Etika, seperti yang dipandang Aristoteles, adalah sebuah usaha untuk mencapai keutamaan-akhir atau kebaikan-tertinggi kita.
Sebuah-akhir yang dipertahankan dan diperjuangkan sebagai suatu-yang-benar-benar-terakhir.
Meskipun banyak tujuan-kehidupan hanya berarti untuk mencapai akhir-yang-lebih-jauh, aspirasi dan keinginan kita harus memiliki semacam tujuan-akhir.
Keutamaan-akhir seperti itu secara universal disebut kebahagiaan.
Tetapi orang-orang mengartikan berbeda dengan mengungkapkan bahwa dirinya merasa perlu untuk mendiskusikan sifat-kebahagiaan ( makna-kebahagiaan ) bagi diri masing-masing.
Sebagai permulaan, kebahagiaan harus didasarkan pada sifat-manusiawi dan harus dimulai dari fakta-fakta-pengalaman-pribadi.
Dengan demikian, kebahagiaan tidak dapat ditemukan dalam pengertian abstrak atau ideal apa-pun, seperti pendapat kebaikan yang dikemukakan oleh Plato.
Kebahagiaan itu pasti sesuatu yang praktis-dan-manusiawi.
Yang kemudian, harus ditemukan dalam pekerjaan dan kehidupan-yang-unik pada manusia.
Tetapi kebahagiaan bukanlah kehidupan-vegetatif kita yang juga dimiliki tanaman atau kehidupan-sensitif kita yang juga dimiliki hewan.
Oleh karena itu, kebahagiaan-sejati terletak pada kehidupan-aktif-makhluk-rasional atau dalam realisasi-sempurna dan pengabdian-sejati dari jiwa dan hakekat-diri, yang terus berlanjut sepanjang masa.
Aristoteles memperluas gagasan tentang kebahagiaan melalui analisis jiwa-manusia yang membentuk dan menghidupkan organisme-hidup-manusia.
Bagian-bagian jiwa dibagi sebagai berikut:
------------------------------------------------------
| Kalkulatif - Kebajikan Intelektual
Rasional-------------------------------------------
----------- | Apetitif - Kebajikan Moral
Irrasional------------------------------------------
| Vegetatif - Kebajikan Nutrisi
------------------------------------------------------
Jiwa-manusia memiliki elemen-irasional yang juga dimiliki oleh hewan dan elemen-rasional yang membedakan manusia dengan organisme-hidup yang lain.
Elemen-irasional yang paling-primitif adalah fakultas-vegetatif yang bertanggung jawab terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Organisme yang melakukan ini dengan baik dapat dikatakan memiliki kebajikan-nutrisi.
Lapisan-kedua-jiwa adalah fakultas-hasrat yang bertanggung jawab terhadap emosi-dan-keinginan kita seperti sukacita, dukacita, harapan dan ketakutan. Fakultas-hasrat bersifat rasional-dan-irasional. Bersifat irasional karena bahkan hewan-pun mengalami keinginan-keinginan. Namun, juga bersifat rasional karena manusia memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengendalikan-keinginan dengan bantuan-akal. Kemampuan-manusia untuk mengendalikan-keinginan dengan benar disebut kebajikan-moral dan ini merupakan fokus-moralitas.
Aristoteles mencatat bahwa ada sebuah bagian rasional-murni pada jiwa, yang disebut fakultas-kalkulatif, yang bertanggung jawab atas kemampuan manusia untuk merenung, berpikir-logis, dan merumuskan-prinsip-prinsip-ilmiah. Penguasaan kemampuan ini disebut kebajikan-intelektual.
Aristoteles melanjutkan dengan membuat beberapa poin umum tentang sifat-kebajikan-moral misalnya kebajikan-mengatur-keinginan. Pertama, dia berpendapat bahwa kemampuan-untuk-mengatur-keinginan kita bukanlah naluriah atau instingtif, tetapi dipelajari dan merupakan hasil-pembelajaran-dan-praktik. Kedua, dia mencatat bahwa jika kita mengatur-keinginan kita terlalu-banyak atau terlalu-sedikit, maka kita akan menciptakan-masalah.
Sebagai analogi, Aristoteles berkomentar bahwa :
" Kelebihan atau kekurangan latihan senam berakibat fatal bagi kekuatan. "
Ketiga, dia berpendapat bahwa kebajikan-mengatur-keinginan adalah kualitas-karakter dan tidak dipahami sebagai emosi atau kemampuan-mental.
Inti penjelasan Aristoteles tentang kebajikan-moral adalah doktrinnya tentang jalan-tengah. Menurut doktrin ini, kebajikan-moral adalah kualitas-karakter untuk mengatur-keinginan agar berada di tengah-tengah antara kualitas-karakter yang lebih ekstrem atau sebaliknya. Misalnya, sebagai respons terhadap emosi-ketakutan-alamiah, kita harus mengembangkan kebajikan-karakter-keberanian. Jika kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-berlebihan dengan cara membatasi-ketakutan-terlalu-banyak, maka kita dikatakan sebagai gegabah-tanpa-perhitungan, yang merupakan suatu keburukan. Jika di sisi lain, kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-kurang dengan membatasi-ketakutan-terlalu-sedikit, maka kita dikatakan pengecut, yang juga merupakan keadaan sebaliknya. Kebajikan-keberanian, kemudian, terletak pada tengah-tengah antara kelebihan-ekstrem yaitu karakter-gegabah-tanpa-perhitungan dan kelemahan-ekstrem yaitu karakter-pengecut.
Aristoteles dengan cepat menunjukkan bahwa kebajikan-jalan-tengah bukanlah jalan-tengah secara matematis yang ketat di antara dua ekstrem. Misalnya, jika mengkonsumsi 100 apel terlalu banyak, dan tidak memakan ( nol ) apel terlalu sedikit, ini tidak berarti bahwa kita harus makan 50 apel, yang merupakan tengah-tengah secara matematika.Sebaliknya, jalan-tengah tersebut ditentukan secara rasional, berdasarkan pada manfaat-relatif terhadap situasi yang ada. Artinya, ini adalah " sebagai orang bijak yang mengambil keputusan ". Dia menyimpulkan bahwa sulit menjalani kehidupan-yang-bajik terutama karena seringkali sulit untuk menemukan jalan-tengah di antara dua yang ekstrem.
Kebanyakan kebajikan-moral, dan bukan hanya keberanian, harus dipahami sebagai jatuh pada tengah-tengah di antara dua ekstrem-keburukan yang menyertainya.
Daftarnya dapat ditunjukkan oleh tabel berikut ini :
Keutamaan-kebajikan dari daftar diatas adalah pemikiran yang tinggi, sebagai semacam penghormatan-pada-diri-yang-ideal, yang dianggap sebagai mahkota dari semua kebajikan lainnya, yang bergantung pada eksistensi mereka, dan dengan sendirinya cenderung meningkatkan-kekuatan mereka.
Daftar ini tampaknya lebih merupakan deduksi dari rumusan daripada pernyataan fakta yang padanya formula itu sendiri didasarkan, dan Aristoteles menemukan bahasa yang sering kali tidak memadai untuk mengungkapkan keadaan kelebihan atau kekurangan yang melibatkan teorinya misalnya ketika membahas mengenai kebajikan dari ambisi.
Sepanjang daftar di atas, dia menekankan pada otonomi-kehendak sebagai hal yang sangat diperlukan untuk kebajikan. Keberanian misalnya hanya benar-benar layak saat dilakukan berdasar cinta pada kehormatan dan tugas, kemurahan-hati menjadi kekasaran ( ketidak-sopanan ) bila tidak dilakukan atas cinta pada apa yang benar-dan-indah, tetapi untuk menunjukan kekayaan.
Keadilan digunakan baik secara umum maupun dalam arti khusus. Secara pengertian umum, ini setara dengan ketaatan-hukum. Dengan demikian, hal itu adalah sama dengan kebajikan, berbeda hanya sejauh praktik kebajikan hanya bersifat abstrak, dan keadilan menerapkannya dalam berurusan dengan orang lain. Keadilan dalam arti khusus menampilkan diri dalam dua bentuk. Pertama, keadilan-distributif memberikan penghargaan dan imbalan sesuai dengan manfaat penerima. Kedua, keadilan-korektif tidak memperhitungkan posisi pihak-pihak yang terkait, namun hanya menjamin persamaan di antara keduanya dengan mengambil keuntungan dari yang beruntung dan menambahkannya pada pihak lain yang merugi. Sebenarnya, keadilan-distributif dan korektif lebih dari sekadar pembalasan dan timbal balik. Namun, dalam situasi nyata kehidupan masyarakat, pembalasan dan timbal balik adalah formula yang memadai ketika keadaan seperti itu melibatkan uang, tergantung pada hubungan antara produsen dan konsumen.
Karena keadilan-absolut bersifat abstrak, di dunia nyata itu harus dilengkapi dengan keadilan, yang mengoreksi dan memodifikasi hukum-hukum-keadilan di mana ia gagal. Dengan demikian, moralitas mensyaratkan standar yang tidak hanya mengatur kekurangan-keadilan-absolut tapi juga merupakan gagasan-kemajuan-moral. Gagasan tentang moralitas ini diberikan oleh fakultas-wawasan-moral.
Orang yang benar-benar-baik pada saat yang sama adalah orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna, dan orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna juga adalah orang yang sangat baik.
Gagasan kita tentang tujuan-akhir dari tindakan-moral dikembangkan melalui kebiasaan-pengalaman, dan ini secara bertahap membingkai dengan sendirinya kepada persepsi-tertentu. Ini adalah tugas akal untuk menangkap dan mengatur persepsi-khusus ini. Namun, tindakan-moral tidak pernah merupakan hasil dari tindakan-pemahaman belaka, juga bukan akibat dari keinginan-sederhana yang memandang tujuan hanya sebagai hal-hal yang menghasilkan rasa-sakit atau kesenangan.
Kita mulai dengan konsepsi-rasional tentang sesuatu-yang-menguntungkan, namun konsepsi ini dalam dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan tanpa dorongan-alami yang memberinya kekuatan. Kehendak atau tujuan yang diimplikasikan oleh moralitas adalah akal yang dirangsang untuk bertindak berdasarkan keinginan, atau keinginan yang dipandu dan dikendalikan oleh pemahaman. Faktor-faktor ini kemudian memotivasi tindakan-yang-dikehendaki. Kebebasan-akan-kehendak adalah sebuah faktor yang disertai oleh adanya pilihan-baik dan pilihan-jahat. Tindakan-tidak-dikehendaki hanya terjadi jika orang lain memaksa-tindakan kita, atau jika kita tidak mengetahui pentingnya rincian dalam tindakan. Tindakan-bersifat-sukarela bila penyebab utama tindakan ( baik saleh atau kejam ) terletak dalam diri kita sendiri.
Kelemahan-moral dalam kehendak akan mengakibatkan seseorang melakukan sesuatu-yang-salah, hal ini berarti mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar, namun mengikuti keinginannya dengan melawan akal. Bagi Aristoteles, kondisi ini bukan mitos, seperti yang dianggap oleh Socrates. Masalahnya adalah konflik-prinsip-moral yang saling bertentangan.
Tindakan-moral dapat direpresentasikan sebagai silogisme di mana prinsip-moralitas-umum membentuk premis-pertama ( premis-mayor ), sedangkan aplikasinya secara khusus adalah premis-kedua ( premis-minor ). Meskipun demikian kesimpulan yang dicapai melalui spekulasi, tidak selalu dilakukan dalam praktik. Silogisme-moral bukan hanya masalah logika, tapi juga melibatkan dorongan-psikologis-dan-keinginan. Keinginan dapat menyebabkan premis-minor diterapkan oleh seseorang daripada premis-mayor yang lain, yang terdapat di dalam pikiran seorang pelaku. Hewan, di sisi lain, tidak dapat disebut memiliki kehendak-lemah atau tidak-mampu karena konflik-prinsip-moral semacam itu tidak mungkin terjadi pada hewan.
Kesenangan tidak diidentifikasikan dengan kebaikan. Kesenangan ditemukan dalam kesadaran terhadap tindakan-bebas-spontan. Ini adalah suatu pengalaman yang tidak terlihat, seperti pandangan, dan selalu hadir saat sebuah organ-sempurna beraksi terhadap objek-yang-sempurna. Sesuai dengan itu, kesenangan memiliki jenis yang berbeda-beda, bervariasi seiring dengan perbedaan nilai dari fungsi yang menjadi ekspresi mereka. Kesenangan pada akhirnya ditentukan oleh penghakiman/penilaian oleh orang-yang-baik.
Keutamaan-akhir kita adalah perkembangan sempurna dari hakekat-sifat diri kita. Dengan demikian, hal itu harus ditemukan secara khusus terutama dalam realisasi fakultas-tertinggi kita, yaitu akal. Inilah sebenarnya yang menyusun kepribadian kita, dan kita tidak akan mengejar hidup kita sendiri, tetapi kehidupan makhluk yang lebih rendah, jika kita mengikuti tujuan yang lain.
Sesuai dengan itu, cinta-diri-sendiri dapat dikatakan sebagai hukum-moral-tertinggi, karena meskipun cinta-diri-sendiri itu dapat dipahami sebagai semacam keegoisan yang memberikan sifat-rendah seseorang, juga dapat dan memang benar, merupakan cinta kepada suatu sifat-yang-lebih-tinggi dan rasional yang menyusun setiap hakekat-diri seseorang. Pemikiran kehidupan semacam itu selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu yang paling menyenangkan, paling mencukupi diri, paling kontinyu, dan paling sesuai dengan tujuan-tujuan kita. Hal ini juga yang paling mirip dengan kehidupan Tuhan : karena Tuhan tidak dapat dikonsepsikan/dipahami sebagai mempraktikkan kebajikan-moral-biasa dan karenanya harus menemukan kebahagiaan-Nya dalam kontemplasi.
Persahabatan adalah sebuah bantuan yang sangat diperlukan dalam membingkai/membentuk kehidupan-moral-yang-lebih-tinggi bagi diri kita. Jika persahabatan bukan merupakan sebuah kebajikan pada dirinya sendiri, setidaknya persahabatan berkaitan erat dengan kebajikan, dan persahabatan membuktikan dirinya melayani hampir di semua kondisi-eksistensi kita. Meskipun demikian, hasil seperti itu bukan berasal dari persahabatan untuk memperoleh manfaat-duniawi atau kesenangan-duniawi, tetapi hanya dari persahabatan yang didasarkan pada kebajikan. Sahabat-sejati sebenarnya adalah diri-kedua dan nilai-pertemanan-sejati dari persahabatan terletak pada kenyataan bahwa teman tersebut menyediakan cermin-tindakan-yang-baik bagi kita, dan dengan demikian meningkatkan kesadaran-dan-penghargaan kita terhadap kehidupan.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H7
Pemahaman Pribadi
Sebuah-akhir yang dipertahankan dan diperjuangkan sebagai suatu-yang-benar-benar-terakhir.
Meskipun banyak tujuan-kehidupan hanya berarti untuk mencapai akhir-yang-lebih-jauh, aspirasi dan keinginan kita harus memiliki semacam tujuan-akhir.
Keutamaan-akhir seperti itu secara universal disebut kebahagiaan.
Tetapi orang-orang mengartikan berbeda dengan mengungkapkan bahwa dirinya merasa perlu untuk mendiskusikan sifat-kebahagiaan ( makna-kebahagiaan ) bagi diri masing-masing.
Sebagai permulaan, kebahagiaan harus didasarkan pada sifat-manusiawi dan harus dimulai dari fakta-fakta-pengalaman-pribadi.
Dengan demikian, kebahagiaan tidak dapat ditemukan dalam pengertian abstrak atau ideal apa-pun, seperti pendapat kebaikan yang dikemukakan oleh Plato.
Kebahagiaan itu pasti sesuatu yang praktis-dan-manusiawi.
Yang kemudian, harus ditemukan dalam pekerjaan dan kehidupan-yang-unik pada manusia.
Tetapi kebahagiaan bukanlah kehidupan-vegetatif kita yang juga dimiliki tanaman atau kehidupan-sensitif kita yang juga dimiliki hewan.
Oleh karena itu, kebahagiaan-sejati terletak pada kehidupan-aktif-makhluk-rasional atau dalam realisasi-sempurna dan pengabdian-sejati dari jiwa dan hakekat-diri, yang terus berlanjut sepanjang masa.
Aristoteles memperluas gagasan tentang kebahagiaan melalui analisis jiwa-manusia yang membentuk dan menghidupkan organisme-hidup-manusia.
Bagian-bagian jiwa dibagi sebagai berikut:
------------------------------------------------------
| Kalkulatif - Kebajikan Intelektual
Rasional-------------------------------------------
----------- | Apetitif - Kebajikan Moral
Irrasional------------------------------------------
| Vegetatif - Kebajikan Nutrisi
------------------------------------------------------
Jiwa-manusia memiliki elemen-irasional yang juga dimiliki oleh hewan dan elemen-rasional yang membedakan manusia dengan organisme-hidup yang lain.
Elemen-irasional yang paling-primitif adalah fakultas-vegetatif yang bertanggung jawab terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Organisme yang melakukan ini dengan baik dapat dikatakan memiliki kebajikan-nutrisi.
Lapisan-kedua-jiwa adalah fakultas-hasrat yang bertanggung jawab terhadap emosi-dan-keinginan kita seperti sukacita, dukacita, harapan dan ketakutan. Fakultas-hasrat bersifat rasional-dan-irasional. Bersifat irasional karena bahkan hewan-pun mengalami keinginan-keinginan. Namun, juga bersifat rasional karena manusia memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengendalikan-keinginan dengan bantuan-akal. Kemampuan-manusia untuk mengendalikan-keinginan dengan benar disebut kebajikan-moral dan ini merupakan fokus-moralitas.
Aristoteles mencatat bahwa ada sebuah bagian rasional-murni pada jiwa, yang disebut fakultas-kalkulatif, yang bertanggung jawab atas kemampuan manusia untuk merenung, berpikir-logis, dan merumuskan-prinsip-prinsip-ilmiah. Penguasaan kemampuan ini disebut kebajikan-intelektual.
Aristoteles melanjutkan dengan membuat beberapa poin umum tentang sifat-kebajikan-moral misalnya kebajikan-mengatur-keinginan. Pertama, dia berpendapat bahwa kemampuan-untuk-mengatur-keinginan kita bukanlah naluriah atau instingtif, tetapi dipelajari dan merupakan hasil-pembelajaran-dan-praktik. Kedua, dia mencatat bahwa jika kita mengatur-keinginan kita terlalu-banyak atau terlalu-sedikit, maka kita akan menciptakan-masalah.
Sebagai analogi, Aristoteles berkomentar bahwa :
" Kelebihan atau kekurangan latihan senam berakibat fatal bagi kekuatan. "
Ketiga, dia berpendapat bahwa kebajikan-mengatur-keinginan adalah kualitas-karakter dan tidak dipahami sebagai emosi atau kemampuan-mental.
Inti penjelasan Aristoteles tentang kebajikan-moral adalah doktrinnya tentang jalan-tengah. Menurut doktrin ini, kebajikan-moral adalah kualitas-karakter untuk mengatur-keinginan agar berada di tengah-tengah antara kualitas-karakter yang lebih ekstrem atau sebaliknya. Misalnya, sebagai respons terhadap emosi-ketakutan-alamiah, kita harus mengembangkan kebajikan-karakter-keberanian. Jika kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-berlebihan dengan cara membatasi-ketakutan-terlalu-banyak, maka kita dikatakan sebagai gegabah-tanpa-perhitungan, yang merupakan suatu keburukan. Jika di sisi lain, kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-kurang dengan membatasi-ketakutan-terlalu-sedikit, maka kita dikatakan pengecut, yang juga merupakan keadaan sebaliknya. Kebajikan-keberanian, kemudian, terletak pada tengah-tengah antara kelebihan-ekstrem yaitu karakter-gegabah-tanpa-perhitungan dan kelemahan-ekstrem yaitu karakter-pengecut.
Aristoteles dengan cepat menunjukkan bahwa kebajikan-jalan-tengah bukanlah jalan-tengah secara matematis yang ketat di antara dua ekstrem. Misalnya, jika mengkonsumsi 100 apel terlalu banyak, dan tidak memakan ( nol ) apel terlalu sedikit, ini tidak berarti bahwa kita harus makan 50 apel, yang merupakan tengah-tengah secara matematika.Sebaliknya, jalan-tengah tersebut ditentukan secara rasional, berdasarkan pada manfaat-relatif terhadap situasi yang ada. Artinya, ini adalah " sebagai orang bijak yang mengambil keputusan ". Dia menyimpulkan bahwa sulit menjalani kehidupan-yang-bajik terutama karena seringkali sulit untuk menemukan jalan-tengah di antara dua yang ekstrem.
Kebanyakan kebajikan-moral, dan bukan hanya keberanian, harus dipahami sebagai jatuh pada tengah-tengah di antara dua ekstrem-keburukan yang menyertainya.
Daftarnya dapat ditunjukkan oleh tabel berikut ini :
Keutamaan-kebajikan dari daftar diatas adalah pemikiran yang tinggi, sebagai semacam penghormatan-pada-diri-yang-ideal, yang dianggap sebagai mahkota dari semua kebajikan lainnya, yang bergantung pada eksistensi mereka, dan dengan sendirinya cenderung meningkatkan-kekuatan mereka.
Daftar ini tampaknya lebih merupakan deduksi dari rumusan daripada pernyataan fakta yang padanya formula itu sendiri didasarkan, dan Aristoteles menemukan bahasa yang sering kali tidak memadai untuk mengungkapkan keadaan kelebihan atau kekurangan yang melibatkan teorinya misalnya ketika membahas mengenai kebajikan dari ambisi.
Sepanjang daftar di atas, dia menekankan pada otonomi-kehendak sebagai hal yang sangat diperlukan untuk kebajikan. Keberanian misalnya hanya benar-benar layak saat dilakukan berdasar cinta pada kehormatan dan tugas, kemurahan-hati menjadi kekasaran ( ketidak-sopanan ) bila tidak dilakukan atas cinta pada apa yang benar-dan-indah, tetapi untuk menunjukan kekayaan.
Keadilan digunakan baik secara umum maupun dalam arti khusus. Secara pengertian umum, ini setara dengan ketaatan-hukum. Dengan demikian, hal itu adalah sama dengan kebajikan, berbeda hanya sejauh praktik kebajikan hanya bersifat abstrak, dan keadilan menerapkannya dalam berurusan dengan orang lain. Keadilan dalam arti khusus menampilkan diri dalam dua bentuk. Pertama, keadilan-distributif memberikan penghargaan dan imbalan sesuai dengan manfaat penerima. Kedua, keadilan-korektif tidak memperhitungkan posisi pihak-pihak yang terkait, namun hanya menjamin persamaan di antara keduanya dengan mengambil keuntungan dari yang beruntung dan menambahkannya pada pihak lain yang merugi. Sebenarnya, keadilan-distributif dan korektif lebih dari sekadar pembalasan dan timbal balik. Namun, dalam situasi nyata kehidupan masyarakat, pembalasan dan timbal balik adalah formula yang memadai ketika keadaan seperti itu melibatkan uang, tergantung pada hubungan antara produsen dan konsumen.
Karena keadilan-absolut bersifat abstrak, di dunia nyata itu harus dilengkapi dengan keadilan, yang mengoreksi dan memodifikasi hukum-hukum-keadilan di mana ia gagal. Dengan demikian, moralitas mensyaratkan standar yang tidak hanya mengatur kekurangan-keadilan-absolut tapi juga merupakan gagasan-kemajuan-moral. Gagasan tentang moralitas ini diberikan oleh fakultas-wawasan-moral.
Orang yang benar-benar-baik pada saat yang sama adalah orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna, dan orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna juga adalah orang yang sangat baik.
Gagasan kita tentang tujuan-akhir dari tindakan-moral dikembangkan melalui kebiasaan-pengalaman, dan ini secara bertahap membingkai dengan sendirinya kepada persepsi-tertentu. Ini adalah tugas akal untuk menangkap dan mengatur persepsi-khusus ini. Namun, tindakan-moral tidak pernah merupakan hasil dari tindakan-pemahaman belaka, juga bukan akibat dari keinginan-sederhana yang memandang tujuan hanya sebagai hal-hal yang menghasilkan rasa-sakit atau kesenangan.
Kita mulai dengan konsepsi-rasional tentang sesuatu-yang-menguntungkan, namun konsepsi ini dalam dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan tanpa dorongan-alami yang memberinya kekuatan. Kehendak atau tujuan yang diimplikasikan oleh moralitas adalah akal yang dirangsang untuk bertindak berdasarkan keinginan, atau keinginan yang dipandu dan dikendalikan oleh pemahaman. Faktor-faktor ini kemudian memotivasi tindakan-yang-dikehendaki. Kebebasan-akan-kehendak adalah sebuah faktor yang disertai oleh adanya pilihan-baik dan pilihan-jahat. Tindakan-tidak-dikehendaki hanya terjadi jika orang lain memaksa-tindakan kita, atau jika kita tidak mengetahui pentingnya rincian dalam tindakan. Tindakan-bersifat-sukarela bila penyebab utama tindakan ( baik saleh atau kejam ) terletak dalam diri kita sendiri.
Kelemahan-moral dalam kehendak akan mengakibatkan seseorang melakukan sesuatu-yang-salah, hal ini berarti mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar, namun mengikuti keinginannya dengan melawan akal. Bagi Aristoteles, kondisi ini bukan mitos, seperti yang dianggap oleh Socrates. Masalahnya adalah konflik-prinsip-moral yang saling bertentangan.
Tindakan-moral dapat direpresentasikan sebagai silogisme di mana prinsip-moralitas-umum membentuk premis-pertama ( premis-mayor ), sedangkan aplikasinya secara khusus adalah premis-kedua ( premis-minor ). Meskipun demikian kesimpulan yang dicapai melalui spekulasi, tidak selalu dilakukan dalam praktik. Silogisme-moral bukan hanya masalah logika, tapi juga melibatkan dorongan-psikologis-dan-keinginan. Keinginan dapat menyebabkan premis-minor diterapkan oleh seseorang daripada premis-mayor yang lain, yang terdapat di dalam pikiran seorang pelaku. Hewan, di sisi lain, tidak dapat disebut memiliki kehendak-lemah atau tidak-mampu karena konflik-prinsip-moral semacam itu tidak mungkin terjadi pada hewan.
Kesenangan tidak diidentifikasikan dengan kebaikan. Kesenangan ditemukan dalam kesadaran terhadap tindakan-bebas-spontan. Ini adalah suatu pengalaman yang tidak terlihat, seperti pandangan, dan selalu hadir saat sebuah organ-sempurna beraksi terhadap objek-yang-sempurna. Sesuai dengan itu, kesenangan memiliki jenis yang berbeda-beda, bervariasi seiring dengan perbedaan nilai dari fungsi yang menjadi ekspresi mereka. Kesenangan pada akhirnya ditentukan oleh penghakiman/penilaian oleh orang-yang-baik.
Keutamaan-akhir kita adalah perkembangan sempurna dari hakekat-sifat diri kita. Dengan demikian, hal itu harus ditemukan secara khusus terutama dalam realisasi fakultas-tertinggi kita, yaitu akal. Inilah sebenarnya yang menyusun kepribadian kita, dan kita tidak akan mengejar hidup kita sendiri, tetapi kehidupan makhluk yang lebih rendah, jika kita mengikuti tujuan yang lain.
Sesuai dengan itu, cinta-diri-sendiri dapat dikatakan sebagai hukum-moral-tertinggi, karena meskipun cinta-diri-sendiri itu dapat dipahami sebagai semacam keegoisan yang memberikan sifat-rendah seseorang, juga dapat dan memang benar, merupakan cinta kepada suatu sifat-yang-lebih-tinggi dan rasional yang menyusun setiap hakekat-diri seseorang. Pemikiran kehidupan semacam itu selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu yang paling menyenangkan, paling mencukupi diri, paling kontinyu, dan paling sesuai dengan tujuan-tujuan kita. Hal ini juga yang paling mirip dengan kehidupan Tuhan : karena Tuhan tidak dapat dikonsepsikan/dipahami sebagai mempraktikkan kebajikan-moral-biasa dan karenanya harus menemukan kebahagiaan-Nya dalam kontemplasi.
Persahabatan adalah sebuah bantuan yang sangat diperlukan dalam membingkai/membentuk kehidupan-moral-yang-lebih-tinggi bagi diri kita. Jika persahabatan bukan merupakan sebuah kebajikan pada dirinya sendiri, setidaknya persahabatan berkaitan erat dengan kebajikan, dan persahabatan membuktikan dirinya melayani hampir di semua kondisi-eksistensi kita. Meskipun demikian, hasil seperti itu bukan berasal dari persahabatan untuk memperoleh manfaat-duniawi atau kesenangan-duniawi, tetapi hanya dari persahabatan yang didasarkan pada kebajikan. Sahabat-sejati sebenarnya adalah diri-kedua dan nilai-pertemanan-sejati dari persahabatan terletak pada kenyataan bahwa teman tersebut menyediakan cermin-tindakan-yang-baik bagi kita, dan dengan demikian meningkatkan kesadaran-dan-penghargaan kita terhadap kehidupan.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H7
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment