Lingkaran para pengikutnya mengungkap dan merestorasi kumpulan teks-teks-kuno dalam jumlah-besar, banyak diantaranya tidak-pernah terbayangkan selama milenium sebelumnya, diantaranya sejarah tentang Cicero, Livy, Tacitus, dan Varro.
Pada awal abad 15 M, bidang-bidang pengetahuan yang digeluti universitas-universitas humanis telah meluas dari inti-skolastik-nya menjadi melingkupi retorika, puisi dan di atas semuanya sejarah.
Dan dengan perhatian lebih-besar mereka kepada hal-hal dan bangsa/masyarakat dalam dunia-alam meningkatkan fokus perhatian kepada 'sejarah-politik' daripada kepada narasi-narasi besar religius. Selaras dengan itu, tidak lagi memusatkan-perhatian kepada kebangkitan-Kristus, tetapi keruntuhan-Roma.
Dan di sini, pelajaran sejarah bukanlah tentang suatu penurunan-moral yang terus terjadi, melainkan suatu harapan yang memahami model-model kehidupan sosial-politik-kuno akan menciptakan ruang semacam masa-kejayaan-sekuler.
Dengan fokus baru kepada urusan-manusia terjadi peningkatan perhatian kepada catatan-catatan dan bukti-bukti alami yang tertulis.
Dipersenjatai dengan harta-karun artefak-sastra-sekular yang baru diungkap, karya-karya Leonardo Bruni (1370-1444) dan Flavio Biondo (1392-1463) berisi serangan pertama menuju kritisisme-modern terhadap sumber-sumber penjelasan sejarah dan tuntutan mengenai dokumentasi bukti-bukti sejarah.
Dan bagi Bruni, karyanya 'History of the Florentine People' (1415-1439) (Sejarah Masyarakat/Bangsa Florentina), cerita yang disampaikan bukanlah suatu pandangan spiritual-atau-moral, namun suatu sejarah tentang perkembangan kebebasan-politik yang alamiah di Floren.
Namun pandangan di atas masih kurang nasionalis daripada pandangan Desiderius Erasmus yang juga menuntut agar para-sejarawan menelusuri kembali sumber-sumber mereka ke asli-nya, tidak hanya terkait dengan dokumen-dokumen resmi pemerintahan namun juga dengan artefak-artefak kebudayaan.
Dan itu berarti penyelidikan 'semangat-religius' yang terkandung dalam 'sejarah-sakral' dengan perangkat 'humanisme-renaisance'. Penerjemahan kedalam bahasa Latin dan Yunani terhadap Perjanjian-Baru olehnya adalah monumen-monumen penulisan-sejarah-akademis dan menjadi alat untuk gerakan-Reformasi.
Bagi Erasmus, sejarah menjadi suatu alat kritik terhadap kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan interpretasi-modern mengenai kemuliaan-masa-lalu dan suatu perangkat untuk menyingkap kebenaran terhadap kesalah-pahaman-yang-panjang mengenai bangsa/masyarakat, gagasan dan peristiwa-peristiwa.
Namun meski para penulis sejarah sebelumnya merenungkan secara mendalam usaha-usahanya, orang-pertama yang mendapat gelar filsuf-sejarah adalah Giambattista Vico (1668-1744 M).
Dialah yang pertama berpendapat tentang suatu 'proses-sejarah-umum' yang memandu perjalanan bangsa-bangsa dan berbagai masyarakat. Dalam karyanya 'Scienza Nuova', ia menulis :
" Ilmu-pengetahuan kita oleh karenanya datang untuk mendeskripsikan secara bersamaan suatu 'sejarah-kekal-yang-ideal' yang melewati semua-jaman dengan 'sejarah-setiap-bangsa/masyarakat' dalam kebangkitan, perkembangan, kedewasaan, penurunan dan keruntuhan-nya. Memang kita melangkah terlalu-jauh, seperti untuk menyatakan bahwa siapapun yang me-mediasi ilmu-pengetahuan-ilmiah ini mengatakan pada dirinya, bahwa 'sejarah-kekal-yang-ideal' ini sejauh ia membuatnya dengan bukti-bukti itu 'telah, harus dan akan ada'. Prinsip yang tidak-diragukan di atas, pertama meletakan bahwa dunia bangsa/masyarakat ini pastilah diciptakan oleh manusia dan karena itu cara-representasi-nya dapat ditemukan di dalam modifikasi-modifikasi-pikiran kita sebagai manusia. Dan sejarah tidak dapat lebih-pasti daripada ketika manusia yang menciptakan hal-hal itu juga mendeskripsikan-nya. " (Vico 1948, 104)
Filsafat-sejarah Vico mengikuti postulat-epistemologi-nya bahwa untuk mengetahui sesuatu/hal secara penuh mensyaratkan pemahaman bagaimana sesuatu/hal itu menjadi ada (proses bagaimana diciptakan).
Kebenaran adalah persis dengan apa yang telah dicipta, diekspresikan dalam bahasa latin olehnya sebagai 'Verum esse ipsum factum' (seseorang dapat mengetahui kebenaran tentang suatu/hal yang diciptakan olehnya).
Karena objek-objek alam tidak diciptakan oleh ilmuwan yang mempelajarinya, maka hingga tingkatan tertentu sifatnya harus tetap misterius (tidak-diketahui).
Tetapi sejarah umat-manusia, karena objek-objeknya dan penelitinya adalah satu-dan-sama yaitu manusia-sendiri, mempunyai suatu keuntungan metodologis dalam prinsip-prinsipnya.
Pemisahan antara ilmu-pengetahuan-alam dan ilmu-tentang-manusia berada dalam kesadaran yang bertentangan dengan 'universalitas-metodologis' yang dikemukakan oleh Descartes dan pemisahan-itu menjadi penting bagi para filsuf Post-Kantian abad 19 M dan kemudian bagi para Idealis-Inggris.
Vico juga mengajukan pendapat bahwa pikiran-pikiran kebudayaan pada era-nya berbeda dengan pikiran-pikiran primitiv nenek-moyang mereka.
Sementara para pemikir abad 18 M termasuk dirinya membentuk 'konsep-abstrak' dan 'proposisi-universal', bagi para nenek-moyang primitiv 'gambaran-gambaran dan suara-suara individual' menunjuk langsung kepada acuan hal/benda-nyata.
Sementara bagi para filsuf Post-Kantian 'petir' adalah sebuah simbol atau metafor bagi Zeus, bagi Vico imajiner-puitis 'petir' sesungguhnya adalah Zeus yang sebenarnya. Untuk merekonstruksi dengan sempurna baik mental/batin maupun sejarah dengan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas-pengetahuan-ilmiah atau penulisan-sejarah-pencerahan adalah tidak-mungkin. Sebuah pengetahuan-ilmiah-baru mengenai imajinasi diperlukan, sesuatu yang dapat menangkap-kembali secara simbolis bentuk-bentuk mental/batin bangsa/masyarakat masa-lalu dan menyatukan kembali emosi-emosi mereka.
Karena pandangan-pandangan epistemologis ini, Vico adalah orang pertama yang meletakkan perbedaan-era didalamnya terjadi rangkaian peristiwa-besar sejarah yang dilalui oleh semua bangsa/masyarakat yang berkembang, yang disebabkan oleh 'skema/pola-logis yang menyeluruh' (universal).
Setiap tahapan dari perkembangan suatu bangsa/masyarakat menghasilkan sebuah kepercayaan-baru terhadap sistem hukum-alamiah, pemakaian-bahasa dan lembaga-lembaga-pengatur.
Adalah 'suatu-kekuatan' yang menyebabkan transisi pada setiap bangsa/masyarakat dari suatu 'Era-Dewa/Tuhan', yaitu ketika bangsa/masyarakat mempercayai diri-mereka diatur secara langsung melalui pesan-pesan Sang-Dewa/Ilahi dan berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh objek-langsung penerima, kepada 'Era-Kepahlawanan' ketika para aristokrat menguasai rakyat-biasa sebagai hamba melalui suatu 'superioritas-kekuatan-kodrati' mereka dan berbicara dengan gambaran-gambaran metaforis dan kemudian ke 'Era-Manusia' ketika masyarakat berkomunikasi dengan 'generalitas-abstrak' dan mengasumsikan keduanya sebuah 'persamaan-umum' dalam ikatan-ikatan sosial mereka dan sebuah 'pemahaman-abstrak-tentang-keadilan' dengannya mereka diatur.
Adalah takdir kita sebagai umat-manusia dalam setiap bangsa/masyarakat untuk melewati 'jalan-utama-parade' sejarah, ini merupakan gerak-maju kapasitas-mental/batin dari suatu dengan kualitas-tidak-nyata (fantasia) menjadi suatu perenungan/pemikiran yang dalam (refleksi) terhadap realitas.
Pada akhirnya 'Era-Akal-dan-Peradaban' yang ideal tidak pernah dicapai. Pada kondisi kita yang paling-beradab, sejarah memutar diri kembali dalam suatu ‘keberulangan’ menuju ‘barbarisme-kedua’. Di sini, di dalam 'barbarisme-refleksi', dibantu oleh birokrasi-sipil, bahasa-tipu-daya, dan akal-licik, hasrat kita tidak-dibatasi oleh cara-cara dan adat-kebiasaan menonjol dalam 'Era-Dewa/Tuhan' atau 'Era-Kepahlawanan' hingga satu-titik dimana masyarakat-sipil meruntuhkan dirinya sebelum kembali ke siklus-kedua sejarah.
Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H2
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment