Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, November 30, 2017

Estetika 3 : Nilai Estetika


Kita telah mencatat pandangan-pandangan Kant tentang objektivitas-dan-universalitas dari penilaian-penilaian terhadap keindahan-murni dan melalui beberapa cara gagasan-ini telah dipertahankan lebih lanjut.

Sebagai contoh, ada sebuah kurva terkenal yang diperoleh seorang psikolog abad ke-19 bernama Wilhelm Wundt, yang menunjukkan bagaimana gairah-manusia pada umumnya cukup terkait dengan kompleksitas-dari-rangsangan/stimulus.

Kita merasa bosan dengan hal-hal yang sederhana kemudian menjadi jenuh. Lebih jauh lagi kita menjadi kian cemas, dengan bertambahnya kompleksitas. Sementara di antara kedua-nya ada wilayah yang paling-menyenangkan.

Dimensi-kompleksitas hanyalah satu ukuran-objektif terhadap nilai-estetika, yang telah diajukan dalam cara yang objektif-dan-universal. Oleh karena itu, sekarang diketahui, misalnya, penilaian terhadap keindahan/kecantikan wajah-manusia adalah masalah rerata dan simetri (averageness and symmetry). Secara tradisional, kesamaan/keseragamam diambil menjadi pusat-pertimbangan, yang secara khusus oleh Aristoteles dikaitkan dengan Drama, dan bila kesamaan/keseragaman ditambahkan ke dalam dimensi-kompleksitas, akan membentuk sebuah penjelasan-umum mengenai nilai-estetika. Sehingga Francis Hutcheson, pada abad ke-18 menegaskan bahwa :

" Kesamaan/keseragaman dalam keberagaman/variasi selalu membuat sebuah benda menjadi indah. "

Monroe Beardsley, baru-baru ini, telah memperkenalkan kriteria ketiga yaitu intensitas, untuk menghasilkan tiga prinsip-umum terhadap nilai-objektif-estetika. Dia juga merinci beberapa prinsip-khusus.

Beardsley menyebut kriteria-objektif dalam gaya-seni sebagai prinsip-khusus. Ini bukan masalah menjadi-baik sesuai dengan jenis-nya sehingga melibatkan kesempurnaan dari sebuah konsep seperti dalam pengertian Kant. Tetapi melibatkan pendapat membuat-nilai-yang-baik (good-making) dan membuat-nilai-yang-buruk (bad-making) yang dapat berubah-ubah, lebih seperti pengertian yang dijelaskan oleh Hume dalam karya esainya yang utama membahas bidang ini yaitu Of the Standard of Taste tahun 1757 (Tentang Standar Terhadap Selera).

Untuk mengatakan sebuah karya-seni memiliki kualitas-positif, seperti humor sebagai sebuah karya misalnya, adalah untuk memberi nilai-baik (memuji) sampai ke tingkat/batas tertentu, karena penilaian akan diimbangi oleh kualitas-lain yang dapat membuat karya itu tidak-baik secara keseluruhan atau sebagai kesatuan.

Lebih jauh lagi, Beardsley membela semua prinsip-prinsip-nya dengan cara yang jauh lebih rinci dari para pendahulunya pada abad ke-18 yaitu melalui analisis-historis yang panjang dan berliku terhadap kritik yang benar-benar dikemukakan dalam evaluasi sebuah karya-seni. Dia juga secara eksplisit, melakukan penolakan bahwa prinsip-prinsip-nya adalah satu-satunya kriteria-nilai, dengan memisahkan alasan-obyektif dari sesuatu yang disebutnya sebagai alasan-afektif dan alasan-genetik.

Kedua-jenis-alasan yang disebut di atas, masing-masing berkaitan dengan respons-penonton serta asal-seniman dan jaman-hidup-nya dan dia mempertahankan pandangan, jika kedua-jenis-alasan tersebut dipertimbangkan dalam penilaian, akan melibatkan kekeliruan-afektif atau kekeliruan-intensi. Pembedaan itu membuat Beardsley mampu untuk fokus pada karya-seni dan hubungan-hubungan representasional-nya, jika ada, ke objek-objek di dunia publik.

Melawan pendapat Beardsley, selama bertahun-tahun, Joseph Margolis mempertahankan pandangan relativisme-yang-kuat. Dia bermaksud mengatakan bahwa kecocokan, kemiripan, dan non-kognitivisme mencirikan apresiasi-seni, bukan kebenaran, universalitas, dan pengetahuan.

Dia membela pandangan ini dengan mempertimbangkan konsep-estetika, penilaian-kritis terhadap nilai, dan khususnya interpretasi-sastra, dengan mengatakan lebih-umum, bahwa karya-seni adalah entitas-yang-muncul-dari-budaya karena itu tidak dapat diakses secara langsung oleh setiap fakultas yang menyerupai persepsi-indra.

Perdebatan utama mengenai nilai-estetika, memang menyangkut masalah sosial-dan-politik, dan kemiripan dari sudut pandang yang berbeda yang tampaknya tak terelakkan . Pertanyaan utama menyangkut apakah ada kelas-istimewa, sebutlah mereka yang memiliki perhatian-terhadap-estetika, atau apakah sejumlah kepentingan mereka tidak memiliki tempat/sisi yang berbeda, karena dari perspektif-sosiologis, sebuah selera hanyalah satu di antara semua-selera lain-nya dalam ekonomi-demokrasi.

Sosiolog Arnold Hauser lebih memilih sudut pandang non-relativistik, dan siap memberikan rangkuman tingkatan-selera. Seni-tinggi mengalahkan seni-populer, kata Hauser, karena dua hal yaitu pentingnya-isinya, dan sifat-yang-lebih-kreatif-dari-bentuknya.

Sebaliknya Roger Taylor, menanggalkan sepenuhnya sudut pandang tingkatan-selera, menyatakan bahwa Aida dan The Sound of Music memiliki nilai-yang-sama bagi khalayak/penonton masing-masing. Dia membela pendapat ini dengan analisis-filosofis yang menyeluruh, menolak gagasan bahwa ada semacam-kebenaran yang berhubungan dengan sebuah realitas-eksternal, dengan orang-orang yang mampu mengakses kebenaran-itu memiliki sejumlah nilai-istimewa. Sebaliknya, menurut Taylor, hanya ada skema-konseptual yang berbeda, di dalamnya kebenaran diukur hanya dengan koherensi-internal terhadap skema itu sendiri.

Janet Wolff melihat perdebatan di atas lebih-tidak-terlibat didalamnya, dia secara khusus mempelajari secara rinci pertentangan antara Kant dan Bourdieu.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H3
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment