Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, December 31, 2017

A-Priori Dan A-Posteriori 1 : Karakterisasi Awal


Isitlah apriori dan aposteriori digunakan terutama untuk menunjukkan dasar yang kepada-nya sebuah-proposisi diketahui kebenaran-nya. Sebuah proposisi tertentu diketahui kebenaran-nya secara apriori jika kebenaran-nya dapat diketahui secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman-apapun kecuali pengalaman-belajar-bahasa karena melalui bahasa, proposisi itu dinyatakan. Sedangkan proposisi yang diketahui kebenaran-nya secara aposteriori adalah sebuah proposisi yang diketahui kebenaran-nya berdasar pada pengalaman. Misalnya, proposisi bahwa :

"Semua bujangan adalah belum menikah." adalah apriori .

Dan proposisi bahwa :

"Sekarang di luar hujan." adalah aposteriori.

Perbedaan antara kedua-istilah itu bersifat-epistemologis dan langsung berhubungan dengan justifikasi mengapa suatu pengetahuan dipegang/dipercaya/diyakini kebenaran-nya. Misalnya, seseorang yang mengetahui bahwa :

"Semua bujangan adalah belum menikah."

tidak-perlu mengalami status belum-menikah dari semua-bujangan untuk membenarkan proposisi ini. Sebaliknya, jika saya tahu bahwa :

"Sekarang hujan di luar."

Kebenaran-pengetahuan tentang proposisi ini harus dibenarkan dengan menarik/berdasar pengalaman-seseorang terhadap cuaca.

Perbedaan-apriori/aposteriori, seperti yang akan ditunjukkan berikut ini, seharusnya tidak dikelirukan/dikaburkan dengan dikotomi sejenis antara kepastian-dan-kontingen atau dikotomi antara analitik-dan-sintetik. Meskipun demikian, perbedaan-apriori/aposteriori itu sendiri bukan tanpa kontroversi.

Poin utama yang menonjol secara historis adalah bagaimana mendefinisikan konsep-pengalaman yang kepada-nya perbedaan tersebut didasarkan, dan apakah atau dalam-pengertian-apakah sebuah pengetahuan dapat sungguh-sungguh ada tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman-apapun.

Isu yang terakhir menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting secara positivistik, yaitu dasar-aktual dari sebuah pengetahuan-apriori, hal itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diupayakan jawaban-nya oleh berbagai macam filsuf. Kant, misalnya, menganjurkan sebuah bentuk-transendental untuk melakukan justifikasi yang melibatkan pandangan-rasional (rasional-insight), yang terhubung dengan pengalaman-empiris, namun tidak secara langsung muncul dari pengalaman-empiris.

Artikel ini memberikan karakterisasi-awal terhadap istilah apriori dan aposteriori, sebelum menyoroti perbedaan-perbedaan diantara perbedaan-yang-jelas dengan perbedaan-yang-biasanya-membingungkan. Selanjutnya akan meninjau kontroversi-utama yang mengelilingi topik tersebut dan mengeksplorasi penjelasan yang berlawanan berdasar sebuah pandangan-positif terhadap pengetahuan-apriori yang berusaha menghindari penjelasan secara eksklusif yang bergantung pada penalaran-murni untuk melakukan justifikasi.


Karakterisasi Awal

Apriori dan aposteriori mengacu terutama pada bagaimana atau atas-dasar-apa, sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya. Secara umum, sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya secara apriori jika kebenaran-nya dapat diketahui secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman, sementara sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya secara aposteriori jika kebenaran-nya dapat diketahui berdasar-pada-pengalaman. Perbedaan antara pengetahuan-apriori dan pengetahuan-aposteriori secara garis besar sesuai dengan perbedaan antara pengetahuan-empiris dan non-empiris.

Perbedaan-apriori/aposteriori terkadang diterapkan pada hal-hal selain cara-memperoleh-pengetahuan, misalnya, terhadap proposisi dan argumen. Sebuah proposisi-apriori adalah proposisi yang dapat diketahui kebenaran-nya secara apriori dan sebuah argumen-apriori adalah argumen dengan premis-premis yang menggunakan proposisi-apriori. Sejalan dengan itu, sebuah proposisi-aposteriori dapat diketahui kebenaran-nya secara aposteriori, sedangkan argumen-aposteriori adalah argumen dengan premis-premis yang menggunakan proposisi-aposteriori. Argumen biasanya dianggap sebagai aposteriori jika terdiri dari kombinasi-premis-apriori-dan-premis-aposteriori. Perbedaan-apriori/aposteriori juga telah diterapkan pada konsep. Konsep-apriori adalah konsep yang dapat diperoleh secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman, yang mungkin, tetapi tidak harus, melibatkan keberadaan-nya secara bawaan-kodrati (innate), sedangkan perolehan sebuah konsep-aposteriori mensyaratkan suatu pengalaman.

Komponen-pengetahuan yang kepada-nya perbedaan-apriori/aposteriori langsung relevan adalah justifikasi-kebenaran atau jaminan-kebenaran. Istilah ini digunakan secara sinonim di sini dan merujuk pada komponen-utama-pengetahuan yang melampaui keyakinan-yang-sesungguh-nya. Mengatakan bahwa seseorang mengetahui sebuah proposisi tertentu apriori berarti mengatakan bahwa justifikasi untuk mempercayai kebenaran-proposisi ini adalah tidak-bergantung-pada-pengalaman. Menurut pandangan-tradisional tentang justifikasi-kebenaran, agar dinilai benar dalam meyakini sesuatu adalah berarti memiliki alasan-epistemis yang mendukung keyakinan itu, sebuah alasan untuk berpikir bahwa itu-adalah-benar. Jadi, untuk dibenarkan secara apriori dalam meyakini proposisi tertentu adalah dengan memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-itu-benar, dan alasan itu tidak-muncul atau tidak-berasal dari pengalaman. Sebaliknya, untuk dibenarkan secara aposteriori adalah dengan memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-tertentu adalah benar dengan alasan yang muncul atau berasal dari pengalaman. (lihat bagian 6 di bawah untuk dua penjelasan terhadap perbedaan-apriori/aposteriori yang tidak mengandaikan konsep-justifikasi-tradisional ini). Contoh justifikasi-aposteriori mencakup banyak keyakinan secara perseptual pada umumnya, pengingatan, dan introspektif, serta keyakinan-kebenaran pada banyak pendapat ilmu-pengetahuan-ilmiah. Keyakinan-saya bahwa :

"Saat ini hujan."
"Saya melakukan sebuah ujian pagi ini."
"Manusia cenderung tidak menyukai rasa sakit."
"Air itu H2O.", dan
"Dinosaurus ada."

Adalah contoh justifikasi-secara-aposteriori. Saya memiliki alasan-alasan-bagus untuk mendukung masing-masing pendapat itu dan alasan-alasan itu muncul dari pengalaman-saya-sendiri atau dari pengalaman-orang-lain.

Keyakinan di atas berlawanan dengan yang berikut :

"Semua bujangan adalah tidak menikah."
"Kubus memiliki enam sisi."
"Jika hari ini hari-selasa maka hari ini bukan-hari-kamis."
" Merah adalah warna."
"Tujuh ditambah lima sama dengan dua-belas."

Saya punya alasan-alasan-bagus untuk memikirkan masing-masing pendapat-itu-adalah-benar, namun alasan-alasan-itu tidak muncul dari pengalaman. Sebaliknya, tampaknya saya mampu melihat atau memahami kebenaran-pendapat-itu hanya dengan melakukan refleksi terhadap kandungan-kebenaran dalam pendapat-pendapat-itu.

Gambaran terhadap justifikasi-apriori sebagai justifikasi yang tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman tentu saja sama sekali negatif, karena tidak ada dasar-positivistik atau aktual dari justifikasi semacam itu yang terungkap. Namun, contoh justifikasi-apriori di atas sungguh menyarankan karakterisasi yang lebih positif, yaitu justifikasi-apriori muncul dari penalaran-murni atau akal-murni. Begitu arti dari istilah yang relevan telah dipahami, adalah terbukti-kebenaran-nya berdasar pada penalaran-murni bahwa :

"Jika hari ini hari-selasa maka hari ini bukan-hari-kamis.", atau
"Tujuh ditambahkan ke lima jumlah yang dihasilkan harus dua-belas."

Dengan demikian kita dapat memperbaiki/menentukan kembali karakterisasi terhadap justifikasi-apriori sebagai berikut :

Seseorang dibenarkan secara apriori untuk meyakini kebenaran-proposisi-tertentu jika atas dasar penalaran-murni atau akal-murni, seseorang memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-itu-adalah-benar.

Pertimbangan/perhatian awal terhadap perbedaan-apriori/aposteriori ini menunjuk kepada sejumlah jalur penyelidikan penting. Misalnya, pada jenis-pengalaman-apakah suatu justifikasi-aposteriori bergantung ? Dalam-pengertian-apakah suatu justifikasi-apriori tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman seperti itu ? Dan apakah ini merupakan penjelasan yang lebih bersifat epistemis tentang karakter-positif terhadap justifikasi-apriori yang tersedia. Sesuatu yang menjelaskan bagaimana atau berdasar-kebajikan-apa pemikiran-murni atau akal-murni dapat menghasilkan alasan-alasan-epistemis ? Tetapi sebelum beralih ke permasalahan ini, perbedaan-apriori/aposteriori harus dipisahkan dari dua-perbedaan yang saling terkait, yang terkadang membingungkan yaitu perbedaan-analitik/sintetik dan perbedaan-kepastian/kontingen.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/
Pemahaman Pribadi


Friday, December 29, 2017

Muliamu


Maaf, jika malam ini teringat padamu. Hanya saja, besok kita akan bertemu. Lagi, lagi dan lagi. Maaf pula, tak mampu menahan perasaan ini. Bukan kenapa, ini wujud menghargaimu setinggi yang aku bisa. Dan mungkin, setelah esok, kita tak akan bertemu lagi. Selamanya !

Sekian panjang melalui hidup ini, diantara rutinitas menjemukan. Bahkan seringkali memuakkan ! Rasanya muskil bertemu manusia sepertimu. Kau mulia menurutku ! Dan kau tak merasa mulia,  membuat kemuliaanmu benderang dimataku. 


Senyum ketika menyakitkan. Berdiri sendiri saat dihinakan sementara temanmu meledak gemuruh bergelak tawa. Sungguh mengesankan ! Ketika semua panah mengarah kepadamu, matamu teduh menatap lancip kebencian memburu jantungmu ! Sikapmu tenang, menuntun satu persatu temanmu mendaki ketinggian. Kau sibuk menyelamatkan mereka ? Kau terima semua kebohongan dan kesalahan, sendiri ! Dan kau berterima kasih pada mereka !

Di sana. Begitu, berulang dan berulang menyaksikanmu. Apa yang kulakukan ? Tak ada ! Terperangah ! Heran ! Kagum ! Tertegun ! Sepertinya jiwa rosul memenuhi dirimu. Meliputimu, hingga benar-benar tak sadar, sinar itu begitu terang memutihkan mataku.

Berlebihan ! katamu malu-malu. Geram kubalas, tidak ! Itu kau di mataku. Kau tak bisa merubahnya ! Bagaimana bisa setuju denganmu, jika nafasmu terengah-engah menahan perih ring di dadamu. Senyumu bersusah payah menutup pasi di wajahmu. Semburan insulin deras mengalir dalam darahmu sedang temanmu, lihat ! Masih tertawa karenamu. Berlarian bahagia meninggalkanmu. Dan kau mestinya tau, betapa tak peduli aku dengan penilaianmu.

Diam. Lalu kau ceritakan rencanamu. Yahh, semoga semua berjalan baik, ucapku lirih. Di sana,
 tempat baru memanggil sinarmu. Kudengar Maha-Kasih berkehendak membagi kebaikanmu. 

Tempat itu masih gelap bukan ? 
Terangilah !

Doaku buatmu, lekas sembuh.

Selamat jalan !

Bahagia menyertaimu.
Terima kasih atas segala damaimu.



Bekasi , 27 Desember 2017



Monday, December 25, 2017

Estetika 9 : Objek Seni


Benda/objek seperti apa yang merupakan karya-seni ?

Goodman, Wollheim, Wolterstorff, dan Margolis telah terkenal sebagai kontributor perdebatan kontemporer mengenai topik itu.

Langkah pertama harus membedakan karya-seni dari notasi-nya atau resep-nya, serta dari berbagai realisasi-fisik-nya.

Sebagai contoh adalah : beberapa pertunjukan musik, komposisi-nya yang tertulis pada lembaran kertas, dan penampilan-nya, sebuah drama, naskah-nya, dan penampilan-nya, sebuah etsa (gambar pada lempengan-logam/kaca dengan proses-etching/pelarutan), lempengan-logam/kaca-nya, dan hasil-cetakan-nya, dan sebuah foto, negatif-nya, dan positif-nya.

Notasi/resep di sini adalah digital pada dua-kasus yang terakhir, dan analog pada dua-kasus yang pertama karena melibatkan elemen-diskrit seperti catatan dan kata-kata pada satu sisi, dan elemen-yang-kontinyu seperti garis dan lapisan-warna di sisi yang lain.

Realisasi juga dapat dibagi menjadi dua-jenis yang luas, seperti digambarkan oleh contoh yang sama diatas : ada yang muncul dalam waktu (karya-pertunjukan) dan yang muncul dalam ruang (karya-objek).

Realisasi selalu merupakan entitas-fisik. Kadang-kadang hanya ada satu realisasi, seperti pada rumah yang dirancang oleh seorang arsitek, gaun yang dirancang oleh designer-pakaian, dan juga banyak lukisan.

Wollheim menyimpulkan bahwa dalam kasus ini, karya-seni itu seluruhnya-bersifat-fisik, tersusun dari yang-satu yaitu realisasi-unik itu sendiri.

Namun, sejumlah salinan/tiruan biasanya dibuat pada lukisan-lukisan di abad pertengahan, dan secara teoritis memungkinan untuk meniru pakaian dan rumah yang berharga mahal sekalipun.

Pertanyaan-filosofis yang muncul dalam wilayah ini (peniruan) terutama berhubungan dengan status-ontologis-dari-ide/gagasan yang sudah di-implementasi-kan/di-laksana-kan/di-eksekusi.

Wollheim membawa masuk perbedaan yang dilakukan oleh Charles Peirce antara jenis dan token, seperti jawaban untuk teks "ABACDEC" ini : ada 7 jumlah token huruf yang berbeda, dan ada 5 jenis huruf yang berbeda, hal itu menunjukkan perbedaan pengertian antara token dan jenis.

Realisasi adalah token, tetapi ide/gagasan adalah jenis, yaitu kategori-objek.

Ada hubungan normatif antara token dan jenis seperti yang dijelaskan oleh Margolis dan Nicholas Wolterstorff, karena implementasi/pelaksanaan/eksekusi dari ide/gagasan adalah usaha yang pada dasarnya bersifat-sosial.

Bersifat-sosial juga menjelaskan bagaimana kebutuhan akan notasi/resep muncul : yang tidak hanya menghubungkan ide/gagasan dengan implementasi/pelaksanaan/eksekusi-nya, tetapi juga dengan sejumlah fungsi-nya.

Secara umum, ada orang-kreatif yang menghasilkan ide/gagasan, yang di-transmisi-kan/di-komunikasi-kan melalui notasi/resep kepada produsen yang menghasilkan benda-seni-material dan pertunjukan-seni.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, jenis adalah diciptakan dan benda-seni-partikular juga diciptakan dengan penghubung-nya melalui notasi/resep. Secara skematis, dua-figur utama dikaitkan dengan produksi banyak karya-seni : arsitek dan tukang-bangunan, designer-pakaian dan penjahit-kain, komposer dan pemain-alat-musik, koreografer dan penari, penulis-naskah dan aktor, dan sebagainya.

Tetapi daftar-operator yang lebih lengkap biasanya terlibat didalam suatu produksi-karya-seni, seperti sangat jelas dalam produksi-film, dan hiburan-besar lain-nya yang serupa.

Terkadang sutradara-film berkepentingan untuk mengendalikan semua aspek-aspek produksi-nya , dalam pengertian itulah ketika kita memahami tentang seorang "Auteur" yang bisa dikatakan sebagai Autor (pencipta/penulis/pengarang) dari sebuah karya-seni, tapi biasanya, kreativitas dan hasil-karya-nya dihubungkan melalui proses-produksi-secara-keseluruhan, bahkan ketika sang-pencetus-karya tetap terlibat bekerja di dalam tradisi-produksi tertentu, dan tidak ada notasi/resep yang bisa sepenuh-nya membatasi produk-akhir.

Pertanyaan-filosofis menyangkut dengan setiap sifat-kreativitas-seni juga terkait dengan hal tersebut diatas (produksi-karya-seni).

Tidak begitu banyak misteri tentang pembuatan objek-partikular-seni dari suatu notasi/resep, namun masih banyak yang harus dikatakan/dijelaskan tentang proses-kelahiran dari ide/gagasan-baru.

Untuk penciptaan-ide/gagasan bukan hanya masalah memasuki-keadaan-mental yang mengesankan, misalnya, seperti dalam sesi-brainstorming.

Penciptaan suatu ide/gagasan merupakan bagian sentral dari teori-proses-kreatif yang bentuknya dapat ditemukan dalam karya Collingwood.

Dalam istilah inilah Collingwood membedakan seniman dari seorang-pengrajin (pembuat-karya-seni dengan keterampilan-teknis-tinggi), penyebutan yang mengacu pada batasan apa yang dihasilkan oleh seniman hanyalah berupa ide/gagasan didalam benak-nya saja.

Namun, kesulitan utama dalam teori semacam ini adalah bahwa kebaruan-ide/gagasan harus dinilai secara-eksternal dalam hal tempat-sosial-sang-seniman diantara pekerja-pekerja-lain-nya di bidang yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh Jack Glickman.

Tentu saja, jika itu adalah ide/gagasan-orisinil, sang-seniman tersebut tidak-dapat mengetahui sebelumnya apa-hasil dari proses-kreatif tersebut.

Tetapi orang-lain mungkin mempunyai ide/gagasan yang sama sebelumnya, dan jika hasil-nya sudah diketahui sebelumnya, ide/gagasan yang dipikirkan adalah tidak-asli dalam artian-yang-tepat.

Dengan demikian sang-seniman tidak akan diberi kredit dengan kepemilikan-hak-cipta dalam kasus seperti itu. penciptaan-ide/gagasan bukanlah sebuah proses, tetapi sebuah prestasi-publik : itu adalah masalah memutuskan pita-garis-finis lebih-cepat dari orang-lain dalam suatu perlombaan.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H9
Pemahaman Pribadi



Saturday, December 16, 2017

Estetika 8 : Representasi


Seperti konsep-ekspresi, konsep-representasi juga telah diteliti secara menyeluruh sejak profesionalisasi-filsafat di abad ke-20 M.

Bukankah representasi hanya persoalan penyalinan/peniruan ?

Jika representasi dapat dipahami hanya dalam hal penyalinan/peniruan, maka akan mensyaratkan "mata yang polos (the innocent eye)" yaitu mata yang memandang dengan tidak memasukkan/mencampur interpretasi apapun kedalamnya.

E. H. Gombrich adalah orang pertama yang menunjukkan cara-representasi yang bertentangan dengan pendapat-konvensional (representasi sebagai penyalinan/peniruan) dan oleh karena itu memiliki basis-sudaya-dan-sosio-historis.

Dengan demikian, perspektif yang memungkinkan seseorang memandang hanya secara mekanis, hanyalah sebuah cara-baru untuk me-representasi-kan ruang dan banyak foto mendistorsi apa yang kita anggap sebagai kenyataan, misalnya foto gedung-gedung tinggi yang diambil gambar-nya dari bawah, yang tampak membuat gedung-gedung itu miring/condong ke depan pada bagian atasnya/puncaknya.

Goodman juga mencermati bahwa penggambaran (representasi-benda kedalam bentuk dua-dimensi seperti lukisan, gambar, foto, sketsa, mural dll) termasuk dalam pandangan yang konvensional itu.

Goodman menyamakan-nya dengan denotasi, yaitu hubungan antara sebuah-kata dan apa yang ditunjuk/direferensi/diwakili-nya. Dia juga memberikan argumen yang lebih konklusif untuk melawan pendapat penyalinan/peniruan sebagai dasar-representasi.

Untuk membuat kemiripan sebagai sebuah jenis-representasi, akan berlaku : jika "A" menyerupai "B", maka "B" menyerupai "A".

Anggaplah gambar-seekor-anjing adalah representasi dari seekor-Anjing, namun demikian seekor-Anjing bukanlah reprensentasi dari gambar-nya.

Dengan kata lain, Goodman mengatakan bahwa kemiripan mengimplikasikan sebuah hubungan-simetris, tetapi tidak-demikian dengan representasi.

Oleh karena itu, Goodman menunjukkan bahwa representasi bukanlah keterampilan tetapi sebuah seni : kita membuat lukisan sebuah benda, mencapai pandangan tentang benda-itu dengan me-representasi-kan benda-itu sebagai Ini atau Itu.

Akibatnya, ketika seseorang melihat lukisan-benda-itu, pemikiran-sang-seniman tentang benda-itu juga "dapat-dilihat", seperti pengertian seni-artistik yang dijelaskan oleh Sircello.

Gagasan sederhana dimana hanya benda-benda yang ditunjukkan dalam sebuah lukisan ada di balik penjelasan Richard Wollheim tentang seni-representasional di edisi pertama bukunya Art and Its Objects (1968). Dalam buku itu dikatakan, cat pada sebuah lukisan menjadi "dapat-dilihat" sebagai sebuah objek-seni.

Namun dalam edisi kedua buku itu, Wollheim menambahkan penjelasan untuk memungkinkan apa yang "terlihat" dalam sebuah karya-seni, juga mencakup/memasukan hal-hal seperti pemikiran-sang-seniman.

Namun, ada beberapa pertanyaan filosofis tentang hal lain, berkaitan dengan representasi-objek yang bersumber dari masalah karakter-fiksi.

Ada tiga-kategori-objek besar yang mungkin di-representasi-kan : individu-yang-nyata-ada seperti Napoleon, jenis-benda-yang-nyata-ada seperti kanguru, dan hal-hal-yang-tidak-ada-secara-nyata seperti Mr. Pickwick dan Unicorn.

Penjelasan Goodman mengenai representasi dengan mudah mencakup untuk dua-kategori-pertama, karena jika penggambaran mengenai pada sebuah nama/sebutan, suatu lukisan yang termasuk di dalam dua-kategori-pertama masing-masing membandingkan hubungan antara nama/sebutan yang sesuai/tepat yaitu "Napoleon" dengan sosok individu-yang-nyata-ada bernama "Napoleon" dan nama/sebutan-umum "kanguru" dengan bermacam jenis-binatang-kanguru. Beberapa filsuf akan berpikir bahwa kategori-ketiga dengan mudah diakomodasi, namun Goodman sebagai seorang empiris dan sangat menimbang/memperhatikan dunia-ekstensional, hanya bersiap untuk mengenali benda-benda-yang-ada-secara-nyata.

Jadi baginya gambar-fiksi tidak menunjukkan/mereferensi/mewakili-apapun .

Sebagai gantinya, itu hanyalah pola dari berbagai kategori-bentuk. Lukisan-unicorn hanyalah sebuah bentuk bagi Goodman, yang berarti bahwa ia melihat deskripsi lukisan-unicorn sebagai sesuatu yang tidak dapat diartikulasikan ke dalam bagian-bagian. Dia lebih tertarik menyebut lukisan-unicorn hanyalah sebuah desain dengan bentuk-tertentu-didalamnya.

Seseorang harusnya sepakat bahwa di dalam sebuah lukisan terdapat benda-yang-ditunjuk (objek-intensional) dan hal itu berlaku juga untuk lukisan-objek-ekstensional (yang berarti ada binatang-unicorn diluar dunia nyata ini) sebelum seseorang dapat menafsirkan "gambar-seekor-unicorn" sejajar dengan " gambar-kanguru ".

Berbeda dengan Goodman, Scruton adalah seorang filsuf yang lebih tertarik dengan interpretasi yang lebih spesifik ini.

Interpretasi yang umumnya lebih menyenangkan bagi kaum-idealis dan realis dari berbagai pendekatan, daripada kaum-empiris.

Kontras antara empiris dan filsuf-jenis-lain juga terdapat pada hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan fiksi.

Apakah cerita fiksi merupakan kebohongan tentang dunia-ini, atau sebuah-kebenaran tentang dunia-yang-lain ?

Hanya jika seseorang percaya ada dunia-lain, terhadap beberapa hal, seseorang akan mampu melihat jauh melampaui ketidaknyataan dalam sebuah cerita.

Seorang realis akan puas dengan karakter-fiktif, yang mengenainya terdapat beberapa kebenaran tertentu. Misalnya, bukankah Mr. Pickwick gemuk ?

Tapi kemudian, kesulitan seseorang adalah mengetahui hal-hal tentang Mr. Pickwick selain yang Dickens katakan pada kita. Misalnya, apakah Mr. Pickwick menyukai anggur ?

Seorang idealis akan lebih siap untuk menganggap fiksi hanyalah sebagai makhluk hasil imajinasi kita.

Gaya analisis ini, baru-baru ini menonjol melalui urian Scruton tentang teori-umum-imajinasi di mana pernyataan seperti " Mr. Pickwick gemuk " dibahas/diperhatikan dengan cara yang kurang meyakinkan.

Salah satu masalah dengan analisis gaya ini adalah menjelaskan bagaimana kita dapat memiliki hubungan-emosional dengan, dan memberi tanggapan terhadap, entitas-fiktif. Kita memperhatikan masalah seperti ini sebelum-nya, dalam deskripsi Burke tentang " horor yang menyenangkan ".

Bagaimana penonton bisa mendapatkan kenikmatan/kesenangan dari tragedi dan cerita-horor ketika, andai-kata kejadian serupa ditemui dalam kehidupan nyata, akan pastikah disana tidak ada apapun selain hal-hal menyenangkan ?

Di sisi lain, kecuali jika kita percaya bahwa fiksi-itu-nyata, bagaimana kita bisa, misalnya, tergerak oleh nasib Anna Karenina ?

Colin Radford, pada tahun 1975, menulis sebuah makalah terkenal mengenai hal-ini yang menyimpulkan bahwa "paradoks-respons-emosional terhadap-fiksi" tidak dapat dipecahkan.

Tanggapan emosional orang dewasa terhadap fiksi adalah "fakta yang tidak memiliki penjelasan (brute-facts)" namun tetap tidak-koheren dan tidak-masuk-akal, menurutnya. Radford mempertahankan kesimpulan ini dalam serangkaian makalah lebih lanjut tentang apa yang menjadi perdebatan semakin luas.

Kendall Walton, dalam bukunya yang berjudul Mimesis dan Make-Believe tahun 1990, menempuh panjang lebar seorang idealis untuk menjawab Radford.

Pada sebuah drama, misalnya, Walton mengatakan bahwa penonton memasuki sebuah bentuk kepura-puraan dengan para aktor, bukan-percaya, namun membuat-percaya bahwa kejadian dan emosi yang digambarkan itu nyata.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H8
Pemahaman Pribadi



Friday, December 15, 2017

Estetika 7 : Ekspresi


Teori-respon sangat populer selama periode positivisme-logis dalam filsafat, yaitu sekitar tahun 1920 dan 1930-an.

Ilmu-pengetahuan kemudian dikontraskan secara tajam dengan puisi, misalnya, ilmu-pengetahuan dianggap memperhatikan pikiran-rasional kita, sedang puisi dengan emosi-irasional kita.

Oleh karena itu, kritikus Inggris terkenal I.A. Richards menguji tanggapan terhadap puisi secara ilmiah untuk melakukan upaya penilaian terhadap nilai-seni yang dikandung-nya, dan tidak mengejutkan, ia tidak menemukan keseragaman (menunjukan hasil yang berbeda-beda/bermacam-macam).

Dari studi semacam ini, muncul gagasan umum bahwa 'seni adalah sepenuhnya-subjektif'.

Jika seseorang dengan penuh konsentrasi memperhatikan apakah seseorang itu sungguh-sungguh-menyukai atau tidak-menyukai sebuah karya-seni tertentu, maka di sana akan dengan mudah terlihat tidak-ada-alasan-rasional mengapa seseorang itu bertindak seperti itu (menyukai atau tidak-menyukai).

Kita sekarang mulai lebih terbiasa berpikir bahwa emosi adalah sesuatu yang rasional, sebagian karena kita sekarang membedakan penyebab-emosi dari target-nya.

Jika seseorang melihat emosi-emosi-apa yang disebabkan oleh sebuah karya-seni, tidak semua emosi-emosi itu memerlukan target-karya-seni itu sendiri, melainkan apa yang hanya terkait dengan-nya.

Jadi, pusat tinjauan pendekatan-subjektif mengabaikan pertanyaan yang berkaitan dengan perhatian, relevansi, dan pemahaman.

Dengan memegang hal-hal itu sebagai sifat/kualitas-pengendali, kita mendapatkan dasar untuk menormalisasi (membuat tidak-subjektif) emosi-penonton yang diharapkan sehubungan dengan sebuah karya-seni, dan dengan begitu bergerak menjauh dari penilaian-pribadi semata-mata seperti ungkapan "Yah, itu membuatku sedih !" menuju ke penilaian-yang-lebih-universal seperti "Itu menyedihkan !"

Dan dengan "Itu" yang lebih terfokus pada karya-seni, kita juga mulai melihat pentingnya kualitas-emosional-objektif yang secara metaforis dapat dikatakan dimiliki oleh karya-seni, yang oleh para penganut teori-embodimen (teori yang menyatakan sebuah karya-seni memiliki/mengandung kualitas-emosional atau kualitas-mental secara objektif didalamnya.) seperti Hospers, menjadi pusat tinjauan-nya.

Hospers mengikuti Bouwsma, berpendapat bahwa kesedihan-dari-suatu-musik, misalnya, tidak menyangkut apa yang ditimbulkan di dalam diri kita, atau tidak juga dengan perasaan yang dialami oleh sang-komponis, tetapi hanya kesamaan-fisiognomik pada manusia saat-sedih :

" Adalah akan melambat bukan semakin cepat. Itu akan menjadi rendah/lembut tidak berdenting/gemrincing. Orang yang sedih bergerak lebih-lambat, dan saat mereka berbicara mereka berbicara dengan lembut-dan-rendah. "

Ini juga merupakan sudut pandang yang dikembangkan secara luas oleh psikolog-Gestalt (psikologi yang melihat pikiran dan perilaku manusia secara keseluruhan) bernama Rudolph Arnheim.

Perbedaan-perbedaan yang diambil tidak berhenti sampai di situ.

Guy Sircello, melawan pendapat Hospers, dengan pertama-tama menunjukkan bahwa ada dua-cara emosi-emosi dapat terwujud dalam karya-seni yaitu karena bentuk-nya (ini yang terutama ada di dalam pikiran Hospers), dan karena isi-nya.

Jadi, sebuah-gambar mungkin menyedihkan bukan karena mood atau warna-nya, tapi karena masalah-subjek-nya, yang menyakitkan atau menyedihkan.

Namun, titik itu hanyalah sebuah awal, menuju suatu kritik teori-embodimen yang lebih radikal oleh Sircello.

Menurutnya kepada kata-kata-emosi juga bisa diterapkan, katanya saat menjelaskan aksi-artistik yang ditunjukkan oleh para-seniman dalam menghadirkan sikap mereka terhadap subjek-nya.

Jika kita melihat sebuah karya-seni dari perspektif ini, kita melihatnya sebagai "gejala" dalam istilah Suzanne Langer. Namun, Langer meyakini orang harus melihatnya sebagai sebuah "simbol" yang memegang/mengandung sejumlah-makna yang bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

Para-teorikus-komunikasi semua menggabungkan tiga-unsur di atas, yaitu penonton, karya-seni dan sang-seniman, tapi mereka datang dengan membawa berbagai stempel.

Dengan demikian, sementara Clive Bell dan Roger Fry adalah formalis, mereka juga adalah para-ahli-teori-komunikasi.

Mereka menduga bahwa sebuah karya-seni men-transmisi-kan emosi-estetika dari sang-seniman kepada penonton ketika menjelaskan apa yang disebutnya bentuk-signifikan.

Leo Tolstoi juga seorang ahli-teori-komunikasi tapi termasuk dalam kelompok yang melawan pendapat itu. Apa yang harus di-transmisi-kan, bagi Tolstoi, secara tegas adalah apa yang dikecualikan (tidak-disebut) oleh Bell dan pada tingkat yang lebih sedikit oleh Fry, yang disebut emosi-emosi-kehidupan.

Tolstoi menginginkan seni untuk melayani tujuan-moral yaitu membantu mengikat persekutuan komunitas bersama dalam persaudaraan dan persamaan kemanusiaan di bawah Tuhan.

Bell dan Fry tidak melihat tujuan-sosial semacam itu dalam seni, dan terkait dengan perbedaan ini, merupakan pandangan mereka yang berlawanan mengacu pada nilai-sifat-estetika dan kenikmatan/kesenangan.

Ini adalah kutukan bagi Tolstoi, seperti Plato, yang mengira diri mereka cenderung diabaikan.

Tetapi perasaan-perasaan-agung/mulia yang berasal dari apresisasi terhadap bentuk-murni menjadi terkenal oleh Bell dan Fry, karena hipotesis-metafisik mereka berpendapat bahwa mereka menyatukan dengan realitas-tertinggi. Bell berkata,

" Apa yang tersisa saat kita telah melepaskan semua-sensasi dan makna-signifikan-nya dari sebuah-benda ? Selain apa yang para filsuf biasa menyebutnya benda-dalam-dirinya-sendiri dan sekarang disebut sebagai realitas-tertinggi. "

Perdebatan antara para moralis dan estetika berlanjut sampai hari ini dengan, misalnya, Noel Carroll yang mendukung pendapat moralisme-moderat sedang Anderson dan Dean mendukung autonomisme-moderat.

Autonomisme bermaksud nilai-estetis diisolasi/dipisahkan dari nilai-etis, sedangkan moralisme menganggap keduanya berkaitan erat.

Para-ahli-teori-komunikasi pada umumnya membandingkan seni dengan bentuk-bahasa.

Langer kurang tertarik dibanding para-teoretikus-itu dalam mengatur apa yang mungkin dikomunikasikan, dan mengganti perhatian untuk membedakan bahasa-bahasa-seni yang bermacam-macam, dan perbedaan antara bahasa-seni-pada-umumnya dan bahasa-verbal.

Secara singkat, dia mengatakan, bahwa seni menyampaikan emosi-dengan-berbagai-jenis, sementara bahasa-verbal menyampaikan pemikiran, hal itu merupakan poin yang dibuat oleh Tolstoy juga.

Tapi Langer menjelaskan masalah ini dengan sangat rinci. Sehingga, dia berpendapat bahwa bahasa-bahasa-seni adalah presentasi dari bentuk-ekspresi, sedangkan bahasa-verbal bersifat diskursif dengan puisi, tentu saja, sebuah bentuk-seni yang menggunakan bahasa-verbal, menggabungkan kedua aspek itu.

Agak mirip Hospers dan Bouwsma, Langer mengatakan bahwa bentuk-seni menghadirkan perasaan karena secara-morfologis-serupa dengan mereka : sebuah karya-seni, dia berpendapat, memiliki bentuk-yang-sama dengan perasaan-yang-disimbolkan-nya.

Hal ini memunculkan perbedaan utama antara modus/cara komunikasi presentasi dan diskursif : bahasa-verbal memiliki kosa-kata, sintaksis, makna-tertentu dan kemungkinan-terjemahan, namun tidak satu pun dari hal-hal itu yang dijamin oleh bahasa-seni, menurut Langer.

Bahasa-bahasa-seni mengungkapkan bagaimana-rasa-nya mengalami sesuatu ---bahasa-bahasa-seni menciptakan pengalaman-maya/virtual.

Cara-cara yang rinci didalamnya, memunculkan bentuk-bentuk-seni-yang-bermacam-macam, Langer telah menjelaskan dalam bukunya Feeling and Form (1953).

Scruton mengikuti Langer dalam beberapa hal, terutama dengan berkomentar bahwa pengalaman terhadap masing-masing bentuk-seni adalah sui-generis, yaitu masing-masing memiliki jenisnya sendiri.

Dia juga mengemukakan karakteristik sebuah simbol secara lebih rinci lagi. Diskusi tentang pertanyaan yang spesifik terhadap setiap bentuk-seni telah dikejar oleh banyak penulis lainnya, lihatlah misalnya, Dickie, Sclafani, dan Roblin dan buku terbaru dari Gordon Graham.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H7
Pemahaman Pribadi



Wednesday, December 13, 2017

Estetika 6 : Definisi Seni


Sampai dengan periode de-definisi, definisi-definisi-seni secara luas jatuh ke dalam tiga-jenis, yaitu berkaitan dengan representasi, ekspresi dan bentuk.

Dominan-nya representasi sebagai konsep-sentral dalam seni berlangsung dari sebelum jaman Plato hingga sekitar akhir abad ke-18 M.

Tentu saja, seni-representasi masih dapat ditemukan sampai hari ini, tetapi tidak lagi unggul seperti dulu. Plato pertama kali merumuskan gagasan tersebut (seni-representasi) dengan mengatakan bahwa seni-adalah-mimesis dan Bateaux misalnya, pada abad ke-18 M mengikuti Plato, saat ia mengatakan :

" Puisi hanya-ada dengan cara meniru (imitasi). Sesuatu yang sama-dengan lukisan, tarian dan musik. Tidak ada yang nyata dalam karya-karya itu, semuanya dibayangkan, dilukis, disalin dan semu (buatan). Inilah yang membuat karakter-esensial mereka bertentangan dengan alam. "

Pada abad yang sama dan abad berikutnya, dengan berkembangnya Romantisisme, konsep-ekspresi menjadi lebih menonjol. Bahkan di sekitar jaman Plato, muridnya Aristoteles lebih tertarik kepada teori-ekspresi yaitu seni sebagai katarsis-emosi (pemurnian/pembersihan-emosi).

Dan Burke, Hutcheson, dan Hume juga mempromosikan gagasan bahwa apa yang penting dalam seni adalah tanggapan-penonton (respon-penikmat-seni) yang dapat dipahami kenikmatan/kesenangan dalam seni adalah persoalan selera (taste) dan perasaan (sentiment).

Tetapi perkembangan penuh teori-ekspresi pada abad ke-20 M, telah menunjukkan bahwa hal-itu hanyalah satu sisi/sudut pandang dari sebuah gambar.

Dalam taksonomi dari istilah-seni yang diberikan Scruton, teori-respon terkonsentrasi perhatian-nya pada kualitas-afektif seperti menggerakkan perasaan, menarik, memuakkan, membosankan/menjemukan dan sebagainya.

Tetapi teori-seni dapat disebut sebagai teori-ekspresi meskipun fokus pada hal yang menyusun kualitas-emosional dan mental, seperti yang pernah dibahas sebelumnya, misalnya menyenangkan, melankolis, rendah hati, vulgar dan cerdas.

Seperti yang akan kita bahas di bawah ini, ketika studi-ekspresi saat ini membahas lebih rinci, telah ada beberapa penulis seperti John Hospers dan OK Bouwsma yang tertarik pada teori semacam itu.

Tetapi ada jenis teori-lain, yang mungkin bahkan lebih-layak untuk disebut teori-ekspresi. Apa yang di-ekspresi-kan secara personal oleh seorang seniman/artis adalah fokus perhatian dari teori-seni-ekspresi-diri, namun tema-tema yang lebih universal seringkali di-ekspresi-kan oleh individu dan teori-seni-sejarah melihat seniman/artis hanya sebagai saluran masalah-sosial yang lebih luas.

R.G. Collingwood pada tahun 1930-an menarik seni menjadi suatu masalah ekspresi-diri :

" Dengan menciptakan pengalaman-imajiner atau aktivitas-imajiner bagi kita-sendiri, kita mengekspresikan emosi-emosi kita, dan inilah yang kita sebut seni. "

Dan ciri penting dari teori-Marx tentang seni, pada abad ke-19 M, dan juga banyak para penganut Marxis yang lain, yang mengikuti-nya memasuki abad ke-20 M, teori-teori yang disampaikan mereka merupakan teori-ekspresi dalam tinjauan pengertian seni-sejarah.

Seni diambil oleh orang-orang dengan pendekatan ini, seni menjadi bagian dari supra-struktur-masyarakat, yang bentuk-bentuk-nya ditentukan oleh basis-ekonomi, dan dengan demikian seni dipandang sebagai ekspresi-atau-refleksi dari kondisi-kondisi-material tersebut.

Meskipun demikian teori-seni-sosial tidak harus didasarkan pada materialisme. Salah satu teoretikus-seni-sosial utama akhir abad ke-19 M adalah novelis Leo Tolstoy, yang memiliki sudut pandang yang lebih spiritual. Ia berkata :

" Seni adalah aktivitas-manusia yang tersusun didalamnya dari hal ini, bahwa seseorang secara sadar, melalui tanda-tanda eksternal tertentu, menyerahkan/menyampaikan kepada orang lain perasaan yang pernah dialaminya, dan orang lain terinfeksi oleh perasaan itu dan juga mengalaminya. "

Memasuki ke abad ke-20 M, fokus utama beralih ke abstraksi-dan-apresiasi-bentuk.

Gerakan estetika, seni dan keterampilan, pada bagian akhir abad ke-19 M menarik orang menuju kepada kualitas-kualitas yang memadai. Di sini konsep-sentral dalam estetika adalah tentang estetika-murni yang telah disebutkan sebelum-nya, seperti anggun, elegan, indah, mulia, dan baik.

Tetapi kualitas-bentuk, seperti organisasi, kesatuan, dan harmoni, demikian juga keberagaman/variasi dan kompleksitas/kerumitan, sangat terkait erat, sebagai penilaian-teknis seperti dibuat-dengan-baik (well-made), terampil (skilfull) dan ditulis-secara-profesional (professionally-written).

Yang terakhir ini mungkin dapat dipisahkan sebagai fokus teori-seni-keterampilan seperti pada gagasan seni sebagai techne di jaman Yunani-kuno, namun teori-bentuk biasanya fokus pada semua kualitas ini dan estetika umumnya menetapkan semua hal itu sebagai perhatian utama.

Eduard Hanslick adalah seorang formalis-musikal pada akhir abad ke-19 M, formalis-Rusia pada tahun-tahun awal revolusi, dan strukturalis-Perancis kemudian menyusul, mempromosikan minat yang sama pada bidang sastra.

Clive Bell dan Roger Fry, anggota Bloomsbury Group yang berpengaruh pada dekade pertama abad ke-20 M, adalah promotor awal yang paling banyak diperhatikan dalam aspek-seni-visual ini.

Hipotesis-estetis Bell yang terkenal adalah :

" Kualitas apa yang dimiliki oleh semua benda yang memicu emosi-estetika kita ? Hanya satu jawaban yang mungkin muncul yaitu bentuk-yang-signifikan. Di dalamnya masing-masing, garis dan warna digabungkan dengan cara tertentu. Bentuk-tertentu dan hubungan-antar-bentuk, membangkitkan emosi-estetika kita. Hubungan dan kombinasi dari garis dan warna ini, bentuk-bentuk-estetis yang bergerak ini, saya disebut bentuk-signifikan dan bentuk-signifikan adalah satu kualitas-umum pada semua karya-seni-visual. "

Clement Greenberg, pada tahun-tahun ekspresionis-abstrak, dari tahun 1940-an hingga 1970-an, juga membela versi-formalisme ini.

Abstraksi adalah penggerak utama dalam seni pada awal abad ke-20 M, namun dekade berkutnya sebagian besar mengabaikan apapun gagasan tentang definisi-seni yang ketat.

De-definisi dari seni dirumuskan dalam filsafat secara akademis oleh Morris Weitz, yang mendapatkan pandangan-nya dari beberapa karya Wittgenstein mengenai ide/gagasan-permainan.

Wittgenstein berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang sama, yang dimiliki oleh semua permainan, dan dengan demikian perkembangan historis-nya terjadi/muncul melalui sebuah proses-generasi secara analogi, dari contoh paradigmatik hanya dengan cara kemiripan-keluarga.

Meskipun demikian, ada cara untuk menyediakan semacam definisi-seni yang menghormati/memperhatikan tekstur-terbuka-nya. Definisi-institusional terhadap seni, yang dirumuskan oleh George Dickie, ada di dalam kelompok ini :

" Suatu karya-seni adalah sebuah artefak yang telah dianugerahkan kepada-nya status-kandidat untuk di-nilai oleh dunia-seni. "

Ini membuat isi-seni menjadi terbuka, karena isi-seni diserahkan kepada direktur-museum, penyelenggara-festival, dan sebagainya, untuk memutuskan apa yang disajikan. Juga, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, Dickie meninggalkan gagasan penilaian/penghargaan-terbuka, karena ia membiarkan semua-aspek sebuah karya-seni dapat dihadirkan secara estetika.

Namun, gagasan tentang artefak, dalam definisi ini tidak sebatas pada apa yang dapat dilihat, karena apapun yang dibawa ke dalam ruang-seni sebagai kandidat untuk di-nilai, di sana menjadi di-artefaktual-kan, menurut Dickie dan karenanya ia menerimanya sebagai seni yang berlawanan dengan apa yang disebut alami (benda-benda-yang-ditemukan-di-alam/found-objects) dan sudah-di-produksi (readymades).

Kurangnya penekanan pada kekuasaan-pialang ditemukan dalam definisi-estetika terhadap seni dari Monroe Beardsley yang sedikit lebih awal :

" Sebuah karya-seni adalah sesuatu yang dihasilkan dengan maksud memberinya kapasitas untuk memuaskan kepentingan-estetis. "

di mana produksi dan estetika memiliki keadaan normal dengan konten-terbatas (tidak-terbuka) .

Tetapi ini menunjukkan bahwa kedua definisi-kontemporer ini, seperti yang lain, hanya mencerminkan secara historis bahwa seni berkembang sesuai dengan jaman-nya (periode yang bersangkutan). Tentu saja standar-standar-tradisional-estetika-obyektif, pada awal abad ke-20, sebagian besar telah diberi pilihan bebas dalam segala hal terhadap benda-benda oleh publik-dunia-seni-Mandarin baru-baru ini.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H6
Pemahaman Pribadi


Tuesday, December 5, 2017

Estetika 5 : Intensi


Bentuk tradisional kritisisme-seni bersifat biografis dan sosiologis, dengan melibatkan penjelasan konsepsi-konsepsi-seniman dan sejarah-tradisi-tradisi di dalamnya seniman tersebut berkarya.

Tetapi di abad ke-20, sesuatu yang berbeda, bentuk yang lebih ilmiah dan a-historis dari kritisisme-sastra tumbuh di Amerika Serikat dan Inggris yang disebut kritisisme-baru.

Seperti para strukturalis-Rusia dan strukturalis-Prancis pada periode yang sama, kritisisme-baru menganggap apa yang dapat dikumpulkan-dan-dipelajari dari karya-seni, semata hanya yang relevan dengan penilaian-penilaian-nya, namun posisi-spesifik mereka menerima pembelaan melalui banyak-pembahasan-filosofis oleh William Wimsatt dan Monroe Beardsley pada tahun 1946. Beardsley melihat posisi-itu sebagai perluasan sudut-pandang-estetika (The Aesthetic Point of View). Wimsatt adalah seorang kritikus-praktisi yang secara pribadi terlibat dalam barisan yang mendukung pendekatan-kritisisme-baru. Dalam esai mereka 'Kekeliruan Intensi/Maksud (The Intentional Fallacy)', Wimsatt dan Beardsley berpendapat :

" Rancangan atau intensi/maksud dari seniman adalah tidak-ada atau tidak-dikehendaki sebagai standar untuk menilai keberhasilan sebuah karya-seni-sastra."

Menurut mereka, intensi/maksud itu tidak-selalu-ada karena intensi/maksud-seniman seringkali sulit untuk diperoleh/diketahui, namun dalam beberapa kasus, intensi/maksud itu ada-dengan-tidak-memadai, kecuali ada/ditemukan bukti-bukti-internal dalam karya-seni yang telah selesai dikerjakan. Wimsatt dan Beardsley sepakat mengijinkan bentuk-bentuk-bukti semacam itu untuk menunjukan adanya intensi/maksud-seorang-penulis, namun tidak mengijinkan hal-eksternal selain teks yang ada di dalam karya-itu.

Perdebatan tentang intensi/maksud-dalam-seni-sastra ini telah berkecamuk dengan penuh-kekuatan hingga akhir-akhir ini.

Seorang pendukung kontemporer Wimsatt dan Beardsley, E.D. Hirsch, terus mempertahankan sudut pandang adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni (intentionalis). Melawan pendapat dia adalah Steven Knapp dan Walter Benn Michaels yang mengambil posisi-a-historis. Frank Cioffi, salah satu penulis-orisinil yang menulis sebuah balasan-bertenaga kepada Wimsatt dan Beardsley, meletakkan dirinya pada posisi-netral diantara kedua-kubu, ia meyakini hal yang lain yaitu pembacaan-terbaik (best-read) kadang-kadang hanya kadang-kadang dapat menangkap adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni, kecuali sang-seniman secara sadar/sengaja memang menuangkan intensi/maksud dalam karya-nya. Salah satu alasan dia menolak adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni pada waktu itu, adalah karena dia yakin seniman itu mungkin tidak-sadar-sepenuhnya akan pentingnya arti karya-seni.

Perdebatan serupa muncul dalam bentuk-seni-lain selain sastra, misalnya arsitektur, teater, dan musik, walaupun telah menyebabkan komentar yang kurang-profesional dalam seni-ini, itu terjadi lebih pada tingkatan-praktis dalam terma-terma argumen antara puritan dan modernis.

Puritan ingin mempertahankan orientasi-historis pada bentuk-bentuk-seni-ini, sementara para modernis ingin membuat sesuatu yang lebih mampu melayani penggunaan masa-sekarang (manfaat sesuai perkembangan jaman).

Perdebatan juga memiliki aspek yang lebih praktis dalam kaitan-nya dengan seni-visual. Karena itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menurunkan-nilai dari karya-seni-palsu dan pemalsuan-karya-seni, dan sebaliknya menempatkan nilai-istimewa pada orisinalitas.

Ada sejumlah penipuan yang dapat dicatat dilakukan secara tidak-bermoral oleh para pemalsu-karya-seni dan rekan-rekan mereka. Pertanyaannya adalah : jika tampilan-permukaan-nyaris-sama, apa nilai-utama yang ada di objek-pertama (karya-asli) ?

Nelson Goodman cenderung berpikir bahwa seseorang selalu dapat-menemukan-perbedaan-yang-cukup dengan melihat-secara-dekat-tampilan-visual-nya. Tetapi bahkan jika seseorang tidak bisa menemukan-nya, tetap ada-sejarah-berbeda dalam karya-asli dan salinan-nya, dan juga ada-intensi/maksud-yang-berbeda di belakang karya-karya-itu.

Relevansi dari intensi/maksud-semacam-itu-dalam-karya-seni seperti pada seni-visual telah memasuki diskusi-filosofis dengan sangat menonjol.

Arthur Danto, dalam pembahasan-nya tahun 1964 tentang Dunia-Seni (The Artworld) memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana atmosfir-teori dapat mengubah cara kita melihat karya-seni.

Keadaan ini telah menjadi-nyata dengan adanya dua-lukisan terkenal yang terlihat-sama, seperti yang dijelaskan oleh Timotius Binkley, berjudul "Mona Lisa" karya Leonardo D.V. dan Duchamp membuat lelucon tentang hal itu, yang disebut "L.H.O.O.Q. Shaved".

Kedua-karya itu terlihat seolah-olah sama, tetapi Duchamp, yang perlu diketahui adalah pembuat lukisan-karya-ketiga "L.H.O.O.Q", yang juga merupakan reproduksi dari lukisan "Mona Lisa" dengan tambahan beberapa grafiti di atasnya yaitu jenggot-dan-kumis.

Dia menyinggung dalam karya-itu kemungkinan bahwa seseorang yang dilukis pada lukisan "Mona Lisa" adalah seorang pria-muda, Duchamp memberikan/menambahkan cerita tentang homoseksualitas-Leonardo D.V. pada lukisan-nya

Dengan grafiti-jenggot-dan-kumis tersebut dihapus, karya-lukis yang secara keseluruhan serupa terlihat tetap berbeda, karena judul yang diberikan Duchamp dan sejarah-produksi-nya, mengubah apa yang kita pikirkan tentang karya-nya.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H5
Pemahaman Pribadi



Saturday, December 2, 2017

Estetika 4 : Sikap Estetika


Jerome Stolnitz, di pertengahan abad terakhir ini, adalah seorang Kantian, dan mempromosikan perlunya sikap-objektif dan bebas-kepentingan terhadap objek-seni.

Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, apakah ini merupakan representasi pandangan-menyeluruh Kant terhadap seni, hal itu masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian perlakuan bebas-kepentingan terhadap objek-seni yang disarankan Stolnitz sangat umum dilakukan/dikejar pada jamannya.

Edward Bullough, menulis pada tahun 1912, menyebut perhatian-yang-bebas-kepentingan sebagai sebuah sikap-yang-berjarak, tetapi dia menggunakan istilah itu untuk mencapai apresiasi/penilaian yang jauh lebih lengkap dan lebih rinci tentang keseluruhan-spektrum-sikap yang mungkin dilakukan/diambil ketika berhadapan dengan sebuah karya-seni.

Spektrum-sikap-ini terbentang dari orang-orang yang berjarak-terlalu-jauh (Over-Distance) hingga orang-orang yang tidak-berjarak (Under-Distance). Orang-orang yang berjarak-terlalu-jauh, misalnya, adalah tentang para-kritikus-seni yang hanya melihat segi-teknis dan keahlian dari sebuah produksi sehingga kehilangan-keterlibatan-emosional apa-pun dengan karya-seni.

Bullough mengkontraskan sikap-ini dengan apa yang dia sebut tidak-berjarak, di mana orang mungkin terlalu-diliputi oleh isi dari karya-seni-itu. Orang udik yang melompat ke atas panggung untuk menyelamatkan tokoh pahlawan wanita dan seorang suami yang cemburu, yang menganggap dirinya sebagai Othello yang mencekik istrinya, kehilangan-fakta bahwa pertunjukan tersebut adalah ilusi, sebuah fiksi yang hanya membuat-percaya.

Menurut Bullough, ada titik-tengah-yang-ideal diantara dua-ekstrem-itu, sehingga memecahkan antinomi-jarak dengan menentukan harus-ada-jarak-minimal yang paling mungkin tanpa-kehilangan-fakta.

George Dickie kemudian membantah keduanya, baik sikap-bebas-kepentingan maupun sikap-berjarak dalam sebuah tulisan makalah pada tahun 1964 yang terkenal berjudul, The Myth of the Aesthetic Attitude (Mitos Sikap Estetika).

Dia berpendapat bahwa kita harus dapat menikmati semua objek-kesadaran, baik estetika-murni maupun moral. Pada kenyataanya, menurutnya istilah estetika bisa digunakan dalam semua-kasus. Ia menolak gagasan bahwa ada beberapa cara-otoritatif yang tepat untuk menggunakan kata-tersebut hanya diterapkan pada kualitas-permukaan atau kualitas-formal yaitu karya-seni sebagai benda-dalam-dirinya-sendiri.

Akibatnya, Dickie menyimpulkan bahwa sikap-estetika, jika dipahami secara memadai, direduksi menjadi hanya perhatian-yang-dekat kepada apa-pun yang menarik/memegang/menahan-pikiran seseorang yang terkandung dalam suatu-karya-seni, melawan tradisi yang percaya bahwa karya-seni memiliki kualitas-psikologis atau kualitas-lain yang melibatkan perhatian hanya kepada objek tertentu.

Seni bukanlah satu-satunya objek untuk menarik perhatian terhadap hal-hal yang menyenangkan : hobi dan traveling adalah contoh lebih lanjut, dan olahraga adalah contoh lain, seperti yang telah disebutkan di atas.

Secara khusus, meluasnya tradisi-estetika dalam beberapa tahun terakhir telah membuat para teoritikus lebih memperhatikan olahraga. David Best, misalnya, menulis tentang olahraga dan kemiripan-nya dengan seni, ia menyoroti betapa dekat-nya olahraga dengan estetika-murni. Tetapi dia bermaksud membatasi olahraga hanya dengan estetika-murni dan berkeras bahwa tidak ada relevansi-nya olahraga dengan etika. Best melihat bentuk-seni dapat dibedakan secara ekspresi-nya dengan kepemilikan-kapasitas untuk mengomentari/menanggapi tentang situasi-kehidupan, dan karenanya membawa pertimbangan-moral.

Menurut pendapatnya tidak ada olahraga yang memiliki kapasitas lebih jauh seperti itu, meskipun hal-hal-yang-menyenangkan dari banyak olahraga tidak diragukan merupakan estetika. Tetapi banyak bentuk-seni juga tidak berkomentar/menanggapi mengenai situasi-kehidupan ---mungkin lebih-jelas disebut bentuk-bentuk hasil 'ketrampilan-tangan' yang memerlukan keahlian-teknis-tinggj---, misalnya dekorasi, lukisan-abstrak dan balet-non-naratif. Dan ada banyak olahraga yang terlihat sangat nyata dalam hal moral, dalam hal membangun-karakter, misalnya, pendakian-gunung dan berbagai olahraga-tempur seperti tinju dan gulat. Mungkin jalan keluarnya datang dengan memperhatikan pembagian Best sendiri yang diberikannya kepada bentuk-olahraga, antara di satu sisi olahraga-wajib atau olahraga-non-purposif seperti senam, menyelam, dan renang-ritmis, yang merupakan salah satu yang dianggap orang estetis dan di sisi lain olahraga-porestasi atau olahraga-purposif seperti olahraga-tempur di atas. Olahraga-wajib memiliki lebih sedikit seni di dalamnya, karena tidak sekreatif dengan olahraga-purposif.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H4
Pemahaman Pribadi

Thursday, November 30, 2017

Estetika 3 : Nilai Estetika


Kita telah mencatat pandangan-pandangan Kant tentang objektivitas-dan-universalitas dari penilaian-penilaian terhadap keindahan-murni dan melalui beberapa cara gagasan-ini telah dipertahankan lebih lanjut.

Sebagai contoh, ada sebuah kurva terkenal yang diperoleh seorang psikolog abad ke-19 bernama Wilhelm Wundt, yang menunjukkan bagaimana gairah-manusia pada umumnya cukup terkait dengan kompleksitas-dari-rangsangan/stimulus.

Kita merasa bosan dengan hal-hal yang sederhana kemudian menjadi jenuh. Lebih jauh lagi kita menjadi kian cemas, dengan bertambahnya kompleksitas. Sementara di antara kedua-nya ada wilayah yang paling-menyenangkan.

Dimensi-kompleksitas hanyalah satu ukuran-objektif terhadap nilai-estetika, yang telah diajukan dalam cara yang objektif-dan-universal. Oleh karena itu, sekarang diketahui, misalnya, penilaian terhadap keindahan/kecantikan wajah-manusia adalah masalah rerata dan simetri (averageness and symmetry). Secara tradisional, kesamaan/keseragamam diambil menjadi pusat-pertimbangan, yang secara khusus oleh Aristoteles dikaitkan dengan Drama, dan bila kesamaan/keseragaman ditambahkan ke dalam dimensi-kompleksitas, akan membentuk sebuah penjelasan-umum mengenai nilai-estetika. Sehingga Francis Hutcheson, pada abad ke-18 menegaskan bahwa :

" Kesamaan/keseragaman dalam keberagaman/variasi selalu membuat sebuah benda menjadi indah. "

Monroe Beardsley, baru-baru ini, telah memperkenalkan kriteria ketiga yaitu intensitas, untuk menghasilkan tiga prinsip-umum terhadap nilai-objektif-estetika. Dia juga merinci beberapa prinsip-khusus.

Beardsley menyebut kriteria-objektif dalam gaya-seni sebagai prinsip-khusus. Ini bukan masalah menjadi-baik sesuai dengan jenis-nya sehingga melibatkan kesempurnaan dari sebuah konsep seperti dalam pengertian Kant. Tetapi melibatkan pendapat membuat-nilai-yang-baik (good-making) dan membuat-nilai-yang-buruk (bad-making) yang dapat berubah-ubah, lebih seperti pengertian yang dijelaskan oleh Hume dalam karya esainya yang utama membahas bidang ini yaitu Of the Standard of Taste tahun 1757 (Tentang Standar Terhadap Selera).

Untuk mengatakan sebuah karya-seni memiliki kualitas-positif, seperti humor sebagai sebuah karya misalnya, adalah untuk memberi nilai-baik (memuji) sampai ke tingkat/batas tertentu, karena penilaian akan diimbangi oleh kualitas-lain yang dapat membuat karya itu tidak-baik secara keseluruhan atau sebagai kesatuan.

Lebih jauh lagi, Beardsley membela semua prinsip-prinsip-nya dengan cara yang jauh lebih rinci dari para pendahulunya pada abad ke-18 yaitu melalui analisis-historis yang panjang dan berliku terhadap kritik yang benar-benar dikemukakan dalam evaluasi sebuah karya-seni. Dia juga secara eksplisit, melakukan penolakan bahwa prinsip-prinsip-nya adalah satu-satunya kriteria-nilai, dengan memisahkan alasan-obyektif dari sesuatu yang disebutnya sebagai alasan-afektif dan alasan-genetik.

Kedua-jenis-alasan yang disebut di atas, masing-masing berkaitan dengan respons-penonton serta asal-seniman dan jaman-hidup-nya dan dia mempertahankan pandangan, jika kedua-jenis-alasan tersebut dipertimbangkan dalam penilaian, akan melibatkan kekeliruan-afektif atau kekeliruan-intensi. Pembedaan itu membuat Beardsley mampu untuk fokus pada karya-seni dan hubungan-hubungan representasional-nya, jika ada, ke objek-objek di dunia publik.

Melawan pendapat Beardsley, selama bertahun-tahun, Joseph Margolis mempertahankan pandangan relativisme-yang-kuat. Dia bermaksud mengatakan bahwa kecocokan, kemiripan, dan non-kognitivisme mencirikan apresiasi-seni, bukan kebenaran, universalitas, dan pengetahuan.

Dia membela pandangan ini dengan mempertimbangkan konsep-estetika, penilaian-kritis terhadap nilai, dan khususnya interpretasi-sastra, dengan mengatakan lebih-umum, bahwa karya-seni adalah entitas-yang-muncul-dari-budaya karena itu tidak dapat diakses secara langsung oleh setiap fakultas yang menyerupai persepsi-indra.

Perdebatan utama mengenai nilai-estetika, memang menyangkut masalah sosial-dan-politik, dan kemiripan dari sudut pandang yang berbeda yang tampaknya tak terelakkan . Pertanyaan utama menyangkut apakah ada kelas-istimewa, sebutlah mereka yang memiliki perhatian-terhadap-estetika, atau apakah sejumlah kepentingan mereka tidak memiliki tempat/sisi yang berbeda, karena dari perspektif-sosiologis, sebuah selera hanyalah satu di antara semua-selera lain-nya dalam ekonomi-demokrasi.

Sosiolog Arnold Hauser lebih memilih sudut pandang non-relativistik, dan siap memberikan rangkuman tingkatan-selera. Seni-tinggi mengalahkan seni-populer, kata Hauser, karena dua hal yaitu pentingnya-isinya, dan sifat-yang-lebih-kreatif-dari-bentuknya.

Sebaliknya Roger Taylor, menanggalkan sepenuhnya sudut pandang tingkatan-selera, menyatakan bahwa Aida dan The Sound of Music memiliki nilai-yang-sama bagi khalayak/penonton masing-masing. Dia membela pendapat ini dengan analisis-filosofis yang menyeluruh, menolak gagasan bahwa ada semacam-kebenaran yang berhubungan dengan sebuah realitas-eksternal, dengan orang-orang yang mampu mengakses kebenaran-itu memiliki sejumlah nilai-istimewa. Sebaliknya, menurut Taylor, hanya ada skema-konseptual yang berbeda, di dalamnya kebenaran diukur hanya dengan koherensi-internal terhadap skema itu sendiri.

Janet Wolff melihat perdebatan di atas lebih-tidak-terlibat didalamnya, dia secara khusus mempelajari secara rinci pertentangan antara Kant dan Bourdieu.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H3
Pemahaman Pribadi


Friday, November 24, 2017

Estetika 2 : Konsep Estetika


Sangatlah mengejutkan, abad ke-18 adalah waktu yang damai dan tenang, tetapi ini berubah menjadi jeda sebelum kemudian badai datang, karena keluar dari klasikisme yang tertata-rapi, berkembanglah romantisisme yang liar di dalam seni dan sastra, dan bahkan dalam revolusi-politik.

Konsep-estetika yang menjadi lebih dihargai dalam periode ini dikaitkan dengan hal-yang-sublim.

Hal-yang-sublim dapat dipahami keluar dari batasan-batasan, nyaris tidak-masuk-akal. Menurut Kant, hal-yang-sublim adalah suatu pertimbangan yang mengacu pada dirinya-sendiri. Artinya, subjek tidak memiliki kriteria untuk membandingkan-nya dengan yang lain namun hal-yang-sublim juga mempunyai nilai-universal.

Hal-yang-sublim harus selalu besar dan bersifat kolosal, tidak mengenal batas dan mengundang imajinasi atau melampaui-rasio.

Berhadapan dengan hal-yang-sublim, orang mengalami rasa kagum-dan-gentar. Rasa puas yang ditimbulkan-nya berbeda dengan keindahan, karena keindahan menimbulkan rasa-puas yang ceria-dan-ringan sedangkan hal-yang-sublim menimbulkan rasa-puas yang berat, dalam-dan-serius.

Hal-yang-sublim oleh Edmund Burke diteorikan dalam karyanya A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (Suatu Penyelidikan Filosofis terhadap Asal-Muasal Gagasan-Kita tentang Yang-Sublim dan Keindahan).

Menurut Burke, hal-yang-sublim lebih banyak berhubungan dengan rasa-sakit/kepedihan daripada kesenangan-murni, karena terlibatnya ancaman terhadap eksistensi-diri, seperti di lautan bebas yang buas dengan ombak tinggi, dan jalan-setapak di tengah padang-ilalang atau hutan semak yang sepi, dengan manusia berhati iblis dan nafsu yang dramatis, yang dipotret oleh para-seniman dan para-penulis. Tetapi di dalam situasi seperti itu, tentu saja, ini masih merupakan suatu "ketakutan-yang-menyenangkan (Delightful-Horror)" seperti yang dinilai Burke, karena seseorang terisolasi oleh fiksi dari karya yang menanyakan tentang bahaya-yang-sesungguhnya.

Sublim-dan-keindahan hanyalah dua di antara banyak istilah yang dapat digunakan untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman-estetika kita.

Untuk memulai menyebut yang lain, jelas ada juga kekonyolan-dan-kejelekan. Namun untuk mengenali kualitas yang lebih-baik lagi, tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan sesuatu-yang-mungkin baik-atau-cantik daripada mengerikan-atau-menyeramkan dan indah-atau-hebat daripada kotor-atau-busuk.

Frank Sibley menulis serangkaian artikel penting, dimulai pada tahun 1959, mempertahankan pandangan tentang konsep-konsep-estetika sebagai sebuah-keseluruhan. Dia mengatakan bahwa hal-hal-estetis tidak-diatur atau tidak-dalam-kondisi-yang-diatur, namun memerlukan bentuk-persepsi-yang-tinggi, yang bisa disebut selera, kepekaan, atau penilaian. Meskipun demikian analisis-lengkap-nya, mengandung aspek-lain, karena ia tidak hanya memperhatikan semacam-konsep yang telah disebutkan di atas, tapi juga dengan suatu-kelompok-lain yang memiliki suatu karakter-yang-agak-berbeda.

Cukup sering, bagi seseorang menggambarkan karya-seni, dengan menggunakan istilah yang berhubungan terutama dengan kehidupan-emosional dan kehidupan-mental manusia. Seseorang bisa menyebut sebuah karya itu gembira, melankolis, tenteram, cerdas, vulgar dan rendah-hati misalnya. Semua itu jelas terbukti bukanlah istilah estetika-murni, karena penggunaan-nya yang lebih-jauh (berlebihan), namun tetap relevan dengan banyak pengalaman-estetika.

Pendapat Sibley tentang konsep-estetika adalah disana tidak-ada-persyaratan yang memadai untuk penerapan-nya.

Pada banyak konsep, yang sering disebut konsep-tertutup, untuk mendapatkan hasil-penilaian adalah memerlukan syarat-yang-cukup-dan-memadai untuk penerapan-nya. Untuk menyebut seorang bujangan, misalnya, perlu syarat laki-laki dan belum-menikah, meski sudah memasuki usia-kawin dan ketiga-syarat ini cukup memadai untuk menerapkan konsep-bujangan kepada seseorang bahwa dia termasuk di dalam pengertian konsep-bujangan dan dapat disebut sebagai seorang bujangan.

Meskipun demikian, untuk konsep-lain yang disebut konsep-terbuka, tidak-ada-definisi semacam itu yang diberikan, meskipun demikian bagi konsep-estetika, Sibley menunjukan masih-terdapat beberapa syarat-yang-diperlukan, karena ada beberapa fakta dapat mengesampingkan penerapan-nya, misalnya norak, mencolok atau flamboyan (sifat yang cenderung menarik perhatian karena sikap percaya diri dan gaya berlebihan).

Oleh karena itu timbul pertanyaan :

Bagaimana kita melakukan penilaian-estetika jika tidak dengan memeriksa syarat-syarat yang memadai ?

Penjelasan Sibley adalah bahwa, ketika konsep-konsep itu bukanlah persepsi-murni sepenuhnya, hampir pasti itu hanyalah metafora. Dengan demikian, kita menyebut sebuah karya-seni sebagai dinamis-atau-sedih, seperti sebelum-sebelumnya, adalah dengan membandingan perilaku-manusia dengan kualitas -kulaitas tersebut.

Ahli teori lain, seperti Rudolph Arnheim dan Roger Scruton, memiliki pandangan serupa. Sesungguhnya Scruton, membedakan delapan jenis-konsep-estetika dan kita akan melihat beberapa dari yang lain di bawah ini.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H2
Pemahaman Pribadi



Friday, November 17, 2017

Salah


Apa ini !
Kencang, menekan
Sesak, meregang tegang
Ketengah, menarik narik !

Pergi saja !
Diam di sini !
Berangkat ?
Apa kaku di sini ?

Kau seru aku ?
Geram gumamku : Tak perlu !
Dengar !
Duduklah !

Yang bebas,
Bukankah kau ?

Samudra tenang !
Gemulai angin !


Melayang
Mengambang
Memandang
Di atas, sendiri !


Datanglah !
Kenapa ?
Ada di sana ?
Kau teriak : Salah !



Bekasi, 17 November 2017


Thursday, November 16, 2017

Estetika 1 : Pengantar


Estetika dapat didefinisikan secara-sempit sebagai teori-keindahan atau lebih-luas lagi sebagai filsafat-seni. Tradisi minat terhadap keindahan itu sendiri meluas pada abad ke-18 M dengan memasukkan sesuatu-yang-sublim, dan sejak tahun 1950 jumlah konsep-estetika-murni yang dibahas dalam literatur bahkan berkembang lebih-luas lagi.

Secara tradisi, filsafat-seni terkonsentrasi pada bahasan definisi-keindahan, namun akhir-akhir ini sudah tidak menjadi pusat perhatian-nya, analisis yang cermat terhadap aspek-seni sebagian besar telah menggantikan-nya.

Filsafat-estetika dalam tulisan ini dipusatkan pembahasan-nya kepada perkembangan pada masa akhir-akhir ini. Jadi, setelah melakukan penjelajahan terhadap gagasan-tentang-keindahan dan konsep-konsep yang terkait, pertanyaan tentang nilai-dari-pengalaman-estetika dan keragaman-perilaku-estetika juga akan dibahas, sebelum beralih ke hal-hal yang memisahkan seni dan estetika-murni terutama pada hadirnya-tujuan/intensi. Hal itu akan mengarah kepada sebuah penelusuran terhadap beberapa definisi-utama-seni yang telah dikemukakan, bersama dengan penjelasan periode de-definition baru-baru ini. Konsep ekspresi, representasi, dan sifat-objek-seni kemudian juga akan dibahas.

Apa yang bisa disebut bidang-lengkap-estetika adalah sangat luas. Bahkan sekarang terdapat ensiklopedia-empat-jilid yang dikhususkan untuk berbagai topik yang mungkin termasuk di dalamnya. Meskipun demikian masalah-inti dalam filsafat-estetika, saat ini sudah cukup banyak ditetapkan, lihat buku yang disunting oleh Dickie, Sclafani, dan Roblin, dan monograf oleh Sheppard, di antara banyak buku-buku lainnya.

Estetika dalam arti-sentral (definisi-keindahan) dikatakan telah dimulai pada awal abad ke-18 M, dengan serangkaian artikel The Pleasures of the Imagination yang oleh jurnalis Joseph Addison ditulis dalam edisi awal majalah The Spectator pada tahun 1712. Sebelum masa ini, pemikiran oleh tokoh-tokoh terkenal membuat sejumlah aktivitas yang terlibat ke dalam lapangan ini, misalnya dalam perumusan teori-umum proporsi-dan-harmoni, yang paling rinci terutama dalam bidang arsitektur dan musik. Namun perkembangan penuh lebih lanjut, refleksi-filosofis tentang estetika tidak lagi muncul sampai meluasnya aktivitas-rekreasi (bersenang-senang) di abad ke-18 M.

Sejauh ini, hingga menjelang akhir abad ke-18 M para teoritikus-awal yang paling lengkap dan berpengaruh adalah Immanuel Kant. Oleh karena itu pertama-tama, adalah penting untuk memiliki beberapa pengertian bagaimana Kant mendekati subjek-estetika.

Kritik terhadap gagasan-nya, dan alternatif-nya, akan disajikan kemudian di bagian awal tulisan ini, tapi melalui dia kita dapat menemukan beberapa konsep-kunci dalam subjek-estetika sebagai pengenalan.

Kant terkadang dianggap sebagai seorang formalis dalam teori-seni. Artinya, seseorang yang menganggap isi-sebuah-karya-seni bukanlah perhatian bahasan dari estetika. Namun itu hanyalah sebagian cerita. Yang pasti dia seorang formalis terhadap kenikmatan-murni-dari-alam, tapi bagi Kant sebagian besar seni itu tidak-nurni, karena melibatkan sebuah konsep.

Bahkan kenikmatan sebagai bagian-alam-pun tidak-murni, yaitu ketika sebuah konsep-dilibatkan, seperti ketika kita mengagumi kesempurnaan sebuah tubuh-binatang atau badan-manusia. Tetapi, misalnya, ketika kita melihat pola-abstrak-acak pada sejumlah dedaunan atau sebuah bidang-warna seperti pada bunga-poppy-liar atau matahari-terbenam, menurut Kant di sana tidak-hadir konsep semacam itu. Dalam kasus seperti itu, kemampuan-kognitif adalah bermain-secara-bebas.

Secara kodrati, seni kadang-kadang mampu mencapai kemunculan-kebebasan ini, itu kemudian disebut 'fine-art' (seni yang semata-mata untuk estetika) tetapi bagi Kant tidak-semua seni memiliki kualitas ini.

Secara keseluruhan, teori-tentang keindahan-murni dari Kant memiliki empat-aspek :
1. Kebebasan dari konsep
2. Objektivitas
3. Bebas-kepentingan
4. Kewajiban menarik-perhatian-penuh-dengan-ketiadaan-diri

Yang dimaksud dengan konsep bagi Kant berarti akhir atau tujuan yaitu penilaian oleh kemampuan-kognitif pemahaman-dan-imajinasi manusia yang diterapkan pada suatu objek.

Untuk mengambil sebuah contoh, misalnya seseorang yang melihat sebuah batu kecil berkata :

" Itu adalah sebuah kerikil. ".

Namun bila tidak-ada-konsep-tertentu yang terlibat, seperti halnya melihat kerikil-kerikil yang tersebar di pantai, kemampuan-kognitif dipertahankan dalam permainan-bebas dan saat inilah permainan-ini-harmonis sehingga ada-pengalaman terhadap keindahan-murni.

Menurut Kant, ada juga objektivitas-dan-universalitas dalam penilaian itu, karena kemampuan-kognitif adalah umum bagi semua-orang yang dapat menilai, misalnya, bahwa objek-individual adalah kerikil. Kemampuan-kognitif ini berfungsi sama, apakah mereka berasal dari penilaian-tertentu (konsep) atau dibiarkan dalam permainan-bebas, seperti saat menilai pola-kerikil di sepanjang garis pantai.

Namun, ini bukanlah dasar landasan-yang-wajib untuk penangkapan terhadap keindahan-murni. Menurut Kant, itu berasal dari ketiadaan-diri di dalam sebuah penangkapan, yang disebut pada abad ke-18 M sebagai bebas-kepentingan. Hal ini muncul karena keindahan-murni tidak-memuaskan kenikmatan kita secara indra (sensual). Juga tidak menimbulkan keinginan apapun untuk memiliki objek itu. Ini "menyenangkan" tentu saja, tetapi dengan sebuah cara penangkapan-intelektual yang berbeda.

Keindahan-murni, dengan kata lain, hanya memegang-penuh-perhatian-pikiran kita, yang berarti kita tidak memiliki perhatian lebih lanjut selain merenungkan-objek itu sendiri. Menangkap-objek dalam kasus seperti itu adalah tujuan itu sendiri. Ini bukan sarana untuk tujuan lebih jauh, dan di-nikmati-demi-dirinya-sendiri.

Karena moralitas mensyaratkan kita untuk menjunjung melampaui diri kita sehingga perilaku/sikap dalam perhatian-penuh-dengan-ketiadaan-diri menjadi sebuah kewajiban. Penilaian terhadap keindahan-murni, dengan-ketiadaan-diri memicu serta menarik seseorang ke dalam sudut pandang moral.

"Keindahan adalah simbol moralitas." dan "menikmati kenikmatan-alam adalah tanda jiwa yang baik." adalah kunci-ucapan Kant. Kenikmatan yang dibagi-bersama matahari terbenam atau pantai menunjukkan adanya harmoni-antara-kita-semua-dan-dunia.

Di antara gagasan ini, gagasan bebas-kepentingan memiliki banyak kualitas-umum yang diterima paling luas. Bahkan, Kant mengambilnya dari teori-teori abad ke-18 M sebelum ia mengemukakan teorinya, seperti dari filsuf-moral bernama Lord Shaftesbury, dan sejak itu, ini telah menarik banyak perhatian, misalnya baru-baru ini oleh sosiolog Prancis Pierre Bourdieu.

Jelas, dalam konteks ini bebas-kepentingan tidak berarti tidak-ada-kepentingan dan secara paradoks itu paling dekat dengan apa yang sekarang kita sebut kepentingan-kita adalah hal-hal-menyenangkan seperti hobi, melakukan perjalanan, dan olahraga seperti yang akan kita lihat di bawah ini. Tapi di abad-abad awal sebelumnya kepentingan-seseorang adalah keuntungan-seseorang, yang berarti kepentingan-pribadi, sehingga merupakan negasi dari apa yang berkaitan dengan estetika sampai etika.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H1
Pemahaman Pribadi



Tuesday, November 14, 2017

Aristoteles 7 : Seni Dan Puisi


Seni didefinisikan oleh Aristoteles sebagai realisasi dalam bentuk-eksternal dari sebuah hakekat-ide/gagasan, dan dapat ditelusuri kembali kepada sifat cinta-kepada-peniruan yang menjadi ciri manusia dan kepada kesenangan yang kita rasakan ketika mengenali kemiripan.

Namun, seni tidak terbatas hanya sekedar penyalinan/peniruan belaka. Seni membuat sifat menjadi ideal dan melengkapi kekurangannya. Seni berusaha menangkap tipe-universal dari suatu fenomena-individual.

Oleh karena itu perbedaan antara seni-puisi dan sejarah bukanlah bahwa yang satu menggunakan ukuran dan yang lainnya tidak. Perbedaannya adalah bahwa sementara sejarah terbatas pada apa yang sebenarnya terjadi, sedang puisi menggambarkan sesuatu dalam karakter-universal dari apa yang terjadi. Dan, oleh karena itu :

" Puisi lebih filosofis dan lebih tinggi daripada sejarah ".

Peniruan/penyalinan dapat me-representasi-kan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih buruk daripada umumnya, atau mungkin tidak-melampaui atau tidak-berada di bawah standar rata-rata-umum. komedi adalah peniruan dari contoh sifat kemanusiaan yang menjadi lebih buruk, namun dipahami bukan dalam arti keburukan-yang-mutlak, tapi hanya sejauh apa yang rendah dan yang tidak sadar masuk ke dalam sesuatu yang menggelikan dan lucu.

Tragedi, di sisi lain, adalah representasi sesuatu yang serius atau penuh-makna atau bulat atau final dan suatu tindakan-menjangkau yang kurang atau lebih, sebuah representasi yang dipengaruhi oleh tindakan dan bukan sekadar narasi.

Hal tersebut sesuai dengan penggambaran kejadian yang merangsang rasa takut dan kasihan dalam pikiran pengamat untuk membersihkan atau membuang perasaan-perasaan itu dan memperpanjang serta mengatur rasa simpati mereka. Dengan demikian, merupakan penyembuhan Homeopati terhadap nafsu (sebuah sistem pengobatan penyakit dimana orang yang sakit diberi zat-alami yang menghasilkan efek yang sama seperti yang dihasilkan oleh penyakit itu pada orang yang sehat).

Sepanjang seni membuat universal peristiwa-peristiwa khusus tertentu, tragedi dalam menggambarkan situasi yang penuh gairah dan kritis, membawa pengamat keluar dari sudut pandang egois dan individual dan memandangnya sehubungan dengan kebanyakan manusia pada umumnya.

Hal itu sejalan dengan penjelasan Aristoteles mengenai penggunaan musik Orgiastik dalam penyembahan Bacchas dan dewa-dewa lainnya. Ini memberi saluran keluar bagi semangat religius dan dengan demikian mengubah sentimen religius seseorang menjadi stabil.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H9
Pemahaman Pribadi



Friday, November 10, 2017

Aristoteles 6 : Politik


Aristoteles tidak menganggap Politik sebagai ilmu terpisah dari Etika, namun sebagai penyempurna, dan hampir merupakan pembuktian / verifikasi terhadap-nya.  

Moral-ideal dalam administrasi-politik hanyalah aspek yang berbeda dari moral yang juga berlaku untuk kebahagiaan-individu.

Manusia secara alamiah adalah makhluk-sosial, dan memiliki pendapat-rasional ( logos ) yang dengan sendirinya membawa kita mengarah kepada persatuan-sosial.

Negara merupakan perkembangan dari keluarga melalui masyarakat-desa, yang merupakan sebuah bentuk cabang-keluarga. Dibentuk pada awalnya untuk memenuhi kepuasan-kehendak-alamiah, yang kemudian keberadaan-nya / eksistensi-nya untuk mencapai tujuan-moral dan untuk meningkatkan kehidupan-yang-lebih-tinggi.  

Negara sesungguhnnya bukan hanya serikat-lokal untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak benar dan demi kenyamanan melakukan pertukaran / interaksi. Juga bukan-institusi-belaka untuk melindungi barang-barang dan kepemilikan harta benda. Negara adalah organisasi-hakekat-moral-sejati untuk memajukan perkembangan manusia.

Keluarga, yang secara kronologis ada sebelum Negara, melibatkan serangkaian hubungan antara suami-dan-istri, orang-tua-dan-anak, tuan-dan-budak.

Aristoteles menganggap budak sebagai bagian-dari-harta-hidup yang tidak memiliki eksistensi kecuali dalam hubungan-nya dengan tuan-nya. Perbudakan adalah institusi-alami karena merupakan sebuah aturan dan subjek-kelompok dalam masyaraktat yang saling terkait satu sama lain seperti jiwa ke tubuh. Namun, kita harus membedakan antara mereka yang adalah budak-secara-alami, dan mereka yang menjadi-budak hanya karena perang-dan-penaklukan.

Manajemen rumah tangga melibatkan perolehan-kekayaan, namun harus dibedakan dengan memperoleh-uang hanya untuk memenuhi kepentingan / kebutuhan diri. Kekayaan adalah segala sesuatu yang nilainya bisa diukur dengan uang, yang menyusun kekayaan merupakan kegunaan yang melebihi kepemilikan untuk pemakaian memenuhi kebutuhan hidup ( komoditas ).

Pertukaran-keuangan pertama kali melibatkan pertukaran-barang ( barter ). Namun, dengan adanya kesulitan penyebaran barang antar-negara yang luas dan terpisah satu sama lain, uang sebagai mata-uang kemudian muncul.

Pada awalnya uang hanyalah sejumlah logam dengan berat atau ukuran tertentu. Setelah itu mendapat cap untuk menandai jumlah-nya. Permintaan adalah standar nilai sebenarnya. Mata-uang, oleh karena itu hanyalah sebuah konvensi / kesepakatan yang mewakili permintaan. Uang berdiri / berada di antara produsen dan penerima-nya untuk menjamin keadilan ( fairness ). Riba adalah penggunaan uang yang tidak wajar dan tercela.

Kepemilikan bersama atas istri dan harta benda seperti yang digambarkan oleh Plato dalam karyanya Republik bersandar pada konsepsi-yang-salah terhadap masyarakat-politik. Sebab, Negara bukanlah kesatuan-yang-homogen, seperti yang diyakini Plato, melainkan terdiri dari unsur-unsur-yang-berbeda.

Pengelompokan konstitusi ( aturan dasar kehidupan bersama ) didasarkan pada fakta bahwa pemerintahan dapat dilaksanakan untuk mencapai pemerintah-yang-baik atau pengaturan-yang-baik, dan dapat dipusatkan hanya pada satu-orang atau dimiliki oleh beberapa-orang atau oleh banyak-orang.

Oleh karena itu, ada tiga-bentuk-pemerintahan yang sunguh-sungguh yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Republik-Konstitusional.  

Penyimpangan-bentuk dari tiga-pemerintahan ini adalah Tirani, Oligarki dan Demokrasi. Perbedaan antara dua yang terakhir bukanlah hanya Demokrasi adalah pemerintahan-oleh-yang-banyak dan Oligarki adalah pemerintahan-oleh-yang-sedikit tetapi juga Demokrasi adalah negara-orang-orang-tidak-punya dan Oligarki adalah negara-orang-orang-kaya.

Dipertimbangkan secara abstrak, ke-enam-bentuk-negara ini berada dalam urutan preferensi sebagai berikut : Monarki, Aristokrasi, Republik-Konstitusional, Demokrasi, Oligarki, Tirani.

Meskipun Monarki dengan orang-yang-sempurna akan menjadi bentuk-pemerintahan-tertinggi, tetapi tidak-ada-nya orang-semacam-itu membuat bentuk Monarki praktis tidak diperhitungkan.

Demikian pula, Aristokrasi-Sejati hampir tidak pernah ditemukan dalam bentuknya yang sempurna ( tidak rusak ).

Adalah dalam konstitusi bahwa orang-baik dan warga-negara-yang-baik menemukan titik-temu. Oleh karena itu, dengan mengesampingkan preferensi-ideal, Negara-Republik-Konstitusional dianggap sebagai bentuk pemerintahan-terbaik, terutama karena ia menjamin dominasi dari kelas-menengah-yang-besar, yang selalu menjadi dasar-utama dari bentuk-negara apapun agar terus bertahan ( permanen ).

Dengan penyebaran penduduk, Demokrasi tampaknya cenderung menjadi bentuk-pemerintahan-yang-umum.

Yang mana merupakan bentuk-negara-terbaik adalah pertanyaan yang tidak bisa langsung dijawab. Ras / bangsa yang berbeda cocok dengan bentuk-pemerintahan-yang-berbeda, dan pertanyaan yang sesuai untuk para-politisi bukanlah apa yang secara abstrak-merupakan-bentuk-negara-terbaik, tetapi apakah bentuk-negara-terbaik yang sesuai dengan kondisi yang ada.

Meskipun demikian, pada umumnya bentuk-negara-terbaik akan memungkinkan seseorang untuk bertindak sebaik mungkin dan hidup dengan cara yang paling membahagiakan.

Untuk melayani tujuan ini, Negara-ideal seharusnya tidak-terlalu-besar atau tidak-terlalu-kecil, tetapi cukup-bagi-dirinyaNegara-ideal harus menempati posisi yang menguntungkan pada daratan dan lautan dan terdiri dari warga yang diberi karunia dengan semangat-bangsa-bangsa-utara dan kecerdasan-bangsa-bangsa-asia.

Lebih jauh lagi, sebaiknya berhati-hati untuk menghindari pemerintahan dimana semua pihak terlibat dalam perdagangan dan komersialisasi. Negara-terbaik tidak hanya membuat para-pekerja menjadi seorang warga-negara, tetapi juga harus mendukung para-penganut-agama menjadi warga-negara, harus menjamin-moralitas melalui pengaruh pendidikan-hukum dan pelatihan-pelatihan awal.

Hukum, bagi Aristoteles adalah ungkapan-luar dari cita-cita-moral tanpa bias perasaan-subjektif-manusia, dengan demikian Negara tidak hanya kesepakatan atau konvensi belaka, tetapi sebuah kekuatan-moral perpanjangan dari semua-kebajikan.

Karena bersifat universal dalam karakternya, diperlukan modifikasi dan adaptasi terhadap bentuk-negara tertentu melalui prinsip-persamaan.

Pendidikan harus dipandu dengan undang-undang agar sesuai dengan hasil analisis psikologis, dan mengikuti perkembangan bertahap kemampuan-tubuh-dan-mental.

Anak-anak selama tahun-tahun awal mereka harus dipelihara / dijaga dengan hati-hati dari semua hubungan yang merugikan, dan diperkenalkan pada hiburan sebagai  persiapan mereka untuk tugas berat menjalani kehidupan.

Pendidikan-sastra mereka harus dimulai pada tahun ketujuh mereka, dan berlanjut hingga ke tahun kedua puluh satu mereka. Periode ini dibagi menjadi dua program pelatihan, satu dari usia tujuh sampai pubertas, dan yang lainnya dari masa pubertas sampai usia dua puluh satu tahun.

Pendidikan semacam itu seharusnya tidak diserahkan kepada perusahaan-perusahaan-swasta, namun harus dilakukan oleh Negara.

Ada empat cabang utama pendidikan yaitu membaca dan menulis, senam, musik, dan melukis. Mereka seharusnya tidak dipelajari untuk mencapai tujuan tertentu, namun dalam semangat-kebebasan yang menciptakan kebebasan-sejati. Jadi, misalnya, senam tidak boleh dikejar dengan secara eksklusif, atau akan menghasilkan tipe karakter biadab yang keras. Lukisan tidak harus dipelajari hanya untuk mencegah orang ditipu dengan gambar, tapi untuk membuat mereka memperhatikan keindahan fisik. Musik tidak boleh dipelajari hanya untuk hiburan, tapi juga untuk pengaruh moral yang diberikan pada perasaan.

Sesungguhnya semua pendidikan-sejati adalah, seperti yang dilihat Plato, yaitu sebuah pelatihan-untuk-simpati kita sehingga kita bisa mencintai-dan-membenci-dengan-cara-yang-benar.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H8
Pemahaman Pribadi