Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, December 13, 2017

Estetika 6 : Definisi Seni


Sampai dengan periode de-definisi, definisi-definisi-seni secara luas jatuh ke dalam tiga-jenis, yaitu berkaitan dengan representasi, ekspresi dan bentuk.

Dominan-nya representasi sebagai konsep-sentral dalam seni berlangsung dari sebelum jaman Plato hingga sekitar akhir abad ke-18 M.

Tentu saja, seni-representasi masih dapat ditemukan sampai hari ini, tetapi tidak lagi unggul seperti dulu. Plato pertama kali merumuskan gagasan tersebut (seni-representasi) dengan mengatakan bahwa seni-adalah-mimesis dan Bateaux misalnya, pada abad ke-18 M mengikuti Plato, saat ia mengatakan :

" Puisi hanya-ada dengan cara meniru (imitasi). Sesuatu yang sama-dengan lukisan, tarian dan musik. Tidak ada yang nyata dalam karya-karya itu, semuanya dibayangkan, dilukis, disalin dan semu (buatan). Inilah yang membuat karakter-esensial mereka bertentangan dengan alam. "

Pada abad yang sama dan abad berikutnya, dengan berkembangnya Romantisisme, konsep-ekspresi menjadi lebih menonjol. Bahkan di sekitar jaman Plato, muridnya Aristoteles lebih tertarik kepada teori-ekspresi yaitu seni sebagai katarsis-emosi (pemurnian/pembersihan-emosi).

Dan Burke, Hutcheson, dan Hume juga mempromosikan gagasan bahwa apa yang penting dalam seni adalah tanggapan-penonton (respon-penikmat-seni) yang dapat dipahami kenikmatan/kesenangan dalam seni adalah persoalan selera (taste) dan perasaan (sentiment).

Tetapi perkembangan penuh teori-ekspresi pada abad ke-20 M, telah menunjukkan bahwa hal-itu hanyalah satu sisi/sudut pandang dari sebuah gambar.

Dalam taksonomi dari istilah-seni yang diberikan Scruton, teori-respon terkonsentrasi perhatian-nya pada kualitas-afektif seperti menggerakkan perasaan, menarik, memuakkan, membosankan/menjemukan dan sebagainya.

Tetapi teori-seni dapat disebut sebagai teori-ekspresi meskipun fokus pada hal yang menyusun kualitas-emosional dan mental, seperti yang pernah dibahas sebelumnya, misalnya menyenangkan, melankolis, rendah hati, vulgar dan cerdas.

Seperti yang akan kita bahas di bawah ini, ketika studi-ekspresi saat ini membahas lebih rinci, telah ada beberapa penulis seperti John Hospers dan OK Bouwsma yang tertarik pada teori semacam itu.

Tetapi ada jenis teori-lain, yang mungkin bahkan lebih-layak untuk disebut teori-ekspresi. Apa yang di-ekspresi-kan secara personal oleh seorang seniman/artis adalah fokus perhatian dari teori-seni-ekspresi-diri, namun tema-tema yang lebih universal seringkali di-ekspresi-kan oleh individu dan teori-seni-sejarah melihat seniman/artis hanya sebagai saluran masalah-sosial yang lebih luas.

R.G. Collingwood pada tahun 1930-an menarik seni menjadi suatu masalah ekspresi-diri :

" Dengan menciptakan pengalaman-imajiner atau aktivitas-imajiner bagi kita-sendiri, kita mengekspresikan emosi-emosi kita, dan inilah yang kita sebut seni. "

Dan ciri penting dari teori-Marx tentang seni, pada abad ke-19 M, dan juga banyak para penganut Marxis yang lain, yang mengikuti-nya memasuki abad ke-20 M, teori-teori yang disampaikan mereka merupakan teori-ekspresi dalam tinjauan pengertian seni-sejarah.

Seni diambil oleh orang-orang dengan pendekatan ini, seni menjadi bagian dari supra-struktur-masyarakat, yang bentuk-bentuk-nya ditentukan oleh basis-ekonomi, dan dengan demikian seni dipandang sebagai ekspresi-atau-refleksi dari kondisi-kondisi-material tersebut.

Meskipun demikian teori-seni-sosial tidak harus didasarkan pada materialisme. Salah satu teoretikus-seni-sosial utama akhir abad ke-19 M adalah novelis Leo Tolstoy, yang memiliki sudut pandang yang lebih spiritual. Ia berkata :

" Seni adalah aktivitas-manusia yang tersusun didalamnya dari hal ini, bahwa seseorang secara sadar, melalui tanda-tanda eksternal tertentu, menyerahkan/menyampaikan kepada orang lain perasaan yang pernah dialaminya, dan orang lain terinfeksi oleh perasaan itu dan juga mengalaminya. "

Memasuki ke abad ke-20 M, fokus utama beralih ke abstraksi-dan-apresiasi-bentuk.

Gerakan estetika, seni dan keterampilan, pada bagian akhir abad ke-19 M menarik orang menuju kepada kualitas-kualitas yang memadai. Di sini konsep-sentral dalam estetika adalah tentang estetika-murni yang telah disebutkan sebelum-nya, seperti anggun, elegan, indah, mulia, dan baik.

Tetapi kualitas-bentuk, seperti organisasi, kesatuan, dan harmoni, demikian juga keberagaman/variasi dan kompleksitas/kerumitan, sangat terkait erat, sebagai penilaian-teknis seperti dibuat-dengan-baik (well-made), terampil (skilfull) dan ditulis-secara-profesional (professionally-written).

Yang terakhir ini mungkin dapat dipisahkan sebagai fokus teori-seni-keterampilan seperti pada gagasan seni sebagai techne di jaman Yunani-kuno, namun teori-bentuk biasanya fokus pada semua kualitas ini dan estetika umumnya menetapkan semua hal itu sebagai perhatian utama.

Eduard Hanslick adalah seorang formalis-musikal pada akhir abad ke-19 M, formalis-Rusia pada tahun-tahun awal revolusi, dan strukturalis-Perancis kemudian menyusul, mempromosikan minat yang sama pada bidang sastra.

Clive Bell dan Roger Fry, anggota Bloomsbury Group yang berpengaruh pada dekade pertama abad ke-20 M, adalah promotor awal yang paling banyak diperhatikan dalam aspek-seni-visual ini.

Hipotesis-estetis Bell yang terkenal adalah :

" Kualitas apa yang dimiliki oleh semua benda yang memicu emosi-estetika kita ? Hanya satu jawaban yang mungkin muncul yaitu bentuk-yang-signifikan. Di dalamnya masing-masing, garis dan warna digabungkan dengan cara tertentu. Bentuk-tertentu dan hubungan-antar-bentuk, membangkitkan emosi-estetika kita. Hubungan dan kombinasi dari garis dan warna ini, bentuk-bentuk-estetis yang bergerak ini, saya disebut bentuk-signifikan dan bentuk-signifikan adalah satu kualitas-umum pada semua karya-seni-visual. "

Clement Greenberg, pada tahun-tahun ekspresionis-abstrak, dari tahun 1940-an hingga 1970-an, juga membela versi-formalisme ini.

Abstraksi adalah penggerak utama dalam seni pada awal abad ke-20 M, namun dekade berkutnya sebagian besar mengabaikan apapun gagasan tentang definisi-seni yang ketat.

De-definisi dari seni dirumuskan dalam filsafat secara akademis oleh Morris Weitz, yang mendapatkan pandangan-nya dari beberapa karya Wittgenstein mengenai ide/gagasan-permainan.

Wittgenstein berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang sama, yang dimiliki oleh semua permainan, dan dengan demikian perkembangan historis-nya terjadi/muncul melalui sebuah proses-generasi secara analogi, dari contoh paradigmatik hanya dengan cara kemiripan-keluarga.

Meskipun demikian, ada cara untuk menyediakan semacam definisi-seni yang menghormati/memperhatikan tekstur-terbuka-nya. Definisi-institusional terhadap seni, yang dirumuskan oleh George Dickie, ada di dalam kelompok ini :

" Suatu karya-seni adalah sebuah artefak yang telah dianugerahkan kepada-nya status-kandidat untuk di-nilai oleh dunia-seni. "

Ini membuat isi-seni menjadi terbuka, karena isi-seni diserahkan kepada direktur-museum, penyelenggara-festival, dan sebagainya, untuk memutuskan apa yang disajikan. Juga, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, Dickie meninggalkan gagasan penilaian/penghargaan-terbuka, karena ia membiarkan semua-aspek sebuah karya-seni dapat dihadirkan secara estetika.

Namun, gagasan tentang artefak, dalam definisi ini tidak sebatas pada apa yang dapat dilihat, karena apapun yang dibawa ke dalam ruang-seni sebagai kandidat untuk di-nilai, di sana menjadi di-artefaktual-kan, menurut Dickie dan karenanya ia menerimanya sebagai seni yang berlawanan dengan apa yang disebut alami (benda-benda-yang-ditemukan-di-alam/found-objects) dan sudah-di-produksi (readymades).

Kurangnya penekanan pada kekuasaan-pialang ditemukan dalam definisi-estetika terhadap seni dari Monroe Beardsley yang sedikit lebih awal :

" Sebuah karya-seni adalah sesuatu yang dihasilkan dengan maksud memberinya kapasitas untuk memuaskan kepentingan-estetis. "

di mana produksi dan estetika memiliki keadaan normal dengan konten-terbatas (tidak-terbuka) .

Tetapi ini menunjukkan bahwa kedua definisi-kontemporer ini, seperti yang lain, hanya mencerminkan secara historis bahwa seni berkembang sesuai dengan jaman-nya (periode yang bersangkutan). Tentu saja standar-standar-tradisional-estetika-obyektif, pada awal abad ke-20, sebagian besar telah diberi pilihan bebas dalam segala hal terhadap benda-benda oleh publik-dunia-seni-Mandarin baru-baru ini.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H6
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment