Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, May 12, 2016

Allahu Akbar



Malam terasa dingin, angin berhembus kencang menabrak tirai bambu yang telah terikat erat, suara gemeretak terdengar mengganggu telinga. Hawa lembab menusuk kulit, basah terasa disekujur tubuh. Suasana yang nyaman untuk tidur dan tidak berbuat apa apa. Tapi sayang, perut terasa panas. Lapar mulai mendera. Perut meronta dan mendesak untuk diisi. Dengan malas, kuraih celana hitamku. Anyep terasa di kaki. Rupanya uap air telah menyusup di sela sela kain celana itu. Sedikit risih, kupaksa juga celana itu membalut sepanjang kaki dan pinggangku. Kuambil kunci dan gembog pintu kamar. Aku melangkah keluar. Aku kunci rapat rapat kamarku tanpa suara. Ku angkat kaki dengan hati hati. Gemerenyit suara lantai papan lirih terdengar. Diiringi rasa was was, aku menuruni tangga besi yang curam, anak tangga terlihat licin dan basah. Setapak demi setapak akhirnya selamat juga sampai di tanah.

Sejenak aku terdiam, hatiku mengingat apa yang kuinginkan. Sebungkus nasi goreng untuk mengganjal perut dan satu pak teh pengganti kopi terbesit dikepalaku. Ku alihkan pandangan ke ujung jalan sana. Si Bapak Kurus masih berjualan. Suara penggorengan lamat lamat terdengar dari kejauhan. Pelan pelan aku melangkah menghampirinya.
"Pak, nasi goreng satu."
"Telornya dua !", Kataku mengingatkan.
"Di campur semua ?", Bapak Kurus balik bertanya padaku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu duduk di keremangan sudut jalan. Sementara tangan Si Bapak lincah mengaduk nasi bercampur rempah sebagai penyedap rasa. Lima belas menit menunggu, hati merasa lega melihat Si Bapak menggelar kertas pembungkus lalu menuangkan satu porsi nasi ke atasnya. Ia menambahkan potongan mentimun dan menuangkan dua sendok cap cae bersama cabe. Tangannya meraih tas plastik hitam dan memasukan bungkusan nasi kedalamnya. Ia menyerahkan padaku.
"Terima kasih, Pak.", Ku sambut bungkusan itu seraya merogoh saku. Aku serahkan beberapa lembar uang ribuan kemudian membalikkan badan melangkah pulang.

Genangan air memercik dikakiku, air bercampur lumpur membuatku risih, tapi tak ku hentikan langkahku. Tiba tiba sebuah teriakan menahan langkahku. Sosok Kurus yang lain muncul dari arah samping mengejar mengikuti langkahku.
"Mas, entar aku ke atas ya. Ada perlu.", Katanya singkat.
"Iya, aku tunggu.", Jawabku sekenanya sambil berlalu terburu.
Sosok Kurus itu terlihat senang, tapi aku tak peduli, kuayunkan langkah cepat cepat. Rasa lapar tak mau menunggu. Kunaiki kembali tangga besi itu. Sekarang aku duduk di depan televisi menyantap makananku

"Assalamu allaikum !", Suara lembut terdengar menyapa. Kupalingkan wajah ke arah pintu.
"Wa alaikum salam !", Aku membalas salamnya tak kalah lembut. Sosok Kurus itu memasuki kamar dengan malu malu.
"Ngapain Mas ?", Tanyanya sambil mendekat kearahku.
"Biasa, nonton tivi. Ada apa nih ?"
"Ini Mas, mau bikin surat lamaran. Buat besok, hari senin."
"Ohh, ada tuh. Tinggal ganti data, langsung bisa dicetak.", Membersit dibenakku nama file yang tersimpan dikomputerku.
"Sori, makan sendiri. Kamu ganti aja datanya.", Aku tinggalkan sejenak santapanku.
Ku nyalakan komputer. Dia menghampiriku lalu duduk bersila di depan komputer dan mulai mengetik. Aku kembali menikmati santapanku. Baru beberapa menit bunyi sentuhan keyboard menghias kamarku, Dia bangkit bergegas seolah teringat sesuatu.
"Kemana ?", Tanyaku heran.
"Emang sudah selesai ?", Aku penasaran.
"Belum. Ini ada yang ketinggal. Balik kerumah dulu. Bentar doang.", Katanya sambil melintas dihadapanku lalu keluar kamar menuju rumah dengan langkah tergesa.

Lama aku menunggu. Sambil mengunyah, aku merapikan ketikan yang aku rasa kurang enak dilihat. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki kearah kamarku. Aku menoleh kearah pintu. Sosok Kurus itu sudah berdiri tepat di mulut pintu. Tangannya menjinjing tas plastik hitam.
"Ini Mas, kemaren baru dari Malang. Ini oleh oleh buat Mas. Teh Malang. Rasanya enak. Mas pasti suka. Baunya kaya stroberi !", Panjang lebar dia menjelaskan, membuat hati tak kuasa menolak.
"O yaa. Terima kasih. Ni terusin. Udah aku rapiin sih.", Kataku seraya menuju nasi gorengku yang tersisa.
Dengan lahap aku habiskan nasi goreng itu dengan cepat. Ku ambil gelas, kutuangkan air putih dan langsung aku hirup sepuasnya. Beberapa kali, aku hirup air putih itu untuk membuang rasa dahaga. Mataku menerawang ke sekitar dispenser dan tempat gula kopi di dekatnya. Aku melihat satu bungkus teh kesukaanku yang sudah kosong siap dibuang. Sejenak aku terhenyak. Melintas di hati, aku hendak membeli satu pak teh. Tapi lupa.
"Allahu Akbar !", Hatiku berseru lirih. Dadaku bergetar.
"Ternyata Tuhan masih sayang padaku..."
"Masih memperhatikan Aku...", Bisik hatiku.
Ku tatap bungkusan hitam itu. Dia mengirim teh untukku. Bukan satu pak tapi satu kantong plastik. Aku memalingkan wajah kearahnya. Diam diam aku memperhatikan dari belakang. Ia asyik menggerakan jemarinya di atas keyboard.
"Terima kasih Teman."
"Terima kasih Tuhan.", Hatiku berbisik lagi entah yang keberapa kali.


Pulo Nangka, 17 Februari 2008


No comments:

Post a Comment