitarianisme, dalam hal tidak-ada penambahan keuntungan sosio-ekonomis bagi siapapun dapat membenarkan apapun kecuali kesetaraan-maksimum pada hak-dan-kewajiban bagi semua.
Sehingga, sebagai contoh, jika memperbudak sedikit anggota masyarakat menghasilkan keuntungan yang jauh lebih-besar bagi mayoritas daripada kewajiban-kewajiban mereka sesuai hukum, maka kesepakatan semacam itu tidak termasuk adil, secara kategoris disebut sebagai tidak-adil.
Rawl terus mengembangkan artikulasinya tentang dua-prinsip-keadilan ini dengan lebih hati-hati.
Ia merumus ulang prinsip-pertama dengan pengertian tentang kesetaraan-maksimum-kebebasan, menulis bahwa "setiap orang memiliki hak yang sama hingga kebebasan-dasar yang paling luas, yang ada bersama-sama secara harmonis dengan sebuah kebebasan serupa yang dimiliki orang-lain."
Kebebasan dasar yang dimaksud semacam hak-hak sipil seperti yang dilindungi dalam konstitusi kita --kebebasan bicara, kebebasan berkumpul, kebebasan mengikuti hati nurani, hak memiliki harta benda pribadi, hak memilih dan menduduki jabatan publik, kebebasan dari penahanan dan penyitaan sewenang-wenang, dan lain-lain.
Urutan prioritas secara tertulis dari prinsip di atas mensyaratkan bahwa prinsip itu harus bersifat kategoris dalam hal bahwa satu-satunya pembenaran untuk pembatasan kebebasan-dasar apapun adalah harus memperluas kebebasan-dasar yang lain.
Sebagai contoh, adalah adil untuk membatasi kebebasan akses bagi pers terhadap sebuah proses hukum yang dapat diikuti untuk melindungi hak-hak terdakwa mendapat sebuah peradilan yang adil (fair).
Rawls menyatakan kembali prinsip-keduanya untuk tetap berpendapat bahwa "ketidak-setaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa hingga keduanya (a) secara rasional diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang, dan (b) dilekatkan dengan posisi dan jabatan publik yang terbuka bagi semuanya". Sehingga ketidak-setaraan sosial-ekonomi dapat dibenarkan namun hanya jika kedua syarat itu terpenuhi.
Syarat pertama (a) adalah "prinsip-perbedaan" dan menerima gagasan dengan serius bahwa setiap perbedaan sosial-ekonomi yang memisahkan satu anggota masyarakat dari yang lain haruslah menguntungkan bagi semua orang, termasuk didalamnya seseorang dengan tingkat kasta terendah.
Syarat kedua adalah salah satu tentang "kesetaraan-kesempatan yang adil (fair)", dalam hal bahwa keuntungan-keuntungan sosial-ekonomi haruslah terhubung dengan posisi-posisi jabatan publik dimana semua anggota masyarakat mempunyai akses kepadanya.
Sebagai contoh, jabatan resmi presiden dikaitkan dengan prestise-sosial dan pendapatan yang lebih-besar daripada prestise dan pendapatan yang tersedia bagi hampir semua dari kita.
Apakah itu adil ? Bisa saja itu adil, dengan berasumsi bahwa semua dari kita --sebagai warga-negara-- dapat memperoleh jabatan-publik itu beserta segala kompensasinya dan bahkan bagi mereka diantara kita yang berada pada atau dekat dengan skala sosial-ekonomi paling bawah mendapat manfaat dari orang yang cerdas, berbakat yang menerima kewajiban-kewajiban yang luar biasa dari jabatan-publik itu.
Keadilan sebagai prinsip-pertama haruslah lebih utama dari prinsip-kedua, Rawls juga mempertahankan pendapat bahwa "kesempatan yang adil (fair) adalah lebih diutamakan di atas prinsip-perbedaan".
Karenanya, jika kita harus memilih antara kesetaraan-kesempatan bagi semua atau sosial dan ekonomi yang menguntungkan bagi anggota masyarakat "yang paling tidak beruntung", yang-pertama memiliki prioritas di atas yang-kedua.
Hari ini, kebanyakan dari kita mungkin lebih-mudah bersimpati kepada prinsip-pertama dan kondisi kesetaraan-kesempatan meskipun menjumpai prinsip-perbedaan akan menjadi egaliterian yang tidak pas, hingga pada titik ancaman yang mendorong kontribusi yang berlebihan daripada yang dibutuhkan.
Rawls memikirkan suatu "konsep-campuran" tentang keadilan bahwa kebanyakan dari kita akan menilai sebagai lebih-menarik "muncul ketika prinsip kemanfaatan rata-rata yang dibatasi oleh sebuah nilai sosial-minimum tertentu digantikan oleh prinsip-perbedaan, sementara prinsip yang lainnya tetap tidak berubah".
Tetapi akan muncul sebuah persoalan tentang kesepakatan-tengah mengenai nilai-sosial-minimum yang dapat diterima dan kesepakatan itu akan berubah-ubah sesuai gerak perubahan keadaan.
Mendorong keingin-tahuan bahwa teorinya tentang "keadilan sebagai sikap-tengah" diserang oleh para sosialis seperti Nielsen (dia yang harus kita tinjau) karena mengorbankan kesetaraan demi kebebasan dan oleh libertarian seperti Nozick (dia juga harus kita tinjau) karena memasrahkan terlalu banyak kebebasan demi keseteraan.
Rawls secara singkat berpendapat bahwa teorinya tentang keadilan sebagai sikap-tengah dapat diterapkan secara umum dalam hubungan internasional dan secara khusus pada teori perang yang adil (ibid., pp. 60-65, 75, 83, 302-303, 316, 378).
Rawls menerapkan teorinya tentang keadilan kepada persoalan pembangkangan-sipil warga melawan negara.
Tidak ada masyarakat yang adil-sempurna sepenuhnya. Suatu masyarakat yang umum atau "masyarakat yang hampir-adil" dapat mempunyai hukum yang tidak-adil, dalam kondisi ini, warga dapat atau tidak-dapat memiliki kewajiban untuk taat pada hukum, tergantung pada seberapa seriusnya ketidak-adilan hukum itu sendiri.
Jika tingkat keseriusan dari ketidak-adilan tidak-besar, maka penghargaan kepada aturan demokrasi-mayoritas dapat memerintah ketaatan secara moral.
Sebaliknya, warga negara dapat merasakan sebuah kewajiban-moral untuk terlibat dalam pembangkangan-sipil, yang didefinisikan Rawls sebagai :
"suatu tindakan publik, tanpa kekerasan namun berusaha-keras, bersifat politis, melawan hukum, biasa dilakukan dengan tujuan membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah."
Kondisi-kondisi tertentu harus dipenuhi agar sebuah tindakan pembangkangan-sipil dapat dibenarkan :
(1) Biasanya tindakan itu berkaitan dengan pelanggaran terhadap kesetaraan kebebasan-sipil (prinsip-pertama keadilan) dan/atau pelanggaran terhadap "kesetaraan kesempatan yang adil (fair)" (bagian kedua dari prinsip-kedua keadilan), disertai pelanggaran terhadap prinsip-perbedaan (bagian pertama dari prinsip-kedua) menjadi lebih suram dan oleh karena itu lebih sulit dibenarkan.
(2) Tindakan pembangkangan-sipil harus muncul hanya setelah proses hukum banding kepada mayoritas-politik telah dicoba dan gagal.
(3) Pembangkangan-sipil harus diharapkan untuk mencapai kebaikan yang lebih-besar daripada merugikan/merusak ketertiban-sosial.
Namun, bahkan jika tiga-kondisi ini semua tampak terpenuhi dan tindakan pembangkangan-sipil tampak benar, masih tetap ada pertanyaan praktis disana apakah "bijak atau berhati-hati menghindari resiko" untuk terlibat dalam tindakan pembangkangan-sipil dibawah kondisi-kondisi ini.
Pada akhirnya, setiap individu harus memutuskan bagi dirinya apakah tindakan semacam itu secara moral dan prudensial dapat dibenarkan atau tidak.
Tindakan pembangkangan-sipil oleh Martin Luther King (kepadanya Rawls mengacu dalam catatan kaki) tampak memenuhi semua kondisi, untuk dilakukan atas nama keadilan dan telah dibenarkan secara moral (ibid., pp. 350-357, 363-367, 372-376, 389-390, 364n).
Buku kedua Rawls adalah Political Liberalism (Liberalisme Politik). Dalam karya ini ia membahas bagaimana konsep keadilan-politik mungkin untuk mengembangkan sebuah kompromi/jalan-keluar “overlapping consensus (konsensus yang tumpang-tindih)" tanpa terpengaruh adanya tantangan-tantangan kepada persatuan-sosial yang terkandung dalam pluralisme "doktrin-doktrin-komprehensif yang masuk-akal" yang beragam.
Ini, tentu saja perlu sejumlah penjelasan. Sebuah masyarakat yang adil harus melindungi kebebasan-dasar yang setara bagi semua anggotanya, termasuk didalamnya kebebasan-berpikir dan kondisi-kondisi yang dibutuhkan, dan kebebasan-berekspresi.
Tetapi, di dalam sebuah masyarakat yang bebas yang melindungi kebebasan-dasar ini, suatu pluralisme pandangan-dan-nilai mungkin akan berkembang, sedemikian rupa hingga masyarakat umum dapat dengan serius tidak-setuju terhadap hal-hal yang dijunjung tinggi.
Pandangan-dan-nilai akan mengembangkan "doktrin-doktrin-komprehensif" atau "sistem-keyakinan" sendiri yang dapat mengatur semua aspek penting kehidupan mereka.
Doktrin-doktrin-komprehensif atau sistem-keyakinan ini mungkin dapat bersifat relijius (seperti Kristianitas) atau filosofis (seperti Kantianisme) atau moral (seperti Utilitirian)
Namun suatu jenis doktrin-doktrin-komprehensif yang berpotensi konflik mungkin dapat sedemikian rupa hingga semuanya menjadi masuk-akal.
Dalam kasus seperti itu, kesatuan-sosial mensyaratkan penghargaan terhadap toleransi kepada kelompok keyakinan-keyakinan yang lain.
Adalah tidak-adil, dengan sengaja menekan doktrin-doktrin-komprehensif hanya karena berbeda dengan doktrin-doktrin yang kita miliki.
Persoalan mengenai liberalisme-politik hari-hari ini adalah bagaimana kita mampu mengatasi "sebuah masyarakat yang stabil dan adil, yang memiliki warga yang bebas-dan-setara dipecah belah secara tajam oleh doktrin-doktrin relijius, filosofis dan moral yang saling bertentangan dan bahkan tidak dapat dinilai dengan ukuran yang standar."
Apa yang diperlukan adalah suatu "konsepsi politik tentang keadilan" milik bersama yang netral dibanding doktrin-doktrin-komprehensif yang saling bersaing.
Ini dapat mengijinkan adanya "sebuah konsensus tumpang-tindih dari doktrin-doktrin yang masuk-akal" sehingga toleransi dan saling-menghargai dapat beroperasi bahkan diantara doktrin-doktrin yang mengikat pada pandangan-dan-nilai yang tidak selaras selama doktrin-doktrin itu masuk-akal (Liberalism, pp. 291-292, 340-342, 145, xviii, 13, 152n., 59-60, 133, 154-155, 144, 134).
Sehingga, sebagai contoh, suatu Kristian Kantian dan Ateistik Utiliterian, meski tidak-sepakat pada sejumlah prinsip-prinsip etik, gagasan-gagasan filosofi, dan keyakinan relijius dapat bersatu saling menerima ---sebagai contoh Konstitusi Amerika sebagai pengikat yang memadai bagi semua kita dengan setara.
Kesepakatan ini akan membuat mereka secara mutual mampu berpartisipasi dalam kerjasama-sosial, pengertian yang bersifat tengah-tengah dan imbal-balik dua arah dan yang dapat memberi kontribusi pada kebaikan yang masuk-akal bagi seluruh masyarakat.
Mendekati akhir hidupnya, Rawls mempublikasikan karya The Law of Peoples (Hukum Masyarakat), didalamnya ia mencoba menerapkan teori-keadilannya pada hubungan-internasional.
Mengingat bahwa tidak semua masyarakat bertindak adil dan bahwa masyarakat memiliki suatu hak untuk mempertahankan diri melawan kekuatan serangan-kekerasan, maka disana terdapat hak untuk pergi berperang (jus ad bellum).
Meski begitu, dalam peperangan tidak semuanya adil (fair), dan aturan tentang peperangan yang adil (jus in bello) harus dipatuhi :
(1) Tujuan perang haruslah sebuah "keadilan dan kedamaian abadi"
(2) Pasti harus terlibat peperangan untuk mempertahankan kebebasan dan keamanan dari serangan/agresi.
(3) Upaya-upaya yang masuk-akal harus dilakukan, dengan tidak menyerang orang-orang yang tidak-berperang yang tak-bersalah.
(4) Hak-hak manusia musuh (sebagai contoh hak tidak-disiksa) harus dihormati.
(5) Usaha-usaha harus dilakukan untuk menetapkan hubungan yang damai.
(6) Taktik praktis harus selalu tetap berada didalam parameter prinsip-prinsip moral.
Setelah pertempuran berhenti, penakluk yang adil harus memperlakukan taklukan mantan-musuh dengan hormat ---sebagai contoh, tidak memperbudak mereka atau menolak kebebasan-sipil mereka.
Rawls menambah suatu yang sangat kontroversial "pengecualian darurat tertinggi" terkait dengan aturan ketiga ---ketika keberlangsungan masyarakat yang relatif adil berada dibawah ancamam serius bahaya besar, serangan kepada populasi-sipil musuh seperti pengeboman kota dapat dibenarkan.
Lebih umum, Rawls menerapkan teori-keadilannya pada hubungan-internasional, menciptakan delapan-aturan yang menilai bagaimana rakyat dari masyarakat-lain harus diperlakukan.
Meski kita tidak mempunyai waktu untuk membahas lebih dalam delapan-aturan semuanya, aturan yang terakhir cukup provokatif sehingga layak untuk kita tinjau :
"rakyat mempunyai kewajiban untuk membantu rakyat-lain yang berada dibawah kondisi kehidupan yang tidak-nyaman, yang mencegah mereka mempunyai penguasa politik-dan-sosial yang adil atau penguasa-yang-baik yang diterima secara sosial."
Tentu saja hal ini melampaui sekedar bukan mengeksploitasi, mencurangi, memanipulasi, menipu dan melakukan campur-tangan pada yang lain, menjadi sebuah tugas positif dari upaya membantu mereka dengan biaya waktu, uang dan sumber daya lain.
Keadilan menuntut tindakan yang sulit bahwa kita berupaya membantu apa yang disebut Rawls “burdened societies (masyarakat yang terbebani)” sehingga melakukannya bukanlah tindakan baik yang berlebihan secara moral. Apa yang paling menarik disini adalah apa yang tidak diungkapkan oleh Rawls.
Meskipun masyarakat yang berbeda ---dalam konteks internasional--- dapat dibayangkan berada dalam posisi-awal dibawah "selubung ketidak-tahuan", dan Rawls lebih cenderung mendorong kesetaraan-kebebasan-dan-kesempatan bagi semua, Rawls menolak untuk menerapkan prinsip-perbedaan secara global sedemikian rupa untuk menunjukan bahwa keadilan membutuhkan suatu redistribusi kesejahteraan yang masif dari masyarakat yang lebih-kaya ke yang lebih-miskin (Peoples, pp. 94-96, 98-99, 37, 106, 114-117).
Dari sudut pandang kritis, Teori Rawls tentang pembangkangan-sipil adalah mengagumkan, begitu pula teori liberalisme-politik dan teori perang yang adil versinya, kecuali untuk "pengecualian-darurat-tertinggi" yang keluar dari karakteristik dengan mencoba untuk menjadikan hak sebagai suatu fungsi kebaikan-teleologis.
Pandangannya pada bantuan-internasional tampak dibahas begitu baik, namun ironis pandangannya mempertanyaakan bagian teori umum keadilan itu sendiri.
Tampak tidak dapat diterima bahwa prinsip-perbedaan harus diterapkan secara intra-masyarakat tetapi tidak secara internasional.
Persoalannya mungkin pada prinsip-perbedaan itu sendiri. Prinsip-perbedaan tidak sepenuhnya jelas bahwa pelaku-rasional dalam sebuah posisi-asli hipotesis akan menngambil prinsip-egaliter semacam itu.
Selubung-ketidak-tahuan mengarah kepada prinsip-kontroversial ini dengan sendirinya dapat dipertanyakan sebagai semu dan tidak-realistik, mungkin ada yang keberatan, bahwa jauh dari menjadi netral secara metodologis, selubung-ketidak-tahuan menetapkan sebuah bias (sebagai contoh terhadap sikap menghindari resiko) yang menyebabkan prinsip-keadilan Rawls yang menarik hampir menjadi kesimpulan yang dapat diperkirakan kepastiannya.
Sesungguhnya, "konsepsi-campuran" yang ditelaah dan ditolak Rawls sendiri tampak lebih bisa diterima dan dapat diterapkan lebih universal ---dengan tetap mempertahankan prinsip-pertama dan bagian-dua prinsip-kedua tetapi mengganti prinsip-perbedaan salah satunya kemanfaatan-rata-rata yang dibatasi oleh beberapa nilai-minimum-sosial, yang dapat disesuaikan dengan perubahan-lingkungan.
Oleh karena itu kita dapat menentukan syarat-syarat dari esensi konsep-keadilan Kant fengan memuaskan, seperti persyaratan penghargaan pada harga-diri semua-orang sebagai manusia bebas-dan-setara, pelaku rasional moral.
Meskipun kurang-egaliter dibanding yang ditawarkan oleh Rawls, hal itu akan membuktikan sebauah alternatif yang menarik.
Sampai derajat berapa kebebasan harus dibatasi oleh kesetaraan dalam sebuah masyarakat yang adil ?
Ini persoalan inti yang memisahkan Rawls dari banyak tokoh post-Rawlsians, sampai beberapa diantaranya sekarang akan kita bahas secara singkat.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment