Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, July 3, 2019

Eksistensialisme 2 : Tema-Tema Kunci Eksistensialisme (2)

Meskipun eksistensialisme merupakan sebuah tradisi pemikiran yang sangat beragam, tujuh tema dapat diidentifikasikan kepadanya yang memberi suatu kesatuan-pengertian secara keseluruhan.

Di sini, tema-tema akan diperkenalkan dengan singkat yang kemudian dapat menyediakan kita sebuah kerangka-intelektual untuk membahas sosok-sosok yang diambil sebagai contoh dalam sejarah eksistensialisme.

d. Ketersituasian

Tema umum berikutnya, kita menyebut ketersituasian.

Meskipun kebebasan-saya adalah absolut, kebebasan-saya selalu berada di dalam sebuah kontek-khusus. Tubuh-saya dan karakteristiknya, lingkungan-lingkungan-saya, berada di dalam dunia yang mensejarah dan masa-lalu-saya semuanya menambah berat beban kebebasan-saya. Hal inilah yang membuat kebebasan menjadi penuh makna.

Anggaplah saya berusaha mengada sebagai kebebasan walaupun sekedar berpura-pura berada di dalam abstraksi sebuah situasi. Dalam kondisi tersebut, saya tidak paham kemungkinan-kemungkinan apa yang terbuka bagi saya dan pilihan-pilihan apa yang harus saya-ambil di sini dan sekarang ini. Dalam kasus seperti itu, kebebasan-saya menjadi lugu/naif atau hanya bersifat ilusi.

Paham kebebasan yang konkret ini, mempunyai asal kelahiran filosofinya dari Hegel dan secara umum bertentangan dengan kebebasan-rasional-murni yang dideskripsikan oleh Kant.

Ketersituasian dihubungkan dengan paham yang telah kita bahas sebelumnya, berada di dalam tema filsafat sebagai cara-menghayati-hidup dalam hal pentingnya untuk memandang atau memahami kehidupan dan eksistensi dari dalam kehidupan itu sendiri.

Sebagai contoh banyak para intelektual abad ke 19 tertarik pada filsafat periode Yunani-Kuno, Roma dan abad-pertengahan atau filsafat-timur sebagai sebuah bentuk model-alternatif yang lebih terintegrasi dengan kehidupan.

Nietzsche dapat dipastikan turut memberi perhatian pada hal ini tetapi dia bukanlah bersikap tidak-kritis karena kondisi-manusia dicirikan oleh ada-yang-tersituasi-secara-historis, kondisi-manusia tidak dapat diubah hanya dengan memutar balik jarum jam atau diputuskan-begitu-saja menjadi suatu-kondisi yang lain. (Sartre secara khusus memiliki pandangan yang sama). Terkait dengan pandangan di atas, Heidegger menyatakan sebuah pendapat bahwa eksistensi-manusia tidak dapat diabstraksikan dalam dunia-nya karena ada-didunia-ini adalah bagian dari struktur-ontologis eksistensi itu sendiri. Banyak para eksistensialis menerima badan-individual-konkret-saya dan jenis kehidupan spesifik yang dihayati oleh badan-saya sebagai sebuah fakta utama mengenai saya (sebagai contoh Nietzsche, Scheler dan Marleau Ponti).

Saya juga pasti tersituasi-secara-sosial, setiap tindakan-tindakan saya katakanlah mengenai bagaimana saya memandang orang lain, namun secara resiprokal, setiap tindakan-tindakan mereka adalah juga sebuah pandangan mengenai segalanya tentang saya. Kebebasan-saya selalu tersituasi dengan penilaian-penilaian dari orang lain. Pemahaman khusus ini berasal dari analisis Hegel terhadap 'pengenalan' (recognation) dan ditemukan secara khusus pada Sartre, de-Beauvoir dan Jaspers.

Ketersituasian secara umum juga memiliki turunan yang penting secara filosofis, sebagai contoh pada Marx : kondisi-kondisi ekonomi dan politik bukanlah bersifat kontingen terhadap sifat kemanusiaan universal tetapi kondisi yang tumbuh secara alami dari dasar.

e. Eksistensi

Tentu saja, meskipun eksistensialisme mengambil sebutan-nya dari tema-bahasan filsafat eksistensi, ini tidak berarti bahwa terdapat kesamaan dalam cara memahami eksistensi itu sendiri. Namun demikian terdapat satu-titik kesesuaian di sana, yaitu bahwa eksistensi yang dengannya/padanya harus kita perhatikan di sini bukanlah eksistensi-benda-apa-pun tetapi eksistensi-manusia. Oleh karena terdapat perbedaan penting antara eksistensi-manusia yang mempunyai ciri-khusus dengan eksistensi-benda-benda-lainnya dan eksisitensi-manusia bukanlah untuk dipahami menggunakan model eksistensi-benda-benda yaitu sebagai objek-pengetahuan.

Seseorang mungkin berpikir bahwa ini adalah sebuah gagasan lama yang berakar dari perbedaan antara materi-dan-jiwa (matter and soul) yang dikemukakan Plato atau oleh pandangan Descartes melalui perbedaan antara badan-dan-pikiran (extended and thinking things). Namun perbedaan ini tampak hanya merupakan perbedaan antara dua jenis benda. Meskipun demikian, secara khusus Descartes seringkali dikritisi oleh para eksistensialis karena merangkum keduanya badan-dan-pikiran ke dalam satu-pengertian 'substansi' dan oleh karenanya memperlakukan apa yang khusus dalam eksistensi-manusia benar-benar sebagai sebuah eksistensi-benda-atau-objek, sekalipun dengan sifat-sifat yang berbeda. (Apakah karakterisasi eksistensialis terhadap pendapat Plato atau Descartes adalah akurat, itu adalah sebuah pertanyaan yang berbeda.)

Para eksistensialis oleh karena itu melawan konsepsi Plato dan Descartes dengan sebuah model yang lebih mirip dengan pandangan Aristoteles seperti yang dikembangkan dalam karyanya Nichomachean Ethics. Gagasan ini sampai kepada para eksistensialis meski telah melalui penyaringan oleh Leibniz dan Spinosa serta oleh paham-paham yang berupaya mencari pemahaman terhadap eksistensi.

Sama pentingnya adalah peningkatan secara praktis yang melebihi peningkatan teoritis pada para Idealis Jerman. Khususnya pada Kant yang menekankan pada keutamaan 'praktis' dan kemudian pada Fiche dan masa awal dari Schelling, kita menemukan pemahaman bahwa eksistensi adalah tindakan. Begitu juga pada Nietzsche dan Sartre pemahaman bahwa eksistensi-manusia adalah segala dan hanya apa yang dilakukan manusia itu sendiri ('being') dan secara korelatif berarti membebaskan diri dari ketakutan akan kematian, juga dari hal-hal di dalam diri-saya yang merupakan semua tindakan-tindakan yang telah saya-lakukan. Meskipun tindakan-tindakan saya adalah bebas, saya tidak-bebas untuk tidak-bertindak. Oleh karena itu eksistensi juga dicirikan oleh exigency yaitu situasi-sulit yang mendesak dan harus dihadapi (Marcel). Bagi para eksistensialis, eksistensi-yang-otentik melibatkan sebuah tegangan-tertentu yang melaluinya dikenali dan dihayati tetapi tidak-bisa diselesaikan. Tegangan ini dapat berupa tegangan antara binatang-dan-rasionalitas (penting pada Nietzsche) atau antara faktisitas-dan-transenden (Sartre dan de Beauvoir)

Pada abad ke 19 dan 20, ilmu pengetahuan manusia (seperti psikologi, sosiologi atau ekonomi) telah menjadi ilmu-ilmu yang dikenal sangat kuat dan diakui-legitimasinya. Sampai tingkat tertentu, setidaknya asumsi-asumsi dan metode-metode ilmu-sosial dan humaniora tampak dipinjam dari limu-ilmu alam. Meskipun para filsuf seperti Dilthey dan kemudian Gadamer telah memberikan perhatian untuk menunjukan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia harus mempunyai metode-khusus, para eksistensialis cenderung untuk bergerak lebih jauh lagi. Kebebasan dan keberadaan-manusia yang tersituasi bukanlah objek dari pengetahuan, dalam pengertian manusia selalu mengada sebagai kemungkinan melampaui setiap pengetahuan apapun tentangnya. Sebuah hubungan yang jelas antara gagasan semacam itu dan paham 'trasendensi-terhadap-yang-lain' ditemukan dalam fenomenologi-etis dari Emmanuel Levinas.

f. Irrasionalitas / Absurditas

Diantara gagasan paling terkenal yang dikaitkan dengan eksistensialisne adalah tentang absurditas. Eksistensi-manusia dapat dideskripsikan sebagai absurditas dalam salah satu pengertian berikut ini.

Pertama, banyak eksistensialis berpendapat bahwa alam sebagai sebuah kesatuan/keseluruhan tidaklah mempunyai rancangan dan, tidak ada alasan yang masuk-akal bagi keberadaannya. Meskipun dunia-alam, dapat dipahami dengan ilmu-ilmu fisik atau metafisik, hal itu mungkin akan lebih baik untuk dipertimbangkan sebagai 'deskripsi' daripada pemahaman atau penjelasan. Sehingga capaian-capaian ilmu-alam tidaklah bersifat mengandung nilai atau makna. Sebagai contoh, seperti sebuah kosmos yang telah tercipta, kita tidak dapat mengharap deskripsi-saintifik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita berkaitan dengan nilai atau makna. Lebih lagi deskripsi semacam itu muncul dengan pengorbanan sebuah kekeliruan berpikir yang mendalam terhadap alam : sebutlah meletakan entitas-ideal seperti hukum-alam sebagai sebuah dasar argumen atau penggabungan dari semua realitas di bawah sebuah model ada-yang-tunggal.

Manusia dapat dan seharusnya menjadi sangat sadar terhadap adanya ketidak-masuk-akalan dan ketidak-mungkinan sebuah pemahaman dari dalam terhadapnya. Camus, sebagai contoh, berpendapat bahwa dasar pandangan terhadap eksistensi-manusia adalah konfrontasi dirinya dengan irrasionalitas yang tidak dapat diungkapkan.

Makna kedua dari absurd adalah : kebebasan saya bukan hanya tidak-ditentukan oleh pengetahuan atau akal, tetapi juga dari sudut-pandang bahwa kebebasan itu sendiri bahkan tampak absurd.

Absurditas oleh karenanya sangat terkait dengan tema 'ada-pada-dirinya-sendiri', yang telah kita bahas sebelumnya di bawah judul-bahasan kecemasan. Bahkan jika saya memilih untuk mengikuti dan mematuhi sebuah hukum yang kepadanya saya telah mengabdikan/mematuhkan diri, pilihan saya terhadap hukum-itu akan tampak absurd, dan begitu juga pilihan-afirmasi-kembali saya untuk terus menerus setia mematuhinya tampak absurd.

Ketiga, eksistensi-manusia sebagai tindakan adalah situasi-buruk tak terhindarkan yang selalu menghancurkan dirinya. Suatu tindakan-bebas, sekali telah dilakukan menjadi tidak-bebas. Ia berubah menjadi salah satu aspek-dunia, yaitu suatu-benda.

Absurditas eksistensi-manusia kemudian seolah terletak di dalam sebuah fakta bahwa dalam-menjadi-diri-saya (suatu eksistensi yang bebas) saya harus menjadi-bukan-saya yang bukan-suatu-benda. Jika saya tidak menghadapi absurditas ini, dan memilih menjadi atau berpura-pura seperti-benda, dikatakan mengada-secara-tidak-otentik (istilah dalam formulasi ini berasal dari pendapat Sartre)

g. Kerumunan

Eksistensialisme secara umum juga membawa suatu dimensi sosial atau politik. Sejauh ketika seseorang adalah otentik, kebebasan-manusia akan menunjukan suatu 'resolusi' atau 'komitmen' tertentu dan ini akan melibatkan ada-ada-yang-lain (khususnya ada-yang-otentik). Sebagai contoh, Nietzsche berbicara melalui karyanya Zarathustra untuk membantu transformasi-manusia dan di sana Nietzsche juga menyerang analisis terhadap konsep-persahabatan. Bagi Heidegger, pastilah terdapat suatu cara-otentik (authentic-mode) dari ada-bersama-yang-lain, meskipun ia tidak mengembangkan gagasan ini dengan panjang. Aspek sosial dan politik dari komitmen-yang-otentik jauh lebih jelas pada Sartre, de Beauvoir dan Camus. Itulah sisi-positif dari dimensi sosial atau politik eksistensialisme.

Namun demikian, sebagai pengantar bahasan sisi-positif ini, terdapat suatu deskripsi terhadap bentuk-bentuk-tipikal yang diambil oleh eksistensi-sosial-atau-politik-yang-tidak-otentik. Banyak para eksistensialis menggunakan istilah-isitilah seperti kerumunan (Crowd), Horde (Scheler ) atau massa (Masses, Jose Ortega y Gasset). Kemudian pernyataan provokatif dari Nietzsche, 'the Herd' adalah memotret kumpulan-manusia tidak hanya sebagai binatang, tetapi juga sebagai binatang-binatang jinak dan peliharaan-domesitk. Perlu dicermati bahwa semua ini adalah istiliah-istilah kolektif : ke-tidak-otentik-kan mewujud dirinya sebagai 'de-individualisasi' atau 'tanpa-wajah'. Sebagai ganti ada-yang-dibentuk-secara-otentik dalam kebebasan dan kecemasan, nilai-nilai hanya diterima dari yang-lain dengan alasan 'begitulah yang dilakukan setiap orang'

Istilah-istilah itu seringkali membawa suatu gaung-historis-tertentu, membentuk suatu kritik terhadap cara-modern-yang-spesifik bagi eksistensi-manusia. Segala yang mengikutinya dapat dilihat baik sebagai sebab-sebab atau gejala-gejala sebuah dunia yang runtuh atau hancur-terpecah-belah (Marcel) sebagai contoh teknologi komunikasi-massa (Nietzsche menggambarkan secara khusus mengenai surat-kabar dan jurnalis, dalam karyanya 'Two Ages' Kierekgaard berpendapat sebagai sesuatu yang sangat-dikenal), kekosongan ketaatan beragama, spesialisasi pekerja dan peranan-sosial, urbanisasi dan industrialisasi.

Tema-bahasan kerumunan juga mempunyai suatu pertanyaan terhadap dimensi positif sosial atau politik dari eksistensialisme yaitu :

Bagaimana suatu eksistensi-bentuk-kolektif dapat menjadi apapun-yang-lain selain ada-yang-tidak-otentik ?

Abad ke 19 dan 20 menyajikan sejumlah massa-politik-ideologis yang dapat dilihat memiliki lingkungan menantang yang khusus bagi eksistensi-otentik-dan-bebas. Sebagai contoh, nasionalisme menjadi dikritisi khususnya oleh Nietzsche. Setelah perang-dunia-kedua sosialisme dan komunisme, Sartre dapat dipastikan seorang komunis, tetapi kemudian ia tidak-takut untuk memberi kritik kepada keduanya Partai Komunis Perancis dan Uni-Soviet terhadap kekakuan atau ketidak-cukupan pemikiran-revolusionernya. Demokrasi : Aristoteles pada buku 5 dalam karyanya Politics membedakan antara demokrasi dan ochlokrasi, yang kemudian secara esensial berarti pemerintahan oleh mereka yang tidak mampu mengatur bahkan terhadap dirinya-sendiri. Banyak eksistensialis melakukan identifikasi hal itu terhadap konsep bangsa Amerika dan khususnya Perancis dengan 'Democrazy'. Nietzsche dan Ortega y Gasset keduanya telah menganut suatu kriteria aristokratik secara luas bagi kepemimpinan sosial dan politik.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/
Pemahaman Pribadi




No comments:

Post a Comment