Setelah bekerja dengan Plato dalam Academy yang didirikan olehnya selama beberapa dekade, Aristoteles dapat dimengerti merupakan murid yang paling terpengaruh oleh gurunya, ia juga mengadopsi ajaran Plato, sebagai contoh, ia mengadopsi sebuah teori-keutamaan mengenai etika.
Namun, bagian 'kebesaran' yang dimiliki Aristoteles tumbuh dari kemampuannya untuk mengambil gagasan-kritis, dan ia dapat dikatakan menjadi kritikus yang paling cakap, begitu juga pengikut Plato yang paling terkenal dalam keinginan untuk mengembangkan filsafat-alternatif yang kredibel menyaingi filsafat Sofisme.
Buku V, tentang etika (Nicomachean Ethics) yang mengagumkan membahas dengan cukup dalam tentang keutamaan keadilan moral dan politik.
Pembahasan dimulai kurang meyakinkan dengan pendapat-sirkular bahwa kondisilah yang merubah kita menjadi pelaku-pelaku yang hanya-cenderung untuk menginginkan dan mempraktekan keadilan (tidak melakukan).
Namun analisanya segera menjadi lebih mencerahkan ketika ia menjelaskan keadilan dengan jernih dan tepat dalam pengertian keadilan sesuai aturan-hukum dan perlakuan-adil kepada orang-lain (fair).
Apa yang sesuai dengan hukum dalam suatu negara dipandang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk kebaikan bersama dan/atau kebaikan para-penguasanya.
Secara umum, warga-negara harus mematuhi hukum semacam-itu agar menjadi adil (secara moral). Persoalannya adalah hukum-sipil sendiri dapat tidak-adil dalam pengertian menjadi perlakuan-tidak-adil (unfair) bagi sejumlah orang, sehingga kita perlu menimbang keadilan-khusus sebagai sebuah fungsi dari perlakuan-adil terhadap orang-lain (fairness).
Aristoteles melakukan analisis ini ke dalam dua-jenis keadilan :
Keadilan-distributif melibatkan pembagian keuntungan dan beban/kerugian dengan perlakuan-adil (fair) diantara anggota-anggota suatu komunitas, sedang keadilan-korektif ---dalam kondisi tertentu--- membutuhkan usaha kita untuk mengembalikan suatu perlakuan-adil yang seimbang dalam hubungan-hubungan interpersonal ketika perlakuan-adil (fairness) tidak-ditemukan.
Jika suatu anggota dari sebuah komunitas diuntungkan dan diberi beban/kerugian karena perlakuan-tidak-adil (unfair) sehingga menerima lebih atau kurang daripada yang sepantasnya-diterima melalui cara distribusi-sosial, maka keadilan-korektif diperlukan, sebagai contoh dengan melakukan persidangan menurut hukum.
Perhatikan bahwa Aristoteles tidak-lebih-egalitarian daripada Plato ---menurutnya ketika suatu imbal-balik sosial mungkin diperlukan, imbal-balik itu haruslah lebih kepada semacam proposionalitas daripada kesamaan.
Seperti semua keutamaan-moral, bagi Aristoteles keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim yang buruk. Kesetaraan atau kesamaan secara proposional melibatkan 'posisi-tengah' antara seseorang yang memperoleh 'lebih-sedikit' dari sepantasnya karena perlakuan-tidak-adil dan seorang yang memperoleh lebih-banyak dengan mengorbankan orang-lain.
Rerata keadilan terletak diantara wakil yang menerima terlalu-banyak dan terlalu-sedikit, relatif terhadap apa yang sepantasnya diterima, keduanya merupakan dua-jenis yang berlawanan dengan keadilan, yang satu ekses berlebihan karena tidak-proposional sedang yang lain efek kekurangan/kerugian karena tidak-proposional (Nicomachean, pp. 67-74, 76; 1129a-1132b, 1134a).
Keadilan politik, dalam ketaatan-hukum dan perlakuan-adil (fair), keduanya dipegang untuk diterapkan hanya kepada mereka yang merupakan warga-negara dalam sebuah komunitas-politik (sebuah polis) dengan keutamaan menjadi 'bebas dan secara proposional ataupun kesamaan-jumlah', mereka yang memiliki hubungan-hubungan interpersonal diatur dengan aturan-hukum, karenanya hukum harus-ada terlebih dahulu (syarat-sebelum) dari sebuah keadilan dan ketidak-adilan.
