Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, July 14, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (2)

a. Friedrich Nietzsche ( 1844-1900 )

"Aku tahu nasibku ! Suatu hari kelak nama-ku akan dihubungkan dengan ingatan sesuatu semacam monster, dari sebuah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya di bumi ini..."
(Nietzsche 2007:88)

Sungguh bukan kepalang, apa yang pada tahun 1888 terdengar seperti megalomania beberapa tahun kemudian menjadi kenyataan. Nama 'Nietzsche' telah dihubungkan dengan barisan peristiwa-peristiwa sejarah, konsep-konsep filosofi dan legenda-legenda populer yang tersebar luas. Di atas segalanya, bagaimanapun Nietzsche telah berhasil mengaitkan namanya dengan pusaran suatu krisis.

Untuk beberapa saat, krisis yang dimaksud dikaitkan dengan peristiwa perang-dunia-ke-2. Ledakan-ledakan ajarannya oleh para ideolog-ideolog Nazi (tercatat Alfred Rosenberg dan Alfred Baeumler), meski secara keseluruhan salah-arah, sumber-sumbernya dapat diperdebatkan berasal dari karakter "radikalisme-aristokratik" Nietzsche sendiri.

Lebih umum lagi, krisis yang dimaksud mengacu pada kemungkinan suatu masa-depan tanpa-makna apapun. Ini adalah suatu tema umum bagi semua Eksistensialis tentunya.

Kemungkinan masa-depan terhadap Nihilisme (kemerosotan nilai-nilai-tertinggi), bagi Nietzsche menasbihkan suatu masa didalamnya manusia sendiri, untuk pertama kali dalam sejarahnya, terpanggil untuk memberi makna terhadap keduanya baik kepada eksistensi-dirinya-sendiri maupun kepada eksistensi-dunia.

Nihilisme adalah suatu peristiwa bencana-besar, ketika berada di sana, saat itu pula tidak-ada panduan untuk diikuti, penerang untuk mengarahkan kita, dan tidak-ada hak untuk menjawab tetapi hanya upaya-upaya ujicoba menuju hasil-hasil yang tidak diketahui.

Banyak Eksistensialis, dalam usahanya untuk membedakan nilai eksistensi-individual dari pengaruh-pengaruh-keterasingan-kumpulan-massa, membentuk suatu relasi-yang-buruk dengan nilai-nilai "manusia-biasa" (everyday-man).

'Manusia-biasa' dipandang tidak memiliki kehendak, rasa terhadap hal-hal keindahan dan individualitas, dalam pengertian bahwa penegasan terhadap eksistensi-nya, muncul secara eksklusif dari ikut-sertanya dalam kelompok yang lebih besar dan dari mentalitas 'herd', suatu mentalitas yang dimasukan/ditanamkan oleh kelompok-kelompok kepada para anggotanya.

Nietzsche meyakini bahwa manusia di dalam masyarakat terbagi dan diatur oleh kehendak-dan-kapasitas-nya untuk berperan-serta dalam suatu transformasi kehidupan spiritual dan kebudayaan

Tentu saja tidak setiap orang mengharapkan peran-serta ini dan kutukan Nietzsche terhadap tidak-adanya kehendak untuk menantang keyakinan-keyakinan fundamental mereka adalah sangat kasar. Namun menjadi suatu kekeliruan untuk berpendapat bahwa Nietzsche berpikir kehadiran mereka tidak diperlukan.

Dalam beragam aforisma, ia menekankan pentingnya 'umum' sebagai sebuah keharusan-prasyarat baik bagi perkembangan maupun bagi nilai dari 'kekecualian' (eksepsional).

Gagasan semacam itu bertabrakan dengan pengertian modern kita (diri sebagai suatu produk dari sebuah pelatihan tertentu). Meski demikian, seseorang harus mengenal bahwa tidak ada seorang filsuf tanpa pra-angggapan, dan bahwa keteguhan Nietzsche memegang nilai-nilai 'kekecualian' (eksepsional) menandai awal-dan-pemahaman dirinya terhadap tugas-tugas dari berpikir.

Krisis-makna disamping memunculkan keraguan-politik, krisis-itu-sendiri hanyalah suatu efek-setelah-nya dari suatu tantangan yang lebih besar-dan-dalam, yang diidentifikasi dan dimiliki dalam karya-karya Nietzsche.

Bagi Nietszsche krisis-makna merupakan hubungan tak terpisahkan dengan krisis kesadaran-agama di Barat. Sedang bagi Kierkegaard persoalan makna harus diselesaikan melalui hubungan individual dengan Sang-Ilahi, bagi Nietzsche seorang Anti-Kristian yang militan, persoalan makna hanyalah kemungkinan-kemungkinan-acak yang disebabkan oleh Kematian-Sang-Ilahi.

Seperti yang ia jelaskan dalam karyanya The Genealogy of Morality (Lahirnya Moralitas), hanya setelah penanaman-kebenaran sebagai sebuah-nilai oleh para pendeta maka kebenaran menjadi dipertanyakan nilai-dan-fungsi-nya.

Apa yang sesungguhnya diungkap oleh kebenaran, adalah bahwa di dasar semua kebenaran terletak sebuah-keyakinan kepada nilai-kebenaran yang tidak-dapat-dipertanyakan. Kristianitas dihancurkan, ketika Kristianitas ditekan untuk mengatakan kebenaran-dirinya, ketika ilusi-ilusi dari ideal-ideal-tua masa lalu diungkapkan.

Apa yang disebut 'Kematian-Tuhan' kemudian merupakan kematian dari kebenaran (meski bukan nilai dari kebenaran). Ini adalah suatu peristwa yang membawa konsekuensi sangat-besar bagi masa-depan.

Namun siapapun harus berhati-hati untuk memahami 'Kematian-Tuhan'. Para pembaca dari banyak generasi, dengan terlalu memusatkan perhatian pada peristiwa aktual pengumuman 'Kematian-Tuhan', benar-benar telah melewatkan/mengabaikan kepedihan seorang lelaki-gila yang hadir berkabung mengikuti pengumuman itu.

"Dimana Tuhan ?" Dia berteriak.
"Kuberitahu kau ! Kita telah membunuhnya, kau dan aku !
"Kita semua adalah pembunuhnya."
"Tapi bagaimana kita melakukan ini ?"
"Bagaimana kita mampu meminum lautan ?"
"Siapa yang memberi kita busa untuk menghapus seluruh horizon ?"
"Apa yang akan kita lakukan ketika kita melepaskan ikatan bumi ini dari mataharinya ?"
"Kemana bumi bergerak ?"
"Kemana kita bergerak menuju ?"
"Menjauhi semua matahari ???"
(Nietzsche 2001:125).

Kalimat di atas sangatlah jauh dari deklarasi yang ceria : tak ada seorangpun yang bahagia disana !

Ateisme Nietzsche tidak ada kaitan-nya dengan ateisme-naif pada orang lain (sebagai contoh Sartre) yang tergesa-gesa untuk mengafirmasi kebebasan mereka, seolah-olah sedikit-individualitas mereka mampu mengisi ruangan-kosong-sangat-besar yang ditinggalkan oleh Tidak-Adanya-Tuhan.

Nietzsche tidaklah naif dan karena ia tidak naif ia menjadi lebih pesimistik. Apa yang diumumkan tentang 'Kematian-Tuhan' sesungguhnya adalah 'Kematian-Manusia' seperti yang kita ketahui/pahami.

Siapapun harus memikirkan jeda ini dalam sejarah manusia, melalui pengertian Kantian. Kant menggambarkan Pencerahan sebagai :

"Keluarnya manusia dari penderitaan ketidak-dewasaan-dirinya."

Begitu juga Nietzsche meyakini Kematian-Sang-Ilahi menjadi kesempatan bagi suatu-ada yang menurunkan makna-eksistensi-nya dari dalam dirinya-sendiri dan tidak dari otoritas-eksternal yang memberikan kepada-nya.

Jika makna eksistensi-manusia diturunkan dari Tuhan maka, dengan semesta yang kosong, manusia tidak dapat mengisi-kembali ruangan kosong yang ditinggalkanTidak-Adanya-Tuhan.

Ruangan kosong ini hanya bisa diisi oleh sesuatu yang lebih besar-dan-penuh, yang dalam jargon Nietzschean berarti kesatuan-terbesar dari kekuatan-kekuatan-yang-bertentangan.

Adalah Ubermensch (overhuman) yang bagi Nietzsche menandai usaha menuju produksi kebudayaan dari eksistensi-manusia yang menyadari dualitas-turunan-nya --dari kebinatangan dan rasionalitas-- tanpa mengutamakan salah satunya tetapi tetap menjaganya dalam sebuah keseimbangan-kompetisi (agonistik) sedemikian rupa hingga bentuk-bentuk baru dan menarik dari eksistensi-manusia dapat dilahirkan melalui perjuangan.

Nietzsche telah melalui pelatihan filologi-klasik (dalam pengertian Anglosaxon secara kasar setara dengan keahlian dalam bidang-klasik --teks-teks dari para pengarang-pengarang Yunani kuno dan Roma)

Mungkin karena akrab dengan para penulis kuno, ia menjadi sensitif terhadap pemahaman yang cukup-berbeda tentang pemikiran filosofis pada jamannya.

Bagi orang Yunani, pertanyaan-pertanyaan filosofis mengambil sudut pandang suatu pilihan-hidup tertentu. Jika tidak-ada penghayatan 'kehidupan' maka cukup terpisah dengan kontemplasi terhadap fenomena secara teoritis atau 'dari kejauhan' (theoria dari thea : pemandangan, horan : untuk dilihat). Spekulasi filosofis adalah hasil suatu cara-menghayati-kehidupan tertentu dan upaya penilaian (justifikasi) terhadap kehidupan itu.

Dengan menarik Kant membungkus sikap ini dalam bab bahasan sebagai berikut :

"Kapan anda pada akhirnya akan mulai hidup secara bijaksana ?", Kata Plato kepada seorang-tua yang mengatakan kepadanya bahwa ia mengikuti sekolah kebijaksanaan.

Intinya bukanlah selalu untuk berspekulasi, tetapi pada akhirnya juga untuk berpikir bagaimana menerapkan pengetahuan. Namun, sekarang ini mereka yang menjalani hidup dengan berkompromi terhadap apa yang diajarkan-nya diterima/dinilai sebagai seorang pemimpi.
(Kant in Hadot 2002:xiii).

Kita harus memahami hubungan Nietzsche dengan filsafat dalam konteks ini bukan hanya karena itu menggambarkan sebuah gaya-kontemplasi berbeda tetapi karena mendemonstrasikan cara-berfilsafat yang menggabungkan semua-ragam-cara-berfilsafat.

Sehingga dalam karyanya Twilight of the Idols (Gerhana Idola-Idola), Nietzsche menuduh para filsuf bersikap 'Egyptisme', kenyataan bahwa mereka mengubah segalanya menjadi sebuah konsep di bawah evaluasi / penilaian.

"Semua yang telah ditangani para filsuf selama ratusan tahun adalah konseptual Mummi, tak-ada hal-nyata yang ditinggalkan tangan-tangan mereka tetap-hidup."
(Nietzsche 1998:16).

Konsep-konsep filosofi dapat bernilai sejauh mereka melayani suatu kehidupan yang berkembang, bukan sebagai suatu latihan-latihan akademis.

Di bawah model-baru, filsafat metafisika-lama dan pertanyaan-pertanyaan moral digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan baru terkait dengan sejarah, genealogi, kondisi-kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Mari kita ambil sebuah karakteristik bab bahasan pada tahun 1888 :

"Saya tertarik pada suatu pertanyaan dimana penyelamatan-kemanusiaan lebih bergantung kepada-nya daripada kepada benda-langka-bernilai-tinggi para theologian : pertanyaan itu adalah tentang nutrisi. Agar mudah digunakan, seseorang dapat meletakan dalam pengertian : Bagaimana secara pribadi anda memberi asupan-nutrisi diri-anda untuk mencapai kekuatan maksimum, mencapai kebajikan maksimum dalam gaya-pencerahan, kebajikan maksimun bebas-moralitas ?"
(Nietzsche 2007:19).

Apa yang berusaha dikatakan Nietzsche kepada kita disini ?

Dua hal, pertama mengikuti tradisi Spinosa, yaitu gerakan dari transenden menuju immanen melalui rehabilitasi tubuh/badan.

Namun untuk mengatakan itu, tidak berarti hanya menggunakan pola-pikir-sederhana materialisme. Ketika Spinosa mengatakan :

"Tak seorangpun telah menentukan batas kemampuan tubuh/badan."
(Spinoza 2002: 280)

ia tidak sedang menulis sesuatu semacam kekuatan-tubuh/badan tetapi pada kemungkinan sebuah kemunculan tubuh/badan terbebas dari sedimen-sedimen kebudayaan-dan-ingatan. Pola-asli tubuh/badan ini bahkan tidak diketahui dan kita berdiri dalam ketidaktahuan akan kemampuan-nya.

Hal kedua yang dikatakan Nietzsche pada kita dalam bab di atas adalah bahwa filsafat baru immanen pasti mensyaratkan suatu etika-baru.

Seseorang harus dijelaskan di sini karena banyaknya kekeliruan pengertian terhadap etika Niethzschean. Nietzsche utamanya adalah seorang filsuf etika, tetapi etik disini lebih mengacu pada kemungkinan justifikasi sebuah cara-menjalani-hidup, jalan-hidup-yang-mana yang selanjutnya akan menjustifikasi keberadaan-manusia di bumi ini.

Bagi Nietzsche, etika tidak mengacu pada aturan moral dan panduan bagaimana untuk menjalani kehidupan bagi seseorang.

Moralitas, yang ditolak Nietzsche, mengacu pada kebutuhan-obsesif dari manusia untuk melestarikan spesies-nya dan untuk menghargai spesies itu sebagai lebih-tinggi dari binatang lain (suatu kebutuhan atau insting juga bisa di pelajari menurut Nietzsche).

Secara ringkas moralitas adalah arogan. Suatu etika Nietzschean adalah suatu etika biasa/wajar, ia meletakan manusia kembali ke tempat seharusnya diantara binatang-binatang lain.

Meskipun demikian untuk mengatakan itu bukanlah untuk menyamakan manusia dengan binatang. Tidak seperti binatang-non-manusia, manusia adalah produk sejarah yang bisa dikatakan produk dari memori/ingatan. itulah beban dan tanggung jawab mereka.

Dalam karyanya The Genealogy of Morality (Lahirnya Moralitas), Nietzsche menjelaskan moralitas sebagai sebuah sistem yang bertujuan menaklukan kebinatangan-manusia.

Tujuan moralitas adalah eliminasi kekuatan-kreatif dari insting-kebinatangan dan penetapan terhadap sebuah kehidupan yang terlindungi dalam kepompong ideal-ideal-asketis.

Ideal-ideal ini adalah semua nilai-nilai dan ideologi-ideologi yang diciptakan untuk melindungi manusia dari bahaya Nihilisme, sebuah keadaan didalamnya manusia tidak-menemukan-jawaban-apapun untuk menjawab pertanyaan eksistensi-nya.

Moralitas sesuai dengan pelestarian spesies manusia, moralitas dengan keras-kepala menolak kemungkinan sebuah akhir yang terbuka bagi manusia di masa-depan.

Jika kita dapat merangkum anthropolgi filosofis Nietzsche dengan sedikit kata, kita akan mengatakan bahwa : bagi Nietzsche adalah penting untuk berusaha (tak ada jaminan disini) untuk berpikir tentang manusia bukan sebagai sebuah akhir-dalam-dirinya-sendiri tetapi hanya sebagai makna/nilai bagi sesuatu yang lain :

"...sempurna, selesai-sepenuhnya, bahagia, penuh-kuasa, kejayaan, yang tetap meninggalkan sesuatu untuk ditakuti."
( Nietzsche 2007:25 ).


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2b
Pemahaman Pribadi




No comments:

Post a Comment