Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, November 6, 2020

Filsafat Sejarah 2 : Era Yunani-Kuno Hingga Abad-Pertengahan


Upaya untuk menurunkan/menarik/mengambil/memperoleh makna dari masa-lalu berumur sama-tuanya dengan kebudayaan itu sendiri. Pemahaman yang sesungguhnya tentang suatu kebudayaan bergantung pada sebuah keyakinan kepada kesamaan-sejarah bahwa anggota-anggota dalam suatu kebudayaan mengakui diri mereka berbagi/memiliki makna-yang-sama. Apakah makna-itu merupakan suatu interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sebagai hasil-campur-tangan (intervensi) 'sang-ilahi' atau apakah makna-itu merupakan 'makna-sekuler' yang menyatukan sejumlah keluarga atau bangsa/masyarakat, sejarah selalu merupakan semacam lem-perekat bagi sebuah struktur-dasar kebudayaan.

Filsafat-sejarah 'ilmiah' pertama yang dapat diperdebatkan ---filsafat-sejarah yang dicirikan dengan suatu usaha untuk menjadi tidak-bias, didasarkan pada kesaksian, komprehensif, dan tidak-dibebani strukur-prediktif yang besar--- dilakukan oleh 'Bapak-Sejarah' yaitu Herodotus (484-425 BC).

Kata 'History' (sejarah) berasal dari pemakaian kata 'Historia' untuk mendefinisikan 'penyelidikan' atau 'penelitian' yang dilakukan olehnya :

" Herodotus dari Helicarnassus, disini penyelidikan-nya dilakukan untuk melestarikan ingatan tentang masa-lalu dengan meletakan pada catatan mengenai capaian-capaian menakjubkan baik bangsa/masyarakat Yunani maupun non-Yunani dan lebih khusus, untuk menunjukan bagaimana dua-ras bangsa/masyarakat menjadi terlibat dalam konflik. " (Herodotus, Histories I.1,1)

Untuk mencapai karakterisasi-komprehensif tentang dunia Yunani dan non-Yunani, penelitian Herodotus bergantung pada tradisi-tradisi lisan (oral) dari para pendahulunya yang seringkali luar-biasa. Namun sesuatu ia korbankan terhadap fakta-fakta yang dapat dikonfirmasi, ia menyusun-nya dengan penjelasan-deskripsi kehidupan sehari-hari. Semua cerita betapapun tidak-masuk-akal dicatat tanpa penilaian-moral karena masing-masing cerita itu merefleksikan keyakinan-keyakinan pada saat itu dalam sebuah bangsa/masyarakat, semuanya patut untuk diketahui.

Meski Yunani dan Roma menghasilkan sejumlah sejarawan dan pencatat-peristiwa tidak ada seorangpun yang lebih komprehensif dan lebih berpengaruh daripada Thucydides (460-395 BC).

Seperti Herodotus, Thucydides memandang sejarah sebagai suatu sumber-pelajaran mengenai bagaimana bangsa/masyarakat cenderung bertingkah-laku. Dan seperti Herodotus, Thucydides juga memperhatikan bagaimana pertimbangan-pertimbangan-metodologis membentuk pandangan-pandangan kita terhadap masa-lalu.

Namun demikian, Thucydides bersikap kritis terhadap Herodotus karena gagal untuk mengangkat penjelasan yang cukup objektif.

" Mendengar sejarah ini diceritakan, sejauh itu tanpa hal-hal yang menakjubkan, mungkin memang tidak sepenuhnya menyenangkan. Tetapi siapapun yang berkeinginan untuk menyelidiki kebenaran (hakikat) hal-hal yang telah-terjadi dan yang mengacu pada karakter-manusia mungkin dapat terjadi-lagi atau setidaknya mendekati, akan cukup untuk membuat penyelidikan itu bermanfaat. " (Thucydides, The Peloponnesian War I, 22).

Untuk memperbaiki catatan Herodotus yang tidak-kritis (kurang-objektif), pertama Thucydides membatasi penyelidikannya kepada pelaku-pelaku-utama perang Peloponnesia yaitu para jendral-dan-gubernur yang memutuskan apa yang harus dilakukan daripada masyarakat-biasa yang hanya mampu berspekulasi tentang suatu peristiwa.

Pelajaran yang bisa dipetik bukanlah sekedar keberagaman-perilaku-kebudayaan belaka tetapi tipologi-karakter dari para-pelaku dan tindakan-tindakan mereka, yang akan berperan sebagai semacam pedoman untuk memandu-perilaku di masa-depan karena tindakan-tindakan sepertinya berulang dengan sendirinya.

Kedua, Thucydides memperlakukan bukti-bukti yang dimiliki dengan penuh-keraguan (skeptisisme). Dia mengaku tidak menerima desas-desus atau dugaan, dan hanya mengakui bukti-bukti yang secara personal dilihatnya atau bukti-lain yang sudah terkonfirmasi oleh banyak sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Thucydides adalah orang pertama yang menggunakan sikap-kritis terhadap sumber-sumber dalam dokumentasi pengumpulan bukti-bukti sejarah. Perkataan-panjang dan mengekspresikan dengan baik yang bersumber dari berbagai-pihak hanya dipertahankan dibawah sumpah bahwa mereka mengikuti sedekat-mungkin sesuai dengan maksud dari pembicara yang mereka duga.

Dengan memudarnya era klasik Yunani-kuno terjadi penurunan paradigma-ilmiah pada sejarah.

Praktek-praktek religius dari 'sejarah-sakral' (sejarah diceritakan kembali dengan tujuan untuk menanamkan suatu keyakinan yang dapat didasarkan pada fakta atau tidak) dalam dunia Yahudi-Kristen dan Islam, meski seringkali menafsirkan peristiwa-peristiwa-kunci yang sama dengan cara yang sangat berbeda, memiliki prinsip-prinsip 'meta-historis' yang sama.

Masa-lalu tidak dipelajari demi kebenaran yang bebas-kepentingan semata, tetapi dalam harapan tentang pencapaian sebuah ikatan antara 'rencana-ilahi' dan suatu perjalanan bangsa/masyarakat terpilih di dunia.

Dalam pengertian itu, sejumlah sejarawan non-fundamentalis dari masing-masing kepercayaan menghargai teks-teks-sakral mereka sebagai dokumen penuh-makna yang dimaksudkan untuk pertimbangan dalam sorotan masa-sekarang dan apa yang diyakini oleh penulisnya menjadi masa-depan bersama.

Di bawah permukaan rangkaian peristiwa seperti banjir, wabah, panen yang baik dan penguasa yang baik-hati terlihat suatu pelajaran moral-dan-spiritual yang diberikan Tuhan kepada suatu bangsa/masyarakat, yang merupakan tugas para-sejarawan untuk menghubungkan keduanya. Seperti dinyatakan dengan jelas dalam Al-Quran :

" Dalam sejarah mereka, terdapat suatu pelajaran bagi mereka yang berakal. "(Qu’ran 12:111).

Diantara para penulis sejarah pada awal abad pertengahan yang paling mendalam, tidak diragukan lagi adalah Augustine (354 C-430 C).

Berlawanan dengan Thucydides yang bermaksud menunjukan keberulangan elemen-elemen-tipikal dari masa-lalu, Augustine menekankan kepada 'linearitas' dari sejarah sebagai suatu bagian dari ajaran Kristianitas mengenai hari-akhir, pengungkapan kepastian rencana-abadi-Tuhan dalam suatu keteraturan-waktu perjalanan sejarah.

Karyanya 'Kota-Tuhan' (City of God, 413-26 C) mencirikan kehidupan dan bangsa-bangsa sebagai suatu penebusan-panjang terhadap dosa-asal yang mencapai puncaknya pada kebangkitan-Kristus.

Sejak itu dan seterusnya, sejarah menjadi suatu catatan tentang perjuangan yang melibatkan antara orang-yang-terpilih dalam 'Kota-Tuhan' (City of God) dan para pemberontak yang mencintai-diri yang hidup di dalam 'Kota-Manusia' (City of Men).

Karena waktu adalah linear, peristiwa-peristiwa kunci didalamnya adalah unik dan tidak bisa diganggu gugat :

Jatuhnya Adam ke dunia, kelahiran-dan-kematian Yesus dan kebangkitan-nya semua menggerakan sejarah bersama-sama menuju pengadilan-akhir dengan keteraturan yang sempurna.

'Sejarah-sakral' oleh karenanya cenderung memberi suatu narasi yang melingkupi segalanya mengenai makna-eksistensi-manusia, baik sebagai sebuah tragedi maupun sebuah pernyataan tentang harapan dalam penebusan kelak di masa-depan.

Di samping status-resmi ajaran gereja hampir di sepanjang dunia abad pertengahan, manifestasi pengaruhnya membentang sepanjang tradisi hermeneutis, begitu pula kepada para filsuf sejarah-teologis pada abad 19.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H1
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment