Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, March 24, 2019

Sofisme 2 : Makna Sofis


Istilah Sophist (sophistes) berasal dari kata Yunani, Sophia yang berarti kebijaksanaan dan Sophos yang berarti bijak.

Setidaknya sejak Homer, istilah-istilah ini memiliki penerapan yang luas, mulai dari pengetahuan-praktis dan sikap hati-hati dalam urusan-urusan publik hingga kemampuan-puitis dan pengetahuan-teoritis.

Tercatat, istilah Sophia dapat digunakan untuk menggambarkan kepandaian/kecerdikan yang tidak-jujur jauh sebelum munculnya gerakan Sofistik.

Theognis, misalnya, menulis pada abad ke-6 SM, menasihati Cyrnos untuk membantu menyebarkan wacananya kepada teman-teman yang lain, karena kepandaian/kecerdikan semacam itu (sophie) bahkan lebih-unggul daripada keutamaan yang luar-biasa (excellence) (Elegiac Poems, 1072, 213).

Pada abad ke-5 SM. istilah Sophistes masih dilekatkan secara luas kepada 'orang-orang bijak', termasuk penyair seperti Homer dan Hesiod, Seven Sage, 'fisikawan' Ionian dan berbagai 'peramal' dan 'nabi'.

Penggunaan istilah yang lebih sempit untuk merujuk pada guru profesional kebajikan atau keunggulan (aretē) menjadi lazim pada paruh kedua abad ke-5 SM, meskipun demikian hal ini seharusnya tidak dimengerti adanya perbedaan yang jelas antara Filsuf seperti Socrates, dan Sofis seperti Protagoras, Gorgias dan Prodicus.

Ini terbukti dari pertunjukan drama komedi yang ditulis oleh Aristophanes, The Clouds (423 SM), di mana Socrates digambarkan sebagai seorang Sofis dan Prodicus disanjung karena kebijaksanaannya.

Pertunjukan drama Aristophanes adalah titik awal yang baik untuk memahami sikap orang-orang Athena terhadap kaum Sofis.

The Clouds menggambarkan kesengsaraan Strepsiades, warga negara Athena lanjut usia yang terjerat hutang cukup besar.

Strepsiades memutuskan bahwa cara terbaik untuk melepaskan hutangnya adalah dengan mengalahkan kreditornya di pengadilan, untuk itu ia menghadiri The Thinkery, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang dikepalai oleh seorang Sofis yaitu Socrates.

Ketika ia gagal untuk mempelajari seni-berbicara di The Thinkery, Strepsiades membujuk putranya Pheidippides yang pada awalnya menolak untuk menggantikannya belajar di sana untuk menebus kegagalannya dan membebaskannya dari hutang. Strepsiades kemudian mengantarkan puteranya untuk menjadi anggota di The Thinkery.

Di sana mereka bertemu dengan dua orang guru ahli yang dekat dengan Socrates dan ditunjuk olehnya untuk membimbing Pheidippides, yaitu Sang-Bijaksana dan Sang-Cerdik, yang masing-masing merepresentasikan argumen-yang-kuat atau kehidupan yang adil dan disiplin-diri serta argumen-yang-lemah atau ketidakadilan dan kesenangan-diri.

Keduanya berdebat untuk menarik hati Pheidippides memilih salah satu diantara mereka sebagai guru. Atas dasar sebuah pemungutan suara, Sang-Cerdik dinyatakan menang dalam perdebatan dan membawa Pheidippides masuk ke dalam The Thinkery untuk menerima pendidikan bagaimana membuat argumen yang lebih lemah mengalahkan yang lebih kuat.

Bebeberapa saat kemudian, Strepsiades mengunjungi kembali The Thinkery dan menemukan bahwa Socrates telah mengubah putranya menjadi intelektual yang pucat dan tidak berguna.

Setelah Pheidippides lulus, ia berhasil membebaskan ayahnya dari belitan hutang. Melalui perdebatan ia mengalahkan para kreditor ayahnya. Sayang ia tidak hanya menang atas para kreditor Strepsiades, tetapi juga terjadi pemukulan kepada ayahnya dan Pheidippides mengajukan pembenaran retoris-yang-persuasif untuk tindakan yang dilakukan. Strepsiades menilai anaknya tidak bermoral karena memukul orang tua, Pheidippides membela diri bahwa tindakannya adalah benar dan tidak mampu dibantah ayahnya.

Ketika Pheidippides juga memukul ibunya, kemarahan Strepsiades mendorongnya untuk memimpin serangan gerombolan budak perusuh ke The Thinkery karena menyalahkan pendidikan Socrates kepada anaknya.

Penggambaran Aristophanes tentang Socrates sebagai Sang-Sofis mengungkapkan setidaknya tiga tingkat.

Hal pertama, ini menunjukkan bahwa perbedaan antara Socrates dan lawan-lawan Sofis-nya sangat tidak jelas bagi orang-orang sejaman mereka.

Meskipun Socrates tidak memungut bayaran dan sering menyatakan bahwa yang ia ketahui hanyalah bahwa ia tidak tahu apa-apa hampir semua hal, hubungannya dengan para Sofis mencerminkan ketidakpastian istilah Sofis dan kesulitannya untuk membedakan metode Socrates dengan metode para Sofis, setidaknya bagi warga negara Athena sehari-hari.

Kedua, penggambaran Aristophanes menunjukkan bahwa pendidikan Sofistik mencerminkan sebuah penurunan nilai-nilai kepahlawanan orang-orang Athena dibanding generasi sebelumnya.

Ketiga, pengaitan dengan para Sofis kepada kecerobohan-intelektual dan keragu-raguan-moral mendahului Plato dan Aristoteles.

Sikap permusuhan terhadap kaum Sofis merupakan faktor penting dalam keputusan pengadilan Athena untuk mengutuk Socrates dengan hukuman mati karena penghinaan terhadap kepercayaan umum masyarakat Athena.

Anytus, yang merupakan salah satu dari penuduh Socrates dalam persidangannya, jelas tidak peduli dengan hal-hal rinci misalnya bahwa pria yang dituduhnya tidak mengakui mengajar aretē atau tidak juga menarik bayaran untuk melakukan hal itu.

Anytus digambarkan oleh Plato, sebagai orang yang mengemukakan pendapat bahwa kaum Sofis berarti kehancuran bagi semua orang yang berhubungan dengan mereka dan sebagai orang yang mendukung pengusiran mereka dari kota (Meno, 91 M-92 M).

Sebagai bentuk pengungkapan yang sama, dalam hal sikap terhadap kaum Sofis, adalah diskusi Socrates dengan Hippocrates, seorang pemuda Athena kaya yang ingin menjadi murid Protagoras (Protagoras, 312a).

Hippocrates sangat ingin bertemu Protagoras sehingga dia membangunkan Socrates pada dini hari, namun kemudian mengakui bahwa dia sendiri merasa malu untuk dikenal sebagai seorang Sofis oleh sesama warga.

Plato juga menggambarkan bahwa Protagoras menyadari permusuhan dan kebencian yang ditimbulkan oleh profesinya (Protagoras, 316c-e).

Tidaklah mengherankan, Protagoras mengajukan pendapat bahwa orang asing yang mengaku dirinya bijak dan membujuk para pemuda kaya di kota-kota pusat kekuasaan untuk meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka dan bergaul dengan mereka akan menimbulkan kecurigaan.

Bahkan, Protagoras berpendapat bahwa seni Sofistik adalah seni kuno, tetapi bahwa para Sofis tua, termasuk penyair seperti Homer, Hesiod dan Simonides, nabi, peramal dan bahkan pelatih fisik, sengaja tidak mengadopsi nama Sofis karena takut penganiayaan.

Protagoras mengatakan bahwa meskipun ia telah mengadopsi strategi menyatakan secara terbuka untuk menjadi seorang Sofis, ia mengambil tindakan pencegahan lain --mungkin termasuk hubungannya dengan Jenderal Athena Pericles-- untuk mengamankan keselamatannya.

Kedudukan rendah para Sofis dalam opini publik Athena tidak berasal dari satu sumber tunggal.

Tidak diragukan lagi kecurigaan para intelektual adalah salah satu faktor di antara banyak faktor itu.

Akan tetapi, sumber pendapatan baru (jenis pekerjaan baru) dan pengambilan keputusan yang demokratis juga merupakan ancaman bagi aristokrat Athena yang konservatif.

Perubahan sosial yang mengancam ini tercermin dalam sikap terhadap konsep arete (keunggulan atau kebajikan) yang telah disinggung dalam ringkasan di atas.

Meski dalam epos Homer arete pada umumnya menunjukkan kekuatan dan keberanian seorang pria sejati, pada paruh kedua abad ke-5 SM semakin dikaitkan dengan keberhasilan dalam urusan publik melalui persuasi-retoris.

Dalam konteks kehidupan politik Athena akhir abad ke-5 SM pentingnya keterampilan dalam pidato persuasif atau retorika tidak dapat diremehkan.

Perkembangan demokrasi membuat penguasaan-kata yang diucapkan tidak hanya prasyarat keberhasilan politik tetapi juga sangat diperlukan sebagai bentuk pembelaan diri jika seseorang mengalami tuntutan hukum.

Dengan demikian, kaum Sofis menjawab kebutuhan yang meningkat di antara kaum muda dan ambisius.

Meno, seorang murid ambisius Gorgias, mengatakan bahwa aretē --dan karenanya fungsi-- seorang pria adalah untuk memerintah/mengatur masyarakat, yaitu mengatur urusan publiknya sehingga menguntungkan teman-temannya dan membahayakan musuh-musuhnya (73c-d).

Ini adalah cita-cita yang telah lama ada, tetapi satu hal terbaik yang terrealisasikan di Athena yang demokratis melalui retorika.

Retorika dengan demikian adalah inti dari pendidikan Sofistik (Protagoras, 318e), bahkan jika hampir semua Sofis berprofesi mengajar berbagai mata pelajaran yang lebih luas.

Kecurigaan terhadap kaum Sofis juga diinformasikan karena mereka meninggalkan model pendidikan aristokratis (paideia).

Sejak jaman Yunani Homeric, paideia telah menjadi perhatian para bangsawan yang berkuasa dan didasarkan pada seperangkat aturan moral yang sesuai dengan kelas prajurit aristokrat.

Model kerja kaum Sofis mensyaratkan bahwa aretē dapat diajarkan kepada semua warga negara yang bebas, sebuah pendapat yang dibela oleh Protagoras secara implisit dalam pidatonya yang hebat mengenai asal-mula keadilan.

Dengan demikian, para Sofis merupakan ancaman terhadap status-quo karena mereka membuat janji tanpa pandang bulu --dengan asumsi mempunyai kamampuan untuk membayar biaya-- untuk memberi kaum muda dan ambisius kekuatan untuk menang dalam kehidupan publik.

Karena itulah seseorang dapat dengan mudah mendefinisikan Sofis sebagai guru aretē yang dibayar, di mana arete dipahami dalam hal kapasitas untuk mencapai dan menggunakan kekuatan politik melalui pidato persuasif.

Meskipun demikian ini hanyalah titik awal. Dan capaian intelektual yang luas dan signifikan dari kaum Sofis --yang akan kita bahas dalam dua bagian berikut-- telah mengarahkan banyak orang untuk bertanya apakah mungkin atau dapat diharapkan untuk melekatkan-ciri pada mereka berdasar metode atau cara-pandang-unik yang akan berfungsi sebagai sebuah karakteristik pemersatu sementara juga membedakan mereka dengan para 'Filsuf'.

Studi-studi akademis yang serius pada abad ke-19 dan seterusnya sering terikat pada metode sebagai cara membedakan Socrates dari para Sofis.

Bagi Henry Sidgwick (1872, 288-307), misalnya, Socrates melakukan metode tanya-jawab untuk mencari kebenaran, sedangkan kaum Sofis memberikan 'Epideiktik' yang panjang atau menyampaikan pidato panjang demi tujuan-tujuan persuasi.

Tampaknya sulit untuk mempertahankan pembedaan-metodis yang jelas atas dasar ini, mengingat bahwa Gorgias dan Protagoras keduanya mengaku mahir dalam pidato-singkat dan bahwa Socrates terlibat dalam percakapan persuasif yang panjang --kebanyakan dalam bentuk mitos-- disepanjang dialog Platonis.

Lebih lagi, hanyalah penyesatan untuk mengatakan bahwa dalam semua kasus kaum Sofis tidak-peduli dengan kebenaran, karena dengan menegaskan relativitas-kebenaran dengan sendirinya adalah untuk membuat klaim kebenaran.

Pertimbangan lebih lanjut adalah bahwa Socrates melakukan kesalahan dengan penalaran yang keliru dalam banyak dialog-dialog Platonis, meskipun poin ini kurang relevan jika kita mengasumsikan bahwa kesalahan logis Socrates adalah tidak disengaja.

G.B. Kerferd (1981a) telah mengusulkan seperangkat kriteria metodologis yang lebih bernuansa untuk membedakan Socrates dari para Sofis.

Menurut Kerferd, kaum Sofis menggunakan metode argumen 'Eristik' dan 'Antilogis', sedangkan Socrates meremehkan 'Eristik' dan melihat 'Antilogis' sebagai langkah yang penting tetapi tidak-lengkap dalam perjalanan menuju dialektika.

Plato menggunakan istilah 'Eristik' untuk menunjukkan praktik --ini bukan hanya metode berbicara-- mencari kemenangan dalam argumen tanpa memperhatikan kebenaran.

Kita menemukan representasi teknik 'Eristik' dalam dialog karya Plato, Euthydemus, di mana saudara-saudara Euthydemus dan Dionysiodorous dengan sengaja menggunakan argumen yang sangat-buruk dan keliru untuk tujuan kontradiksi dan menang atas lawan mereka.

'Antilogis' adalah suatu metode meneruskan dari sebuah argumen tertentu, biasanya yang diajukan oleh lawan, menuju penetapan sebuah argumen yang berlawanan atau kontradiktif sedemikian rupa sehingga lawan harus meninggalkan posisi pertamanya atau menerima kedua posisi.

Metode argumentasi ini digunakan oleh sebagian besar kaum Sofis, dan contoh-contohnya ditemukan dalam karya Protagoras dan Antiphon.

Pendapat Kerferd bahwa kita dapat membedakan antara Filsafat dan Sofisme dengan melekatkan pada 'dialektika' masih menjadi masalah.

Dalam apa yang biasa diterima sebagai dialog-dialog 'Awal' Platonis, kita menemukan Socrates menggunakan metode sanggahan dialektik yang disebut sebagai 'Elenchus'.

Seperti yang dikemukakan Nehamas (1990), meski 'Elenchus' dapat dibedakan dari 'Eristik' karena kepeduliannya pada kebenaran, adalah lebih sulit untuk membedakannya dengan 'Antilogis' karena keberhasilannya selalu bergantung pada kapasitas lawan bicara untuk mempertahankan diri terhadap sanggahan dalam kasus tertentu.

Di sisi lain dalam dialog-dialog 'Tengah' dan 'Akhir' Plato, menurut interpretasi Nehamas, Plato mengaitkan dialektika dengan pengetahuan tentang forma-forma, tetapi ini tampak melibatkan ikatan epistemologis dan metafisik dengan ontologi-transenden yang oleh kebanyakan filsuf, kemudian dan sekarang, akan enggan untuk mendukungnya.

Upaya yang lebih baru untuk menjelaskan apa yang membedakan Filsafat dari Sofisme cenderung untuk memusatkan pada perbedaan tujuan moral atau dalam hal pilihan untuk cara menjalani hidup yang berbeda, seperti yang dikatakan Aristoteles dengan elegan (Metafisika IV, 2, 1004b24-5).

Bagian 4 akan kembali kepada pertanyaan apakah hal itu adalah cara terbaik untuk memikirkan perbedaan antara Filsafat dan Sofisme.

Namun demikian, sebelum ke sana adalah bermanfaat untuk membuat sketsa biografi dan minat para Sofis yang paling terkemuka dan juga mempertimbangkan beberapa tema umum dalam pemikiran mereka.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment