Teori-respon sangat populer selama periode positivisme-logis dalam filsafat, yaitu sekitar tahun 1920 dan 1930-an.
Ilmu-pengetahuan kemudian dikontraskan secara tajam dengan puisi, misalnya, ilmu-pengetahuan dianggap memperhatikan pikiran-rasional kita, sedang puisi dengan emosi-irasional kita.
Oleh karena itu, kritikus Inggris terkenal I.A. Richards menguji tanggapan terhadap puisi secara ilmiah untuk melakukan upaya penilaian terhadap nilai-seni yang dikandung-nya, dan tidak mengejutkan, ia tidak menemukan keseragaman (menunjukan hasil yang berbeda-beda/bermacam-macam).
Dari studi semacam ini, muncul gagasan umum bahwa 'seni adalah sepenuhnya-subjektif'.
Jika seseorang dengan penuh konsentrasi memperhatikan apakah seseorang itu sungguh-sungguh-menyukai atau tidak-menyukai sebuah karya-seni tertentu, maka di sana akan dengan mudah terlihat tidak-ada-alasan-rasional mengapa seseorang itu bertindak seperti itu (menyukai atau tidak-menyukai).
Kita sekarang mulai lebih terbiasa berpikir bahwa emosi adalah sesuatu yang rasional, sebagian karena kita sekarang membedakan penyebab-emosi dari target-nya.
Jika seseorang melihat emosi-emosi-apa yang disebabkan oleh sebuah karya-seni, tidak semua emosi-emosi itu memerlukan target-karya-seni itu sendiri, melainkan apa yang hanya terkait dengan-nya.
Jadi, pusat tinjauan pendekatan-subjektif mengabaikan pertanyaan yang berkaitan dengan perhatian, relevansi, dan pemahaman.
Dengan memegang hal-hal itu sebagai sifat/kualitas-pengendali, kita mendapatkan dasar untuk menormalisasi (membuat tidak-subjektif) emosi-penonton yang diharapkan sehubungan dengan sebuah karya-seni, dan dengan begitu bergerak menjauh dari penilaian-pribadi semata-mata seperti ungkapan "Yah, itu membuatku sedih !" menuju ke penilaian-yang-lebih-universal seperti "Itu menyedihkan !"
Dan dengan "Itu" yang lebih terfokus pada karya-seni, kita juga mulai melihat pentingnya kualitas-emosional-objektif yang secara metaforis dapat dikatakan dimiliki oleh karya-seni, yang oleh para penganut teori-embodimen (teori yang menyatakan sebuah karya-seni memiliki/mengandung kualitas-emosional atau kualitas-mental secara objektif didalamnya.) seperti Hospers, menjadi pusat tinjauan-nya.
Hospers mengikuti Bouwsma, berpendapat bahwa kesedihan-dari-suatu-musik, misalnya, tidak menyangkut apa yang ditimbulkan di dalam diri kita, atau tidak juga dengan perasaan yang dialami oleh sang-komponis, tetapi hanya kesamaan-fisiognomik pada manusia saat-sedih :
" Adalah akan melambat bukan semakin cepat. Itu akan menjadi rendah/lembut tidak berdenting/gemrincing. Orang yang sedih bergerak lebih-lambat, dan saat mereka berbicara mereka berbicara dengan lembut-dan-rendah. "
Ini juga merupakan sudut pandang yang dikembangkan secara luas oleh psikolog-Gestalt (psikologi yang melihat pikiran dan perilaku manusia secara keseluruhan) bernama Rudolph Arnheim.
Perbedaan-perbedaan yang diambil tidak berhenti sampai di situ.
Guy Sircello, melawan pendapat Hospers, dengan pertama-tama menunjukkan bahwa ada dua-cara emosi-emosi dapat terwujud dalam karya-seni yaitu karena bentuk-nya (ini yang terutama ada di dalam pikiran Hospers), dan karena isi-nya.
Jadi, sebuah-gambar mungkin menyedihkan bukan karena mood atau warna-nya, tapi karena masalah-subjek-nya, yang menyakitkan atau menyedihkan.
Namun, titik itu hanyalah sebuah awal, menuju suatu kritik teori-embodimen yang lebih radikal oleh Sircello.
Menurutnya kepada kata-kata-emosi juga bisa diterapkan, katanya saat menjelaskan aksi-artistik yang ditunjukkan oleh para-seniman dalam menghadirkan sikap mereka terhadap subjek-nya.
Jika kita melihat sebuah karya-seni dari perspektif ini, kita melihatnya sebagai "gejala" dalam istilah Suzanne Langer. Namun, Langer meyakini orang harus melihatnya sebagai sebuah "simbol" yang memegang/mengandung sejumlah-makna yang bisa dikomunikasikan kepada orang lain.
Para-teorikus-komunikasi semua menggabungkan tiga-unsur di atas, yaitu penonton, karya-seni dan sang-seniman, tapi mereka datang dengan membawa berbagai stempel.
Dengan demikian, sementara Clive Bell dan Roger Fry adalah formalis, mereka juga adalah para-ahli-teori-komunikasi.
Mereka menduga bahwa sebuah karya-seni men-transmisi-kan emosi-estetika dari sang-seniman kepada penonton ketika menjelaskan apa yang disebutnya bentuk-signifikan.
Leo Tolstoi juga seorang ahli-teori-komunikasi tapi termasuk dalam kelompok yang melawan pendapat itu. Apa yang harus di-transmisi-kan, bagi Tolstoi, secara tegas adalah apa yang dikecualikan (tidak-disebut) oleh Bell dan pada tingkat yang lebih sedikit oleh Fry, yang disebut emosi-emosi-kehidupan.
Tolstoi menginginkan seni untuk melayani tujuan-moral yaitu membantu mengikat persekutuan komunitas bersama dalam persaudaraan dan persamaan kemanusiaan di bawah Tuhan.
Bell dan Fry tidak melihat tujuan-sosial semacam itu dalam seni, dan terkait dengan perbedaan ini, merupakan pandangan mereka yang berlawanan mengacu pada nilai-sifat-estetika dan kenikmatan/kesenangan.
Ini adalah kutukan bagi Tolstoi, seperti Plato, yang mengira diri mereka cenderung diabaikan.
Tetapi perasaan-perasaan-agung/mulia yang berasal dari apresisasi terhadap bentuk-murni menjadi terkenal oleh Bell dan Fry, karena hipotesis-metafisik mereka berpendapat bahwa mereka menyatukan dengan realitas-tertinggi. Bell berkata,
" Apa yang tersisa saat kita telah melepaskan semua-sensasi dan makna-signifikan-nya dari sebuah-benda ? Selain apa yang para filsuf biasa menyebutnya benda-dalam-dirinya-sendiri dan sekarang disebut sebagai realitas-tertinggi. "
Perdebatan antara para moralis dan estetika berlanjut sampai hari ini dengan, misalnya, Noel Carroll yang mendukung pendapat moralisme-moderat sedang Anderson dan Dean mendukung autonomisme-moderat.
Autonomisme bermaksud nilai-estetis diisolasi/dipisahkan dari nilai-etis, sedangkan moralisme menganggap keduanya berkaitan erat.
Para-ahli-teori-komunikasi pada umumnya membandingkan seni dengan bentuk-bahasa.
Langer kurang tertarik dibanding para-teoretikus-itu dalam mengatur apa yang mungkin dikomunikasikan, dan mengganti perhatian untuk membedakan bahasa-bahasa-seni yang bermacam-macam, dan perbedaan antara bahasa-seni-pada-umumnya dan bahasa-verbal.
Secara singkat, dia mengatakan, bahwa seni menyampaikan emosi-dengan-berbagai-jenis, sementara bahasa-verbal menyampaikan pemikiran, hal itu merupakan poin yang dibuat oleh Tolstoy juga.
Tapi Langer menjelaskan masalah ini dengan sangat rinci. Sehingga, dia berpendapat bahwa bahasa-bahasa-seni adalah presentasi dari bentuk-ekspresi, sedangkan bahasa-verbal bersifat diskursif dengan puisi, tentu saja, sebuah bentuk-seni yang menggunakan bahasa-verbal, menggabungkan kedua aspek itu.
Agak mirip Hospers dan Bouwsma, Langer mengatakan bahwa bentuk-seni menghadirkan perasaan karena secara-morfologis-serupa dengan mereka : sebuah karya-seni, dia berpendapat, memiliki bentuk-yang-sama dengan perasaan-yang-disimbolkan-nya.
Hal ini memunculkan perbedaan utama antara modus/cara komunikasi presentasi dan diskursif : bahasa-verbal memiliki kosa-kata, sintaksis, makna-tertentu dan kemungkinan-terjemahan, namun tidak satu pun dari hal-hal itu yang dijamin oleh bahasa-seni, menurut Langer.
Bahasa-bahasa-seni mengungkapkan bagaimana-rasa-nya mengalami sesuatu ---bahasa-bahasa-seni menciptakan pengalaman-maya/virtual.
Cara-cara yang rinci didalamnya, memunculkan bentuk-bentuk-seni-yang-bermacam-macam, Langer telah menjelaskan dalam bukunya Feeling and Form (1953).
Scruton mengikuti Langer dalam beberapa hal, terutama dengan berkomentar bahwa pengalaman terhadap masing-masing bentuk-seni adalah sui-generis, yaitu masing-masing memiliki jenisnya sendiri.
Dia juga mengemukakan karakteristik sebuah simbol secara lebih rinci lagi. Diskusi tentang pertanyaan yang spesifik terhadap setiap bentuk-seni telah dikejar oleh banyak penulis lainnya, lihatlah misalnya, Dickie, Sclafani, dan Roblin dan buku terbaru dari Gordon Graham.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H7
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment