Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, July 15, 2023

Keadilan Ala Barat 12 : Modernisme - Mill


Mari kita tinjau sedikit tentang Karl Marx (dan teman-kerjasamanya Friedrich Engels) sebagai sebuah transisi singkat antara Kant dan Mill.

Kant mewakili semacam konsepsi-borjuis yang sesungguhnya mengenai keadilan yang dilawan oleh Marx dan Engel dalam seruan mereka, dalam "The Communist Manifesto" untuk suatu revolusi-sosial.

Marx menjelaskan kesetaraan sosio-ekonomi yang ideal, ia menyuarakan dengan slogan yang terkenal bahwa semua disyaratkan harus memberi kontribusi kepada masyarakat sampai tingkat kemampuan mereka dan semua harus dapat menerima apa-saja (semua) dari masyarakat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.

John Stuart Mill, seorang filosof Inggris abad 19, menyadari sebuah seruan revolusi-komunis dan ia menyerukan reformasi-liberal yang progresif sebagai suatu jalur-alternatif untuk evolusi-politik.

Kant adalah deontologis terbesar pertama, sedangkan Mill berada di bawah tradisi utilitarianisme yang sudah mapan.

Meski para pemikir Inggris sebelumnya (termasuk Hobbes dan Hume) merupakan para pemikir penganut utilitarianisme awal, yang memadukan elemen-elemen teori utilitirianisme ke dalam pandangan-pandangan dunia mereka sendiri, gerakan semacam itu biasanya telah dipikirkan tumbuh (bersumber) dari publikasi karya Jeremy Bentham dalam tahun 1789 berjudul "Introduction to the Principles of Morals and Legislation".

Dalam karya itu Jeremy Bentham mengajukan "principle of utility (prinsip-kemanfaatan/utilitas)" yang kemudian juga ia sebut dengan prinsip "kebahagiaan-terbesar", sebagai dasar yang dapat diharapkan untuk pengambilan-keputusan individual dan kolektif.

"Dengan prinsip-kemanfaatan yang dimaksud adalah prinsip yang menyetujui atau menolak terhadap setiap tindakan apapun-itu, mengacu kepada kecenderungan yang muncul/tampak untuk menambah atau mengurangi kebahagiaan pada kelompok yang mempunyai kepentingan yang dipertanyakan (kelompok yang bersangkutan)."

Kalimat tunggal (kehagiaan-terbesar) itu menetapkan kriteria-akhir dalam penalaran para utilitirian dan merupakan akar dari suatu gerakan yang luar-biasa besar.

Seorang pengacara terkenal bernama John Austin kepadanya Mill belajar dibawah bimbingannya, telah menulis sebuah buku sistem-hukum (yurisprudensi) berdasar karya Bentham "Principle of General Utility (prinsip kemanfaatan-umum)".

Ayah Mill, James Mill ---adalah teman dan sekaligus murid Bentham--- juga mendidik anak satu-satunya menjadi seorang utilitarian.

Nyaris sampai akhir hidupnya, Mill mengamati bahwa utilitarianisme didikan sang-ayah adalah hal yang paling dekat dengan agama didalamnya sang-ayah membesarkan dirinya.

Dan, jika ia tidak menjadi pendiri agama sekuler ini (utilitiranisme), ia jelas menjadi penyiar kitab (penginjil) yang paling efektif.

Dalam "Utilitarianisme", karya esai Mill yang hebat dalam teori etika, ia memberi pernyataan sendiri mengenai prinsip-kemanfaatan (sekali lagi ia menggunakan kata-kata relijius yang tidak-umum) :

"Prinsip doktrin-agama yang menerima sebagai dasar-moral ---Prinsip Kemanfaatan atau Kebahagiaan Terbesar--- memegang kukuh pendapat bahwa tindakan-tindakan adalah benar sesuai dengan proporsi ketika doktrin-agama itu cenderung untuk meningkatkan kebahagiaan, sebaliknya tindakan adalah salah jika cenderung untuk menghasilkan sebaliknya (ketidak-bahagiaan)."

Mill segera melanjutkan untuk menafsirkan kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan manusia (seperti yang telah dilakukan Bentham) dalam terma-terma hedonistik rasa-senang dan rasa-sakit (Utilitarianism, pp. 33-34, 329, 257).

Tafsiran itu menyajikan tampilan yang menipu pada sejumlah aturan arahan-sederhana yang sangat-dikenal untuk penilaian-praktis yaitu :

Jika sebuah tindakan menciptakan suatu ekses rasa-senang yang lebih-banyak dari rasa-sakit maka tindakan itu memberi kontribusi kepada kebahagiaan manusia, yang merupakan kebaikan-tertinggi bagi kita, yang membuat tindakan itu menjadi benar. Disisi lain, jika suatu tindakan menciptakan ekses rasa-sakit melebihi rasa-senang, tindakan itu memberi kontribusi kepada ketidak-bahagiaan manusia, yang merupakan kejahatan-tertinggi bagi kita, yang membuat tindakan menjadi salah.

Namun, apa yang menipu mengenai tafsir kebahagian diatas adalah pemahaman bahwa kita cukup-memadai untuk dapat mengantisipasi (mengetahui sebelumnya) konsekuensi-konsekuensi masa-depan sehingga menjadi mampu dalam memperkirakan kemana tindakan-tindakan kita akan mengarahkan kita (rasa-senang atau rasa-sakit).

(Juga perhatikan, bahwa tidak seperti deontologi Kantian, yang membuat apa-yang-benar lepas dari konsekuensi-konsekuensi kebaikan, utilitirianisme justru membuat apa-yang-benar sebagai suatu fungsi dari apa-yang-baik.)

Mill mengakui bahwa kekhawatiran terhadap suatu konflik antara "kemanfaatan-dan-keadilan" yang mungkin-ada selalu menjadi "salah-satu hambatan terbesar" terhadap penerimaan utilitarianisme.

Jika memperbudak suatu minoritas secara permanen dapat menghasilkan suatu mayoritas yang sangat-hebat-dan-kuat (Mill secara personal menentang perbudakan sebagai sebuah pelanggaran yang dapat tidak-disadari terhadap kebebasan-manusia), maka dengan kondisi seperti-itu "kemanfaatan" adalah suatu nilai-tertinggi diatas semua nilai-nilai yang lain, ketidak-adilan perbudakan seharusnya tidak-diterima sebagai suatu sarana yang dibutuhkan (disesali) untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan secara sosial, namun demikian sialnya, mengapa karena alasan "kemanfaatan" menjadi dibenarkan ?

Mill berpikir bahwa kunci untuk menyelesaikan persoalan dugaan adanya konflik itu adalah dengan analisa-konseptual, bahwa bila kita cukup memahami pengertian tentang apa-itu "kemanfaatan" dan apa-itu "keadilan", kita seharusnya mampu untuk melihat bahwa adalah mungkin tidak-ada konflik antara "kemanfaatan-dan-keadilan" yang benar-benar murni.

Kita telah memahami apa arti konsep "kemanfaatan" dan sekarang perlu untuk membuat jelas dan mudah dimengerti mengenai konsep "keadilan".

Mill memetakan 5 dimensi tentang keadilan ketika kita menggunakan terma itu.

(1) menghormati "hak-hak hukum/legal" orang-lain dinilai adil sementara melanggarnya adalah tidak-adil.

(2) menghormati "hak-hak moral" yang dimiliki seseorang mengenai suatu hal adalah adil sementara melanggarnya adalah tidak-adil.

(3) Adalah dinilai adil untuk memberikan kepada seseorang apa yang layak diterimanya dan tidak-adil untuk menolaknya (tidak memberikan).

(4) Adalah dipikir tidak-adil untuk "mengkhianati kepercayaan orang-lain" sementara menjaganya adalah adil.

Dan (5) dalam beberapa situasi, ditimbang dengan cara-tertentu (khusus) dinilai tidak-adil "untuk berpihak (parsial)" dalam penilaian-penilaian yang dilakukan oleh seseorang dan adalah adil "untuk menjadi tidak-berpihak (imparsial)".

Masyarakat secara umum mengaitkan semua dimensi itu dengan keadilan, dan semua dimensi itu benar-benar tampak mewakili aspek-aspek keutamaan yang legitim.

(Menarik, Mill menolak gagasan tentang kesamaan/kesetaraan sebagai suatu yang esensial dalam pemahaman kita tentang keadilan, sebuah pendirian yang menjadi problematis bagi para Marksis)

Ketika ia mencari sebutan-umum bagi dirinya untuk bermacam dimensi keadilan ini, ia meneliti bahwa keadilan selalu melampaui benar dan salah karena melibatkan "sejumlah orang secara individual dapat mengklaim dari kita sebagai kebenaran/hak moralnya."

Ini mengikuti (sesuai-dengan) pengertian yang legitim (sah) bahwa siapapun yang bertindak tidak-adil bagaimanapun layak untuk dihukum (yang berhubungan dengan Kant).

Mill berpikir semua dimensi keadilan diatas adalah sebuah terma "untuk persyaratan moral-tertentu, yang dinilai/dihargai secara kolektif, berdiri lebih-tinggi dalam skala kemanfaatan-sosial", sehingga menjadi "lebih-wajib daripada yang lain."

Tetapi, ini berarti memadai bagi pemahaman, bahwa keadilan adalah sebuah sebutan untuk "kemanfaatan-sosial yang paling-penting", (ibid., pp. 296-301, 305, 309, 320-321).

Oleh karena itu, menurut pernyataan yang telah disebut sebelumnya tidak-ada konflik apapun antara "kemafaatan-dan-keadilan" yang benar-benar murni.

Jika pernah ada-kondisi dimana perbudakan benar-benar bermanfaat pada kemanusiaan, maka pada kondisi seperti-itu, perbudakan adalah adil, alasan bahwa perbudakan adalah tidak-adil (biasanya) disebabkan oleh perbudakan melanggar prinsip "kemanfaatan".

Tujuan utamanya disini adalah untuk mereduksi keadilan menjadi kemanfaatan-sosial, dengan cara sedemikian-rupa sehingga menyingkirkan ---sesuai definisi--- konflik apapun diantara keduanya (antara kemanfaatan dan keadilan).

Oleh karena itu peran-sosial yang dimainkan dalam pengertian kita mengenai keadilan adalah diduga demi melayani "kebaikan-bersama".

Karya luar biasa Mill yang lain adalah "On Liberty" yang memberi kita sebuah penghubung antara teori utilitarian dan penerapannya kepada soal-soal sosial yang nyata.

Disini, persoalan yang ditetapkan oleh Mill bagi dirinya adalah dimana menarik suatu garis yang masuk-akal antara area dimana masyarakat dapat melakukan pelarangan-perilaku dengan benar dan area dimana masyarakat harus mengijinkan kebebasan bagi warga melakukan tindakan sesuai keinginan mereka.

Kapan adalah adil untuk mencampuri tindakan-seseorang atas-dasar pilihan-personal ?

Untuk memecahkan masalah ini, yang masih relevan hingga hari ini, juga satu-setengah abad yang lalu, Mill mengajukan gagasan "satu prinsip yang sangat-sederhana" mengenai kebebasan, yang ia nyatakan dalam 2 cara yang sedikit-berbeda :

(1) Versi "perlindungan diri" berpendapat bahwa warga hanya dapat mencampuri secara sah kebebasan-bertindak orang-lain untuk melindungi dirinya sendiri dari orang-lain itu.

(2) Versi "serangan" berpegang kukuh bahwa dapat-dibenarkan bahwa kekuatan hanya dapat dipergunakan terhadap anggota komunitas yang lain untuk mencegah mereka menyerang warga yang lain.

Adalah tidak-dapat diterima, menggunakan kekuatan kepada orang-lain untuk menghentikan mereka (orang-lain itu) dari tindakan yang hanya melukai diri mereka sendiri.

Mill diam-diam mengakui bahwa prinsip diatas adalah layak-diterima secara akal-sehat, dapat diterapkan hanya kepada orang-dewasa, yaitu setiap warga yang bertanggung-jawab dalam suatu masyarakat-beradab, namun tidak kepada anak-anak atau orang-gila atau bahkan pasti tidak-layak untuk diterapkan kepada orang-orang primitif yang tidak-mampu melakukan penilaian tentang hakikat-kebaikan mereka-sendiri.

Ia dengan yakin menyatakan menolak daya-tarik-apapun dari hak-hak abstrak sebagai sebuah dasar bagi prinsip diatas, tetapi melandaskan prinsip itu hanya kepada "kemanfaatan dalam pengertian terbesar, berdasar pada kepentingan-permanen pada seorang manusia sebagai mahluk yang progresif."

Perhatikan posisi pra-pendapat (pre-suposisi) diatas, bahwa kita membedakan antara perilaku yang menimbang-orang-lain, yang mungkin-dapat dibenarkan untuk diatur, dan perilaku yang murni menimbang-diri-sendiri yang tidak-mungkin dapat diatur.

Jika pra-pendapat (pre-suposisi) itu berubah menjadi sebuah perbedaan yang salah (tidak-ada perbedaan), maka teori dari Mill dapat runtuh.

Pada setiap tingkatan, ia menyuarakan paling tidak 3 wilayah kehidupan-sosial dimana kebebasan seorang warga harus "mutlak dan tidak-dapat dikualifikasikan".
(a) Wilayah kebebasan berpikir dan berekpresi.
(b) Wilayah kebebasan menjalani gaya-hidup personal.
(c) Wilayah kebebasan memilih untuk mengasosiasikan diri dengan orang-lain, selama itu untuk tujuan damai.

Mill tampak yakin bahwa "kemanfaatan" selalu membutuhkan bahwa dalam wilayah-wilayah diatas kebebasan harus dilindungi.(ibid., pp. 135-138).

Dengan kata lain, dalam pandangan utilitarian-liberal, dalam suatu masyarakat-beradab akan selalu tidak-adil bagi seorang individual atau satu kelompok-sosial, dengan sengaja mencampuri suatu tindakan seseorang yang rasional dan bertanggung-jawab dengan kombinasi-apapun dalam wilayah-wilayah itu.

Sekarang mari kita lihat, bagaimana Mill menerapkan teori utilitarian-nya pada 3 persoalan tentang keadilan yang tetap relevan hingga saat ini.

Pertama-tama, soal hukuman adalah salah satu yang ditelaah olehnya dalam utilitarianisme, meski pembahasannya tertuju pada tinjauan penjelasan-alternatif daripada mengatakan kesimpulan-apa yang dipikirkan olehnya (kita juga dapat meneliti bahwa, dalam bagian bab pendek, Mill menyerang teori kontrak-sosial sebagai suatu fiksi yang tak-berguna) (ibid., pp. 311-313).

Sebagai seorang utilitarian, ia lebih tertarik kepada penggunaan hukuman yang rasional dan penilaian yang baik (bijaksana) untuk mencegah aktivitas kriminal.

Ia meyakini kemanfaatan/keadilan dalam pembelaan-diri dan melihat hak untuk menghukum berlabuh disana.

Pada tahun 1868, sebagai anggota Parlemen terpilih, Mill memberi sebuah pidato terkenal di the House of Commons yang mendukung hukuman-mati diatas dasar-dasar utilitarian.

Meskipun jelas bahwa sepertinya ia akan bersedia mendukung suatu rancangan undang-undang untuk pengampunan (penghapusan-hukuman), masyarakat yang berdasar hukum, sebuah kondisi yang harus ada dalam masyarakat yang sejahtera, membutuhkan sarana untuk pencegahan kriminal yang paling-kejam, seperti pembunuhan. Ia bahkan berpikir, hukuman-mati merupakan hukuman yang lebih cepat dan manusiawi daripada memasukan seseorang ke dalam penjara sepanjang hidupnya.

Mill benar-benar khawatir terhadap kemungkinan eksekusi hukuman kepada orang yang tidak-bersalah, namun ia berpikir merubah sebuah sistem-hukum dengan hati-hati dapat menyebabkan bahaya itu menjadi "sangat-jarang".(“Punishment,” pp. 266-272)

Oleh karenanya teori utilitariannya memberinya suatu dasar bagi dukungan kepada hukuman-mati sebagai dapat dibenarkan secara moral.

Penerapan yang kedua teori utilitarian dari Mill mengenai keadilan yang dikenal adalah kepada soal kesetaraan kesempatan bagi wanita.

Dalam peragraf paling awal tentang "The Subject of Women", Mill tetap mempertahankan pendapat bahwa "prinsip yang mengatur relasi-relasi sosial yang ada antara dua-jenis kelamin ---subordinasi-legal dari satu-jenis-kelamin kepada jenis-kelamin lainnya--- adalah salah dalam dirinya, dan sekarang salah satu penghindaran-utama pada kemajuan manusia. Dan prinsip itu harus diganti dengan sebuah prinsip kesetaraan-sempurna, yang mengakui tidak-adanya kekuasaan atau hak-hak-khusus pada salah-satu jenis-kelamin, tidak-ada juga ketidak-mampuan pada sisi yang lainnya."

Sehingga ia tidak menyeru kepada perlakuan-preferensial untuk "tindakan-persetujuan (affirmative-action)" namun hanya demi kesempatan-yang-sama. Tidak seperti para-feminis kontemporer, Mill tidak tertarik pada hak-asasi-manusia pada perempuan sebagai penalarannya, namun hanya untuk memaksimalkan "kebahagiaan-manusia" dan kebebasan "yang menjadikan hidup dapat bernilai" (Subjection, pp. 1, 26, 101).

Disini kembali, kita menghadapi sebuah masalah keadilan-sosial yang terhadapnya teori utilitariannya diterapkan, menciptakan kesimpulan-kesimpulan-kesimpulan yang liberal.

Soal terapan ketiga kita adalah tentang non-intervensi-internasional.

Prinsip umum Mill disini adalah penggunaan-kekuatan terhadap yang lain adalah penyebab-utama ketidak-adilan. Meskipun perang untuk mempertahankan diri dapat dibenarkan, sedang perang-yang-agresif adalah tidak dapat dibenarkan.

Dapat dibenarkan berperang tanpa diserang atau tanpa menerima serangan langsung, sebagai contoh untuk membantu suatu masyarakat barbar, atau yang semacam itu, yang diduga tidak memiliki hak-hak.

Dapat dibenarkan untuk menyelamatkan subjek populasi dari tekanan pemerintah (“Non-Intervention,” pp. 376-383).

Semua itu dapat dianggap suatu fungsi dari kesejahteraan-utilitarian. Sekali lagi, masalah moral yang tetap ada sepanjang waktu telah dibahas menggunakan teori keadilan utilitarian.

Penerapan-penerapan itu, semuanya tampak menggunakan nilai-nilai dan penalaran utiltarianisme dengan benar, yang dengan hakekat-sifat-alamiahnya, pastilah bersifat konsekuensialis.

Dari sudut-pandang itu, pendekatan pencegahan melalui hukuman, termasuk hukuman-mati, tampak cukup-memadai seperti yang dilakukan seruan Mill tentang kesamaan-kesempatan bagi wanita dan ukuran posisi intervensionisme-internasional.

Pastilah, kehormatan paling tinggi yang ia tempatkan untuk kebahagiaan-manusia adalah mengagumkan, sebagai sudut-pandang universalnya yang memandang semua manusia diperhitungkan.

Persoalan ada pada asumsi-asumsinya bahwa semua-nilai adalah relatif terhadap konsekuensi-konsekuensi, bahwa kebahagiaan-manusia adalah kebaikan-tertinggi, dan bahwa ini direduksi kepada memaksimalkan-rasa-senang dan meminimalkan-rasa-sakit.

Kesimpulan akhir dari posisi ini adalah bahwa secara prinsip, tidak ada yang terlarang secara kategoris, bahwa dengan tujuan-tujuan yang dinginkan, sarana apapun yang dipakai untuk mencapainya dapat dibenarkan.

Jika kita sungguh percaya bahwa tidak-ada konflik antara "keadilan-dan-kemanfaatan" yang benar-benar murni karena keadilan hanyalah bagian paling-penting dari kemanfaatan, kemudian aturan-aturan keadilan dapat direduksi menjadi hitungan-hitungan berdasar apa yang secara umum kondisif kepada kebahagiaan-terbesar bagi sebanyak mungkin orang ---hanya generalisasi induktif yang harus membolehkan pengecualian-pengecualian. Setidaknya ambiguitas pada Mill meninggalkannya terbuka terhadap tafsir ini. Disana tampak menjadi tegangan di dalam pemikiran Mill :

Disatu sisi, ia ingin menghargai kebebasan semua orang-orang yang bertanggung-jawab (beradab) sebagai pelaku/agen rasional, tetapi disisi lain, keterikatannya pada utilitarianisme tampak berada dibawah yang menjunjung tinggi prinsip kebaikan-terbesar bagi jumlah orang terbanyak, yang megijinkan kemungkinan mengorbankan kepentingan-kepentingan dari yamg-sedikit bagi mereka yang banyak.



Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment