Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, December 16, 2017

Estetika 8 : Representasi


Seperti konsep-ekspresi, konsep-representasi juga telah diteliti secara menyeluruh sejak profesionalisasi-filsafat di abad ke-20 M.

Bukankah representasi hanya persoalan penyalinan/peniruan ?

Jika representasi dapat dipahami hanya dalam hal penyalinan/peniruan, maka akan mensyaratkan "mata yang polos (the innocent eye)" yaitu mata yang memandang dengan tidak memasukkan/mencampur interpretasi apapun kedalamnya.

E. H. Gombrich adalah orang pertama yang menunjukkan cara-representasi yang bertentangan dengan pendapat-konvensional (representasi sebagai penyalinan/peniruan) dan oleh karena itu memiliki basis-sudaya-dan-sosio-historis.

Dengan demikian, perspektif yang memungkinkan seseorang memandang hanya secara mekanis, hanyalah sebuah cara-baru untuk me-representasi-kan ruang dan banyak foto mendistorsi apa yang kita anggap sebagai kenyataan, misalnya foto gedung-gedung tinggi yang diambil gambar-nya dari bawah, yang tampak membuat gedung-gedung itu miring/condong ke depan pada bagian atasnya/puncaknya.

Goodman juga mencermati bahwa penggambaran (representasi-benda kedalam bentuk dua-dimensi seperti lukisan, gambar, foto, sketsa, mural dll) termasuk dalam pandangan yang konvensional itu.

Goodman menyamakan-nya dengan denotasi, yaitu hubungan antara sebuah-kata dan apa yang ditunjuk/direferensi/diwakili-nya. Dia juga memberikan argumen yang lebih konklusif untuk melawan pendapat penyalinan/peniruan sebagai dasar-representasi.

Untuk membuat kemiripan sebagai sebuah jenis-representasi, akan berlaku : jika "A" menyerupai "B", maka "B" menyerupai "A".

Anggaplah gambar-seekor-anjing adalah representasi dari seekor-Anjing, namun demikian seekor-Anjing bukanlah reprensentasi dari gambar-nya.

Dengan kata lain, Goodman mengatakan bahwa kemiripan mengimplikasikan sebuah hubungan-simetris, tetapi tidak-demikian dengan representasi.

Oleh karena itu, Goodman menunjukkan bahwa representasi bukanlah keterampilan tetapi sebuah seni : kita membuat lukisan sebuah benda, mencapai pandangan tentang benda-itu dengan me-representasi-kan benda-itu sebagai Ini atau Itu.

Akibatnya, ketika seseorang melihat lukisan-benda-itu, pemikiran-sang-seniman tentang benda-itu juga "dapat-dilihat", seperti pengertian seni-artistik yang dijelaskan oleh Sircello.

Gagasan sederhana dimana hanya benda-benda yang ditunjukkan dalam sebuah lukisan ada di balik penjelasan Richard Wollheim tentang seni-representasional di edisi pertama bukunya Art and Its Objects (1968). Dalam buku itu dikatakan, cat pada sebuah lukisan menjadi "dapat-dilihat" sebagai sebuah objek-seni.

Namun dalam edisi kedua buku itu, Wollheim menambahkan penjelasan untuk memungkinkan apa yang "terlihat" dalam sebuah karya-seni, juga mencakup/memasukan hal-hal seperti pemikiran-sang-seniman.

Namun, ada beberapa pertanyaan filosofis tentang hal lain, berkaitan dengan representasi-objek yang bersumber dari masalah karakter-fiksi.

Ada tiga-kategori-objek besar yang mungkin di-representasi-kan : individu-yang-nyata-ada seperti Napoleon, jenis-benda-yang-nyata-ada seperti kanguru, dan hal-hal-yang-tidak-ada-secara-nyata seperti Mr. Pickwick dan Unicorn.

Penjelasan Goodman mengenai representasi dengan mudah mencakup untuk dua-kategori-pertama, karena jika penggambaran mengenai pada sebuah nama/sebutan, suatu lukisan yang termasuk di dalam dua-kategori-pertama masing-masing membandingkan hubungan antara nama/sebutan yang sesuai/tepat yaitu "Napoleon" dengan sosok individu-yang-nyata-ada bernama "Napoleon" dan nama/sebutan-umum "kanguru" dengan bermacam jenis-binatang-kanguru. Beberapa filsuf akan berpikir bahwa kategori-ketiga dengan mudah diakomodasi, namun Goodman sebagai seorang empiris dan sangat menimbang/memperhatikan dunia-ekstensional, hanya bersiap untuk mengenali benda-benda-yang-ada-secara-nyata.

Jadi baginya gambar-fiksi tidak menunjukkan/mereferensi/mewakili-apapun .

Sebagai gantinya, itu hanyalah pola dari berbagai kategori-bentuk. Lukisan-unicorn hanyalah sebuah bentuk bagi Goodman, yang berarti bahwa ia melihat deskripsi lukisan-unicorn sebagai sesuatu yang tidak dapat diartikulasikan ke dalam bagian-bagian. Dia lebih tertarik menyebut lukisan-unicorn hanyalah sebuah desain dengan bentuk-tertentu-didalamnya.

Seseorang harusnya sepakat bahwa di dalam sebuah lukisan terdapat benda-yang-ditunjuk (objek-intensional) dan hal itu berlaku juga untuk lukisan-objek-ekstensional (yang berarti ada binatang-unicorn diluar dunia nyata ini) sebelum seseorang dapat menafsirkan "gambar-seekor-unicorn" sejajar dengan " gambar-kanguru ".

Berbeda dengan Goodman, Scruton adalah seorang filsuf yang lebih tertarik dengan interpretasi yang lebih spesifik ini.

Interpretasi yang umumnya lebih menyenangkan bagi kaum-idealis dan realis dari berbagai pendekatan, daripada kaum-empiris.

Kontras antara empiris dan filsuf-jenis-lain juga terdapat pada hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan fiksi.

Apakah cerita fiksi merupakan kebohongan tentang dunia-ini, atau sebuah-kebenaran tentang dunia-yang-lain ?

Hanya jika seseorang percaya ada dunia-lain, terhadap beberapa hal, seseorang akan mampu melihat jauh melampaui ketidaknyataan dalam sebuah cerita.

Seorang realis akan puas dengan karakter-fiktif, yang mengenainya terdapat beberapa kebenaran tertentu. Misalnya, bukankah Mr. Pickwick gemuk ?

Tapi kemudian, kesulitan seseorang adalah mengetahui hal-hal tentang Mr. Pickwick selain yang Dickens katakan pada kita. Misalnya, apakah Mr. Pickwick menyukai anggur ?

Seorang idealis akan lebih siap untuk menganggap fiksi hanyalah sebagai makhluk hasil imajinasi kita.

Gaya analisis ini, baru-baru ini menonjol melalui urian Scruton tentang teori-umum-imajinasi di mana pernyataan seperti " Mr. Pickwick gemuk " dibahas/diperhatikan dengan cara yang kurang meyakinkan.

Salah satu masalah dengan analisis gaya ini adalah menjelaskan bagaimana kita dapat memiliki hubungan-emosional dengan, dan memberi tanggapan terhadap, entitas-fiktif. Kita memperhatikan masalah seperti ini sebelum-nya, dalam deskripsi Burke tentang " horor yang menyenangkan ".

Bagaimana penonton bisa mendapatkan kenikmatan/kesenangan dari tragedi dan cerita-horor ketika, andai-kata kejadian serupa ditemui dalam kehidupan nyata, akan pastikah disana tidak ada apapun selain hal-hal menyenangkan ?

Di sisi lain, kecuali jika kita percaya bahwa fiksi-itu-nyata, bagaimana kita bisa, misalnya, tergerak oleh nasib Anna Karenina ?

Colin Radford, pada tahun 1975, menulis sebuah makalah terkenal mengenai hal-ini yang menyimpulkan bahwa "paradoks-respons-emosional terhadap-fiksi" tidak dapat dipecahkan.

Tanggapan emosional orang dewasa terhadap fiksi adalah "fakta yang tidak memiliki penjelasan (brute-facts)" namun tetap tidak-koheren dan tidak-masuk-akal, menurutnya. Radford mempertahankan kesimpulan ini dalam serangkaian makalah lebih lanjut tentang apa yang menjadi perdebatan semakin luas.

Kendall Walton, dalam bukunya yang berjudul Mimesis dan Make-Believe tahun 1990, menempuh panjang lebar seorang idealis untuk menjawab Radford.

Pada sebuah drama, misalnya, Walton mengatakan bahwa penonton memasuki sebuah bentuk kepura-puraan dengan para aktor, bukan-percaya, namun membuat-percaya bahwa kejadian dan emosi yang digambarkan itu nyata.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H8
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment