Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, March 14, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 1 : Dasar-Dasar Etika


Filsafat-politik dimulai dengan pertanyaan :

Apakah yang seharusnya menjadi prinsip hubungan antara seorang-individu dengan masyarakat ?

Sebuah subjek yang mencari penerapan konsep-etika ke dalam ranah-sosial dan karenanya berkaitan dengan beragam bentuk-pemerintahan dan eksistensi-sosial yang di dalamnya seseorang menjalani hidup dan melakukan aktivitas.

Filsafat-politik memberikan standar untuk menganalisis dan menilai institusi-institusi yang ada serta hubungan-hubungannya.

Meski keduanya terkait erat melalui sejumlah persoalan dan metode filosofis, filsafat-politik dapat dibedakan dari ilmu-politik.

Ilmu-politik terutama membahas urusan-urusan sebuah negara, dan sejauh mungkin tidak-bersifat-moral dalam deskripsinya. Ilmu-politik mencari sebuah analisis-positivistik mengenai urusan-sosial misalnya masalah-masalah konstitusional, perilaku voting, keseimbangan-kekuasaan, efek-judisial-review, dan sebagainya.

Filsafat-politik menghasilkan pandangan tentang kehidupan-sosial-yang-baik : mengenai apa yang menjadi seperangkat-nilai-dan-institusi-pengatur yang menggabungkan kehidupan pria dan wanita bersama-sama dalam lingkungan-sosial.

Materi bahasannya luas dan mudah terhubung dengan berbagai cabang dan sub-disiplin filsafat lainnya termasuk filsafat-hukum dan ekonomi.

Pengantar di atas menjernihkan teori yang paling relevan yang mungkin ditemui oleh para siswa yang belajar filsafat-politik.

Artikel ini akan membahas Liberalisme, Konservativisme, Sosialisme, Anarkisme, dan Environmentalisme.


Filsafat-politik berawal dari etika, seperti dalam pertanyaan :

Kehidupan seperti apakah yang merupakan kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia ?

Karena manusia secara alami bersifat-sosial dan bergaul, bukankah hanya ada sedikit pertapa yang berpaling dari masyarakat untuk menjalani hidup sendiri ? Maka pertanyaan selanjutnya yang mengikuti adalah :

Kehidupan seperti apakah yang layak bagi seseorang untuk menjalani hidup di antara banyak orang atau di dalam masyarakat ?

Wacana filsafat tentang politik mengembangkan, memperluas, dan mengalir dari dasar etika yang mendukungnya.

Untuk mengambil beberapa contoh :

Pendapat etika-utilitarianisme bahwa kebaikan dicirikan dengan mencari atau mencoba menghasilkan jumlah-terbesar-kebahagiaan bagi jumlah-orang-terbanyak (lihat : konsekuensialisme). Dengan demikian, dalam realitas-politik, penganut utilitarianisme akan mendukung pendirian institusi-institusi yang bertujuan untuk mendapat/menjamin kebahagiaan-terbesar untuk jumlah-orang-terbanyak.

Sebaliknya, seorang ahli etika-deontologi yang berpendapat bahwa kebaikan-tertinggi diperoleh dengan melaksanakan/menunaikan kewajiban kita terhadap hak atau orang-lain, akan mengakui justifikasi institusi-institusi yang paling baik dalam menjalankan kewajiban-nya. Ini sebuah sikap yang dapat dikenali, yang menyatu dengan teori-hak-asasi-manusia, yang menekankan pada peran hak (terhadap atau dari tindakan-tindakan dan/atau sesuatu hal).

Selanjutnya, seorang relativis-etik akan menganjurkan sejumlah institusi yang mendukung pluralitas di dalam suatu negara atau di seluruh dunia.

Sedang penganut objektivis-etik akan mengutuk hal-hal yang dianggap kurang/tidak memiliki tujuan-moral-secara-universal misal, mereka yang mendukung hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut/dipindahkan dari pemiliknya.

Karena etika juga didukung oleh dasar teori-metafisik dan teori-epistemologi, filsafat-politik juga dapat dikaitkan dengan teori dasar semacam itu yaitu berteori berdasar atas sifat-sifat-realitas dan bagaimana kita mengetahui hal-hal secara-logis berkaitan dengan bagaimana-kita-melakukan-sesuatu dan bagaimana-kita-berinteraksi-dengan-orang-lain.

Persoalan etika-politik yang terbesar dan paling kokoh, yang membagi filsuf ke dalam sejumlah aliran pemikiran adalah mengenai status-individu : status etika-seseorang.

Meskipun keragaman dan seluk-beluk area pemikiran ini tidak dapat dikaji di sini, cukuplah untuk mengatakan bahwa para filsuf terbagi, antara mereka yang berpendapat seorang-individu memiliki 'status-sakral' (yaitu, secara-etis dan karenanya secara-politis) dan mereka yang berpandangan seorang-individu sebagai sosok anggota-kelompok dan karenanya kelompok mengambil 'status-sakral' dari seorang-individu.

Sementara yang lain berpendapat bahwa institusi-politik memililiki 'status-sakral' dalam dirinya-sendiri namun ini bukanlah posisi/pendirian yang dapat dipertahankan dengan alasan jika umat-manusia tidak ada maka institusi-institusi semacam itu akan menjadi tidak berarti dan oleh karena itu institusi hanya dapat memperoleh makna dari keberadaan kita.

Pertanyaan kunci yang membedakan para filsuf-politik adalah :

Apakah kelompok atau individu yang menjadi unit-politik dalam melakukan analisis ?

Bahasa yang digunakan oleh para pemikir yang berseberangan untuk menggambarkan keunggulan entitas-politik mereka (individu atau kelompok) berubah sepanjang sejarah tergantung pada konsep-konsep lain yang bersaing atau saling melengkapi/komplementer.

Tetapi hari ini pembagian paling baik dicirikan dengan hak-individu versus hak-kelompok. Istilah lain yang layak, termasuk juga : martabat-individu, tugas dan kewajiban yang dimiliki sebuah kelompok, otonomi atau penentuan nasib sendiri kelompok atau individu dan ini kemudian menjadi soal khusus dan terapan mengenai peran kebudayaan, ras, agama, dan orientasi-seksual.

Dalam wacana teori-politik, perdebatan berlanjut hingga hari ini antara komunitarian dan liberal yang memperdebatkan jalan-tengah-hak-dan-kewajiban yang membentang di antara dua pandangan-ekstrem : kelompok dan individu.

Karikatur ekstrem ini memungkinkan kita untuk menimbang perbedaan dan titik-kesepakatan antara beberapa ajaran filsafat-politik dalam terang cahaya yang lebih baik. Tetapi dengan generalisasi yang dibuat dari peristiwa-peristiwa sejarah, rinciannya jauh lebih rumit dan pelik. Ini karena penerapan filsafat dalam realitas-politik pasti berhubungan dengan institusi-sosial, dan karena manusia bersifat sosial --memang nyaris tidak dapat dikatakan sebagai manusia bila kita tidak memiliki masyarakat atau kebudayaan-- kedua cara pandang ekstrem itu harus memeriksa dan mengevaluasi realitas-etika-sosial dari kedirian, persahabatan, keluarga, kepemilikan-benda, pertukaran uang (yaitu pertukaran tidak langsung), komunitas, suku, ras, asosiasi, dan negara (dan berbagai cabangnya) dan sesuai dengan itu juga hubungan antara masing-masing individu.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H1
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment