Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, July 13, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (1)

a. Soren Kierkegaard ( 1813-1855 )

Kierkegaard mempunyai banyak arti, diantaranya seorang filsuf, penulis-relijius, satiris, psikologis, jurnalis, kritikus-sastra dan secara umum dinilai sebagai 'Bapak-Eksistensialisme'.

Kierkegaard terlahir di Copenhagen, di dalam keluarga yang sejahtera, sehingga membuatnya mampu untuk mengabdikan hidupnya demi memburu keterarikan-intelektual-nya, sekaligus menjauhkan diri dari kehidupan sehari-hari 'lelaki-biasa' pada jamannya.

Karya-karya paling penting dari Kierkegaard menggunakan nama-samaran, ditulis dengan memakai nama-nama-fiksi, bahkan seringkali sangat-fiksi. Persoalan karya-dengan-nama-samaran terus diinterpretasikan secara beragam sebagai sebuah perangkat-sastra, suatu permainan-kata-kata personal, atau sebagai sebuah ilustrasi terhadap 'tegangan-yang-konstan' antara 'kebenaran-filosofis' dan 'kebenaran-eksistensial atau kebenaran-personal'.

Kita telah melihat bahwa bagi para Eksistensialis, adalah sama pentingnya antara apa-yang-dikatakan seseorang dan cara-dengannya-sesuatu-dikatakan. Bentuk ini merupakan bagian dari usaha untuk kembali kepada cara-berfilsafat yang-lebih-otentik, yang pertama-kali dicontohkan oleh para filsuf dari Yunani. Dalam sebuah karya seperti itu (terutama suatu risalah melawan para Hegelian) refleksi-refleksi-teoritis selalu diikuti dengan refleksi-refleksi-emosional bagaimana merayu seorang gadis.

Sudut-pandang ini adalah untuk menekankan beda-jarak antara kebenaran-kebenaran yang dihasilkan secara anonimus-dan-logis dari para penganut-logika dan kebenaran-kebenaran-personal dari eksistensi-individual. Setiap pengarang yang menggunakan nama-samaran adalah sebuah simbol bagi suatu eksistensi-individual dan pada saat yang sama, nama-nya adalah sebuah-kunci terhadap misteri-eksistensi-nya (seperti dalam kasus Johanes de Silentio, nama-pengarang-fiksi pada karya berjudul Fear and Trembling, dimana misteri dari tindakan-tindakan Abraham tidak-bisa diungkapkan, menjadi suatu produk kesenyapan sekaligus milik kesunyian).

Kierkegaard dikaitkan dengan sebuah paham kebenaran-subjektif (atau personal), tetapi apa maksudnya ?

Permasalahan tersebut dihubungkan dengan konfrontasi-terkenalnya melawan Danish Church dan lingkungan-akademis pada masa-nya. Karya Kierkegaard mengambil sisi berlawanan dengan latar-belakang suatu sistem-pengajaran (aliran-pemikiran) yang didominasi oleh dialektika-Hegelian dan suatu masyarakat yang mengurangi/menghilangkan komunikasi dengan Sang-Ilahi dalam pencarian-keseharian pada sisi-ritualistik suatu Kristianitas yang telah terlembaga.

Bagi Kierkegaard Hegel adalah musuh-utamanya, tidak hanya karena apa yang ditulisnya tetapi juga apa yang direpresentasikan-nya. Hegel adalah sebuah kekeliruan bagi Kierkegaard karena dia mengurangi/menghilangkan kebenaran-hidup Kristianitas (fakta bahwa Tuhan menderita dan meninggal disalib) hanya untuk sementara waktu saja, yang kemudian pasti akan muncul-kembali, melalui perkembangan-dialektis dari Roh. Sementara Hegel memperlakukan Tuhan sebagai sebuah 'Begriff' (sebuah konsep), bagi Kierkegaard kebenaran-Kristianitas menandakan paradok-sebuah-keyakinan yaitu :

bahwa adalah mungkin bagi individu untuk melampaui 'hal-hal-etis' dan namun atau lebih karena tindakan ketidaktaatan ini untuk dicintai oleh Tuhan.

Pendapat yang paling terkenal, bagi Hegel 'semua-yang-nyata adalah rasional', dimana rasionalitas berarti terartikulasikan-secara-historis, merupakan gerak-maju-dialektis dari Roh, sedangkan bagi Kierkegaard penanggalan-rasionalitas adalah rahasia-tertinggi dari Kristianitas.

Melawan logika-beku dari sistem Hegelian, Kierkegaard mencari "sebuah kebenaran yang benar bagi saya" (Kierkegaard 1996:32). Kristianitas secara khusus merepresentasikan usaha untuk menawarkan kehidupan-seseorang bagi pelayanan pada Sang-Ilahi. Hal ini tidak-bisa diperdebatkan, tetapi hanya bisa dihayati. Sementara seorang Theologian berusaha berdebat mengenai validitas pendiriannya dengan mengajukan pendapat dan membalasnya, seorang Kristian yang sejati akan berupaya menghayati hidupnya seperti cara Jesus menghayati kehidupan.

Ini sebuah bukti yang menandai kontinyuitas gagasan Hellenis tentang filsafat sebagai cara-menghayati-hidup, yang dicontohkan oleh sosok Socrates yang tidak menulis risalah apapun, tetapi yang meninggal demi gagasan-gagasan-nya. Dihadapan konsep-konsep-logis dari para Theologian (dalam kalimat dari Heidegger yang sangat dipengaruhi oleh Kierkegaard) diungkapkan dengan :

"manusia tidak-dapat bersimpuh sujud dengan rasa-penuh-kagum-dan-pesona sekaligus memainkan musik-dan-berdansa dihadapan Sang-Ilahi" (Heidegger 2002:42).

Gagasan 'kebenaran-subjektif' akan memiliki konsekuensi-konsekuensi serius pada pemahaman filosofis terhadap manusia. Oleh Aristoteles, manusia secara tradisional didefinisikan sebagai 'animale-rasionale' (binatang-yang-berpikir/binatang-rasional) dan dalam jangka waktu panjang dipuja seperti itu oleh banyak generasi pemikir-filosofis, kini Kierkegard muncul untuk mendefinisi-ulang manusia sebagai 'passionate-animal' (binatang-yang-berhasrat/binatang-emosional).

Apa yang menjelaskan tentang manusia adalah intensitas dari emosi-emosi-nya dan kehendak-nya untuk meyakini yang tidak bisa dipahami (berlawanan dengan pandangan manusia yang penuh dengan kekuatan-akal). Pembukaan jalan oleh Kierkegaard terhadap 'terra incognita' (wilayah yang belum terjamah) dari kehidupan-sisi-dalam-manusia menjadi berperan besar bagi para Eksistensialis berikutnya (yang paling penting bagi Nietzsche) dan akan membawa menuju sinar-terang keluar dari kegagalan dan kelemahan sebuah model-filsafat-optimis-berlebihan (karena bentuk-sebelumnya telah dimodelkan oleh ilmu-ilmu alam) yang mengajarkan untuk banyak berbicara mengenai 'kebenaran' tentang manusia, ketika semua hal yang dipahami tentang manusia merupakan suatu versi-terpotong (tidak memandang manusia sebagai totalitas kesesatuan/keseluruhan).

Dalam taman-surga, Adam dan Hawa menjalani hidup dalam keadaan tanpa-dosa ketika berkomunikasi dengan Tuhan dan dalam harmoni dengan lingkungan-fisiknya. Pengusiran dari taman-surga membuka suatu kemungkinan-kemungkinan-baru yang luas bagi mereka dan oleh karenanya muncul persoalan 'kecemasan'. Adam (kata Yahudi yang berarti manusia) sekarang menjadi bebas untuk menentukan jalur segala-sesuatu melalui tindakan-tindakannya. Secara alami-kodrati terdapat suatu 'tegangan' disini. Manusia, diciptakan sesuai dengan 'citra' Tuhan adalah sebuah ada-yang-tak-terbatas. Seperti Tuhan, manusia juga dapat memilih-dan-bertindak sesuai kehendak-nya. Meskipun demikian, secara bersamaan manusia adalah ada-yang-terbatas karena manusia dibatasi oleh tubuhnya, secara khusus oleh kondisi-kondisi sosial ekonomis dan lain sebagainya. 'Tegangan' antara terbatas dan tak-terbatas adalah sumber dari 'kecemasan'. Tetapi tidak seperti analisis Hegelian, Kierkegaard tidak mencari sebuah jalan keluar dari 'kecemasan', sebaliknya ia menekankan peran-positif-kecemasan dalam perkembangan manusia. Seperti yang dikatakan dengan penuh karakter :

"karena manusia adalah suatu sintesa, dia bisa menjadi di dalam kecemasan, dan semakin dalam lagi manusia berada dalam kecemasan, ia semakin hebat menjadi manusia" (Kierkegaard 1980:154).

Mengutamakan 'kecemasan' sebagai sebuah karakteristik eksistensi-manusia adalah sebuah gerak-tipikal para Eksistensialis, yang bermaksud untuk menegaskan peran-positif dari emosi-emosi bagi kehidupan manusia.

Mungkin karya yang paling terkenal dari Kierkegaard adalah Fear and Trembling, sebuah buku-pendek yang menunjukan banyak persoalan yang diangkat olehnya disepanjang karirnya. Fear and Trembling menceritakan kembali kisah pengorbanan Isak oleh ayahnya Abraham. Tuhan memerintahkan bahwa untuk membuktikan keyakinan-nya Abraham harus mengorbankan anak satu-satunya. Abraham mematuhinya, tetapi pada saat-saat terakhir Tuhan turun-tangan dan menyelamatkan Isak.

Moral apakah yang terkandung dari kisah itu ? Menurut keyakinan moral kita, tidak-kah seharusnya Abraham menolak untuk melakukan rencana Tuhan yang kejam ? Bukankah salah-satu keyakinan dasar dari Kristianitas adalah penghargaan terhadap kehidupan orang lain ? Jawaban yang secara alamiah disetujui. Abraham seharusnya menolak perintah Tuhan dan dia seharusnya menghormati hukum-hukum-etika.

Dengan demikian Abraham akan berada dalam sebuah hubungan-baik dengan hukum-itu-sendiri seperti dalam ungkapan 'warga yang selalu mematuhi hukum'. Namun sebaliknya, apa yang coba dicapai oleh Abraham adalah sebuah hubungan-personal dengan pencipta-hukum-moral. Pencipta ini dalam pengertian bukanlah sebuah sosok-figur-atau-ide abstrak, dia adalah seseorang dengan sebuah sebutan.

Sebutan 'Tuhan' Tetragrammaton (YHVE) adalah sulit untuk didefinisikan, ke-tidak-bisa-an untuk didefinisikan menunjukan ketertutupan sekaligus jarak terhadap 'yang-maha-besar'. Sehingga Tuhan-Kristian, sang-pencipta-hukum-moral atas kehendaknya sendiri menangguhkan hukum dan menuntut harapan-yang-tidak-sah-secara-etis untuk dipatuhi. Jacques Derrida menilai bahwa kini godaan bagi Abraham adalah hukum-etis itu sendiri (Derrida 1998:162) yaitu : ia harus menolak hal-etis, ini adalah logika-gila dari Tuhan.

Kisah tersebut secara alami memunculkan sejumlah persoalan. Bukan-kah model-kebenaran-subjektif semacam itu dan agama jelas berbahaya ? Bagaimana jika seseorang mendukung tindakan kekerasan sebagai sebuah perintah Tuhan ? Tanggapan Kierkegaard memberi pendapat bahwa hanya karena Abraham mencintai Isak dengan sepenuh hatinya sehingga pengorbanan bisa terjadi. "Dia harus mencintai Isak dengan seluruh jiwanya.... hanya demikian maka dia mampu mengorbankan-nya" (Kierkegaard 1983:74). Keyakinan Abraham dibuktikan dengan kekuatan-cinta pada dirinya kepada anaknya.

Meskipun demikian, ini bukanlah jawaban-lengkap terhadap pertanyaan tentang legitimasi, bahkan jika kita sepakat bahwa Abraham meyakini Tuhan mencintai-nya sehingga Tuhan akan berbagi perhatian kepada-nya. Kierkegaard juga membedakan antara tindakan Abraham dengan sebuah tindakan kepahlawanan-yang-tragis (seperti Agamemnon mengorbankan putrinya Iphigenia). Tindakan kepahlawanan-yang-tragis adalah sebuah hasil-perhitungan. Apa yang lebih baik untuk dilakukan ? Apa yang akan lebih menguntungkan ? Abraham jauh dari semua-perhitungan-pendek, dia berdiri sendiri, hanya begitu, bebas dihadapan ketakutan relijiusitas, harga dan imbal-balik dari kepercayaan.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2b
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment