Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, February 17, 2017

Sosialisme, Islam, Komunisme dan Pancasila


Pengantar

Selain dokumentasi pribadi, tulisan ini dimaksudkan untuk sekedar menambah sedikit pemahaman sekaligus memetakan perbedaan dan keberkaitan makna 'Sosialisme' yang terkandung dalam istilah yang tersebut pada judul di atas.

Tulisan ini menggunakan sumber pemahaman dan pemikiran pribadi, tulisan yang diambil dari beberapa blog serta sebuah buku seperti yang tersebut di bagian akhir tulisan ini. Tentu tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu jika ditemukan kekurangan adalah suatu kewajaran karena tulisan ini, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah akademis. Untuk itu mohon dimaafkan, tetapi semoga tujuan minimal seperti yang dimaksud pada paragraf pertama dapat dicapai.

Apabila bermaksud memperdalam, akan sangat baik jika ditambah dengan membaca buku, tulisan dan referensi lain yang membahas lebih dalam dan detail mengenai istilah yang tersebut pada judul di atas. Pemahaman yang dalam dan detail akan menghindarkan dari penggunaan istilah yang semena-mena dan kurang pas dengan apa yang dimaksud. Lebih lagi hal itu bisa membantu menangkap makna dengan lebih jelas dan tepat sekaligus mengungkap makna sesungguhnya yang seringkali tersembunyi dibalik sederet kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh seseorang. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.


Sosialisme

Secara etimologi, 'Socialis' adalah kata sifat yang berasal dari bahasa latin 'Socius' sebuah kata benda yang berarti sahabat, teman atau sekutu. Kata 'Socialis' secara makna digunakan untuk mendeskripsikan suatu ikatan, hubungan, relasi atau interaksi yang mempunyai nilai persahabatan atau pertemanan atau paling tidak sebuah hubungan kemanusiaan yang beradab. Suatu hubungan yang dijiwai oleh nilai-nilai kemuliaan secara bersama bagi subjek yang saling menjalin hubungan seperti persaudaraan, persamaan derajat, saling menghargai, saling membantu, saling menolong, saling setia, saling peduli, saling mendukung, saling menghibur, serta saling berbagi nilai kebaikan lainnya. Pengertian 'Socialis' menekankan adanya kebersamaan pada hubungan dan antara subjek yang saling berhubungan dengan tujuan mencapai kebaikan bersama, yang biasanya, secara implisit juga mengandung makna kerja sama, perjuangan bersama demi mewujudkan cita-cita bersama. Secara umum, 'Socialism' atau 'Sosialisme'  berarti suatu ide, gagasan atau pemikiran yang mengutamakan kebersamaan dalam hubungan yang beradab antar sesama manusia untuk mencapai kebaikan hidup bersama yang mengangkat harkat martabat kemanusiaan.

Sosialisme sebagai gagasan didasarkan pada pandangan filosofi bahwa hakekat manusia selain mahluk individu adalah mahluk sosial dan bersifat sosial. Mahluk yang membutuhkan teman, membutuhkan sahabat, membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, bertahan hidup, menjalani  dan melalui kehidupan di dunia ini. Manusia adalah mahluk yang mustahil hidup sendiri dan secara kodrat terikat dalam hubungan dengan manusia dan mahluk lain. Gagasan Sosialisme muncul dari kehendak manusia yang paling dasar yaitu menciptakan dunia dan kehidupan bersama yang lebih baik sekaligus melepaskan diri dari segala penderitaan dan keburukan yang mengancam kehidupannya. Oleh karena itu, gagasan Sosialisme mencita-citakan dunia dan tatanan ideal yang didalamnya manusia dapat menjalani kehidupan bersama dengan harmoni, damai, bahagia, tidak saling menyakiti, tercukupi secara materi, tidak saling menghisap, tidak saling menindas, sejahtera, makmur dan berkeadilan. Dengan singkat, Sosialisme merupakan gagasan yang bercita-cita mewujudkan kehidupan ideal bersama dalam dunia dengan segala keterbatasannya.

Sebagai sebuah pemikiran, paham, gerakan dan istilah dalam ilmu sosial dan humaniora, Sosialisme muncul dari masyarakat yang hidup di belahan dunia barat. Suatu reaksi manusiawi terhadap kondisi masyarakat yang penuh ketidakadilan. Sebuah kondisi dengan tatanan sosial kapitalis, liberalis yang cenderung menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan persaingan bebas dengan mengabaikan kepentingan bersama. Keadaan yang pada akhirnya mendorong dan memaksa manusia menjadi saling menindas dan menghisap demi kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi yang pada akhirnya merendahkan martabat kemanusiaannya sendiri.

Adanya kepemilikan pribadi atas modal dan alat-alat produksi menyebabkan masyarakat mengalami ketidakadilan materi, kesenjangan ekonomi yang besar, ketimpangan status sosial majikan dan buruh yang selanjutnya mengakibatkan berbagai keburukan sosial lainnya. Ketidakadilan materi yang langsung terlihat jelas dan dirasakan nyata dipandang sebagai sumber kesengsaraan dan penderitaan manusia, secara alami membangkitan kehendak untuk melakukan perubahan kearah keadaan yang lebih baik yaitu kehidupan bersama yang mengangkat martabat kemanusiaan dengan sejahtera dan berkeadilan. Sebuah keadaan yang menurut para pemikirnya dapat dicapai dengan menciptakan keadilan materi dengan cara menghilangkan penguasaan pribadi atas modal dan alat-alat produksi. Pandangan yang kemudian dikenal sebagai 'Sosialisme Barat' tetapi sering kali hanya disebut 'Sosialisme' saja dengan ciri bersifat materialistik.

Meskipun sebagai praktek kehidupan telah dilakukan beberapa abad yang silam, istilah Sosialisme mulai digunakan oleh masyarakat belahan dunia barat sejak awal abad ke-19. Pada tahun 1827, istilah ini awalnya digunakan untuk menyebut pengikut Robert Owen (1771-1858) di Inggris. Istilah ini juga mengacu pada para pengikut Saint Simon (1760-1825) di Perancis. Bersama Fourier (1772-1832) dari Perancis, Robert Owen dan Saint Simon membuat rumusan sebuah pemikiran mengenai Sosialisme.


Sosialisme Islam

Sosialisme Islam dapat dipandang sebagai salah satu yang merepresentasikan gagasan Sosialisme dari masyarakat yang hidup di wilayah belahan dunia timur. Sosialisme yang digali dan bersumber pada nilai-nilai ajaran agama atau spiritual yang khas dan kental mewarnai kehidupan dan peradaban masyarakat dunia belahan timur. Sosialisme yang tidak hanya dipahami secara materialistik tetapi juga dilengkapi dengan nilai-nilai kebaikan batiniah yang berkaitan erat dengan keyakinan kepada Tuhan serta keyakinan akan dunia dan kehidupan setelah kematian. Sosialisme yang bermaksud membawa manusia pada keselamatan dunia dan akhirat secara bersama.

Pengertian Sosialisme Islam dapat dipahami dengan baik melalui pemikiran kaum terpelajar dan para pemimpin pergerakan yang telah melakukan usaha-usaha pemahaman dalam kerangka menyiapkan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara serta membangkitkan rasa persatuan dan semangat perjuangan untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan. HOS Tjokroaminoto adalah salah seorang diantaranya, Dia berpendapat sebagai berikut:

“Bagi kita, orang Islam, tak ada Sosialisme atau rupa-rupa 'isme' lain-lainnya, yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan Sosialisme yang berdasar Islam itulah saja”

Pada tahun 1924 di Mataram (Solo), HOS Tjokroaminoto seorang pendiri dan sekaligus ketua organisasi Sarekat Islam (SI) menulis buku 'Islam dan Sosialisme'. Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya Sosialisme, Islamisme, Kapitalisme dan Liberalisme. Meskipun merupakan pemikiran lama, gagasan ini menjadi penting bagi generasi berikutnya untuk memberikan inspirasi bagi pemikiran-pemikiran kedepan, pemikiran-pemikiran mendasar, untuk membangun fondasi kokoh bagi kemajuan Indonesia. Memuat tentang pemahaman arti Sosialisme, Sosialisme dalam Islam, Sosialisme Nabi Muhammad serta sahabat-sahabat nabi yang berjiwa sosialis dan komparasi-komparasi Sosialisme ala Barat dengan Sosialisme ala Islam. Diantara bab yang menarik untuk di bahas adalah “Sosialisme Dalam Islam” Bab I hal 24 – 41 (Penerbit TriDe). Berikut ini petikan dari buku Sosialisme dalam Islam.


Dasarnya Sosialisme Islam 

“Kaanannasu ummatan wahidatan” 
"Peri-kemanusiaan adalah menjadi satu persatuan”
Begitulah pengajaran di dalam Qur’an yang suci itu, yang menjadi pokoknya sosialisme. Kalau segenap peri-kemanusiaan kita anggap menjadi satu persatuan, tak boleh tidak wajiblah kita berusaha akan mencapai keselamatan bagi mereka semuanya.

Ada lagi satu sabda Allah di dalam Al Qur’an memerintahkan kepada kita, bahwa kita :
“harus membikin perdamaian (keselamatan) diantara kita”

Lebih jauh di dalam al Qur’an ada dinyatakan, bahwa :
“kita ini telah dijadikan dari seorang-orang laki-laki dan seorang-orang perempuan” dan
“bahwa Tuhan telah memisah-misahkan kita menjadi golongan-golongan dan suku-suku, agar supaya kita mengetahui satu sama lain”

Nabi kita Muhammad s.a.w. telah bersabda, bahwa :
“Tuhan telah menghilangkan kecongkakan dan kesombongan di atas asal turunan yang tinggi. Seorang Arab tidak mempunyai ketinggian atau kebesaran yang melebihi seorang asing, melainkan barang apa yang telah yakin bagi dia karena takut dan baktinya kepada Tuhan”

Bersabda pula Nabi kita s.a.w. bahwa :
“Allah itu hanyalah satu saja, dan asalnya sekalian manusia itu hanyalah satu, mereka ampunnya agama hanyalah satu juga”

Berasalan sabda Tuhan dan sabda Nabi yang saya tirukan ini, maka nyatalah, bahwa sekalian anak Adam itu ialah anggotanya satu badan yang beraturan (organich lichaam), karena mereka itu telah dijadikan dari pada satu asal. Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka kesakitannya itu menjadikan rusak teraturnya segenap badan (organisme).

Barang apa yang telah saya uraikan ini, adalah saya pandang menjadi pokoknya sosialisme yang sejati, yaitu sosialisme cara Islam (bukan sosialisme cara Barat). 

Akan menunjukkan, bahwa agama Islam itu sungguh-sungguh menuju perdamaian dan keselamatan, maka di dalam bab ini baiklah saya uraikan maknanya perkataan “Islam”. Adapun makna ini adalah empat rupa :

1. Islam menurut pokok kata “Aslama” 
maknanya: menurut kepada Allah dan kepada utusannya dan kepada pemerintahan yang dijadikan dari pada umat Islam.
“Ya ayyuhalladzina amanu athi’ulloha wa’athi urrosula waulilamri minkum”

2. Islam menurut pokok kata “Salima” 
maknanya: selamat. Tegasnya: apabila orang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah agama Islam, maka tak boleh tidak ia akan mendapat keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat, karena orang Islam itu harus bertabi’at selamat, begitulah menurut hadist sabda Nabi kita yang suci Mohammad s.a.w.
“Afdhalul mukminina islaman man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi”
artinya: orang mukmin yang teranggap utama dalam pada menjalankan agama Islam, ialah mereka yang mempunyai tabi’at selamat yang menyelamatkan sekalian orang Islam, karena dari pada bicaranya dan tangannya.

3. Islam, menurut pokok-kata “Salmi” 
maknanya: rukun. Tegasnya: orang yang menjalankan agama Islam haruslah rukun.
"An aqimuddina wala tatafarraq fiha”
artinya: Hendaklah (kamu) mendirikan agama (Islam) dan janganlah (kamu) sama berselisihan.

4. Islam, menurut pokok-kata “Sulami”
maknanya: tangga, ialah tangga atau tingkat-tingkat untuk mencapai keluruhan dunia dan keluruhan akhirat. Jikalau orang Islam dengan sungguh-usngguh menjalankakn agamanya, maka tak boleh tidak mereka akan mencapai derajat yang tinggi sebagai yang telah di jalankan oleh khulafaurrasyidin.


Dasarnya Perintah-perintah Agama yang Bersifat Sosialistich 

Dalam pada mengarangkan perintah-perintah yang berhubungan dengan jalannya ibadah, maka Nabi kita Muhammad s.a.w., ialah pengubah terbesar tentang hal-ikhwal pergaulan hidup manusia bersama (Sociale Hervormer) yang terkenal oleh dunia, tiadalah melupakan asas-asas demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan dan juga asas-asas sosialisme.

Menurut perintah-perintah agama yang telah ditetapkan oleh Nabi kita, maka sekalian orang Islam, kaya dan miskin, dari rupa-rupa bangsa dan warna kulit, pada tiap-tiap hari Jum’at haruslah datang berkumpul di dalam masjid dan menjalankan shalat dengan tidak mengadakan perbedaan sedikitpun juga tentang tempat dan derajat, di bawah pimpinannya tiap-tiap orang yang dipilih di dalam perkumpulan itu. Dua kali dalam tiap-tiap tahun sekalian penduduknya satu kota atau tempat, datanglah berkumpul akan menjalankan shalat dan berjabatan tangan serta berangkul-rangkulan satu sama lain dengan rasa persaudaraannya. Dan akhirnya tiap-tiap orang Islam diwajibkan satu kali di dalam hidupnya akan mengunjungi Mekah pada waktu yang telah ditentukan, bersama dengan berpuluhdan beratus ribu saaudaranya Islam.

Di dalam kumpulan besar ini, beribuan mereka yang datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan disatu tempat pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana, buka kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah derajatnya dari rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna kulitnya; kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu pertunjukan sosialme cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan” dan “persaudaraan”. Di dalam kumpulan ini tidak menampak perbedaan sedikitpun juga diantara seorang raja dengan hambanya. Hal inilah bukan saja menanam tetapi juga melakukan (mempraktekkan) perasaan, bahwa segala manusia itu termasuk bilangannya satu persatuan dan diwajibkan kepada mereka itu akan berlaku satu sama lain dengan persamaan yang sempurna sebagai anggota-anggotanya satu persaudaraan.

Kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini bukan saja menunjukkan persamaan harga dan persamaan derajat diantara orang dengan orang, tetapi juga menunjukkan persatuan maksud dan tujuan pada jalannya segenap peri-kemanusiaan. Berpuluh ribu orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, datang di lautan pasir itu dengan segala kemudaratan di dalam perjalannya, hanyalah dengan satu maksud yaitu akan menunjukkan kehormatan dan kepujiannya kepada satu Allah, yang meskipun mereka bisa mendapatkan dimana-mana tempat dan pada tiap-tiap saat, tetapi kecintaan mereka kepada Allah itu diperumumkan di dalam satu kumpulan bersama-sama sebagai Tuhan mereka bersama, ialah Tuhan yang mencinta mereka semuanya –Rabbil ‘alamin. Cita-cita yang terlahir di dalam kumpulan besar ini ialah guna menunjukkan pada waktu yang bersama akan keadaan lahir yang membuktikan persaudaraan bersama dan rasa cinta-mencinta di dalam batin, agar supaya di dalam rohnya tiap-tiap orang Islam tertanamlah cita-cita bersal dari satu Tuhan dan cita-cita persaudaraan diantara manusia dengan manusia.

Sosialisme di dalam Islam bukan saja diajarkan sebagai teori, tetapi dilakukan (dipraktikkan) juga sebagai wajib.


Kedermawanan Cara Islam 

Nabi kita menyuruh kita berlaku dermawan dengan asas-asas yang bersifat sosialis. Sedang Quran berulang-ulang menyatakan, bahwa memberi sedekah itu bukannya bersifat kebajikan, tetapi bersifat satu wajib yang keras dan tidak boleh dilalaikannya. Kecuali yang lain-lainnya, maka tentang pemberian sedekah itu Allah ta’ala ada bersabda di dalam Quran beginilah maksudnya :
“Kamu tidak pernah akan dapat mencapai keadilan, kecuali apabila kamu telah memberikan daripada apa yang kamu cintai; dan Tuhan mengetahui apa yang kamu berikan itu”

 Di satu tempat yang lain, Allah ta’ala bersabda di dalam Quran begini maksudnya :
“Barang siapa memberi sedekah dari pada kekayannya, guna membuat lebih suci dirinya. Dan tidak supaya kebajikannya akan diberi upahan. Tetapi barang siapa memberikan kekayannya untuk keperluan perkaranya dia punya Tuhan, yaitu Tuhan yang Maha luhur. Dan kemudiannya tidak boleh tidak dia akan bersenang dengan dia punya upahan”

Masih ada lagi lain-lain perintah Tuhan yang mewajibkan kita memberi sedekah dari pada kekayaan kita. Satu dua sabda Nabi kita, yang menunjukkan sifat sosialis yang terkandung di dalam aturan pemberian sedekah, adalah seperti yang berikut :
“Sekalian makhluk Tuhan adalah Tuhan ampunnya keluarga dan ialah yang sangat berbakti (percaya) kepada Tuhan yaitu barang siapa berusaha berbuat sebanyak-banyaknya kebajikan kepada makhluk Tuhan”
“Memberi sedekah adalah satu wajib bagi kamu. Sedekah hendaklah diberikan oleh orang kaya diberikan kepada orang miskin”
“Siapakah yang sangat dikasihi oleh Tuhan? Yaitu barang siapa mendatangkan sebesar-besarnya kebaikan bagi makhluk Tuhan”

Sepanjang pengetahuan saya, maka hanyalah Nabi kita itu saja pemberi wet yang telah menetapkan ukuran besar-kecilnya kedermawanan yang berupa sedekah. Sepanjang kemauan Islam maka sedekah ada dua macamnya, yaitu sedekah yang bergantung dari kemauannya pemberi, dan sedekah yang diwajibkan, ialah zakat namanya. Menurut perintah Tuhan di dalam Al Qur’an maka zakat haruslah diberikan kepada delapan golongan manusia:
1. Orang-orang fakir; 
2. Orang-orang miskin; 
3. ‘Amil, yaitu orang-orang yang diserahi pekerjaan mengumpulkan dan membagi zakat; 
4. Mu’amalah kulubuhum (mereka yang hatinya harus dilembekkan akan menurut kepada agama Islam), yakni orang-orang yang meskipun sudah masuk agama Islam, tetapi kerajinannya kepada agama masih lembek, atau orang-orang ternama yang boleh melakukan pengaruh di atas masuknya lain-lain orang kepada agama Islam; 
5. Buat membeli lepas orang-orang budak belian. 
6. Orang-orang berhutang yang tidak berkuasa membayar hutang itu, yakni hutang untuk keperluan ke-islaman; 
7. Orang-orang yang melakukan perbuatan untuk memajukan agama Tuhan dan 
8. Orang-orang bepergian, yang tidak akan dapat menyampaikan maksud perginya kalau tidak dengan pertolongannya sesama orang Islam. 

Adapun besarnya zakat adalah ditentukan sekian, sehingga apabila segenap peri-kemanusiaan menurut hukum Islam tentang zakat, ditambah pula dengan kedermawanan yang lain-lainnya sebagai yang dikehendaki oleh Islam, maka di dunia kita akan datanglah peri-keadaan sosialisme, peri-keadaan sama rata sama rasa, ialah peri-keadaan selamat.

Maksudnya melakukan perintah tentang kedermawanan di dalam wet Islam, ternyata ada tiga rupa, yang mana masing-masing sama mempunyai dasar sosialis.

1. Akan membangun rasa ridha mengorbankan diri dan rasa melebihkan keperluan umum dari pada keperluan diri sendiri. “Lebih baik mati sendiri, tetapi janganlah membiarkan lain orang mati karena kelaparan”, –inilah rupanya yang telah menjadi pokoknya cita-cita. 
2. Akan membahagi kekayaan sama-rata di dalam dunia Islam. Dengan lantaran menjadikan peberian zakat sebagai salah satu rukun Islam, adalah dikehendaki; supaya umpamanya ada orang mendapat tinggalan warisan harta-benda yang besar, orang-orang yang miskin dan kekurangan akan mendapat bahagian dari pada kekayaan itu. 
3. Akan menuntun persaan orang, supaya tidak anggap kemiskinan itu satu kehinaan, supaya orang anggap kemiskinan itu ada lebih baik dari pada kejahatan. Sekalian orang suci dalam Islam sukalah menjadi miskin, sedang kita punya Nabi yang mulia itu sendiri telah berkata: “Kemiskinan itu menjadikan besar hati saya”. (Al Fakir fakhri). 

Dasar sosialistik yang tersebut ketiga ini perlu sekali ditanamkan dalam hati orang dalam pergaulan hidup bersama antara bangsa Arab pada zaman dulu, karena banyaklah diantara mereka yang congkak di atas asal-turunan dan peri-keadaan yang asal dari nenek moyangnya, tetapi lebih perlu pula sekarang ini ditanamkan dalam hatinya orang-orang bangsawan dan hartawan dalam pergaulan hidup bersama pada zaman sekarang.


Persaudaraan Islam 

Islam adalah sebenar-benarnya satu agama yang bersifat demokratis dan telah menetapkan beberapa banyak hukum yang bersifat demokratis bagi orang-orang yang memeluk dia. Islam menentukan persaudaraan yang harus dilakukan benar-benar diantara orang-orang Islam di negeri yang mana pun juga, baik yang berkulit merah ataupun berkulit kuning, berkulit putih atau hitam, yang kaya atau yang miskin. Persaudaraan Islam sangatlah elok dan indah sifatnya. Ia dapat menghilangkan permusuhan yang asal dari turun-turunan yang sudah berabad lamanya; orang asing dijadikannya sahabat karib dan persahabatannya itu lebih kuat dari pada perhubungan saudara yang asal dari darah.

Persaudaraan Islam sampai pada tingkat yang tinggi sekali, yaitu terbukti: sepeninggalnya Nabi Muhammad s.a.w. pimpinan Republik Arab tidak diberikan kepada kaluarganya yang terdekat dan tercinta, tetapi diberikan kepada salah seorang sahabatnya. Islam telah menghapuskan perbedaan karena bangsa dan karena kulit sampai begitu luasnya, sehingga beberapa orang Abyssine yang “hitam kulitnya” telah menjadi pemimpin yang sangat terhormat diantara orang-orang Islam, sedang tiga orang anggota yang sangat ternama dari pada pergaulan hidup Islam bersama –yaitu Hasan, Bilal dan Suhail masing-masing berasal dari Basrah, Habash, (Abyssine) dan Rum (Tuki di Azie) –ketiganya ini berbeda-beda juga warna kulitnya. Islam membunuh perbedaan karena kaste dan karena klas begitu sempurna, sehingga orang-orang budak belian telah dijadikan komandan dari bala-tentara Islam memerintah di atas orang-orang dari asal turunan yang tinggi dan tinggi pula derajatnya. Perkawinan antara budak belian dengan orang merdeka yang ternama dirayakan dengan seharusnya, dan anak-anak yang terlahir dari pada mereka dihormat satu rupa juga sebagai anak-anak turunan bangsawan.

Hingga pada dewasa ini di tanah Arab adalah berlaku persamaan yang sempurna antara orang dengan orang, dan seorang penuntun unta, seorang saudagar kaya dan seorang yang mempunyai tanah, makan dan minum dan hidup bersama-sama dengan tidak ada perbedaannya. Bahkan di Hindia, di dalam negeri Islam Bopal, orang-orang budak makan di meja bersama-sama dengan tuannya. Meskipun Nabi kta s.a.w. pada zamannya tidak atau tidak bisa menghapuskan aturan budak belian—(kaum miskin, kaum proletar, dalam abad ke 20 ini pun nasibnya tidak lebih baik dan tidak lebih menyenangkan dari pada nasibnya orang-orang budak belian di negeri Islam), tetapi Nabi kita, ialah Pengubah dunia yang terbesar, telah membeli tusukan yang terkeras kepada aturan budak belian, yaitu dengan lantaran derajatnya budak belian disamakannya dengan derajatnya orang merdeka. Diperintahkan oleh Nabi kita, supaya orang-orang budak belian diberi makanan satu rupa yang dimakan oleh tuannya, diberi pakaian satu rupa yang dipakai oleh tuannya. Orang merdeka diperkenankan berkawin sama budak belian, dan orang-orang budak belian mendapat persamaan hak dan persamaan perikeadaan dalam hukum dengan orang-orang merdeka.

Di Hindustan adalah beberapa raja pada dulu-kala yang asal turunan dari orang-orang budak belian. Diantara yang lain-lainnya, maka raja Kutubuddin yang ketika masih anak-anak menjadi budak belian, telah memerintahkan negeri yang amat besar dengan segala kebijaksanaan. Beberapa orang dari pada raja-raja yang tersebut itu, ialah pemimpin yang sangat bijaknya dan mashur karena tinggi pelajarannya.

Menara Kutub Minar di kota Delhi (Hindustan), yang didirikan oleh raja yang pertama-tama asal budak belian di Hindustan pada permulaan abad yang ke 13, sekarang ini masih berdiri sebagai protes terhadap kepada pengarang-pengarang bangsa Eropa yang dengan buta-tulinya senantiasa membusuk-busukkan aturan budak belian Muslim. Kutub Minar itulah satu tanda peringatan yang gagah menunjukkan betapa besar jasanya Islam kepada orang-orang budak Islam.


Islam dan Anasir-anasir Sosialisme 

Menurut pendapatan saya di dalam faham sosialisme adalah tiga anasir, yaitu: kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Ketiganya anasir ini adalah dimasukkan sebanyak-banyaknya di dalam peraturan-peraturan Islam dan di dalam perikatan hidup bersama yang telah dijadikan oleh Nabi kita yang suci Muhammad s.a.w.

a. Kemerdekaan 
Tiap-tiap orang Islam tidak harus takut kepada siapa atau apa pun juga, melainkan diwajibkan takut kepada Allah saja. “Lahaula wala kuwwata illa billah” (Tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan sendiri yang kita mintai pertolongan). Beberapa orang Arab, yang tidak biasa tinggal berumah yang tetap, belum pernah melihat rumah batu, yang dulu dengan pakaiannya yang buruk dikirimkan menghadap raja-raja Persi dan Roma yang berkuasa, meskipun raja-raja ini mempertunjukkan kekuasaan dan kebesarannya, orang-orang Arab tadi tiadalah menundukkan badannya dan kelihatan tidak bertakut sedikit pun juga di mukanya raja-raja tadi. Sesungguhnya di dunia ini tidak ada barang sesuatu yang menakutkan mereka. Mereka merasa tidak menanggung jawab kepada apa pun juga, melainkan kepada mereka ampunya persaan batin sendiri, kepada mereka ampunya Allah yang Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Tinggi. Mereka itu merdekalah seperti hawa dan merasakan seluas-luasnya kemerdekaan yang orang dapat memikirkannya. Quran yang suci menyatakan: “Kemurahan, yang Tuhan akan mengaruniakan sebanyak-banyak kepada manusia, tiadalah dapat dicegahkan oleh siapa pun juga; barang apa yang Tuhan mempertegahkan, tiadalah dapat dikaruniakan kepada manusia kalau tidak dengan perantaraan Tuhan, dan Dialah yang kuasa dan berpengetahuan.” (Surah XXXV). 

b. Persamaan 
Tentang “persamaan” maka orang-orang Muslimin dalam zaman dulu bukan saja semua anggap dirinya sama, tetapi mereka semua anggap menjadi satu. Diantara orang-orang Muslimin tidak ada sesuatu perbedaan yang mana pun juga macamnya. Dalam pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab yang boleh menimbulkan perbedaan klas. Tentang hal ini Khalifah Sayidina Umar r.a. adalah sangat kerasnya. Salah satu suratnya menceritakan satu perkara yang menunjukkan asas-asasnya dengan seterang-terangnya. Kecuali yang lain-lainnya maka ia telah menulis kepada Abu Ubaidah, yang salinannya kurang lebih begini:

"Begitulah bicara saya disebabkan oleh Jabalah Ibn Ayhim dari suku bangsa Gassan, yang datang pad kita dengan sanak saudaranya dan kepala dari suku bangsanya, yang saya terima dan saya jamu dengan sepatutnya. Di muka saya mereka menyatakan pengakuan memeluk agama yang benar, sayapun bermuka-cita bahwa “Allah telah menguatkan agama yang hak dan bertambah banyak orang yang memeluknya, lantaran mereka itu datang masuk dan mengetahui apa yang ada di dalam rahasia. Kita bersama pergi ziarah ke Mekkah, dan Jabalah pergi mengelilingi ka’bah tujuh kali. Ketika ia pergi keliling, maka kejadianlah ada seorang laki-laki dari suku bangsa Fizarah menginjak dia punya vest hingga jatuh dari pundaknya. Jabalah membelukkan diri sambil berkata: “Celakalah kamu! Kamu telah menelanjangkan belakangku di dalam ka’bah yang suci”. Si penginjak bersumpah, bahwa ia berbuat yang demikian itu tidak dengan sengaja. Tetapi lalu dipukul oleh Jabalah, dipecahkan hidungnya dan dicabut empat giginya yang sebelah muka. Si miskin yang teraniaya segeralah datang pada saya dan mengadukan keberatannya sambil meminta pertolongan saya. Maka saya perintahkan membawa Jabalah di muka saya, dan saya tanya apakah yang menyebabkan padanya telah memukul saudaranya Islam dengan cara yang demikian ini, mencabut gigi dan memecahkan hidungnya. Ia pun menjawab, bahwa orang tadi telah menginjak vest dan menelanjangkan belakangnya, dengan ditambah perkataan: kalau tidak mengingat hormat yang ia harus tunjukkan kepada ka’bah yang suci, niscaya orang itu telah dibunuh olehnya. Saya pun menjawab, bahwa ia telah melahirkan pengakuan yang terang memberatkan dirinya sendiri; dan apabila orang yang menanggung kerugian itu tidak memberi ampun padanya, saya mesti menuntut perkara padanya selaku pembalasan. Ia menjawab, bahwa ia raja dan orang yang lainnya itu orang tani”. Saya menyatakan padanya, bahwa hal itu tidak dapat diperdulikan, mereka keduanya adalah orang Islam dan oleh karenanya mereka bersamaanlah adanya. Sesudahnya itu ia minta, supaya dia punya hukuman dipertangguhkan sampai keesokan harinya. Saya menanya kepada orang yang mendapat kerugian, apakah ia suka menunggu selama itu; iapun melahirkan mufakatnya. Tetapi pada waktu malam Jabalah dan teman-temannya sama melarikan dirinya”

Gibbon, seorang pengarang riwayat bangsa Inggris yang terkenal namanya (meninggalkan dunia dalam tahun 1794) telah berkata yang salinannya kurang lebih begini:

“Tetapi berjuta orang Afrika dan Asia yang sama berganti agama (memeluk agama Islam-pen) dan sama menguatkan tali ikatannya orang-orang Arab yang percaya (beragama Islam.—pen); mereka telah menyatakan kepercayaannya kepada satu Allah dan kepada utusan Allah, itulah niscaya dari sebab tertarik oleh barang yang indah, tetapi dari sebab dipaksanya. Dengan lantaran mengulangi ucapan satu kalimat dan kehilangan sepotong daging, maka orang hamba rakyat atau budak belian, orang hukuman atau penjahat, dalam sekejap mata berdirilah menjadi sahabat yang merdeka dan bersamaan derajatnya yang mengikat dipecahkan, sumpah tidak berkawin dihapuskan oleh pelajaran yang sesuai dengan keadaan ‘alam, kekuatan-kekuatan batin yang tidur di dalam gedung terungku menjadi bangunlah karena mendengar terompetnya orang-orang Arab, dan di dalam mengumpulkan dunia jadi satu, tiap-tiap anggotanya satu pergaulan hidup bersama yang baru itu naiklah sampai kepada muka yang dijadikan oleh ‘alam menurut dia punya kekuatan dan keberanian”. (Tidak dirintangi oleh wet-wet yang memperbedakan bangsa, klas atau warna kulit, seperti yang lumrahnya ada di dalam pergaulan hidup bersama yang bersifat kapitalistik ini. –pen). 

Persamaan yang ‘adil serupa itu telah menyebabkan segenap umat Islam menjadi satu badan, satu nyawa. Cita-cita persamaan yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah seperti berikut:

“Segala orang Islam adalah sebagai satu orang. Apabila seorang-orang merasa sakit dikepalanya, seluruh badannya merasa sakit juga, dan kalau matanya sakit, segenap badannya pun merasa sakit juga”
“Segala orang Islam adalah sebagai satu bina-bina, beberapa bahagian menguatkan bahagian yang lain-lainnya, dengan laku yang demikian itu juga yang satu menguatkan yang lainnya”

Orang Islam tidak memperkenankan juga orang-orang yang tidak Islam membuat perbedaan antara orang dengan orang. Apabila mereka menerima utusan-utusannya raja Kristen, dan ketika utusan itu menurut ‘adat kebiasaannya sendiri berjongkok di mukanya kepala-kepala Muslimin, maka kepala-kepala ini tidak meluluskan utusan tadi berjongkok, sebab mereka itu sama-sama makhluk Tuhan belaka.

c.Persaudaraan 
Persaudaraan diantara orang-orang Islam satu sama lain adalah sangat bagusnya. Rasa cinta diantara mereka itu seperti rasa cinta diantara saudara yang sebenar-benarnya. Di dalam Quran ada sabda Tuhan, menyatakan bahwa Tuhan sendiri menaroh kecintaan dan rasa persaudaraan di dalam hatinya tiap-tiap orang Islam akan mencintai dan merasa bersaudara kepada sesama saudara Islam.
“Dan Tuhan menaruh kecintaan di dalam hati mereka itu. Meskipun kamu (Muhammad) telah memberikan segala apa yang ada di dalam dunia, tiadalah kamu akan dapat menjadikan kecintaan di dalam hati mereka. Tetapi Tuhan telah menjadikan kecintaan diantara mereka itu”
Begitulah sabda Tuhan di dalam Al Quran.

Adalah pula satu dua ayat di dalam Quran, yang maksudnya harus saya buka disini, seperti yang berikut:
“Peganglah kokoh tali Tuhan yang mengikat semuanya, janganlah menimbulkan percerai-beraian, dan ingatlah akan kemurahan Tuhan kepada kamu, ketika Tuhan menaruh kecintaan di dalam hatimu pada kalanya kamu bermusuhan satu sama lain, dan sekarang kamu menjadi saudara karena karunia Tuhan”

Sabda Nabi kita tentang persaudaraan:
“Orang-orang Islam adalah saudara di dalam agama dan tidak boleh tindas-menindas satu sama lain, juga tidak boleh melalaikan tolong-menolong satu sama lain, juga tidak boleh hina menghina satu sama lain”
“Barang siapa tidak bercinta kepada makhluk Tuhan dan kepada anak-anaknya sendiri, Tuhan tidak akan mencintai dia”
“Tidak seorang mempunyai kepercayaan yang sempurna, sebelum ia mengharapkan bagi saudaranya barang apa yang dia mengharap bagi dirinya sendiri”

Cita-cita persaudaraan yang disiarkan oleh Nabi kita muhammad s.a.w. adlah bagitu luasnya, sehingga Nabi kita telah minta kepada orang-orang yang mengikuti dia, hendaklah mereka berlaku di atas dia sebagai saudaranya sendiri.

Kekuatannya perasaan sama-sama dan persaudaraan Islam adalah begitu besar, sehingga Faridduin Attar, seorang Sufi Islam besar, pada suatu waktu telah melahirkan pengharapannya begini:
“Mudah-mudahanlah kesusahan sekalian orang ditarohkan di dalam hatiku, agar supaya sekalian mereka itu terhindar dari kesusahannya”

Dengan sebenarnyalah Tuan M. A. Hamid Snow boleh berkata dengan suka citanya, kira-kira seperti berikut:
“Satu warnanya Islam yang nyata, ialah satu pelajaran yang menyatakan halnya persaudaraan dan Persamaan. Pada pintunya Islam, segala apa saja adalah terhindar dari pada bau-bau yang menunjukkan klas atau kecongkakan dalam pergaulan hidup bersama“

Dengan sebenar-benarnyalah persaudaraan di dalam Islam adalah sesempurna-sempurnanya persaudaraan, baik didunia maupun persaudaraan di akherat


Komunisme

Masyarakat belahan dunia barat memahami Sosialisme lebih materialistik, sebagaimana dijelaskan oleh Theimer sebagai sebuah gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua manusia, bahwa pemilikan bersama lebih baik daripada milik pribadi. Pemilikan bersama, menurut ajaran ini akan menciptakan dunia yang lebih baik, membuat sama situasi ekonomis semua orang, meniadakan perbedaan antara miskin dan kaya, menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian sumber segala keburukan sosial akan dihilangkan, tidak ada perang lagi dan semua orang akan menjadi saudara.

Istilah Komunisme pada awalnya dipakai untuk cita-cita Utopis Sosialis sebuah cita-cita yang bermaksud mewujudkan masyarakat yang adil secara materi dengan cara mencapai pemerataan kepemilikan atas materi, suatu kondisi dimana segala milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki secara bersama. Dalam pengertian ini Komunisme merupakan keadaan 'Masyarakat Akhir' yang hendak dicapai oleh Sosialisme. Suatu masyarakat dengan tatanan ideal yang hidup bersama sesuai dengan cita-cita Sosialisme.

Istilah Komunisme kemudian bergeser menjadi sebuah nama 'Gerakan Kaum Komunis' yang menjelma dalam bentuk kekuatan politik berupa partai-partai Komunis yang sejak Revolusi Oktober 1917 dibawah pimpinan W.I Lenin menjadi kekuatan politik dan ideologi internasional. Istilah Komunisme kemudian juga dipakai untuk menyebut 'Ajaran Komunisme' yang mengacu pada pemikiran 'Marxisme-Leninisme' yang merupakan ideologi resmi Gerakan Komunis Internasional. Dalam pengertian ini Marxisme menjadi salah satu komponen dalam sistem Ideologi Komunisme. Di Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai yang menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resmi dan merupakan bagian dari sistem kekuasaan komunis internasional.

Ajaran Komunisme yang mendasarkan pandangannya pada pemikiran sosialis materialis Karl Max sebagai salah satu komponen sistem ideologinya, pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dalam arti membebaskan manusia dari penderitaan dan menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hanya saja, sesuai dengan pemikiran Karl Max dan dunia barat pada umumnya yang berciri humanisme, materialisme, objektif dan ilmiah, Ideologi Komunisme lebih menekankan kehidupan dunia material, inilah yang kemudian menyebabkan bertentangan secara diametral dengan pandangan-pandangan Agama yang lebih metafisis baik pada tataran konseptual maupun praksis. Pertentangan yang pada akhirnya mengakibatkan tragedi kemanusiaan berupa konflik sosial dan penindasan.

Karl Marx memang memandang Agama sebagai gejala keterasingan manusia dari hakekat dirinya. Marx berpendapat bahwa sumber keterasingan manusia adalah struktur masyarakat. Agama hanyalah gejala sekunder keterasingan manusia dan bukan dasarnya. Agama adalah perealisasian hakekat manusia dalam angan-angan, jadi merupakan tanda bahwa manusia belum berhasil merealisasikan hakekatnya.

Manusia yang dimaksud Marx adalah manusia kongkret yang hidup pada jaman tertentu dan sebagai anggota masyarakat tertentu. Manusia tidak dilepaskan dari masyarakat dan negara dimana ia hidup. Manusia itulah dunia manusia, negara dan masyarakat. Manusia merealisasikan diri dalam Agama karena struktur masyarakat yang tidak mengijinkan manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh dan utuh. Karena dunia mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, ia membangun suatu kerajaan dalam angan-angan. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, ia mengharapkan mencapai keselamatan di surga. Marx selalu memandang manusia sebagai mahluk yang ditentukan oleh keadaan masyarakat. Ia menolak melihat manusia secara abstrak sebagai manusia yang bebas dan berkehendak misalnya. Menurutnya individu seratus persen ditentukan oleh masyarakat, individu hanyalah objek, tanpa kebebasan, tanpa kemungkinan bertindak terhadap masyarakat atau mengubah masyarakat.

Marx selanjutnya mencari unsur apa dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakekatnya. Mark menemukannya dalam pemikiran Feurbach. Menurut Feurbach, akibat paling fatal yang ditimbulkan oleh Agama bagi manusia adalah Agama membuat manusia menjadi egois. Dari pada mengembangkan cinta kasih dan persahabatan dengan sesama, manusia justru mengasingkan potensi-potensinya itu kepada Tuhan, ke dalam cinta kasih Ilahi yang berada di luar dirinya. Dalam hal ini, Marx mengikuti Feurbach yang memahami manusia sebagai mahluk sosial dan bersifat sosial. Marx berpendapat yang dimaksud keterasingan manusia dari hakekatnya adalah keterasingan manusia dari sifat sosialnya dan penyebabnya harus ditemukan dalam struktur masyarakat.

Untuk menjawab struktur masyarakat mana yang tidak mengijinkan manusia bersikap dan berlaku sosial, Marx menemukannya pada pemikiran Hegel yang melakukan analisa mengenai masyarakat modern. Menurut Hegel, yang khas pada masyarakat modern adalah perpisahan antara Civil Society dengan Negara. Civil society yang dimaksud di sini adalah masyarakat luas, lingkungan sosial di luar Keluarga dan Negara, lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhannya misal lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi dan lain sebagainya. Yang khas dalam lingkungan itu adalah manusia bersikap dan berlaku di dalamnya secara egois. Menurut Hegel kebutuhan praktis egoisme adalah prinsip dari Civil Society. Orang bekerja, bersekolah, memakai fasilitas rekreasi bukan karena ia meminati mereka untuk hubungan pertemanan tetapi karena membutuhkan mereka karena fungsi mereka dan dalam hal ini orang sering bersaing dengan orang lain. Dalam Civil Society orang bukan bergerak demi kepentingan bersama melainkan demi kepentingan egois sendiri. Masyarakat tidak mungkin bersatu dan bertahan hanya karena sifat egoisme masing-masing anggotanya, penjumlahan egoisme semua individu pastilah menghasilkan anarki. Oleh karena itu masyarakat memerlukan kekuatan yang mengatasi egoisme itu dan mempersatukan masyarakat. Kekuatan itu adalah Negara.

Jadi situasinya adalah manusia menjalankan kehidupan ganda. Manusia terpecah ke dalam individu yang murni bersifat egois, yang mengejar kepentingan egoisnya sebagai anggota masyarakat dan individu sebagai warga negara yang bersifat moral dalam arti ia harus menahan diri dari tindakan amoral karena harus taat pada undang-undang Negara. Ia juga menjalankan kehidupan duniawi sekaligus surgawi. Ia hidup dalam lingkungan politik dimana ia dianggap mahluk sosial, sekaligus juga dalam lingkungan Civil Society sebagai individu yang sibuk memenuhi kebutuhannya sendiri, yang dengan egois memanfaatkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dan ini seringkali membuat manusia saling bersaing, merendahkan dan menghisap.

Dengan demikian Marx melihat keterasingan manusia yang menghasilkan Agama sesungguhnya adalah keterasingan manusia dari sifat sosialnya yang bersumber dari struktur masyarakat sendiri. Sebagai individu, manusia bersifat egois dan hanya bersifat sosial karena harus taat pada Negara. Kesosialan manusia terasing dari manusia sendiri dan mendapat eksistensinya secara terpisah dan tersendiri sebagai lembaga di atasnya yang memaksa individu-individu bersikap sosial yaitu Negara. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut, jika manusia tidak terasing dari hakekat dirinya sendiri yaitu andai sifat kesosialannya masih menyatu dengannya, andaikata ia bersifat individu sekaligus sosial seperti dalam sebuah keluarga, tidak perlu ada Negara yang mencegah manusia dengan ancaman hukuman dari tindakan asosial. Manusia akan bersifat sosial dengan sendirinya, bersikap positif terhadap sesama. Ia tidak melihat orang lain sebagai saingan dan tidak khawatir bahwa jika orang lain memenuhi kebutuhannya, ia sendiri akan merugi. Jadi menurut Marx, eksistensi Negara adalah tanda dari keterasingan manusia dari sifat sosialnya yang juga dicerminkan oleh Agama. Marx lalu berpendapat bahwa pengasingan hakekat manusia dalam agama hanyalah cermin sebuah keterasingan yang lebih mendasar yaitu keterasingan manusia dari kesosialannya yang ditandai dengan eksistensi negara.

Marx merumuskan tuntutan yang memuat program seluruh karyanya dalam imperatif kategoris bahwa:

"Kritik Agama berakhir dengan ajaran bahwa manusia adalah mahluk tertinggi bagi manusia, jadi dengan imperatif kategoris untuk menumbangkan segala hubungan dimana manusia adalah mahluk yang hina, diperbudak, terlupakan dan terhina"

Masyarakat akhir, adalah masyarakat yang teremansipasi, negara tidak diperlukan lagi, manusia akan baik dan bersifat sosial dengan sendirinya. Inilah tatanan masyarakat sosialis atau komunis yang dimaksud oleh Marx yaitu tidak adanya hubungan yang saling menghisap, menghina dan menindas tetapi saling bekerja sama, saling membantu diantara warganya untuk menghindarkan dari penderitaan hidup dan menciptakan kebaikan hidup bersama.

Untuk mencapai masyarakat komunis, Marx berpendapat harus dilakukan kritik praktis terhadap struktur masyarakat yang membuat manusia terasing dari sifat sosialnya. Marx berkesimpulan bahwa pembebasan manusia dari keterasingan hakekatnya yang sosial hanya dapat dilaksanakan dengan perubahan sosial yang mendasar suatu revolusi. Revolusi yang sesungguhnya dan radikal.

Marx menelisik lebih jauh untuk mencari jawaban mengapa manusia mengasingkan sifat kesosialannya dari dirinya sendiri ke dalam Negara. Dengan kata lain, Marx mencari jawaban dimana keterasingan manusia yang paling dasar dan mengapa sampai terjadi keterasingan itu. Dirangsang oleh sebuah karya Friedrich Engels, Marx mulai secara sistematik memperhatikan perkembangan ilmu ekonomi, ia membaca karya Adam Smith, Ricardo, Say, James Mill dan banyak penulis lainnya. Hasil orientasi itu Marx menemukan bahwa keterasingan manusia juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat. Dari bidang politik, perhatian Marx bergeser ke bidang ekonomi.

Marx kemudian berpendapat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya diproduksi dalam pekerjaan di bawah sistem ekonomi kapitalis. Keterasingan dalam pekerjaan inilah yang menjadi segala dasar dari keterasingan manusia dari sifat sosialnya karena menurutnya pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata, manusia merealisasikan dirinya, dan menunjukan eksistensinya melalui pekerjaan, visi pekerjaan yang diperoleh dari pemikiran Hegel.

Manusia adalah mahluk ganda yang aneh, disatu pihak ia adalah mahluk alami, seperti binatang  ia membutuhkan alam untuk hidup. Dilain pihak ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing, ia harus terlebih dahulu menyesuaikan alam untuk memenuhi kebutuhannya.

Marx menunjukan hal yang membedakan manusia dangan binatang adalah manusia bekerja secara Bebas dan Universal sementara binatang bekerja di bawah desakan naluri, yang persis sesuai dengan kebutuhannya. Binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya, sedang manusia membuat kegiatan hidupnya sebagai objek kehendak dan kesadaran. Kegiatan Bebas dan Sadar adalah ciri manusia. Universal karena manusia dapat memakai pelbagai cara untuk mencapai tujuan yang sama. Manusia juga menghadapi alam tidak hanya dalam satu kerangka kebutuhannya. Jika seorang melihat sepotong kayu, ia dapat menggunakannya menjadi kayu bakar, kaki meja, alat pukul, patung, ukiran dan lain-lain. Menurut Marx hanya manusia yang terbuka pada nilai-nilai estetik. Pekerjaan memang membedakan manusia dari binatang dan menunjukan hakekat manusia yang Bebas dan Universal.

Manusia menyatakan diri dalam pekerjaan, manusia mengobjektivasikan diri kedalam alam melalui pekerjaan, ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, mendapatkan kepastian tentang bakat dan kemampuannya. Ia menjadi nyata melalui karyanya. Ini berlaku bagi segala macam pekerjaan, bagi petani tercermin kecakapannya dengan sawah yang menghijau dan panen yang berlimpah, bagi pengukir terlihat dari ukiran kayu yang indah. Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakekatnya ke dalam realitas alami, dengan demikian alam menjadi alam manusia, alam mencerminkan siapa manusia itu, alam membuktikan realitas hakekat manusia. Makna pekerjaan muncul dari perasaan bangga melihat hasil pekerjaan kita, pekerjaan membuktikan kepada kita bahwa kita tidak berkhayal, melainkan nyata. Kita betul-betul membenarkan diri di dalam pekerjaan.

Pekerjaan juga membuktikan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Tidak mungkin setiap manusia menghasilkan sendiri apa saja yang dibutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhan kita, kita tergantung pada hasil pekerjaan orang lain. Begitu pula orang lain membutuhkan hasil pekerjaan kita. Jadi, hasil kerja kita memenuhi kebutuhan orang lain dan itu membuat orang lain gembira. Sebaliknya karena orang lain menerima hasil pekerjaan kita, kita merasa diakui olehnya, kita merasa keberadaan kita berarti. Pekerjaan adalah jembatan antar manusia. Disini tampak bahwa manusia pada hakekatnya bersifat sosial, dan hakekat itu terbuki dalam pekerjaan.

Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis orang tidak bekerja secara Bebas dan Universal, melainkan hanya terpaksa sebagai syarat untuk mempertahankan hidupnya. Pekerjaan tidak mengembangkan dirinya melainkan mengasingkan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.

Keterasingan dari dirinya sendiri mempunyai tiga segi. Pertama, si pekerja merasa terasing dari produknya, karena sebagai buruh upahan ia tidak memiliki hasil kerjanya, hasil kerjanya dimiliki oleh majikan sang pemilik modal dan alat-alat produksi. Karena hasil kerja terasing darinya maka tindakan bekerja itupun kehilangan artinya bagi si pekerja, bekerja bukannya menjadi pelaksanaan kegiatan yang Bebas dan Universal tetapi malah menjadi pekerjaan paksaan karena ia tidak dapat bekerja menurut hasrat dan dorongan batin, melainkan menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh majikan. Pekerjaan menjadi bukan kebutuhan bagi si pekerja untuk merealisasikan diri melainkan ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di luar pekerjaan, ia bekerja agar tidak kelaparan. Itulah keterasingan ke dua, keterasingan dalam pekerjaan.  Pekerjaan adalah tindakan hakiki manusia, maka dengan memperalat pekerjaan semata-mata demi tujuan memperoleh nafkah, manusia memperalat dirinya. Dalam pekerjaan manusia tidak mengembangkan diri melainkan memiskinkan diri karena menghabiskan waktunya untuk memenuhi kebutuhan fisik tanpa sempat melakukan kegiatan yang bermakna untuk merealisasikan potensi-potensinya dan hakekatnya. Inilah segi ketiga keterasingan dalam pekerjaan.

Konsekuensi langsung dari keterasingan manusia dari produk pekerjaannya, dari kegiatan hidupnya, dari hakekatnya sebagai manusia adalah katerasingan manusia dari manusia lain. Yaitu keterasingan dari hakekatnya sebagai mahluk sosial berarti manusia terasing dari sesamanya karena sifat sosial yang terasing dari dirinya.

Secara empiris, keterasingan dari sesama manusia menyatakan adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan dan pertentangan ini ada dua arah. Pertama, dalam sistem hak milik pribadi dimana mereka yang bekerja berada di bawah kekuasaan para pemilik modal dan alat-alat produksi yang tidak bekerja, sehingga masyarakat terpecah ke dalam kelas-kelas pekerja dan kelas-kelas para pemilik. Kelas majikan dan kelas buruh, kelas kapitalis dan kelas proletariat, kelas atas dan kelas bawah, kelas penghisap dan kelas terhisap. Dua kelas yang saling berlawanan, bukan karena secara emosional tidak saling menyukai, tetapi karena kepentingan yang secara objektif berlawanan. Kedua, keterasingan tersebut juga merusak hubungan di dalam masing-masing kelas. Buruh bersaing dengan sesama buruh dan pemilik modal bersaing dengan pemilik modal. Para buruh berebut tempat kerja sementara para pemilik modal berebut pasar. Marx melihat bahwa dalam masyarakat yang berdasar hak milik pribadi, hubungan antara sesama pasti bersifat saingan, keuntungan yang satu pasti merupakan kerugian yang lain. Tanda keterasingan itu adalah uang. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya sejauh tindakannya menghasilkan uang. Maka yang menandakan keterasingan manusia dari alam dan dari sesama manusia adalah uang. Dalam alam kapitalisme, yang penting adalah nilai uangnya bukan barang itu sendiri. Meskipun orang lain lapar, saya tidak akan memberikan makanan padanya apabila ia tidak mempunyai uang. Sebaliknya, meskipun saya tidak lapar, saya dapat memperoleh makanan sebanyak yang saya kehendaki asal saya mempunyai uang. Keterasingan dari manusia lain juga terlihat dari fakta bahwa kebutuhan tidak lagi mendesak saya untuk memenuhi kebutuhan meskipun saya mampu. Sikap saya seluruhnya egois. Saya hanya memenuhi kebutuhan orang lain sejauh saya sendiri memperoleh keuntungan darinya. Sifat sosial yang termasuk hakekat manusia sudah terasing dari manusia sendiri.

Pekerjaan yang mengasingkan manusia dari sifat sosialnya adalah pekerjaan upahan dalam sistem ekonomi kapitalis. Orang bekerja demi upah, tidak bekerja demi pekerjaan, tidak demi pengembangan diri, melainkan bekerja karena terpaksa. Untuk hidup membutuhkan uang dan untuk mendapat uang ia harus bekerja sesuai kehendak majikan yang menawarkan pekerjaan. Maka baik pekerjaan itu sendiri maupun pekerjaannya tidak ada sangkut pautnya dengan kepribadiannya. Demi upah, si pekerja memperalat kegiatan hakikinya, jadi ia memperalat dirinya sendiri maka ia pun terasing dari hakekatnya.

Tetapi pekerjaan upahan hanya bagian dari hak milik pribadi atas modal dan alat-alat produksi. Sistem hak milik pribadi memisahkan antara pemilik dan pekerja, antara yang menguasai alat kerja dan yang menguasai tenaga kerja. Jadi keterasingan dalam pekerjaan adalah akibat langsung dari sistem hak milik pribadi. Menurut Marx hubungan hak milik pribadi juga mengasingkan majikan dari hakekatnya sebagai mahluk sosial, ia tak mampu mengembangkan diri sebagai manusia. Ia hanya secara pasif menikmati hasil kerja orang lain sedangkan buruh mengalami sudut pahitnya madu keterasingan. Pada akhirnya segala keterasingan manusia adalah akibat dari sistem hak milik pribadi. Bukan keadaan politis, bukan Agama yang menjadi keterasingan dan egoisme manusia, melainkan penataan produksi menurut sistem hak milik pribadi.

Menurut Marx, hak milik pribadi adalah akibat keniscayaan sejarah dari pembagian kerja dan hanya dapat dihapus sebagai konsekuensi dinamika keniscayaan sejarah selanjutnya. Sistem hak milik pribadi terbentuk berdasarkan syarat-syarat objektif dan karena itu baru akan dihapus apabila kondisi-kondisi objektif penghapusan itu telah terpenuhi. Apabila itu terjadi, manusia pada akhirnya akan mampu merealisasikan diri secara Bebas dan Universal. Kekayaan yang telah diciptakan manusia dalam keterasingan akan menjadi milik seluruh manusia. Keterasingan manusia dengan alam maupun dengan manusia lain akan berakhir. Marx menyebut keadaan ini sebagai Komunisme karena segala-galanya dimiliki bersama, ia melukiskan kondisi ini dengan kata-kata yang puitis:

"Komunisme adalah penghapusan positif milik pribadi sebagai keterasingan diri manusia, dan karena itu pemilikan nyata hakekat manusia oleh dan bagi manusia"

"Komunisme itu sebagai Naturalisme Utuh = Humanisme, sebagai Humanisme Utuh = Naturalisme, ia adalah pemecahan nyata pertentangan antara manusia dengan alam dan dengan manusia lain, antara kebebasan dan keniscayaan, ia adalah pemecahan teka-teki sejarah"

Komunisme suatu keadaan yang akan tercapai dengan sendirinya mengikuti hukum perkembangan masyarakat yang disebut oleh Karl Max sebagai Hukum Materialisme Sejarah. Bahwa masyarakat kapitalis pasti akan dengan sendirinya menuju ke keadaan akhir masyarakat sosialis dengan melalui beberapa fase keadaan. Bahwa revolusi sosialis dan perwujudan masyarakat komunis adalah suatu keniscayaan.

Marx berpendapat revolusi pada awalnya bersifat politis dimana kaum proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan kediktatoran proletariat untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih dikuasai untuk menggagalkan revolusi dan mengembalikan ke keadaan lama. Jadi kediktatoran proletariat perlu untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya revolusi balasan oleh sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara. Jadi dengan merebut kekuasaan dan menghapus hak milik pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Bila sisa-sisa perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Dengan demikian produksi sudah terpusat dalam tangan individu-individu yang berasosiasi, maka kekuasaan umum kehilangan sifat politisnya. Negara lama kelamaan menghilang. Dan dengan penghapusan hak milik pribadi, prolerariat menghapus syarat-syarat pertentangan kelas, syarat-syarat adanya kelas-kelas dan dengan demikian kekuasaannya sendiri sebagai kelas.

Pada akhirnya masyarakat komunis tercapai, keadaan masyarakat yang mempunyai ciri-ciri inti adanya penghapusan hak milik pribadi atas modal dan alat-alat produksi, penghapusan adanya kelas-kelas sosial, menghilangkan negara, penghapusan pembagian kerja. Kelas-kelas tidak perlu dihapus secara khusus sesudah kelas kapitalis ditiadakan karena penghapusan kapitalisme sendiri sudah menghapus semua kelas, sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah sebabya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Masyarakat yang teremansipasi dengan hilangnya hubungan penghisapan diantara anggotanya.


Pancasila

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang didirikan oleh sebuah bangsa. Individu-individu yang mengorganisasi diri lalu bersepakat secara sosial menyatakan sebagai sebuah entitas kehidupan. Kesadaran sebagai sebuah bangsa sekaligus penanda sejarah terbentuknya bangsa Indonesia adalah peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, ketika dalam konggresnya yang kedua para pemuda dari berbagai latar belakang suku, adat istiadat, agama, kebudayaan menyatakan secara eksplisit sebagai sebuah Bangsa yang satu, Bahasa yang satu dan Tanah Air yang satu, 'Indonesia'. Sumpah yang mengatasi berbagai perbedaan sekaligus menyatakan kesepakatan bersama menjadi satu entitas kehidupan dengan identitas 'Indonesia'. Perasaan persatuan yang didorong secara alami dan kodrati oleh persamaan keadaan, dimana individu-individu penghuni pulau-pulau Nusantara yang terletak diantara dua benua dan dua samudra dilingkupi suasana batin yang sama, rasa senasib dan sepenanggungan, sama-sama terikat kebebasannya, menderita dan tertindas secara fisik dan batin dibawah penjajahan kolonial. Kondisi yang lalu membangkitkan kehendak bersama untuk berjuang keluar dari penderitaan dan penindasan menuju kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri guna mencapai cita-cita bersama dengan membentuk suatu negara sebagai wadah untuk mewujudkan masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Kehendak dan cita-cita bersama yang selaras dengan gagasan Sosialisme secara umum tetapi berciri khas jiwa, pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia.

Sosialisme Indonesia tumbuh alami dari keadaan masyarakat dan lingkungannya sesuai dengan nilai-nilai luhur tradisi, adat istiadat, budaya, ajaran agama dan kepercayaan yang telah lama hidup dalam masyarakat Nusantara. Nilai-nilai mulia yang berkembang mengikuti pemahaman dan penghayatan masyarakat Nusantara terhadap kehidupan dan dunianya, yang memberi kekuatan untuk bertahan hidup serta menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam melewati waktu demi waktu. Nilai-nilai kebaikan yang diperoleh dalam usaha-usaha membangun masyarakat yang beradab dan bermartabat dengan mencari, menentukan sendiri makna hidupnya, menerima nilai ajaran agama dan kepercayaan, pemikiran, pandangan-pandangan tentang dunia yang berasal dari luar sebagai konsekuensi logis dari posisi wilayah yang strategis, yang tidak mungkin lepas dari pergaulan bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur yang membentuk pola-pola kehidupan, terus dijunjung tinggi dan dipegang teguh, yang pada akhirnya mensejarah, mengalami objektivasi dan legitimasi, diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi menjadi jiwa, pandangan hidup dan kepribadian masyarakat Nusantara. Nilai-nilai luhur yang kemudian digali dan dirumuskan oleh para pemimpin perjuangan, para pendiri bangsa dan negara, yang mencapai puncaknya menjadi konsensus nasional sebagai dasar berbangsa dan bernegara setelah Proklamasi Kemerdekaan dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kristalisasi nilai-nilai luhur yang kemudian tercantum dalam konstitusi negara, Pembukaan UUD 1945 yang disebut Pancasila. Dengan demikian dapat dikatakan, Sosialisme yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah kesatuan itulah Sosialisme ala Indonesia.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus Sosialisme sangat dominan. Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni Nasionalis, Agamais, dan Marxis, mengakui cita-cita Sosialisme dengan berbagai variannya. Banyak para kaum terpelajar dan pemimpin perjuangan melakukan usaha pemahaman Sosialisme sesuai dengan konteks Indonesia yang tentu dipengaruhi oleh pengetahuannya mengenai ajaran-ajaran atau paham yang saat itu berkembang di dunia. Proklamator Ir. Soekarno dan Moh. Hatta adalah beberapa tokoh diantaranya. Berikut adalah pemikiran mereka.


Ir. Soekarno

Bung Karno, yang sering ditempatkan di spektrum kaum Nasionalis, sangat lantang menyatakan bahwa Sosialisme merupakan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu sangat nampak dalam tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno.

Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme ! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’. 

Kata-kata di atas merupakan isi pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1964. Pidato itu, yang kemudian dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”, merupakan jawaban gamblang Bung Karno terhadap mereka yang mengira pergerakan Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan terusirnya Belanda dari Indonesia. Saat itu, sebagian elit Indonesia berpikiran, bahwa tujuan pergerakan kemerdekaan hanyalah merebut kemerdekaan, menyusun pemerintahan nasional, mengganti pegawai asing dengan pegawai bangsa sendiri, dan lain-lain. Pidato TAVIP adalah penegasan, bahwa Revolusi Agustus 1945 bermuara pada Sosialisme

Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno tegas mengatakan,

maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”

Dalam tulisannya itu, Bung Karno juga mempertegas bahwa Indonesia merdeka hanyalah “Jembatan Emas”. Artinya, kemerdekaan hanyalah “Penghubung” antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur.

Namun, penjelasan lebih rinci dari cita-cita sosialistik Bung Karno terangkum dalam buku “Sarinah”, yang merupakan kumpulan kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun 1946. Di situ Bung Karno menguraikan pengertiannya mengenai Sosialisme dan syarat-syarat untuk mewujudkannya. Yang menarik, Bung Karno mengajukan pertanyaan, bisakah masyarakat yang terbelakang (belum mengenal listrik, surat kabar, radio, rumah sakit, baca-tulis, dan lain-lain), bisa mencapai Sosialisme ? Menurut dia, masyarakat terbelakang semacam itu, sekalipun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada imperialisme, tidak ada feodalisme, tidak bisa mewujudkan Sosialisme. Alasannya sederhana: masyarakat semacam itu tidak bisa mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebab, bagi Bung Karno, esensi dari Sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan sebagai syaratnya: harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif. Bung Karno meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi Marxisme, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan corak produksi. Bung Karno sendiri mengatakan,

alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang sosialistik

Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan teknik dan kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang bersifat gotong-royong. Masalahnya, kata Bung Karno, dalam konteks Indonesia yang masih terjajah, syarat-syarat menuju Sosialisme itu dirintangi oleh kolonialisme (penindasan nasional) dan feodalisme. Karena itu, dalam kerangka perjuangan menuju Sosialisme, revolusi Indonesia harus melalui tahapan-tahapan yang berkesinambungan (bukan tahapanisme yang terpisahkan oleh tembok China ala Stalinisme). Bung Karno selalu berpesan,

Sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah

Dengan demikian, dalam konteks Sosialisme Indonesia, Sosialisme harus merupakan hasil “Penciptaan Yang Heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan masing-masing bangsa. Bung Karno menolak Sosialisme yang dicopy-paste dari luar atau Sosialisme tiruan. Lebih lanjut, Bung Karno menjelaskan, kendati Sosialisme itu adalah keharusan sejarah, tetapi ia tidak seperti “datang seperti embun diwaktu malam dengan sendirinya”. Sosialisme sebagai keharusan sejarah hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia. Untuk merealisasi Sosialisme sebagai keharusan sejarah itu, Bung Karno membentangkan jalannya: fase Nasional-Demokratis dan fase Sosialisme. Dalam fase Nasional Demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan demokratis. Sedangkan dalam fase Sosialisme, kita akan mendirikan Sosialisme. Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan land-reform sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan mendemokratiskan kehidupan rakyat di pedesaan. Dalam fase Nasional-Demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni Revolusi Sosialis. Syarat-syarat itu, antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan mendorong produksi di bawah kontrol komunitas atau masyarakat.

Dalam buku “Sarinah”, Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. Kata Bung Karno,

Undang-Undang Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme” 

UUD 1945 itu, kata dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistik), tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke Sosialisme. Kemudian, tahap yang kedua, yakni Revolusi Sosialis, yang mengarah pada perwujudan Sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan l’exploitation de l’homme par I’homme. Salah satu ciri utama dari Sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tetapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat. Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasikan di bumi Indonesia ini. 

Presiden Soekarno menegaskan cita-cita masyarakat adil dan makmur hanya dapat dicapai dalam rangka sistem Sosialisme. Orang bertanya Sosialisme yang bagaimanakah yang hendak dicapai oleh Presiden Soekarno ? Untuk ini Presiden telah menyediakan jawabannya, tiada lain ialah “Sosialisme ala Indonesia”. Jalan manakah yang hendak ditempuh oleh Presiden Soekarno untuk mencapai “Sosialisme ala Indonesia” ini? Presiden Soekarno menyempuh jalan USDEK. (U) Undang-undang Dasar 1945. (S) Sosialisme ala Indonesia. (D) Demokrasi Terpimpin. (E) Ekonomi Terpimpin. (K) Kepribadian bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) menerima “Sosialisme ala Indonesia” dengan pengertian bahwa “Sosialisme ala Indonesia” ialah “Sosialisme yang anti Marxisme-Leninisme”. Partai Nasional Indonesia (PNI) menafsirkan “Sosialisme ala Indonesia” sebagai “Sosialisme Pancasila”. Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengartikan “Sosialisme ala Indonesia” ini sebagai “Sosialisme Kerakyatan”. Kalau tiga pengertian ini saja dihubungkan dengan USDEK, maka masyarakat dihadapkan dengan masalah USDEK yang anti Marxisme-Leninisme, USDEK Pancasila, dan USDEK Kerakyatan. Menurut Manifesto Politik Soekarno yang telah diumumkan oleh pemerintah sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia, yang dimaksud dengan “Sosialisme ala Indonesia” ialah Sosialisme yang disesuaikan dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia. Dengan ini menurut NU “disesuaikan dengan keadaan Indonesia” itu harus diartikan anti Marxisme-Leninisme. Bagi PNI tidak kurang dan tidak lebih daripada Pancasila dan begitulah PSI akan berkata bahwa Sosialisme kerakyatan itulah kepribadian bangsa Indonesia. Dari segi ini dapatlah disimpulkan bahwa “Sosialisme ala Indonesia” dengan USDEKnya yang telah diketengahkan oleh Presiden Soekarno itu pada hakikatnya belum lagi berkata apa-apa, karena masih dapat ditafsirkan kemana orang suka.


Mohamad Hatta

Di tahun 1957, di depan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen, Tiongkok, Bung Hatta memberi jawaban terhadap pertanyaan mengenai Sosialisme Indonesia. Menurutnya, Sosialisme Indonesia dibentuk oleh tiga akar yang kuat.

Pertama
"Pengaruh literatur Sosialisme Barat, terutama yang terkait dengan tuntutan atas persamaan dan persaudaraan manusia melalui penghapusan masyarakat berkelas. Ajaran Karl Marx, yang disebut Marxisme, membantu kaum pergerakan Indonesia kala itu dalam membaca dan mengenali keadaan, menyingkap akar persoalan ketertindasan rakyat, dan menemukan jalan keluar atas penindasan yang dialami oleh rakyat tersebut. Maka dengan bantuan pendapat Marx dan Engels itu, tergambarlah dalam kalbu pemuda dan pelajar Indonesia dahulu suatu bentuk Sosialisme Indonesia, yang sesuai dengan perkembangan dan struktur masyarakat Indonesia sendiri”, kata Bung Hatta.

Kedua
Ajaran agama Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Islam, kata Bung Hatta, menyokong persamaan dan persaudaraan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Karena itu, islam sangat sejalan dengan ide-ide Sosialisme. Hanya saja, kata Bung Hatta, spirit yang menggerakkan Sosialisme Barat dan Sosialisme Islam cukup berbeda. Sosialisme Barat digerakkan oleh keadaan material, yakni struktur sosial dengan pertentangan kelas di dalamnya. Sedangkan Sosialisme Islam digerakkan oleh semangat pengabdian kepada Allah SWT. “Bagi Islam, Sosialisme di dalam masyarakat adalah kewajiban hidupnya, suruhan Yang Maha Kuasa, yang tidak dapat diingkarinya”, kata Bung Hatta.

Ketiga
"Corak kolektif di dalam masyarakat desa Indonesia yang asli. Dalam masyarakat desa yang asli, kata Bung Hatta, berlaku kepemilikan bersama atas tanah sebagai alat produksi terpenting dalam struktur masyarakat agraris. Semangat kolektifisme juga terpancang melalui semangat kerjasama dan tolong-menolong dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan, seperti menggarap sawah, memotong padi, membuat rumah, mengantar jenazah ke kubur, membuat pengairan, dan lain-lain. Menariknya, ungkap Bung Hatta, semangat tolong-menolong dan gotong-royong bukan hanya dalam urusan kepentingan umum, seperti membuat jalan atau pengairan, melainkan juga dalam urusan-urusan private, seperti membuat rumah dan mengantar mayat ke kubur. Dalam masyarakat Indonesia yang asli tidak ada pemisahan yang tegas antara apa yang dikatakan urusan publik dan private, seperti yang berlaku di dalam masyarakat yang berdasarkan Individualisme”, terangnya. Di samping itu, lanjut Bung Hatta, masyarakat desa Indonesia juga mengenal demokrasi kolektif, yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh rakyat di desa. Tentunya melalui jalan musyawarah dan mufakat.

Tiga hal di atas, menurut Bung Hatta, yang membentuk corak Sosialisme Indonesia.


Penutup

Terima kasih atas usaha dan kesabarannya telah membaca tulisan ini, semoga membawa kebaikan. Salam.


Sumber :
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Socius
http://www.berdikarionline.com/bung-karno-revolusi-indonesia-menuju-sosialisme
www.arahjuang.com/2014/02/06/sosialisme-di-indonesia-dari-sneevliet-hingga-soekarno-dari-pemimpin-menuju-massa
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/01/islam-sosialisme-hos tjokroaminoto
https://www.linkedin.com/pulse/bung-hatta-dan-tiga-akar-sosialisme-indonesia-rudi-hartono
Franz Magnis-Suseno
Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme
Pemahaman Pribadi
Pemahaman Otodidak


Kelapa Gading , 16 Februari 2017


No comments:

Post a Comment