Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, June 29, 2019

Eksistensialisme 2 : Tema-Tema Kunci Eksistensialisme (1)

Meskipun eksistensialisme merupakan sebuah tradisi pemikiran yang sangat beragam, tujuh tema dapat diidentifikasikan kepadanya yang memberi suatu kesatuan-pengertian secara keseluruhan.

Di sini, tema-tema akan diperkenalkan dengan singkat yang kemudian dapat menyediakan kita sebuah kerangka-intelektual untuk membahas sosok-sosok yang diambil sebagai contoh dalam sejarah eksistensialisme.

a. Filsafat sebagai sebuah cara-menghayati-hidup.

Filsafat seharusnya tidak-dipikirkan terutama sebagai suatu upaya untuk menyelidiki dan memahami diri (the self) atau dunia (the world) ataupun sebagai sebuah kerja yang memperhatikan hanya sedikit hal secara khusus.

Sebaliknya, filsafat harus dipikir sebagai sesuatu yang terintegrasi-penuh dengan kehidupan.

Sebagai sebuah penyelidikan dan pemahaman terhadap diri dan dunia, adalah menjadi pasti di sana perlu menjadi filsuf-profesional yang mengembangkan sebuah bahasan detail dan mendalam (elaborasi) sejumlah metode dan konsep-konsep (Sartre seringkali menekankan hal ini) tetapi hidup dapat dijalani secara filosofis tanpa pengetahuan-teknis filsafat.

Para pemikir eksistensialis cenderung mengidentifikasi asal-muasal paham filsafat sebagai cara-menghayati-hidup kepada dua paham-pendahulunya secara historis.

Yang pertama, dari filsafat Yunani Kuno dan khususnya sosok Socrates, tetapi juga para filsuf Stoic dan Epicurean. Socrates tidak hanya non-profesional, tetapi dalam perburuannya terhadap 'kehidupan-yang-baik' ia cenderung menghindari pembentukan sebuah 'sistem' atau 'teori' dan pengajarannya sering kali dilakukan di tempat-tempat umum. Dalam hal ini, para eksistensialis sangatlah tidak-biasa melakukannya.

Pada abad 19 dan 20, kecepatan ekspansi dari industrialisasi dan pesatnya perkembangan teknologi seringkali dilihat/dipandang dalam pengertian alienasi-manusia (keterasingan-manusia) dari alam atau dari cara-hidup-yang-selaras-dengan-alam (sebagai contoh para pemikir Romantisme Jerman dan Inggris)

Pengaruh kedua terhadap pemikiran filsafat sebagai sebuah cara-menghayati-hidup adalah Idealisme Jerman setelah Kant.

Sebagian sebagai sebuah respon terhadap pencerahan abad ke 18, dan dibawah pengaruh Neoplatonisme, filsuf Schelling dan Hegel keduanya berpikir tentang filsafat sebagai sebuah aktivitas yang merupakan bagian integral sejarah-manusia bukan filsafat yang melihat kepada kehidupan-diluar-dirinya dan dunia.

Kemudian pada abad ke 19, kritik terkenal Marx terhadap filsafat-filsafat sebelumnya dengan mengatakan bahwa inti dari filsafat bukanlah mengetahui benda-benda, bahkan lebih jauh bukan untuk mengetahui aktivitas-benda-benda, melainkan untuk merubahnya. Menurut Marx, para filsuf lebih banyak memikirkan dunia padahal yang dibutuhkan justru merubahnya.

Konsep tentang filsafat sebagai cara-menghayati-hidup mewujud dengan sendirinya dalam pemikiran eksistensialis melalui sejumlah cara. Beberapa contoh dapat diberikan, kemudian kita akan kembali membahasnya pada bagian selanjutnya.

Pertama, para eksistensialis seringkali berada di bawah peranan suatu kritik kepada dunia-modern dalam subjek-bahasan 'spesialisasi' baik terhadap pekerja manual maupun intelektual.

Salah satu konsekuensi hal ini adalah banyak pemikir eksistensialis melakukan eksperimen dengan bermacam gaya dan genre penulisan dengan maksud lepas dari pengaruh 'spesialisasi'.

Kedua, sebuah paham yang kita sebut 'immanen', yaitu filsafat yang mempelajari kehidupan dari dalam kehidupan itu sendiri. Sebagai contoh, bagi Kierkekaard hakekat-mendasar dari eksistensi-saya bukanlah representasi-representasi. Oleh karena itu bukanlah ide-ide, proposisi, atau simbol-simbol yang terlepas dan terpisah dari sumber-asalnya. Namun hakekat-eksistensi manusia sesungguhnya adalah langsung dihayati, dirasakan dan dilakukan. Begitu juga bagi Heidegger dan Nietzsche adalah esensial untuk memahami bahwa para filsuf yang menelisik eksistensi-manusia yaitu dirinya-sendiri adalah juga manusia yang eksis.

Ketiga, sifat-kodrat-kehidupan itu sendiri adalah perhatian-abadi dari para eksistensialis dan lebih terkenal (pada Heidegger dan Camus) adalah perhatian kepada pentingnya makna-kematian.

b. Kecemasan dan Otentisitas

Sebuah gagasan kunci di sini adalah bahwa eksistensi-manusia adalah suatu bentuk keberadaan 'pada-dirinya-sendiri'. Kecemasan adalah pengenalan terhadap fakta ini.

Kecamasan memiliki dua implikasi. Pertama, yang paling umum, banyak para eksistensialis cenderung menekankan pentingnya perasaan atau emosi sejauh mereka berasumsi memiliki sedikit hubungan yang termediasi secara budaya dan intelektual dengan jenis eksistensi individual-dan-terpisah yang lain.

Gagasan ini ditemukan pada Kierkegaard, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dan pembahasan Heidegger pada 'mood'. Pentingnya perasaan bagi para eksistensialis adalah juga salah satu alasan mengapa eksistensialisme berpengaruh pada psikologi.

Kedua, kecemasan juga bermakna sebuah bentuk-eksistensi yaitu pengenalan terhadap 'ada-pada-dirinya-sendiri'. Apa makna 'ada-pada-dirinya-sendiri' adalah bervariasi diantara para filsuf. Sebagai contoh, mungkin dapat berarti irrelevansi atau pengaruh-negatif terhadap pemikiran-rasional, nilai-nilai moral atau bukti-bukti empiris ketika hal-itu mewujud dalam membuat keputusan-keputusan fundamental berkaitan dengan eksistensi.

Seperti yang seharusnya kita lihat, Kierkegaard melihat penjelasan Hegel terhadap agama dalam pengertian sejarah roh-absolut sebagai sebuah contoh kebingungan antara iman dan akal. Secara alternatif, pandangan Hegel mungkin merupakan sebuah pendapat teologis yang lebih-spesifik : maka jika kita menangkap penjelasan Hegel semacam eksistensi satu-Tuhan-yang-transenden adalah tidak-relevan terhadap keputusan-keputusan semacam itu.

Yang terakhir, 'ada-pada-dirinya-sendiri' dapat menandakan keunikan eksistensi-manusia dan oleh karenanya adalah kenyataan bahwa 'ada-pada-dirinya-sendiri' (itself) tidak dapat dipahami dalam pengertian oleh eksistensi yang lain.

Terkait dengan kecemasan adalah konsep otentisitas, yang dapat dikatakan merupakan perubahan-pengertian terhadap filsafat Yunani tentang paham kehidupan-yang-baik oleh para eksistensialis.

Seharusnya kita melihat, 'ada-yang-otentik' akan mampu mengenali dan mengafirmasi/mengakui sifat-kodrat dari eksistensi (kita harus menentukan beberapa aspek ini secara singkat, misal absurditas dan kebebasan). Meskipun demikian, bukanlah mengenali sifat-kodrat-eksistensi sebagai sebuah fakta-intelektual yang tidak terkait dengan kehidupan, melainkan 'ada-yang-otentik' menghayati hidup sesuai dengan sifat-kodrat ini.

Paham otentisitas seringkali tampak terhubung erat dengan individualisme. Hal ini hanyalah pemaksaan kembali oleh sebuah tema yang berlawanan dengannya, yang akan kita bahas selanjutnya yaitu kerumunan.

Pastilah, apabila otentisitas melibatkan 'ada-pada-dirinya-sendiri' dari seseorang maka di sana akan tampak menjadi semacam nilai dalam merayakan dan mempertahankan perbedaan seseorang dan ketidak-bergantungan terhadap yang lain.

Meskipun demikian, para eksistensialis melihat individualisme sebagai sebuah kecenderungan sejarah dan budaya (sebagai contoh Nietzsche) atau keraguan politis (Camus) daripada sebagai komponen yang penting dari 'ada-yang-otentik'.

Individualisme cenderung untuk menyembunyikan jenis-kolektivitas-khusus, yang justru dengan cara tertentu dinilai penting bagi para eksistensialis.

Bagi banyak eksistensialis, kondisi dunia-modern menjadikan khususnya otentisitas semakin sulit. Sebagai contoh banyak eksistensialis kemudian bergabung dengan filsuf lain (sebagai contoh Frankfurt School) untuk melakukan kritik keras kepada suatu konsepsi-instrumentalis terhadap pikiran-dan-nilai.

Utilitarianisme dari Mill juga mengukur nilai moral-dan-keadilan dalam pengertian konsekuensi dari tindakan. Kemudian liberalisme akan mencari untuk menyerap hampir semua fungsi-fungsi kehidupan politik dan sosial di bawah pengertian kinerja-ekonomis. Evaluasi hanya dalam pengertian hasil produksi yang dapat diukur dilihat sebagai pemaksaan kembali sekulerisasi terhadap lembaga-lembaga, kehidupan politik, sosial atau ekonomi. Juga kembali memaksa untuk mengabaikan setiap pengertian yang lebih luas terhadap dimensi spiritual.

Eksistensialis seperti Martin Heidegger, Hannah Arendt, dan Gabriel Marcel memandang gerakan sosial ini dalam pengertian sebuah penyempitan kemungkinan-kemungkinan penalaran manusia yang hanya menuju kepada cara berpikir instrumental dan teknologikal. Penyempitan ini melibatkan pemikiran terhadap dunia dalam pengertian sumber-daya dan pemikiran kepada semua tindakan manusia sebagai sebuah produksi/penciptaan barang, bahkan berfungsi semacam mesin.

c. Kebebasan

Tema kunci berikutnya adalah kebebasan. Kebebasan sangat berguna dihubungkan dengan konsep kecemasan karena Kebebasan-saya berada di dalam bagian yang ditentukan oleh isolasi keputusan-keputusan-saya dari determenasi apapun baik oleh Tuhan ataupun oleh keberadaan nilai-nilai atau pengetahuan sebelumnya.

Banyak eksistensialis mengidentikasikan abad 19 dan 20 sebagai pengalaman suatu krisis akan nilai. Krisis ini dapat ditelusuri kembali kepada alasan-alasan yang sudah dikenal seperti meningkatnya masyarakat sekuler atau bangkitnya gerakan-gerakan sain dan filsafat yang mempertanyakan penjelasan-penjelasan tradisional terhadap nilai seperti Marxisme atau Darwinisme atau pengalaman yang mengerikan perang dunia ke dua dan fenomena pembunuhan masal (genosida).

Meskipun demikian, adalah penting untuk dicatat bahwa bagi eksistensialisme kondisi-kondisi sejarah ini tidak memunculkan persoalan kecemasan terhadap kebebasan tetapi hanya menuangkannya ke tingkat pelepasan yang lebih tinggi. Serupa dengan itu, kebebasan membuat penting sesuatu, seperti tanggung-jawab pada diri-saya dan tindakan-tindakan-saya.

Dengan kondisi demikian, situasi-saya adalah salah-satu bentuk 'ada-pada-dirinya-sendiri' --dikenali pada kecemasan-- maka kebebasan-saya dan tanggung-jawab-saya adalah mutlak (absolut). Isolasi yang telah kita bahas di atas berarti bahwa tidak ada sesuatupun yang lain di sana, yang bertindak sebagai saya atau yang memikul tanggung-jawab-saya.

Demikian juga, kecuali jika eksistensi-manusia dipahami sebagai perubahan acak dari momen ke momen, kebebasan dan tanggung-jawab ini harus terbentang sepanjang waktu. Oleh karena itu, ketika saya mengada sebagai sebuah ada-yang-bebas secara otentik, saya mengangsumsikan tanggung-jawab untuk sepanjang hidup saya sebagai sebuah komitment atau 'projek'.

Kita harus mencatat disini, banyak para eksistensialis mengambil gagasan paham kebebasan dari Kant secara luas yaitu kebebasan sebagai otonomi. Hal ini berati bahwa kebebasan bukanlah sekedar keberadaan-acak yang terdiri dari keterikatan satu-diri sesorang terhadap suatu hukum melainkan suatu hukum yang ditentukan oleh diri dalam pengenalan terhadap tanggung-jawabnya. Peminjaman gagasan dari Kant ini akan sangat diyakinkan pada pembahasan tema berikutnya.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment