Dalam menjalankan kajiaan filosofis terhadap aktivitas-politik, para-filsuf juga terbagi, antara mereka yang melakukan kajian dengan metodologi-individualis dan mereka yang menggunakan metodologi-holistis.
Metodologi-individualis berusaha untuk menjelaskan perilaku-sosial dalam pengertian tindakan-individual dan secara politis dikenal sebagai individualis, sementara metodologi-holistis berusaha untuk menjelaskan perilaku-sosial dengan menimbang sifat-kelompok. Ini merupakan hasil percabangan dari pembagian secara metafisik berdasar studi-unit-politik yang sesuai.
Berbeda dengan metodologi-individualis, yang berpendapat bahwa sebuah masyarakat atau budaya, kumpulan-manusia, atau bangsa tidak lebih dari sekedar penjumlahan setiap sosok anggotanya yang hidup, metodologi-holistis berpendapat bahwa keseluruhan/totalitas lebih-besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya, yang dalam realitas-politik diterjemahkan sebagai : negara menjadi lebih-besar daripada warga-negara/suku/rakyat atau masyarakat lebih-besar daripada individu.
Secara politik, holisme dipahami ke dalam teori-umum yang dikenal sebagai kolektivisme, dan semua teori-kolektivis menyangkal atau mengurangi nilai-dan-otoritas-individual dalam hubungan dengan tingkatan-yang-lebih-tinggi sesuai dengan entitas-kolektif-nya.
Sedangkan metodologi-individualisme bergerak ke dalam politik-individualisme, di mana budaya-dari-individu atau keanggotaan-dalam-kelompok ditolak sepenuhnya karena tidak-layak untuk dipelajari atau karena hubungan kausal dan ilmiahnya dianggap terlalu amorf-atau-pluralistik dan selalu memberi sesuatu yang berubah dalam pengkajian-kualitatif mengenai urusan-sosial.
Samar-samar di latar belakang, juga harus dicatat, filsafat-politik-teologis yang menolak setiap keutamaan apapun pada individu atau kelompok dari segi keterikatannya pada status-tertinggi-realitas-ilahi.
Namun, hal ini juga harus dipisah terhadap konsep di dalam individu/jiwa antara individualis dan holistis dan demi tujuan kita di sini dapat dikatakan mengikuti dialog yang sama dengan para-filsuf-politik-sekuler.
Begitu para-teologian mengakui harus memiliki semacam pemerintahan-atau-peraturan untuk menjalani hidup di bumi ini, perdebatan umum filsafat-politik dapat diterima dan diuraikan untuk mendefinisikan kehidupan-yang-baik bagi seseorang di antara banyak-orang.
Persoalan metodologis penting kedua yang terkait baik dengan epistemologi maupun etika adalah peran yang dimainkan akal-budi dalam urusan-urusan-sosial.
Posisi ekstrem dapat dicirikan sebagai rasionalisme dan irasionalisme, namun deskripsi tersebut tidak selalu bertentangan secara-logis.
Seorang rasionalis dapat menyatakan keyakinannya dengan rasionalisme pada akhirnya menjadi tidak-rasional misalnya Karl Popper, dan seorang irasionalis dapat bertindak secara-rasional.
Rasionalisme-politik menekankan penggunaan akal-budi dalam urusan-urusan-sosial yaitu :
Individu harus tunduk pada logika dan universalitas dari akal-budi daripada terhadap prasangka/prakonsepsi subjektif atau budaya mereka sendiri.
Rasionalis berpendapat bahwa akal-budi menyatukan umat-manusia secara-politik dan karenanya merupakan kendaraan yang kondusif bagi perdamaian.
Di sisi-lain, orang-orang irasionalis, meremehkan kemanjuran/keampuhan akal-budi dalam urusan-urusan-kemanusiaan atau terutama dalam urusan-urusan-sosial kita. Selanjutnya, berbagai alternatif yang luas diajukan sebagai gantinya seperti emosi, budaya, agama, atau harapan-kelas, simbol-atavistik, atau institusi bentuk mistik-atau-pengetahuan.
Para-irasionalis dari semua warna juga dapat melakukan kritik kepada kaum-rasionalis karena mengabaikan kecerdikan-kebijaksanaan-intelektual dan warisan-sosial yang sering tidak diangkat oleh masyarakat kontemporer atau karena mengabaikan sesuatu yang dianggap perlu bagi penalaran-pikiran.
Secara-politis, mereka lebih mempertimbangkan tuntutan-akal-budi menjadi sebuah rasionalisasi-budaya tertentu (biasanya kritikan ini diajukan terhadap Barat) daripada tuntutan-yang-universal atau membuat-pendapat-universal bahwa solusi-politik yang tampak-rasional terhadap satu-kelompok tidak-dapat selalu diterjemahkan sebagai solusi-politik untuk kelompok-lain
Beberapa irasionalis menjunjung-tinggi polilogisme, yaitu teori yang menyatakan ada atau seharusnya-ada lebih dari satu bentuk-logika, yang akhirnya runtuh kedalam sebuah subjektivisme-epistemologi. Yaitu, logika-kesukuan yang didasarkan pada keterpisahan atau kekhasan logika atau metode-wacana dan pemikiran dari kelompok-tertentu.
Namun, para irasionalis-lainnya menyangkal bahwa pikiran-manusia mengembangkan logika-logika-alternatif di seluruh-dunia, tetapi tindakan-manusia yang sesungguhnya mengembangkan metode-metode-alternatif-untuk-menjalani-hidup di tempat yang berbeda dan dari lingkungan-sejarah yang berbeda.
Secara-politik pendirian ini bergerak menuju ke konservativisme, sebuah sikap-filosofis-yang-skeptis terhadap desain-rasionalis dalam skala-besar (katakanlah untuk merobohkan semua institusi politik agar dimulai 'kesegaran-baru' sesuai dengan beberapa cetak-biru-utopis) dan yang menekankan kontinuitas-kebijaksanaan (sebagaimana terdapat dalam institusi dan bahasa-politik) dari generasi ke generasi dan di dalam lokalitas-spesifik.
Kembali ke masalah epistemologis yang dihadapi holisme, adanya loyalitas yang tumpang-tindih yang seringkali mencirikan sebuah-kelompok, menyajikan kritik kuat terhadap doktrin-kolektivis dalam pertanyaan :
Kelompok mana yang harus menjadi subjek-analisis ketika seseorang memiliki lebih-dari-satu entitas-sosiologis ?
Marx, misalnya, mendasarkan filsafatnya pada analisis-kelas tetapi dia tidak memberi ketepatan-pengertian pada istilah 'kelas' itu sendiri.
Jika sebuah relativisme-epistemologi diizinkan/diakui, katakanlah di bidang-logika, maka : " Logika-Eropa berbeda dari logika-Amerika " (benua), analisis lebih lanjut lagi harus mengizinkan gradasi yang lebih khusus : " Logika-Jerman berbeda dengan logika-Prancis " (negara/bangsa), dan " Logika-bavaria berbeda dengan logika-Schleswig-Holstein " (suku), hingga seseorang mencapai agen-berpikir-terakhir yaitu seorang-individu : " Logika-Franz berbeda dari logika-Katja " (individual).
Kaum-rasionalis bercita-cita untuk menghindari implikasi pecahan polilogisme seperti itu dengan mempertahankan kesatuan-logika-manusia.
Namun, jika seorang rasionalis juga individualis, paradoks akan muncul : bahwa individu-individu dipersatukan ke dalam kolektivitas-keseluruhan-makhluk-rasional (semua-individu memiliki akal-budi), sedangkan irasionalisme runtuh ke dalam sebuah pluralitas-epistemologi-individualistik (semua-kelompok pada akhirnya tersusun dari seorang-subjektivis).
Meskipun demikian, di antara individualis yang menekankan 'status-sakral' terhadap individu dan kolektivis yang menekankan 'status-sakral' pada kelompok, terdapat banyak aliran pemikiran yang mendapatkan dorongan dari bayang-bayang-filosofis yaitu wilayah tumpang-tindih abu-abu, yang sekarang juga ditemukan dalam perselisihan-abadi antara individualis dan komunitarian.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H2
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment