Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Tuesday, May 10, 2016

Ibu



Saat itu pagi masih terasa dingin. Hujan gerimis masih menetes di luar ruangan sempit tempat kami berlima makan. Ibu terlihat mondar mandir dari ujung meja yang satu ke ujung yang lain menuangkan nasi goreng kesetiap piring yang ada di hadapan kami. Suara benturan piring dengan sendok sesekali terdengar meningkahi seretan kaki Ibu. 

Kami semua terdiam. Aku duduk menunggu Ibu menyelesaikan tugasnya. Adik asyik memainkan sendok kecil ditangannya. Eyang di seberang sana cemberut, raut mukanya masam mengamati setiap gerakan Ibu. Wajahnya terlihat kaku, matanya berbinar seolah menunggu sesuatu terjadi. Suara benturan piring kembali menyentak di tengah keheningan tapi Eyang tak bergeming. Kami pun tetap diam. 

Suasana kian mencekam saat Ibu melangkah mendekati tempat duduk Eyang. Sorot matanya yang menusuk membuat Ibu takut dan menunduk. Tapi Ibu tetap berusaha menyelesaikan tugas hariannya, menyiapkan sarapan pagi buat kami. Pelan pelan Ibu menuangkan nasi, jemarinya terlihat bergetar. Dengan segenap keberanian Ia menggerakan tangannya, menaburkan sebongkah nasi ke atas piring Eyang. Tapi sayang nasi jatuh berserakan di sekitar piring tepat di hadapan Eyang. Keberanian yang membuncah ternyata kalah oleh panasnya kebencian dari tatapan mata Eyang. Ibu gugup wajahnya pasi. Ia meraih serbed dipundaknya kemudian membersihkan serpihan nasi yang berserakan sambil mengucap maaf berkali kali. Nafas Eyang tersengal, naik, turun, tak teratur. Kebenciannya meluap. Tangan kecilnya mengepal geram menahan amarah pada sang mantu. Tapi siapa yang mampu menahan kebencian ? Tiba tiba tangan Eyang melayang cepat kearah kepala Ibu. Ibu terpental oleh kebencian yang menghantam. Ibu terkaget, bingung, diam, lalu berlari menangis meninggalkan kami.

Bapak terkejut. Matanya terbelalak tak percaya. Aku tertegun. Adik akhirnya ikut menangis. Eyang tetap tenang duduk seperti patung. Dingin, semua seolah tak terjadi, tak ada yang istimewa disekitarnya. Ia tetap diam, pandangannya lurus, kepalanya tegak. Wajahnya memancarkan  kepuasan tak berhingga. Ia tersenyum sendiri. Entah pada siapa. Mungkin pada majikannya. Setan yang selalu mencoba menjadi tuan direlung hati manusia. Bapak terpaku. Aku terpaku. Kami tak tahu apa yang terjadi. Sementara Ibu entah berada dimana !


Pulo Nangka, 17 Maret 2002


No comments:

Post a Comment