Namun, karena individu-individu cenderung menjadi bias secara egoistik, hukum harus merupakan suatu produk dari akal (yang universal) daripada produk dari para-penguasa yang pertikular.
Aristoteles telah bersiap untuk membedakan antara pada satu-sisi apa itu adil dan tidak-adil secara alamiah seperti siapa yang boleh dibunuh secara sah, dan disisi-lain apa yang hanya adil atau tidak-adil secara konvensional, seperti sebuah sistem-pajak khusus bagi masyarakat tertentu.
Namun kaum Sofis melakukan kesalahan dalam berpendapat bahwa semua keadilan-politik adalah hasil-artifisial dari hukum-konvensi dan untuk memotong semua keadilan-alamiah yang menurutnya universal (ibid., pp. 77-78; 1134a-1135a; cf. Rhetoric, pp. 105-106; 1374a-b).
Apa yang belum dapat dipastikan kebenarannya, yang dipertaruhkan disini adalah perkembangan suatu keutamaan-moral yang mendasar bagi kesejahteraan masyarakat, begitu juga bagi tumbuh kembangnya setiap umat-manusia.
Dimensi lain yang bernilai dalam diskusi Aristoteles disini adalah bahasannya terhadap hubungan antara keadilan dan diterima baik-secara-sosial, karena terkadang mengikuti ketentuan-hukum akan melanggar kesamaan perlakuan-adil kepada orang-lain (fairness) atau akal-sehat.
Seorang yang diterima baik-secara-sosial mungkin memperoleh keuntungan-egois dari ketaatan mengikuti hukum dengan tepat, namun memutuskan untuk mengambil lebih-sedikit atau memberi lebih-banyak demi kebaikan-bersama. Dengan cara ini, seorang yang diterima baik-secara-sosial dapat meluruskan batasan-batasan hukum dan merepresentasikan kembali bentuk keadilan yang lebih-tinggi (Nicomachean, pp. 83-84; 1137a-1138a).
Dalam karyanya Politics, Aristoteles lebih jauh meninjau keadilan-politik dan relasinya dengan kesetaraan. Kita dapat mengakui bahwa keadilan-politik melibatkan kesetaraan tetapi harus hati-hati menentukan, dengan menjaga pengertian bahwa keadilan melibatkan kesetaraan 'tidak untuk setiap-orang namun hanya bagi mereka yang benar-benar setara'.
Dia sepakat dengan Plato, bahwa demokrasi-politik secara intrinsik adalah tidak-adil karena, dengan sifat alamiahnya, demokrasi berusaha memperlakukan mereka yang tidak-setara seolah setara. Keadilan lebih mensyaratkan ketidak-setaraan bagi rakyat yang memang tidak-setara.
Namun kemudian, oligarki juga secara intrinsik tidak-adil sejauh oligarki memperlakukan mereka yang-setara dengan tidak-setara karena sejumlah disparitas (kesenjangan) yang kontingen dari kelahiran, kemakmuran, kekayaan dll.
Sebaliknya, mereka yang berada di dalam sebuah masyarakat politik yang adil, siapapun yang memberikan kontribusi paling-besar kepada kebaikan-bersama akan menerima bagian yang lebih-besar, karena dengan demikian mereka menunjukan keutamaan-politik yang lebih-besar, dibanding mereka yang-inferior dari aspek yang sama. Mutlak akan menjadi salah dari perspektif keadilan-politik, bila mereka menerima bagian yang sama.
Sehingga keadilan-politik harus dipandang sebagai suatu fungsi dari kebaikan-bersama bagi sebuah komunitas.
Aristoteles mengakui, upaya untuk menetapkan kesetaraan atau ketidak-setaraan di antara rakyat, adalah yang membentuk sebuah persoalan kunci dalam 'filsafat-politik'
Dia berpikir, kita semua dengan gampang sepakat terhadap pendapat keadilan-politik lebih membutuhkan 'proporsionalitas' daripada kesamaan-jumlah (numerical-equality).
Namun mereka yang-inferior memiliki suatu kepentingan-pribadi dalam berpikir bahwa mereka yang-setara dalam beberapa-hal harus menjadi setara dalam segala-hal, sementara mereka yang-superior dibiaskan dengan arah yang berlawanan, untuk berpikir/membayangkan bahwa mereka yang-tidak-setara dalam beberapa-hal harus tidak-setara dalam semua-hal.
Sehingga, sebagai contoh, mereka yang-setara sebagai warga-negara tidak-selalu setara dalam keutamaan-politik, dan mereka yang lebih-kaya secara finansial tidak-selalu superior secara moral dan mental.
Kesetaraan apa yang relevan disini adalah 'kesetaraan sesuai kualitas', meski demikian Aristoteles tidak dapat menentukan secara tepat apa persisnya penjelasan 'kualitas' yang dimaksud, untuk apa dan bagaimana harus menghitungnya, siapa yang harus menghitung dan dengan standar apa menghitungnya.
Aristoteles hanya bisa menyarankan ---sebagai contoh dalam sejumlah komentar tentang pemerintahan-aristokratik yang didambakan--- 'kualitas' itu harus melibatkan keutamaan moral dan intelektual (Politics, pp. 79, 81, 86, 134, 136, 151, 153; 1280a, 1281a, 1282b, 1301a-1302a, 1307a, 1308a).
Sekarang mari kita tinjau bagaimana Aristoteles menerapkan teori-keadilannya sendiri kepada persoalan-sosial mengenai superior dan inferior yang sudah dinyatakan namun belum meyakinkan, sebelum mencoba melakukan kritik singkat terhadap teori itu.
Meski Plato menerima perbudakan sebagai institusi-sosial yang sah namun ia mengajukan pendapat untuk kesetaraan-kesempatan bagi perempuan, dalam karyanya Politics, Aristoteles menerima ketidak-setaraan jenis-kelamin (gender) namun ia juga membela perbudakan secara aktif.
Siapapun yang-inferior secara moral dan intelektual adalah layak menjadi inferior secara sosial dan politik dalam sebuah masyarakat-politik (polis) yang telah teratur dengan baik (beradab).
Secara alamiah seorang manusia bisa otomatis atau tidak, menjadi 'seorang budak-alamiah' yang kurang/lemah secara rasional dan moral, dan karenanya secara alami cocok untuk dikuasai oleh mereka yang-superior, manusia semacam itu cocok dinilai sebagai 'sebuah pendukung' atau 'alat untuk tindakan' bagi orang-lain.
Dengan adanya ketidak-setaraan alamiah manusia, membenarkan ketidak-layakan pendapat bahwa semua harus memerintah atau berbagi dalam pemerintahan. Aristoteles berpendirian bahwa sejumlah manusia ditandai sebagai superior dan pantas untuk memerintah dari sejak lahir, sementara yang-lain adalah inferior dan ditandai sejak lahir untuk menjadi manusia yang diatur oleh yang lain.
Hal itu harus diterapkan tidak-hanya kepada kelompok-kelompok etnis, tapi juga kepada jenis-kelamin (gender), dan Aristoteles menyatakan ketidak-setaraan dengan tegas bahwa kaum-lelaki secara alamiah-superior (naturally-superior) dan kaum-perempuan inferior secara alamiah (naturally-inferior).
Mereka yang-superior menjadi cocok untuk memerintah dan yang-inferior pantas diperintah. Pendapat itu menyatakan adalah lebih-baik bagi kaum-perempuan sendiri bahwa mereka diatur oleh kaum-lelaki, seperti juga adalah lebih-baik bagi 'budak-alamiah' bahwa mereka harus diperintah oleh mereka yang bebas secara alamiah.
Sekarang Aristoteles berpendapat khusus terhadap perbudakan-alamiah. Adalah adat/kebiasaan (perhatikan perbedaan istilah, yang digunakan disini, antara adat/kebiasaan dan alamiah) dalam masa-kuno untuk menjadikan budak terhadap musuh-musuh yang ditaklukan yang menjadi tahanan-perang.
Namun Aristoteles (seperti Plato) meyakini bahwa bangsa Yunani terlahir untuk bebas dan rasional mengatur-diri, tidak-seperti bangsa non-Yunani (kaum barbar) yang secara alamiah inferior dan tidak-mampu untuk itu.
Sehingga fakta bahwa seorang manusia yang dikalahkan dan ditangkap dia layak diperbudak tidak dijamin kebenarannya, karena sebuah perang yang tidak-adil mungkin telah dipaksakan kepada suatu masyarakat yang lebih-bermartabat oleh masyarakat yang lebih-primitif.
Meskipun menerima kebenaran tentang bangsa Yunani dan non-Yunani begitu juga dengan kaum lelaki dan perempuan, semuanya adalah manusia yang seutuhnya, Aristoteles membenarkan dugaan ketidak-setaraan diantara mereka berdasar pada apa yang disebut kapasitas memutuskan-secara-rasional (delibertif) dari jiwa-rasional mereka.
Jiwa-rasional pada budak-alamiah dianggap tidak memiliki kapasitas ini, seorang wanita memilikinya tapi tidak secara otomatis ada otoritas baginya untuk mampu memutuskan sendiri, seorang anak lelaki-bebas memilikinya pada tingkat perkembangan tertentu, dan seorang lelaki-bebas yang superior alamiah memilikinya dan siap bagi kepemerintahan (ibid., pp. 7-11, 23; 1254a-1255a, 1260a).
Penerapan ini menciptakan suatu jalur yang sangat membantu untuk sebuah kritik kepada teori keadilan Aristoteles.
jika kita merasa bahwa adalah tidak-adil untuk melakukan diskriminasi terhadap rakyat hanya dengan penjelasan/alasan mengenai jenis-kelamin (gender) dan/atau asal-muasal etnis mereka, sebagai filosof, kita berusaha mengidentifikasi akar-rasional dari persoalan itu.
Jika intuisi-moral kita benar terhadap pendapat Aristoteles (dan beberapa bahkan akan menyebut pandangannya disini seksis dan rasis), Aristoteles mungkin melakukan kesalahan terhadap persoalan-fakta atau keputusan (judgment) nilai atau keduanya.
Pastilah pendapat dia salah mengenai semua perempuan dan bangsa non-Yunani menjadi inferior secara esensial dibanding kaum lelaki atau bangsa Yunani dengan cara yang relevan, karena sejarah kebudayaan telah mendemonstrasikan bahwa, ketika diberi kesempatan, kaum perempuan dan bangsa non-Yunani telah menunjukan diri-mereka setara secara signifikan.
Namun tampak bahwa Aristoteles juga mungkin melakukan kesalahan, ia tiba-tiba melompat dari pendapat ketidak-setaraan faktual kepada keputusan (judgment) nilai dan karena penilaian itu, adalah benar bahwa mereka yang-inferior harus menjadi sub-ordinat secara sosial, hukum, politik dan ekonomi ---seperti Plato dan lainnya dalam kebudayaannya (untuk itu ia memohon maaf disini), Aristoteles tampak tidak memiliki konsepsi semacam hak-hak asasi manusia.
Seperti Plato, Aristoteles berpendapat tentang sebuah teori keadilan sosial atau personal yang objektif sebagai sebuah alternatif yang lebih menarik daripada teori yang relativistik dari kaum Sofis.
Meskipun terdapat suatu yang menarik dari pendekatan-empiris keadilan Aristoteles (dilawankan dengan pendekatan idealistik Plato), pendekatan-empiris membuatnya dikritik keras dalam keraguan posisinya terhadap perlunya memperoleh/menurunkan pendapat mengenai 'bagaimana sesuatu seharusnya ada' dari pendapat faktual tentang 'bagaimana sesuatu ada secara aktual'.
Pendekatan-empiris juga meninggalkan Aristoteles dengan perangkat yang sedikit dapat mencapai keberhasilan untuk menentukan sebuah perspektif universal, semacam hal yang akan menghargai kesetaraan kehormatan pada semua manusia
Sehingga teori Aristoteles, seperti teori Plato, cukup gagal untuk menghargai semua-orang sebagai pelaku-pelaku yang bebas dan rasional.
Mereka terlalu fokus dalam cara yang memandang rakyat tidak-setara, sehingga mereka tidak-dapat menilai kesetaraan moral apapun yang mendasar, yang mungkin menyediakan sebuah landasan bagi hak-hak asasi alamiah manusia.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Namun, bagian 'kebesaran' yang dimiliki Aristoteles tumbuh dari kemampuannya untuk mengambil gagasan-kritis, dan ia dapat dikatakan menjadi kritikus yang paling cakap, begitu juga pengikut Plato yang paling terkenal dalam keinginan untuk mengembangkan filsafat-alternatif yang kredibel menyaingi filsafat Sofisme.
Buku V, tentang etika (Nicomachean Ethics) yang mengagumkan membahas dengan cukup dalam tentang keutamaan keadilan moral dan politik.
Pembahasan dimulai kurang meyakinkan dengan pendapat-sirkular bahwa kondisilah yang merubah kita menjadi pelaku-pelaku yang hanya-cenderung untuk menginginkan dan mempraktekan keadilan (tidak melakukan).
Namun analisanya segera menjadi lebih mencerahkan ketika ia menjelaskan keadilan dengan jernih dan tepat dalam pengertian keadilan sesuai aturan-hukum dan perlakuan-adil kepada orang-lain (fair).
Apa yang sesuai dengan hukum dalam suatu negara dipandang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk kebaikan bersama dan/atau kebaikan para-penguasanya.
Secara umum, warga-negara harus mematuhi hukum semacam-itu agar menjadi adil (secara moral). Persoalannya adalah hukum-sipil sendiri dapat tidak-adil dalam pengertian menjadi perlakuan-tidak-adil (unfair) bagi sejumlah orang, sehingga kita perlu menimbang keadilan-khusus sebagai sebuah fungsi dari perlakuan-adil terhadap orang-lain (fairness).
Aristoteles melakukan analisis ini ke dalam dua-jenis keadilan :
Keadilan-distributif melibatkan pembagian keuntungan dan beban/kerugian dengan perlakuan-adil (fair) diantara anggota-anggota suatu komunitas, sedang keadilan-korektif ---dalam kondisi tertentu--- membutuhkan usaha kita untuk mengembalikan suatu perlakuan-adil yang seimbang dalam hubungan-hubungan interpersonal ketika perlakuan-adil (fairness) tidak-ditemukan.
Jika suatu anggota dari sebuah komunitas diuntungkan dan diberi beban/kerugian karena perlakuan-tidak-adil (unfair) sehingga menerima lebih atau kurang daripada yang sepantasnya-diterima melalui cara distribusi-sosial, maka keadilan-korektif diperlukan, sebagai contoh dengan melakukan persidangan menurut hukum.
Perhatikan bahwa Aristoteles tidak-lebih-egalitarian daripada Plato ---menurutnya ketika suatu imbal-balik sosial mungkin diperlukan, imbal-balik itu haruslah lebih kepada semacam proposionalitas daripada kesamaan.
Seperti semua keutamaan-moral, bagi Aristoteles keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim yang buruk. Kesetaraan atau kesamaan secara proposional melibatkan 'posisi-tengah' antara seseorang yang memperoleh 'lebih-sedikit' dari sepantasnya karena perlakuan-tidak-adil dan seorang yang memperoleh lebih-banyak dengan mengorbankan orang-lain.
Rerata keadilan terletak diantara wakil yang menerima terlalu-banyak dan terlalu-sedikit, relatif terhadap apa yang sepantasnya diterima, keduanya merupakan dua-jenis yang berlawanan dengan keadilan, yang satu ekses berlebihan karena tidak-proposional sedang yang lain efek kekurangan/kerugian karena tidak-proposional (Nicomachean, pp. 67-74, 76; 1129a-1132b, 1134a).
Keadilan politik, dalam ketaatan-hukum dan perlakuan-adil (fair), keduanya dipegang untuk diterapkan hanya kepada mereka yang merupakan warga-negara dalam sebuah komunitas-politik (sebuah polis) dengan keutamaan menjadi 'bebas dan secara proposional ataupun kesamaan-jumlah', mereka yang memiliki hubungan-hubungan interpersonal diatur dengan aturan-hukum, karenanya hukum harus-ada terlebih dahulu (syarat-sebelum) dari sebuah keadilan dan ketidak-adilan.
Namun, karena individu-individu cenderung menjadi bias secara egoistik, hukum harus merupakan suatu produk dari akal (yang universal) daripada produk dari para-penguasa yang pertikular.
Aristoteles telah bersiap untuk membedakan antara pada satu-sisi apa itu adil dan tidak-adil secara alamiah seperti siapa yang boleh dibunuh secara sah, dan disisi-lain apa yang hanya adil atau tidak-adil secara konvensional, seperti sebuah sistem-pajak khusus bagi masyarakat tertentu.
Namun kaum Sofis melakukan kesalahan dalam berpendapat bahwa semua keadilan-politik adalah hasil-artifisial dari hukum-konvensi dan untuk memotong semua keadilan-alamiah yang menurutnya universal (ibid., pp. 77-78; 1134a-1135a; cf. Rhetoric, pp. 105-106; 1374a-b).
Apa yang belum dapat dipastikan kebenarannya, yang dipertaruhkan disini adalah perkembangan suatu keutamaan-moral yang mendasar bagi kesejahteraan masyarakat, begitu juga bagi tumbuh kembangnya setiap umat-manusia.
Dimensi lain yang bernilai dalam diskusi Aristoteles disini adalah bahasannya terhadap hubungan antara keadilan dan diterima baik-secara-sosial, karena terkadang mengikuti ketentuan-hukum akan melanggar kesamaan perlakuan-adil kepada orang-lain (fairness) atau akal-sehat.
Seorang yang diterima baik-secara-sosial mungkin memperoleh keuntungan-egois dari ketaatan mengikuti hukum dengan tepat, namun memutuskan untuk mengambil lebih-sedikit atau memberi lebih-banyak demi kebaikan-bersama. Dengan cara ini, seorang yang diterima baik-secara-sosial dapat meluruskan batasan-batasan hukum dan merepresentasikan kembali bentuk keadilan yang lebih-tinggi (Nicomachean, pp. 83-84; 1137a-1138a).
Dalam karyanya Politics, Aristoteles lebih jauh meninjau keadilan-politik dan relasinya dengan kesetaraan. Kita dapat mengakui bahwa keadilan-politik melibatkan kesetaraan tetapi harus hati-hati menentukan, dengan menjaga pengertian bahwa keadilan melibatkan kesetaraan 'tidak untuk setiap-orang namun hanya bagi mereka yang benar-benar setara'.
Dia sepakat dengan Plato, bahwa demokrasi-politik secara intrinsik adalah tidak-adil karena, dengan sifat alamiahnya, demokrasi berusaha memperlakukan mereka yang tidak-setara seolah setara. Keadilan lebih mensyaratkan ketidak-setaraan bagi rakyat yang memang tidak-setara.
Namun kemudian, oligarki juga secara intrinsik tidak-adil sejauh oligarki memperlakukan mereka yang-setara dengan tidak-setara karena sejumlah disparitas (kesenjangan) yang kontingen dari kelahiran, kemakmuran, kekayaan dll.
Sebaliknya, mereka yang berada di dalam sebuah masyarakat politik yang adil, siapapun yang memberikan kontribusi paling-besar kepada kebaikan-bersama akan menerima bagian yang lebih-besar, karena dengan demikian mereka menunjukan keutamaan-politik yang lebih-besar, dibanding mereka yang-inferior dari aspek yang sama. Mutlak akan menjadi salah dari perspektif keadilan-politik, bila mereka menerima bagian yang sama.
Sehingga keadilan-politik harus dipandang sebagai suatu fungsi dari kebaikan-bersama bagi sebuah komunitas.
Aristoteles mengakui, upaya untuk menetapkan kesetaraan atau ketidak-setaraan di antara rakyat, adalah yang membentuk sebuah persoalan kunci dalam 'filsafat-politik'
Dia berpikir, kita semua dengan gampang sepakat terhadap pendapat keadilan-politik lebih membutuhkan 'proporsionalitas' daripada kesamaan-jumlah (numerical-equality).
Namun mereka yang-inferior memiliki suatu kepentingan-pribadi dalam berpikir bahwa mereka yang-setara dalam beberapa-hal harus menjadi setara dalam segala-hal, sementara mereka yang-superior dibiaskan dengan arah yang berlawanan, untuk berpikir/membayangkan bahwa mereka yang-tidak-setara dalam beberapa-hal harus tidak-setara dalam semua-hal.
Sehingga, sebagai contoh, mereka yang-setara sebagai warga-negara tidak-selalu setara dalam keutamaan-politik, dan mereka yang lebih-kaya secara finansial tidak-selalu superior secara moral dan mental.
Kesetaraan apa yang relevan disini adalah 'kesetaraan sesuai kualitas', meski demikian Aristoteles tidak dapat menentukan secara tepat apa persisnya penjelasan 'kualitas' yang dimaksud, untuk apa dan bagaimana harus menghitungnya, siapa yang harus menghitung dan dengan standar apa menghitungnya.
Aristoteles hanya bisa menyarankan ---sebagai contoh dalam sejumlah komentar tentang pemerintahan-aristokratik yang didambakan--- 'kualitas' itu harus melibatkan keutamaan moral dan intelektual (Politics, pp. 79, 81, 86, 134, 136, 151, 153; 1280a, 1281a, 1282b, 1301a-1302a, 1307a, 1308a).
Sekarang mari kita tinjau bagaimana Aristoteles menerapkan teori-keadilannya sendiri kepada persoalan-sosial mengenai superior dan inferior yang sudah dinyatakan namun belum meyakinkan, sebelum mencoba melakukan kritik singkat terhadap teori itu.
Meski Plato menerima perbudakan sebagai institusi-sosial yang sah namun ia mengajukan pendapat untuk kesetaraan-kesempatan bagi perempuan, dalam karyanya Politics, Aristoteles menerima ketidak-setaraan jenis-kelamin (gender) namun ia juga membela perbudakan secara aktif.
Siapapun yang-inferior secara moral dan intelektual adalah layak menjadi inferior secara sosial dan politik dalam sebuah masyarakat-politik (polis) yang telah teratur dengan baik (beradab).
Secara alamiah seorang manusia bisa otomatis atau tidak, menjadi 'seorang budak-alamiah' yang kurang/lemah secara rasional dan moral, dan karenanya secara alami cocok untuk dikuasai oleh mereka yang-superior, manusia semacam itu cocok dinilai sebagai 'sebuah pendukung' atau 'alat untuk tindakan' bagi orang-lain.
Dengan adanya ketidak-setaraan alamiah manusia, membenarkan ketidak-layakan pendapat bahwa semua harus memerintah atau berbagi dalam pemerintahan. Aristoteles berpendirian bahwa sejumlah manusia ditandai sebagai superior dan pantas untuk memerintah dari sejak lahir, sementara yang-lain adalah inferior dan ditandai sejak lahir untuk menjadi manusia yang diatur oleh yang lain.
Hal itu harus diterapkan tidak-hanya kepada kelompok-kelompok etnis, tapi juga kepada jenis-kelamin (gender), dan Aristoteles menyatakan ketidak-setaraan dengan tegas bahwa kaum-lelaki secara alamiah-superior (naturally-superior) dan kaum-perempuan inferior secara alamiah (naturally-inferior).
Mereka yang-superior menjadi cocok untuk memerintah dan yang-inferior pantas diperintah. Pendapat itu menyatakan adalah lebih-baik bagi kaum-perempuan sendiri bahwa mereka diatur oleh kaum-lelaki, seperti juga adalah lebih-baik bagi 'budak-alamiah' bahwa mereka harus diperintah oleh mereka yang bebas secara alamiah.
Sekarang Aristoteles berpendapat khusus terhadap perbudakan-alamiah. Adalah adat/kebiasaan (perhatikan perbedaan istilah, yang digunakan disini, antara adat/kebiasaan dan alamiah) dalam masa-kuno untuk menjadikan budak terhadap musuh-musuh yang ditaklukan yang menjadi tahanan-perang.
Namun Aristoteles (seperti Plato) meyakini bahwa bangsa Yunani terlahir untuk bebas dan rasional mengatur-diri, tidak-seperti bangsa non-Yunani (kaum barbar) yang secara alamiah inferior dan tidak-mampu untuk itu.
Sehingga fakta bahwa seorang manusia yang dikalahkan dan ditangkap dia layak diperbudak tidak dijamin kebenarannya, karena sebuah perang yang tidak-adil mungkin telah dipaksakan kepada suatu masyarakat yang lebih-bermartabat oleh masyarakat yang lebih-primitif.
Meskipun menerima kebenaran tentang bangsa Yunani dan non-Yunani begitu juga dengan kaum lelaki dan perempuan, semuanya adalah manusia yang seutuhnya, Aristoteles membenarkan dugaan ketidak-setaraan diantara mereka berdasar pada apa yang disebut kapasitas memutuskan-secara-rasional (delibertif) dari jiwa-rasional mereka.
Jiwa-rasional pada budak-alamiah dianggap tidak memiliki kapasitas ini, seorang wanita memilikinya tapi tidak secara otomatis ada otoritas baginya untuk mampu memutuskan sendiri, seorang anak lelaki-bebas memilikinya pada tingkat perkembangan tertentu, dan seorang lelaki-bebas yang superior alamiah memilikinya dan siap bagi kepemerintahan (ibid., pp. 7-11, 23; 1254a-1255a, 1260a).
Penerapan ini menciptakan suatu jalur yang sangat membantu untuk sebuah kritik kepada teori keadilan Aristoteles.
jika kita merasa bahwa adalah tidak-adil untuk melakukan diskriminasi terhadap rakyat hanya dengan penjelasan/alasan mengenai jenis-kelamin (gender) dan/atau asal-muasal etnis mereka, sebagai filosof, kita berusaha mengidentifikasi akar-rasional dari persoalan itu.
Jika intuisi-moral kita benar terhadap pendapat Aristoteles (dan beberapa bahkan akan menyebut pandangannya disini seksis dan rasis), Aristoteles mungkin melakukan kesalahan terhadap persoalan-fakta atau keputusan (judgment) nilai atau keduanya.
Pastilah pendapat dia salah mengenai semua perempuan dan bangsa non-Yunani menjadi inferior secara esensial dibanding kaum lelaki atau bangsa Yunani dengan cara yang relevan, karena sejarah kebudayaan telah mendemonstrasikan bahwa, ketika diberi kesempatan, kaum perempuan dan bangsa non-Yunani telah menunjukan diri-mereka setara secara signifikan.
Namun tampak bahwa Aristoteles juga mungkin melakukan kesalahan, ia tiba-tiba melompat dari pendapat ketidak-setaraan faktual kepada keputusan (judgment) nilai dan karena penilaian itu, adalah benar bahwa mereka yang-inferior harus menjadi sub-ordinat secara sosial, hukum, politik dan ekonomi ---seperti Plato dan lainnya dalam kebudayaannya (untuk itu ia memohon maaf disini), Aristoteles tampak tidak memiliki konsepsi semacam hak-hak asasi manusia.
Seperti Plato, Aristoteles berpendapat tentang sebuah teori keadilan sosial atau personal yang objektif sebagai sebuah alternatif yang lebih menarik daripada teori yang relativistik dari kaum Sofis.
Meskipun terdapat suatu yang menarik dari pendekatan-empiris keadilan Aristoteles (dilawankan dengan pendekatan idealistik Plato), pendekatan-empiris membuatnya dikritik keras dalam keraguan posisinya terhadap perlunya memperoleh/menurunkan pendapat mengenai 'bagaimana sesuatu seharusnya ada' dari pendapat faktual tentang 'bagaimana sesuatu ada secara aktual'.
Pendekatan-empiris juga meninggalkan Aristoteles dengan perangkat yang sedikit dapat mencapai keberhasilan untuk menentukan sebuah perspektif universal, semacam hal yang akan menghargai kesetaraan kehormatan pada semua manusia
Sehingga teori Aristoteles, seperti teori Plato, cukup gagal untuk menghargai semua-orang sebagai pelaku-pelaku yang bebas dan rasional.
Mereka terlalu fokus dalam cara yang memandang rakyat tidak-setara, sehingga mereka tidak-dapat menilai kesetaraan moral apapun yang mendasar, yang mungkin menyediakan sebuah landasan bagi hak-hak asasi alamiah manusia.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment