Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, June 14, 2020

Kebebasan-Eksistensial, Kebebasan-Sosial dan Kebebasan-Berekspresi


Ada kebebasan di dalam ‘diri’ kita sebagai manusia, kebebasan yang terisolasi dan terlepas dari segala pengaruh, suatu kebebasan yang mandiri dan tidak bergantung pada apapun yang datang dari luar ‘diri’ kita. Karenanya, ‘diri’ kita dapat menentukan keputusan untuk memilih alternatif apapun yang tersedia dihadapan kita. Ini disebut kebebasan-eksistensial bahwa keberadaan kita sebagai manusia selalu disertai adanya-kebebasan dalam ‘diri’ kita untuk mengambil keputusan melakukan atau tidak-melakukan suatu tindakan dalam bersikap atau menanggapi situasi kongkret yang melingkupi ketika menjalani kehidupan di dunia ini. Sifat yang begitu saja menyertai kederadaan kita sebagai manusia di dunia.

Kebebasan-eksistensial menyertai kodrat manusia ada di dunia, suatu kebebasan yang melampaui tubuh dan dunia yang bersifat materi, kebebasan mutlak yang bersifat rohani (metafisis) dan melekat pada 'diri'-rohani setiap manusia, dalam pengertian ini pendapat yang menyatakan kebebasan adalah sifat-kemanusiaan kita cukup mudah dipahami. Sebagai manusia, kita bebas untuk menentukan diri dengan bertindak sesuai kehendak atau melawan kehendak yang ada di dalam ‘diri’ kita.

Namun kita sebagai manusia bukanlah sekedar ‘diri’ yang rohani, manusia mengada di dunia melalui tubuh, manusia memiliki tubuh yang bersifat-materi. Manusia adalah ‘diri’-rohani yang melekat pada tubuh dan tubuh yang melekat pada ‘diri’-rohani, keduanya manunggal sebagai satu-kesatuan-sepenuhnya. Ia berada di dalam dunia bersama dengan tubuh-tubuh lain, juga dengan ‘diri-diri’-rohani yang lain. Sehingga keberadaan manusia di dunia secara faktual merupakan dualisme, keberadaannya bersifat materi dan rohani, tunggal juga jamak, sebagai manusia ia bersifat individual sekaligus sosial. Di dalam dunia-bersama ini kebebasan-eksistensial menemui batasnya.

Kebebasan-eksistensial yang mutlak dalam ‘diri’ sendiri berada di antara kebebasan-eksistensial pada ‘diri-diri’ yang lain. Secara faktual kita memiliki kebebasan yang mutlak dalam ‘diri’ kita, yang sekaligus berada dalam jejaring hubungan dengan kebebasan manusia-yang-lain secara sosial. Hak kebebasan yang kita miliki juga dimiliki orang lain, hak kebebasan yang kita tuntut dari orang lain sama dengan hak kebebasan yang dituntut orang lain kepada kita. Oleh karena itu ekspresi kebebasan-eksistensial individu dalam dunia-sosial-bersama sangatlah mungkin bertabrakan yang menyebabkan konflik antara satu-sama lain. Keadaan yang membuat dunia ----didalamnya kita menjalani hidup---- menjadi tidak-stabil serta kacau, yang pada akhirnya menghadirkan penderitaan bagi umat-manusia serta mengancam eksistensi dirinya.

Dalam lingkungan seperti itu, manusia terkurung ketidak-pastian dalam menjalani hidup untuk melakukan berbagai aktivitas demi mengejar tujuan-tujuannya. Secara faktual, kita menjadi manusia yang tidak-bebas dalam dunia-sosial-keseharian kita karena berbagai potensi ancaman dari lingkungan yang siap menjadi nyata kapan saja dan mampu menimpa kita sewaktu-waktu. Ancaman-ancaman yang justru datang dari sesama dan berasal-muasal dari dalam manusia sendiri. Perwujudan kebebasan-eksistensial secara mutlak-sepenuhnya dalam kehidupan-sosial-bersama pada akhirnya menciptakan dunia yang tidak-stabil serta kacau dan ketidak-bebasan bagi manusia sehingga pembatasan ekspresi kebebasan-eksistensial di dunia-sosial-bersama adalah suatu keniscayaan.

Mengatasi kebebasan-eksistensial dalam ‘diri’-nya sekaligus bagaimana menciptakan dunia dan menjalani kehidupan-sosial-bersama yang baik, merupakan tantangan sepanjang kehidupan manusia. Manusia berusaha menyelaraskan ekspresi kebebasan-eksistensial yang bersifat mutlak dengan kebutuhan-dasar akan kondisi dunia-kehidupan yang stabil, aman dan teratur untuk menjalani kehidupan.

Dalam konteks itu, melalui kerja akal-budi manusia menemukan prinsip-keadilan ( konsep-keadilan-sosial ), bahwa setiap manusia karena sifat-kemanusiaannya mempunyai status-yang-sama yang harus dihargai dan dihormati. Seorang manusia sebagai individu wajib menghormati individu-lain karena memiliki status-yang-sama yang melekat pada dirinya juga semua orang-lain. Manusia harus menghormati dirinya dan manusia lain karena alasan-yang-sama yaitu sama-sama sebagai manusia yang secara kodrat-alamiah membawa sifat-kemanusiaan yang sama.

Setiap manusia memiliki hak-hak yang sama yang selalu menyertai keberadaannya, hak-hak bawaan kodrat-alamiah yang tidak-bisa dicabut oleh siapapun, yang selalu melekat begitu saja selama manusia hidup. Hak-hak ini termasuk didalamnya hak menjaga kelangsungan hidup ( mempertahankan hidup ) dan hak kebebasan untuk menentukan diri.

Ekspresi kebebasan-eksistensial mewujud secara positif berupa tindakan-tindakan yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan tindakan ini dan itu bersumber dari keputusan-keputusan untuk melakukan berbagai tindakan yang ditetapkan secara otonom-dan-bebas dalam 'diri' kita. Karena setiap manusia mempunyai status-yang-sama yaitu kepemilikan sifat otonom-dan-bebas dalam 'diri'-nya, berdasar prinsip-keadilan, secara logis adalah adil membebankan kewajiban-yang-sama kepadanya yaitu kewajiban yang bersifat universal menghormati dan menghargai martabat-kemanusiaan yang harus mewujud dalam segala tindakannya. Konsekuensi selanjutnya atas dasar kewajiban dan kebebasan itu manusia dituntut tanggung-jawab atas tindakan-tindakannya. Sehingga dalam kebebasannya untuk bertindak manusia dibebani kewajiban juga dituntut tanggung-jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan.

Tindakan bukanlah sesuatu di luar manusia, tindakan bukan semacam alat yang kita ambil lalu setelah kita pakai, bisa diletakkan kembali ke dalam kotak peralatan. Tindakan menyatu dengan diri kita, dalam tindakan kita sendiri yang bertindak dan terlibat langsung didalamnya. Kita menjadi diri kita melalui tindakan sehingga dapat dikatakan kita berada dalam bertindak. Kita melakukan tindakan melalui tubuh yang tidak berada di ruang-kosong, tubuh berada di dalam dunia-nyata, dunia-keseharian kita yang dihuni bersama benda-benda-lain, mahluk-mahluk-lain dan manusia-manusia lain. Kita hidup di dalam masyarakat, diantara orang-lain, bersama orang-lain di dalam dunia yang sama, menempati ruangan-bersama yang disebut ruang-sosial yaitu dunia-keseharian kita didalamnya kita melakukan berbagai aktivitas dan berinteraksi menghayati kehidupan bersama orang lain. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebebasan-eksistensial mewujud dalam ruang-sosial. Ini yang disebut kebebasan-sosial yaitu kebebasan-eksistensial yang menggunakan ruang-sosial-bersama untuk menyatakan diri. Kebebasan-sosial adalah terbatas tidak dapat disangkal, dimanapun kita berada dalam ruang-sosial kita tidak bisa melakukan segala tindakan yang kita inginkan.

Norma-norma-etis, aturan, adat, hukum dan bentuk kesepakatan-sosial lain yang beroperasi di atas prinsip-dasar-keadilan-sosial merupakan pembatas kebebasan-sosial. Kesepakatan-sosial menetapkan kewajiban dan pelarangan yang disepakati-bersama melalui mekanisme-sosial yang harus dipatuhi oleh setiap anggota komunitas. Kesepakatan-sosial bermaksud menjamin dan menjaga kondisi kehidupan-sosial-bersama berlangsung stabil, aman, teratur dan harmonis serta mengatasi bermacam konflik melalui penyelesaian yang selaras dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat-kemanusiaan dan prinsip-keadilan-sosial. Kesepakatan-sosial dijaga dan ditegakkan melalui otoritas yang diberikan kepada salah satu bagian struktur-kekuasan yang disusun oleh komunitas itu sendiri sehingga mampu memaksa setiap anggotanya untuk patuh dan bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan yang telah disepakati bersama.

Kebebasan menyatakan pendapat di ruang-publik ( kebebasan-berekspresi ) merupakan bentuk kebebasan-sosial. Hak yang melekat pada setiap anggota yang hidup sebagai bagian suatu komunitas politik atau masyarakat yang demokratis untuk menggunakan kebebasannya guna menyatakan pendapat dalam ruang-sosial-bersama. Kebebasan-berekspresi bukanlah kebebasan-mutlak seperti yang ada di dalam ‘diri’ kita. Ia berada di dalam ruang-kehidupan-sosial yang dihuni dan dimiliki-bersama oleh semua-anggota-komunitas secara keseluruhan, yang juga mempunyai kebutuhan-dasar yang sama akan lingkungan yang stabil, aman dan teratur oleh karena itu kepadanya berlaku batas norma-norma, aturan, hukum atau kesepakatan-sosial lainnya. Maka adalah hal yang normal, suatu kewajaran bahkan keharusan, apabila tindakan ----sebagai perwujudan kebebasan-berekspresi---- yang dilakukan oleh seorang-anggota komunitas dinilai melanggar kewajiban atau pelarangan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan-sosial yang berlaku maka kepadanya dituntut pertanggung-jawaban atas tindakannya.

Sikap yang bermartabat adalah dengan bersikap satria, berani bertanggung-jawab, menerima dan menghadapi resiko apapun sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh dirinya sendiri, yang diputuskan sendiri secara otonom dan bebas-sepenuhnya dalam kebebasan-eksistensial yang mutlak pada 'diri'-nya. Argumentasi bahwa tuntutan tanggung-jawab merupakan upaya pengkebirian hak kebebasan-berekspresi oleh otoritas yang berkuasa jelas tidak masuk akal dan lebih tampak sebagai upaya pembelaan diri yang konyol, atau tuduhan subjektif yang semena-mena, yang justru menurunkan martabat dan kualitas moral dirinya.



Bekasi, 11 Juni 2020
Sumber :
Pemahaman Pribadi




No comments:

Post a Comment