a. Cogito, ergo sum
Dalam karyanya Second Meditation, Descartes mencoba untuk menetapkan kepastian-yang-mutlak dalam penalarannya yang terkenal :
"Cogito, ergo sum" atau "Saya berpikir, saya ada".
Meditasi ini dilakukan dari perspektif orang-pertama, dari Descartes sendiri.
Meskipun demikian, dia mengharapkan pembacanya untuk bermeditasi bersama dengan-nya untuk melihat bagaimana kesimpulan itu dapat dicapai.
Hal ini sangat penting dalam karyanya Second Meditation dimana penangkapan kebenaran secara intuitif "Saya ada" terjadi.
Jadi pembahasan tentang kebenaran ini, terjadi dari perspektif orang pertama atau "Saya" .
Dalam meditasi sebelumnya dalam karyanya First Meditation semua kepercayaan-sensorik telah ditemukan/diketahui penuh keraguan, dan oleh karena itu semua kepercayaan semacam itu sekarang dianggap salah.
Ini termasuk kepercayaan bahwa "Saya memiliki tubuh yang dilengkapi dengan organ-sensorik-indera".
Tetapi apakah dugaan-kesalahan terhadap kepercayaan ini berarti bahwa : "Saya tidak ada ?"
Jawabannya adalah : Tidak !
Karena jika Saya meyakinkan diri Saya bahwa kepercayaan-saya adalah salah, maka pasti-lah "Ada saya" yang sedang diyakinkan itu.
Lebih lagi, bahkan jika Saya ditipu oleh setan-jahat, maka "Saya harus ada" hanya agar bisa ditipu.
Sehingga :
" Akhirnya Saya harus menyimpulkan bahwa proposisi 'Saya ada' pasti-benar setiap itu disampaikan oleh Saya atau dikonsepsikan di dalam pikiran Saya. " (AT VII 25: CSM II 16-17)
Ini hanya berarti bahwa satu-satunya kenyataan bahwa "Saya berpikir", terlepas dari apakah yang Saya pikirkan itu benar atau salah, mengimplikasikan bahwa "pasti-ada-sesuatu" yang terlibat dalam aktivitas itu, yang disebut sebagai "Saya".
Sehingga, "Saya ada" bukanlah keraguan dan oleh karena itu adalah kepercayaan-pasti-mutlak, yang berfungsi sebagai sebuah aksioma yang dari sana kebenaran-pasti-mutlak yang lain dapat disimpulkan.
b. Sifat Pikiran dan Ide/Gagassan
Karyanya Second Meditation berlanjut dengan pertanyaan Descartes, "Apakah aku ?".
Setelah membuang konsep tradisional skolastik-Aristotelian tentang "manusia sebagai binatang-rasional" karena kesulitan yang inheren dalam mendefinisikan "rasional" dan "hewan" akhirnya Descartes menyimpulkan bahwa dia (aku) adalah substansi-berpikir atau sebuah-pikiran :
" Substansi yang meragukan, memahami, menyetujui, menolak, berkehendak, tidak berkehendak dan juga membayangkan dan memiliki persepsi-indra. " (AT VII 28: CSM II 19)
Dalam karyanya Principles of Philosophy, bagian I, bab 32 dan 48, Descartes membedakan persepsi-intelektual dan kehendak sebagai selayaknya hanya dimiliki oleh sifat-karekteristik dari pikiran saja, sementara imajinasi-dan-sensasi, adalah fakultas-pikiran sejauh ia bersatu dengan badan.
Jadi imajinasi-dan-sensasi adalah fakultas-pikiran yang lebih lemah daripada intelek-dan-kehendak, karena mereka membutuhkan badan untuk menjalankan fungsinya.
Akhirnya, dalam Sixth Meditation, Descartes berpendapat bahwa pikiran atau "Saya" adalah substansi-yang-tidak-menempati-ruang.
Dan sekarang, karena menempati-ruang adalah sifat-karekteristik dari badan, juga merupakan ciri-tubuh/badan yang penting, maka sejalan dengan itu, pikiran sesuai dengan sifatnya bukanlah-badan melainkan substansi-immaterial.
Oleh karena itu, jawaban pertanyaan "Apakah aku ?" adalah substansi-immaterial-berpikir dengan fakultas-intelek dan kehendak.
Penting juga untuk memperhatikan bahwa pikiran adalah substansi dan cara-eksistensi (modus) dari sebuah substansi-berpikir adalah ide/gagasan-nya.
Bagi Descartes sebuah substansi adalah sesuatu yang tidak memerlukan apapun untuk keberadaan-nya.
Secara terbatas, ini hanya berlaku untuk Tuhan yang eksistensi-Nya adalah esensi-Nya, namun istilah substansi dapat diterapkan pada ciptaan-Nya dengan kualitas-yang-memadai menurut Akal.
Pikiran adalah substansi karena, untuk ada, tidak memerlukan apapun kecuali persetujuan Tuhan sebagai sumber segala yang ada.
Tetapi ide/gagasan adalah cara-eksistensi (modus) dari pikiran, sehingga cara-eksistensi (modus) bukanlah substansi, karena harus menjadi ide/gagasan di dalam sebuah pikiran atau yang lainnya.
Jadi, ide/gagasan memerlukan, selain persetujuan Tuhan, yaitu Ada-nya substansi-berpikir agar ide/gagasan itu menjadi ada (lihat Principles of Philosophy, bagian I, bab 51 52).
Oleh karena itu, pikiran adalah substansi-immaterial-berpikir, sedang ide/gagasan yang dimiliki adalah cara-eksistensi (modus) pikiran-nya.
Descartes melanjutkan untuk membedakan tiga-jenis-ide/gagasan pada awal karyanya Third Meditation, yaitu ide/gagasan-yang-di-buat (fabrikasi), ide/gagasan-yang-berasal-dari-luar (adventif), dan ide/gagasan-bawaan (innate).
Ide/gagasan-yang-di-buat hanyalah penemuan-pikiran saja.
Dengan demikian, pikiran bisa mengendalikan-nya sehingga bisa diperiksa/diteliti dan diabaikan/ ditolak/disisihkan/dikesampingkan sesuai kehendak hati dan isi di dalamnya bisa diubah misalnya ide/gagasan Santa-Claus.
Ide/gagasan-berasal-dari-luar adalah sensasi-sensasi yang dihasilkan oleh benda-benda materi yang ada di luar-pikiran.
Tetapi, tidak seperti ide/gagasan-yang-di-buat, ide/gagasan-yang-berasal-dari-luar tidak dapat diperiksa/diteliti dan diabaikan/ditolak/disisihkan/dikesampingkan sesuai kehendak hati dan konten-internal mereka tidak dapat dimanipulasi oleh pikiran.
Misalnya, tidak peduli seberapa keras seseorang berusaha, jika seseorang berdiri di dekat api, dia tidak-bisa menolak rasa-panas sebagai panas.
Dia tidak bisa menyisihkan ide/gagasan-sensoris tentang panas dengan hanya menginginkan-nya seperti yang bisa kita lakukan dengan ide/gagasan Santa-Claus, misalnya.
Dia juga tidak bisa mengubah isi internal-nya sehingga bisa merasakan sesuatu selain panas, katakanlah rasa dingin, misalnya.
Akhirnya, ide/gagasan-bawaan ditempatkan di dalam pikiran oleh Tuhan pada saat penciptaan.
Ide/gagasan ini bisa diperiksa/diteliti dan dikesampingkan sesuka hati tapi konten-internal mereka tidak bisa dimanipulasi.
Ide/gagasan-geometris adalah contoh paradigma ide/gagasan-bawaan.
Misalnya, ide/gagasan tentang sebuah segitiga dapat diperiksa dan disisihkan sesuka hati, namun isi-internal-nya tidak dapat dimanipulasi sehingga berhenti menjadi sebuah ide/gagasan gambar dengan tiga-sisi.
Contoh lain dari ide/gagasan-bawaan adalah prinsip-metafisik seperti "Apa yang telah terjadi tidak dapat dibatalkan", ide/gagasan tentang pikiran, dan ide/gagasan tentang Tuhan.
Ide/gagasan Descartes tentang Tuhan akan dibahas sebentar lagi, namun perhatikan pendapatnya bahwa substansi-pikiran lebih dikenal daripada substansi-badan.
Inilah maksud utama contoh tentang lilin yang ditemukan dalam karyanya Second Meditation.
Di sini, Descartes berhenti sejenak dari metodologi-keraguan-nya untuk memeriksa sepotong lilin yang segar dari sarang lebah :
" Ini belum cukup kehilangan rasa madu. Ia menyimpan beberapa aroma bunga yang dari sana ia mengumpulkan-nya. Bentuk dan ukuran, warnanya jelas terlihat. Ia keras, dingin dan bisa dipegang dengan mudah. Jika anda mengetuk dengan buku jari anda itu mengeluarkan suara. " (AT VII 30: CSM II 20)
Intinya adalah bahwa indera merasakan/menerima/menangkap kualitas tertentu dari lilin seperti kekerasan, bau, dan sebagainya.
Tetapi, saat lilin dipindahkan mendekati api, semua kualitas yang di-indra ini berubah.
" Lihatlah : rasa-sisa-lilin dihilangkan, baunya pergi, warnanya berubah, bentuknya hilang, ukurannya bertambah, menjadi cair dan panas. " (AT VII 30: CSM II 20)
Namun, terlepas dari perubahan apa yang dirasakan/diterima/ditangkap indera dari lilin, lilin tetap dinilai sebagai lilin yang sama seperti sebelumnya dengan tetap menyebutnya lilin.
Untuk menjamin penilaian ini, sesuatu-yang-tidak-berubah dalam lilin pasti telah dirasakan/diterima/ditangkap .
Penalaran ini menetapkan setidaknya tiga-poin-penting.
Pertama, semua sensasi melibatkan sejumlah penilaian, yang merupakan sebuah modus-mental (cara-eksistensi substansi-mental/immaterial).
Oleh karena itu, setiap sensasi, menurut Akal adalah modus-mental, dan :
" semakin banyak atribut [yaitu, modus-modus] yang kita temukan dalam substansi yang sama, semakin jelas pengetahuan kita tentang substansi itu. " (AT VIIIA 8: CSM I 196)
Berdasarkan prinsip ini, pikiran lebih diketahui daripada badan, karena pikiran memiliki ide/gagasan tentang substansi-yang-menempati-ruang maupun substansi-mental (yang-tidak-menempati-ruang), dan karena itu pikiran telah menemukan lebih banyak atribut (modus-modus) di dalam dirinya daripada di dalam substansi-yang-memiliki-badan, ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa apa yang tidak dapat diubah dalam lilin adalah badan-lilin-yang-menempati-ruang dalam panjang, luas dan kedalaman-nya, yang tidak dapat dirasakan/diterima/ditangkap oleh indera tetapi oleh substansi-pikiran saja.
Bentuk dan ukuran-lilin adalah modus-badan untuk menempati-ruang ini dan karena itu dapat diubah.
Namun badan yang menyusun lilin ini tetap sama dan mengijinkan penilaian bahwa badan dengan modus yang ada di dalam-nya setelah dipindahkan ke dekat api adalah badan yang sama seperti sebelumnya meskipun semua kualitasnya yang dapat di-indera telah berubah.
Satu pelajaran terakhir adalah bahwa Descartes mencoba meninggalkan kebiasaan pembacanya dari ketergantungan pada citra-indera sebagai sumber, atau bantuan, pengetahuan.
Sebagai gantinya, orang harus terbiasa berpikir tanpa-gambar untuk memahami benda-benda dengan jernih, bukan pembacaan atau penangkapan akurat representasi dari benda-benda, misalnya, Tuhan dan pikiran.
Jadi, menurut Descartes, substansi-immaterial atau substansi-mental lebih diketahui dan, oleh karena itu, adalah sumber pengetahuan yang lebih baik daripada substansi-yang-menempati-ruang.
Sumber:
http://www.iep.utm.edu/descarte/#H1
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment