Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls
Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...
-
Juga dalam kesadaran-menentang terhadap penulisan-sejarah Hegelian berdiri para Post-Kantian Wilhem Dilthey (1833-1911), William Windelb...
Saturday, May 28, 2016
Kematianku
Siapa bilang takut ?
Itu ku jemput !
Jalan sepi antara senyap
Kini ku merayap
Kala ujung gelap
Tak usah ke pusara
Tiada perlu air duka
Antar saja dengan tawa !
Ini matiku !
Tiada gading di sini
Tidak juga belang tersisa
Percuma mencari !
Maut yang tak berisik
Kepergian yang diam diam
Kematianku yang tenang
Tak usah hiraukan !
Cakung, 25 Mei 2016
Thursday, May 26, 2016
Mengelusmu
Ketulusan hilang !
Benarkah selesai, pergi ?
Rinduku merasamu
Bersama mendambaku
Dendam , benci !
Sombong , kotor !
Tak sudi jadi kekasihmu
Pergi dari sini !
Bukankah disana, kekasih abadi menunggu ?
Mengapa semayam disini ?
Tidak kah tersiksa ?
Apa hatiku sepanas neraka ?
Ketulusan bertandanglah !
Hinggap, singgahlah diam diam
Siram putihmu, agar dendam meredam
Tabur sucimu, biar benci menggigil
Tidur, nyenyaklah di relung hati
Hingga lelap, pulas mendengkur
Dan sungguh..
Aku kan terus mengelusmu
Pulo Nangka, 22 Juli 2003
Hilang
Tatkala ketulusan diucapkan, entah apalagi padanan katanya. Kemunafikan ? Riya ? Kebohongan ? Adalah kata kata yang paling mendekati. Bahkan seribu kata lain siap mewakili yang tersembunyi di kedalaman sana. Ketulusan hanya sampai di bibir. Tak ada ketulusan yang bersemayam di dada. Keikhlasan menguap tanpa bekas. Sekarang, kebaikanpun berdiri di atas harga diri. Bagaimana memperoleh nilai lebih bila tindakan didasarkan pada niatan yang menyesatkan.
Masa indah itu telah berlalu. Entah kapan akan kembali mengunjungi. Berulang, mungkinkah berulang ? Berat sepertinya. Itu harus diciptakan penuh kesadaran serta kesabaran tinggi. Kesadaran bahwa Kita bukanlah apa apa. Kesabaran dalam menghadapi setiap peristiwa dengan hati. Kesadaran bahwa Kita tidak seharusnya di sini atau di sana. Bahwa semua serba kebetulan yang tak bisa dihindari. Hadapi saja tanpa rasa. Jalani setiap hari sampai tak sadar. Sampai lupa bahwa Kita mesti berjalan tanpa beban.
Jakarta, 15 Januari 2015
Tuesday, May 24, 2016
Rokok
Dari dulu sejak masih meminta orang tua, saya punya kebiasaan membeli rokok di warung kecil pinggir jalan . Kebiasaan yang sampai sekarang masih saya lakukan.
Baru saja, saya ditanya seorang teman yang merasa heran karena setelah keluar supermarket, saya berhenti di sebuah warung kecil untuk membeli sebungkus rokok.
"Kenapa ga beli skalian di dalem ?"
"Yang punya dah kaya !", Jawabku singkat.
Saat itu, melintas dikepalaku wajah sosok wanita tua renta berambut perak penunggu warung di pinggir jalan itu.
Monday, May 23, 2016
Kala benci
Kebencian terjadi karena "pour soi" dengan bebas menentukan dirinya dalam usaha mematikan orang lain. Yang membenci mencoba menjadi "pour soi" melulu dan menolak setiap "en soi" dalam dirinya. Kebencian ialah usaha supaya kemerdekaan terhadap yang lain menjadi sempurna. Kebencian mengakui kemerdekaan orang lain dan kemerdekaan itu harus dimusnahkan. Dengan membunuh orang lain, saya mencoba membebaskan saya dari pengasingan dan membebaskan diri saya dari "hal-mengada-bagi-yang-lain" karena yang lain itu tidak bisa ditangkap. Kebencian tidak mencapai tujuannya. Juga sesudah dibunuh yang lain tidak hilang karena tetap benar bahwa dulu yang lain memang ada dan sebagai bayangan ingatan dia tetap orang yang melihat saya sebagai objek. Pembunuh tidak bisa membebaskan diri dari korban.
Sartre
Terjadi ! Pasti terjadi. Karena tak tau diri ! Congak, pongah dan terlalu tinggi hati. Sadarlah, bertatap saja tak berani. Melihat pun, seperti bertemu hantu. Pucat merinding, gemetar pasi, takut, lalu cemas lari terbirit.
Lelah ? Berhentilah dengan sesak. Pilihlah tempat yang penat. Segera santap kepedihan itu. Biar perut kenyang dengan siksa. Lidah merasa segala sengsara. Mata berlinang perih derita. Hingga, jelas terlihat luka. Rambut kusut teramat kusam. Wajah kotor tanpa warna. Bibir yang sayu mengulum pilu. Lalu, seberapa kuat bertahan ? Ahhh... sebentar juga menggelepar ! Tak lama juga tiada ! Musnah, menghilang dalam nista berkepanjangan.
Pulo Mas, 22 Juni 2005
Friday, May 20, 2016
Cinta Ala Sartre
Harus dikatakan cinta ialah suatu konflik, karena dalam cinta, saya harus menghadapi kemerdekaan orang lain dengan langsung. Bahwa yang lain dalam kemerdekaannya memberikan pada saya suatu "being" (mengada) yang harus saya akui sebagai "hal-mengada" dari saya sendiri. Begitulah saya bereksistensi, berkat kemerdekaan orang lain. Karena itu saya tidak mempunyai keamanan dan kemerdekaan. Saya tetap diancam. Kalau saya mau merebut kembali kemerdekaan, saya harus merebut dari yang lain sehingga dia berada dalam kuasa saya. Bagaimana itu terjadi ? Tidak dalam kuasa. Yang mau dicintai tidak mau dicintai oleh seorang budak belian. Saya tidak mau menjadi objek dari suatu cinta mekanis.
Cinta tidak ingin mempunyai suatu otomatisme, melainkan kemerdekaan orang lain sebagai kemerdekaan. Cinta juga tidak puas dengan suatu perjanjian dari pihak lain, suatu ikatan berdasar pilihan yang bebas yang serupa dengan setia pada diri sendiri. Begitulah terjadi suatu situasi paradoksal bahwa sang pencinta ingin dicintai oleh suatu kemerdekaan dan tetap ingin supaya kemerdekaan itu tidak merdeka. Dia mau jadi cinta dan dari pihak lain dia menuntut supaya yang lain bersedia ditangkap dan dikurungi. Itu tidak berarti bahwa dia mau memakai yang lain sebagai alat. Dia mau menjadi seluruh dunia bagi yang dicintai. Dia bersedia menjadi objek bagi yang lain tapi sedemikian rupa sehingga yang lain bersedia menghilangkan dirinya dalam yang mencintainya sebagai hal yang mendasarkan eksistensinya. Yang mencintai tidak mau berpengaruh terhadap kemerdekaan dari yang dicintai. Dia mau hidup sebagai batas kemerdekaan itu. Yang lain harus menerima batas itu supaya bisa merdeka.
Dalam hal itu, yang dicintai mengalami relasinya dengan yang mencintai. Yang dicintai mendasarkan kemerdekaannya dalam "hal-mengada" dari sang pencinta. Tapi itu juga berlaku sebaliknya. Rupanya bahwa eksistensi dari yang mencintai mendapat fundamennya dari yang dicintai. Itu benar andaikata cinta bisa menjadi kemungkinan. Andaikata cinta menjadi kemungkinan, saya mendasarkan "pour soi" dari saya dalam "en soi" orang lain. Saya selamat dan tidak merasa "de trop" (terlalu banyak). Tapi segala hal itu ialah ilusi. Berdasarkan pengalaman, kita tau cinta adalah suatu usaha yang mempunyai proyek diri sebagai titik tolak yang harus menimbulkan konflik. Yang dicintai menangkap yang lain sebagai objek, memakai diri kalau menyinari dia dalam cahaya pandangannya yang menjadi lampu kuat seperti reflektor reflektor yang menyinari benda. Mereka tetap terpisah. Mencintai artinya mencintai supaya dicintai. Keduanya menjadi orang yang diborgol, satu mengikat yang lain, ingin mendasarkan eksistensinya dalam kemerdekaan orang lain dan ingin menjadi sebab hal itu. Masing masing ingin supaya yang lain mencintainya tanpa mengetahui bahwa mencintai justru ingin dicintai dan dalam usaha ini orang yang mencintai ingin supaya yang lain ingin bahwa dia mencintai yang lain itu. Cinta ialah hal buatan yang terdiri dari jumlah yang tak terhingga besarnya dari petunjuk petunjuk dimana satu menunjuk yang lain yang didalamnya masing masing mempertahankan "hal-mengada-lain" milik dia supaya bisa mendasarkan eksistensi yang tidak bisa hidup tanpa yang lain, tanpa mencapai yang lain itu. Kedua "pour soi" terpisah oleh "nothingness". Cita cita dari cinta ialah proyek yang gagal. Dua orang yang saling mencintai tetap tertangkap dalam faktisitas, setiap waktu yang lain bisa menciptakan saya sebagai objek. Dari itu terjadi rasa tidak aman, rasa malu. Kalau yang lain tidak mengobjekan saya itu bisa terjadi oleh orang lain. Karena itu dua orang yang jatuh cinta mencari keadaan sepi, tanpa berhasil menghilangkan keyakinan kita bereksistensi dimuka kesadaran orang lain dan mengetahui hal itu.
Pour Soi: hal-mengada yang didalamnya mengandung hal-mengada-lain yang berbeda dengan hal-mengada dari kesadaran. Hal-mengada-sebagai-menghadapi.
En Soi: hal-mengada dari hal yang sepenuh penuhnya identik dengan dirinya sendiri. Hal yang padat yang menampakan diri sebagai hal yang terlalu banyak (de trop) dan yang sama sekali tidak mempunyai alasan. Mengada begitu saja.
Sumber :
M.A.W Brouwer
Psikologi Fenomenologis ; Hal 148-149
Thursday, May 19, 2016
SMA
sebuah persembahan
untuk masa lalu
sepenggal kehidupan
yang tertanam, tak terlupakan
kita, begitu saja terlempar
tanpa bisa menolak, atau meminta
tiba-tiba tersadar, dan terdampar
terjebak, dan terkurung kehidupan
dalam kehampaan, ruang dan waktu
kita, arungi dunia bersama
terkadang membosankan, hambar tanpa rasa
menyakitkan dan menyiksa, tatkala kita lupa
disela rimbunnya kesombongan
diatas tingginya bukit kedengkian
sungguh bunga keindahan, setia menyapa kita
bak musim semi, memekar di hati setiap hari
riang, canda, tawa semerbak
menebar aroma wangi kebahagiaan
kini semua memudar
membeku kaku
diam terpaku, di relung jiwa terdalam
ahh.. adakah sesekali kita menengok
meski suram menghampar
atau indah merekah di dada
kita, semestinya menengadah
lalu berseru..
ohh.. Tuhan betapa mulianya Dirimu
meletakanku di tempat itu, di masa itu..
untuk masa lalu
sepenggal kehidupan
yang tertanam, tak terlupakan
kita, begitu saja terlempar
tanpa bisa menolak, atau meminta
tiba-tiba tersadar, dan terdampar
terjebak, dan terkurung kehidupan
dalam kehampaan, ruang dan waktu
kita, arungi dunia bersama
terkadang membosankan, hambar tanpa rasa
menyakitkan dan menyiksa, tatkala kita lupa
disela rimbunnya kesombongan
diatas tingginya bukit kedengkian
sungguh bunga keindahan, setia menyapa kita
bak musim semi, memekar di hati setiap hari
riang, canda, tawa semerbak
menebar aroma wangi kebahagiaan
kini semua memudar
membeku kaku
diam terpaku, di relung jiwa terdalam
ahh.. adakah sesekali kita menengok
meski suram menghampar
atau indah merekah di dada
kita, semestinya menengadah
lalu berseru..
ohh.. Tuhan betapa mulianya Dirimu
meletakanku di tempat itu, di masa itu..
Tuesday, May 17, 2016
Musik Dan Kalian
Saya bisa memahami kalian yang berpendapat musik adalah haram hukumnya (membuat, memainkan, mendengarkan, menikmati). Pendapat yang tentu bersandar pada pandangan ulama-ulama yang menjadi acuan kalian. Saya tidak dalam posisi menyalahkan pendapat kalian dengan menggunakan pendapat ulama-ulama yang mempunyai pandangan berbeda, karena menurut saya otoritas-tertinggi untuk hal itu ada di tangan Dia-Yang-Maha-Mengetahui. Saya dalam posisi menjelaskan pandangan saya sebagai pencinta musik dalam konteks agar kalian dan saya bisa saling memahami, agar kita sebagai sesama tidak saling merendahkan dan menghinakan.
Musik pada dasarnya adalah bunyi yang berasal dari sumber bunyi. Pada keadaannya musik terbebas dari nilai dalam hal ini moralitas-agama. Karena itulah musik terlepas dari hukum moralitas-agama (haram, halal dll). Musik tidak mengandung dosa sehingga jika kita menyentuhnya, tidak membuat diri tertular dan menjadi hina.
Untuk itu terkait dengan musik, hukum moralitas-agama hanya mengenai perbuatan seperti membuat, memainkan, mendengarkan atau menikmati musik. Bahkan tidak sampai disini, hukum menilai lebih jauh lagi apakah perbuatan yang kita lakukan mendatangkan manfaat atau tidak. Dalam konteks agama berarti meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita. Meskipun secara pribadi saya melihat lebih dari itu, seperti manfaat materi sebagai sumber penghasilan misalnya atau berbagi kebahagiaan.
Disinilah mungkin yang membedakan pendapat saya dan kalian. Dalam pandangan saya tidak semua perbuatan terkait dengan musik terkena hukum haram sehingga kita harus pergi menghindari atau meninggalkanya. Sebaliknya saya menggaulinya. Musik menjadi media bagi usaha saya untuk berkembang menjadi manusia yang lebih baik bagi diri, manusia lain dan tentu dihadapan-Nya. Itulah pandangan dan pemahaman saya terhadap musik, semoga kalian bisa memahami dan kita bisa saling menghargai.
Salam.
Kelapa Gading, 7 April 2016
Salam.
Kelapa Gading, 7 April 2016
Monday, May 16, 2016
Hari Itu Jika Datang
Jika hari itu datang
Tak'kan kau menyesal !
Sakit ?
Kau tak rasakan !
Tak kuasa karma merangkulmu
Pula temali putus ulah baikmu
Berputarlah samsara tiada gerigi
Nikmati perjalanan tanpa kepedihan hati
Lampaui derita dengan tulus
Peluk bahagia sepenuh hati
Derita tak lagi punya rasa
Jatuh cinta pada bahagia !
Kau budak Maha Tinggi. Tuan dirimu sendiri !
Bahagia, derita, datang kala kau damba
Kau atasi dirimu. Bertahta atas jiwamu !
Penguasa batin dan kehendakmu !
Hari itu jika datang
Kau bukan manusia lagi !
Pulo Nangka, 5 Agustus 2003
Sunday, May 15, 2016
Sederhana
Hidup ini sederhana
Sesederhana ibumu memandangmu
Apalagi bapakmu
Tertawa melihat kepergianmu !
Sesederhana mereka melepasmu
Terlalu sederhana, mungkin
Hingga sulit dimengerti
Kau juga tak mengerti ?
Apa memang tak bisa dipahami ?
Sudahlah !
Bukankah kau sudah pergi
Sudah selesai kataku, tak usah datangi
Dendam, apa penasaran ?
Sakit hati, apa rindu ?
Kesepiankah yang kau rasa ?
Turunlah jika perlu
Injak sepuasmu, kalau mendendam
Berlutut memohon, jika penasaran
Maki sepenuh hati, andai sakit hati
Peluk sekuatmu, bila merindu
Tertawa sesukamu !
Andai kau kesepian..
Kelapa Gading, 23 Juni 2004
Thursday, May 12, 2016
Allahu Akbar
Malam terasa dingin, angin berhembus kencang menabrak tirai bambu yang telah terikat erat, suara gemeretak terdengar mengganggu telinga. Hawa lembab menusuk kulit, basah terasa disekujur tubuh. Suasana yang nyaman untuk tidur dan tidak berbuat apa apa. Tapi sayang, perut terasa panas. Lapar mulai mendera. Perut meronta dan mendesak untuk diisi. Dengan malas, kuraih celana hitamku. Anyep terasa di kaki. Rupanya uap air telah menyusup di sela sela kain celana itu. Sedikit risih, kupaksa juga celana itu membalut sepanjang kaki dan pinggangku. Kuambil kunci dan gembog pintu kamar. Aku melangkah keluar. Aku kunci rapat rapat kamarku tanpa suara. Ku angkat kaki dengan hati hati. Gemerenyit suara lantai papan lirih terdengar. Diiringi rasa was was, aku menuruni tangga besi yang curam, anak tangga terlihat licin dan basah. Setapak demi setapak akhirnya selamat juga sampai di tanah.
Sejenak aku terdiam, hatiku mengingat apa yang kuinginkan. Sebungkus nasi goreng untuk mengganjal perut dan satu pak teh pengganti kopi terbesit dikepalaku. Ku alihkan pandangan ke ujung jalan sana. Si Bapak Kurus masih berjualan. Suara penggorengan lamat lamat terdengar dari kejauhan. Pelan pelan aku melangkah menghampirinya.
"Pak, nasi goreng satu."
"Telornya dua !", Kataku mengingatkan.
"Di campur semua ?", Bapak Kurus balik bertanya padaku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu duduk di keremangan sudut jalan. Sementara tangan Si Bapak lincah mengaduk nasi bercampur rempah sebagai penyedap rasa. Lima belas menit menunggu, hati merasa lega melihat Si Bapak menggelar kertas pembungkus lalu menuangkan satu porsi nasi ke atasnya. Ia menambahkan potongan mentimun dan menuangkan dua sendok cap cae bersama cabe. Tangannya meraih tas plastik hitam dan memasukan bungkusan nasi kedalamnya. Ia menyerahkan padaku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu duduk di keremangan sudut jalan. Sementara tangan Si Bapak lincah mengaduk nasi bercampur rempah sebagai penyedap rasa. Lima belas menit menunggu, hati merasa lega melihat Si Bapak menggelar kertas pembungkus lalu menuangkan satu porsi nasi ke atasnya. Ia menambahkan potongan mentimun dan menuangkan dua sendok cap cae bersama cabe. Tangannya meraih tas plastik hitam dan memasukan bungkusan nasi kedalamnya. Ia menyerahkan padaku.
"Terima kasih, Pak.", Ku sambut bungkusan itu seraya merogoh saku. Aku serahkan beberapa lembar uang ribuan kemudian membalikkan badan melangkah pulang.
Genangan air memercik dikakiku, air bercampur lumpur membuatku risih, tapi tak ku hentikan langkahku. Tiba tiba sebuah teriakan menahan langkahku. Sosok Kurus yang lain muncul dari arah samping mengejar mengikuti langkahku.
"Mas, entar aku ke atas ya. Ada perlu.", Katanya singkat.
"Iya, aku tunggu.", Jawabku sekenanya sambil berlalu terburu.
Sosok Kurus itu terlihat senang, tapi aku tak peduli, kuayunkan langkah cepat cepat. Rasa lapar tak mau menunggu. Kunaiki kembali tangga besi itu. Sekarang aku duduk di depan televisi menyantap makananku
Sosok Kurus itu terlihat senang, tapi aku tak peduli, kuayunkan langkah cepat cepat. Rasa lapar tak mau menunggu. Kunaiki kembali tangga besi itu. Sekarang aku duduk di depan televisi menyantap makananku
"Assalamu allaikum !", Suara lembut terdengar menyapa. Kupalingkan wajah ke arah pintu.
"Wa alaikum salam !", Aku membalas salamnya tak kalah lembut. Sosok Kurus itu memasuki kamar dengan malu malu.
"Ngapain Mas ?", Tanyanya sambil mendekat kearahku.
"Biasa, nonton tivi. Ada apa nih ?"
"Ini Mas, mau bikin surat lamaran. Buat besok, hari senin."
"Ohh, ada tuh. Tinggal ganti data, langsung bisa dicetak.", Membersit dibenakku nama file yang tersimpan dikomputerku.
"Sori, makan sendiri. Kamu ganti aja datanya.", Aku tinggalkan sejenak santapanku.
Ku nyalakan komputer. Dia menghampiriku lalu duduk bersila di depan komputer dan mulai mengetik. Aku kembali menikmati santapanku. Baru beberapa menit bunyi sentuhan keyboard menghias kamarku, Dia bangkit bergegas seolah teringat sesuatu.
Ku nyalakan komputer. Dia menghampiriku lalu duduk bersila di depan komputer dan mulai mengetik. Aku kembali menikmati santapanku. Baru beberapa menit bunyi sentuhan keyboard menghias kamarku, Dia bangkit bergegas seolah teringat sesuatu.
"Kemana ?", Tanyaku heran.
"Emang sudah selesai ?", Aku penasaran.
"Belum. Ini ada yang ketinggal. Balik kerumah dulu. Bentar doang.", Katanya sambil melintas dihadapanku lalu keluar kamar menuju rumah dengan langkah tergesa.
Lama aku menunggu. Sambil mengunyah, aku merapikan ketikan yang aku rasa kurang enak dilihat. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki kearah kamarku. Aku menoleh kearah pintu. Sosok Kurus itu sudah berdiri tepat di mulut pintu. Tangannya menjinjing tas plastik hitam.
"Ini Mas, kemaren baru dari Malang. Ini oleh oleh buat Mas. Teh Malang. Rasanya enak. Mas pasti suka. Baunya kaya stroberi !", Panjang lebar dia menjelaskan, membuat hati tak kuasa menolak.
"O yaa. Terima kasih. Ni terusin. Udah aku rapiin sih.", Kataku seraya menuju nasi gorengku yang tersisa.
Dengan lahap aku habiskan nasi goreng itu dengan cepat. Ku ambil gelas, kutuangkan air putih dan langsung aku hirup sepuasnya. Beberapa kali, aku hirup air putih itu untuk membuang rasa dahaga. Mataku menerawang ke sekitar dispenser dan tempat gula kopi di dekatnya. Aku melihat satu bungkus teh kesukaanku yang sudah kosong siap dibuang. Sejenak aku terhenyak. Melintas di hati, aku hendak membeli satu pak teh. Tapi lupa.
"Allahu Akbar !", Hatiku berseru lirih. Dadaku bergetar.
"Ternyata Tuhan masih sayang padaku..."
"Masih memperhatikan Aku...", Bisik hatiku.
Dengan lahap aku habiskan nasi goreng itu dengan cepat. Ku ambil gelas, kutuangkan air putih dan langsung aku hirup sepuasnya. Beberapa kali, aku hirup air putih itu untuk membuang rasa dahaga. Mataku menerawang ke sekitar dispenser dan tempat gula kopi di dekatnya. Aku melihat satu bungkus teh kesukaanku yang sudah kosong siap dibuang. Sejenak aku terhenyak. Melintas di hati, aku hendak membeli satu pak teh. Tapi lupa.
"Allahu Akbar !", Hatiku berseru lirih. Dadaku bergetar.
"Ternyata Tuhan masih sayang padaku..."
"Masih memperhatikan Aku...", Bisik hatiku.
Ku tatap bungkusan hitam itu. Dia mengirim teh untukku. Bukan satu pak tapi satu kantong plastik. Aku memalingkan wajah kearahnya. Diam diam aku memperhatikan dari belakang. Ia asyik menggerakan jemarinya di atas keyboard.
"Terima kasih Teman."
"Terima kasih Tuhan.", Hatiku berbisik lagi entah yang keberapa kali.
"Terima kasih Tuhan.", Hatiku berbisik lagi entah yang keberapa kali.
Pulo Nangka, 17 Februari 2008
Tuesday, May 10, 2016
Harapanmu
Setiap berharap padanya, kau seperti mengharap keajaiban. Suatu yang ganjil. Muskil barangkali. Dari hal kecil seperti menunggu bintang jatuh. Hingga terkadang kau pasrah karena nyaris semua harapanmu berakhir di ujung jurang kesiasiaan. Melelahkan dan menyiksa. Hampir hampir kau memilih terjun ke dalam sana. Bersama gelap mungkin lebih tenang daripada berjalan disisinya. Daripada harus menekan perasaan untuk memenuhi belas kasihan. Sesak, tapi tak ingin dadamu meledak. Mungkin kau harus merebah kembali mengunjungi rumah lamamu. Kesendirian.
Andai itu seperti menunggu bintang jatuh, kau ingin bintang itu segera menimpa kepalamu !
Pulo Nangka, 20 Juli 2003
Ibu
Saat itu pagi masih terasa dingin. Hujan gerimis masih menetes di luar ruangan sempit tempat kami berlima makan. Ibu terlihat mondar mandir dari ujung meja yang satu ke ujung yang lain menuangkan nasi goreng kesetiap piring yang ada di hadapan kami. Suara benturan piring dengan sendok sesekali terdengar meningkahi seretan kaki Ibu.
Kami semua terdiam. Aku duduk menunggu Ibu menyelesaikan tugasnya. Adik asyik memainkan sendok kecil ditangannya. Eyang di seberang sana cemberut, raut mukanya masam mengamati setiap gerakan Ibu. Wajahnya terlihat kaku, matanya berbinar seolah menunggu sesuatu terjadi. Suara benturan piring kembali menyentak di tengah keheningan tapi Eyang tak bergeming. Kami pun tetap diam.
Suasana kian mencekam saat Ibu melangkah mendekati tempat duduk Eyang. Sorot matanya yang menusuk membuat Ibu takut dan menunduk. Tapi Ibu tetap berusaha menyelesaikan tugas hariannya, menyiapkan sarapan pagi buat kami. Pelan pelan Ibu menuangkan nasi, jemarinya terlihat bergetar. Dengan segenap keberanian Ia menggerakan tangannya, menaburkan sebongkah nasi ke atas piring Eyang. Tapi sayang nasi jatuh berserakan di sekitar piring tepat di hadapan Eyang. Keberanian yang membuncah ternyata kalah oleh panasnya kebencian dari tatapan mata Eyang. Ibu gugup wajahnya pasi. Ia meraih serbed dipundaknya kemudian membersihkan serpihan nasi yang berserakan sambil mengucap maaf berkali kali. Nafas Eyang tersengal, naik, turun, tak teratur. Kebenciannya meluap. Tangan kecilnya mengepal geram menahan amarah pada sang mantu. Tapi siapa yang mampu menahan kebencian ? Tiba tiba tangan Eyang melayang cepat kearah kepala Ibu. Ibu terpental oleh kebencian yang menghantam. Ibu terkaget, bingung, diam, lalu berlari menangis meninggalkan kami.
Bapak terkejut. Matanya terbelalak tak percaya. Aku tertegun. Adik akhirnya ikut menangis. Eyang tetap tenang duduk seperti patung. Dingin, semua seolah tak terjadi, tak ada yang istimewa disekitarnya. Ia tetap diam, pandangannya lurus, kepalanya tegak. Wajahnya memancarkan kepuasan tak berhingga. Ia tersenyum sendiri. Entah pada siapa. Mungkin pada majikannya. Setan yang selalu mencoba menjadi tuan direlung hati manusia. Bapak terpaku. Aku terpaku. Kami tak tahu apa yang terjadi. Sementara Ibu entah berada dimana !
Pulo Nangka, 17 Maret 2002
Thursday, May 5, 2016
Tragis
Hidupmu tragis, engkau tau !
Tapi kau takkan berlari karena hidup bukan untuk dihindari tapi dijalani. Engkau sadar, kau berada disekitar orang orang lemah. Mereka yang tersingkir oleh lingkungan. Kau sendiri sama seperti mereka, terasing di tengah kebisingan kehidupan. Minoritas dimanapun berada. Orang kecil yang terpencil. Sendirian mencoba berdiri dan bertahan diantara desakan nafsu yang menyesakan. Langkahmu terseok dan tersendat. Engkau selalu tertinggal.
Hidupmu tragis, kau tak menyesal !
Sekarang engkau paham tentang peran dalam sandiwara sesaat ini. Akan kau jalani sebaik baiknya, meski engkau lantang menentang Sang-Sutradara membagi peran seenak perutnya. Tetap kan kau buat indah cerita itu. Alur dramatis yang tak mungkin terlupa. Berliku mengalir menuju akhir yang tak terduga.
Tapi mohon kirim mereka sedikit hadiah yang bisa dinikmati. Wahai-Sumber-Kekayaan bagilah milik-Mu agar mereka tertawa sejenak merasakan keadilan-Mu. Menyongsong segar pagi bersama hadir-Mu.
Hidupmu tragis, engkau kan menangis !
Bila melihat rekan sejawat seperti dirimu. Wahai-Yang-Maha-Mulia, naikanlah derajat mereka. Lepaskanlah dari keluh kesah yang membelit dada.
Bila melihat rekan sejawat seperti dirimu. Wahai-Yang-Maha-Mulia, naikanlah derajat mereka. Lepaskanlah dari keluh kesah yang membelit dada.
Hidupmu tragis, kau kan tersenyum !
Bila Yang-Maha-Segala mengabulkan permintaanmu.
Bila Yang-Maha-Segala mengabulkan permintaanmu.
Wednesday, May 4, 2016
Kapitalis Jijik
Manusia lemah, minoritas dan kaum tertindas, Mereka semua serupa. Di sana membersit ketulusan yang terjepit di sela penderitaan dan sengsara. Tekanan tekanan tak kunjung usai. Tuduhan tuduhan mengacung pada Mereka seolah tak pernah berpaling kearah yang lain. Sistem ini memuakkan. Mereka terpojok oleh kekuasaan yang menampakan diri sebagai uang.
Kapital, uang seringkali mereduksi nilai kemanusiaan menjadi suatu kenistaan. Materi yang jika dinilai tidaklah seberapa, mampu membalikan niat luhur menjadi serupa perbuatan setan. Kapitalis Jijik bertahta dengan uang digenggaman. Uang, agama dan moralitas Mereka.
Kapitalis Jijik tak berpikir seberapa besar pengorbanan Mereka untuk menggelembungkan saku kapitalnya. Ia mencuri diam diam dari kaum yang lemah. Buruh yang tertindas diperas lelah keringatnya. Nilai lebih yang seharusnya menjadi hak Mereka diambil secara sewenang wenang. Kapitalis Jijik menilai manusia bukan sebagai mahluk bermartabat tetapi mesin produksi untuk menimbun pundi pundi Mereka. Manusia hanya layak hidup jika dan hanya jika mampu menghasilkan uang bagi perut Mereka.
Kapitalis Jijik tak berpikir seberapa besar pengorbanan Mereka untuk menggelembungkan saku kapitalnya. Ia mencuri diam diam dari kaum yang lemah. Buruh yang tertindas diperas lelah keringatnya. Nilai lebih yang seharusnya menjadi hak Mereka diambil secara sewenang wenang. Kapitalis Jijik menilai manusia bukan sebagai mahluk bermartabat tetapi mesin produksi untuk menimbun pundi pundi Mereka. Manusia hanya layak hidup jika dan hanya jika mampu menghasilkan uang bagi perut Mereka.
Kapitalis Jijik, mari kencingi wajah Mereka. Wajah yang sudah kusam disiram aroma wewangian comberan yang pekat. Biar semerbak menebar, agar setiap orang meludah saat melintas dihadapannya. Kapitalis Jijik bukan manusia melainkan iblis bermuka dua. Kapitalis Jijik layak menerima hinaan karena jutaan manusia menderita akibat polah tingkahnya. Kapitalis Jijik bukan juru selamat, melainkan penindas penabur derita.
Kapitalis Jijik harus dibasmi. Nafsu Mereka yang merajalela harus dilawan dan diperangi. Mari berdiri dibarisan paling depan. Dengan tangan mengepal teriakan keadilan. Meninju ketimpangan agar terkapar. Menghantam dada sampai mati terpental, lalu di injak sekuat tenaga agar hancur serupa tanah. Kita pun tak perlu repot repot menguburnya.
Pulo Nangka, 4 April 2002
Disana
Selama di sana, Engkau mengalir seperti biasa. Kau berusaha bertahan dari terpaan angin yang mengguncangkan jiwa. Getaran kehidupan mulai terasa kencang. Engkau mengalami variasi hidup yang lain dari lingkunganmu. Tentang kepahitan yang tak berujung. Cita cita yang terlunta. Cinta yang tertunda. Serta tentang perjuangan panjang dan masa depan tak berpengharapan.
Engkau melihatnya dengan hati lalu menilainya sebagai wajah wajah kehidupan yang menatapmu. Taringnya yang beringas mencoba menerkammu. Ketulusanmu nyaris hilang. Keyakinanmu akan keikhlasan terus menerus tergerus. Jamur jamur kedengkian serta kebencian menjalar di sekujur tubuh. Hatimu penuh bercak kesombongan dan kemunafikan. Di sana, Kau ternyata makin lemah. Engkau belum mampu mengatasi dirimu. Nafsu masih bertahta atasmu. Ketinggian hatimu kian berkuasa. Engkau tertindas oleh dirimu.
Pulo Nangka, 17 Maret 2002
Monday, May 2, 2016
Marahmu Beranimu
Marah lah pada angin
Benam kan rasa dalam air
Sampai kau pengap
Mendesak dada !
Kembung membusung
Terpelungkup perut
Mengerang !
Menjerit perih !
Ledak kan kata !
Buncah kan rasa !
Maki lah langit !
Amuk lah bumi !
Hingga marah meradang
Panas meruah
Segala memerah
Dan kau ! Pastilah punya darah !
Kelapa Gading, 4 Juli 2002
Sawang Sinawang
Dalam sebuah perjalanan bersama seorang teman, tiba tiba dia berkata sambil menunjukan tangan keluar.
" Coba liat anak anak itu, kasihan ya ?! ", Nada suaranya seperti mendorong saya untuk setuju dengan ucapannya ketika saya melihat anak anak itu bermain di sungai yang kotor.
Sejenak saya cermati pemandangan itu, sekilas justru saya menangkap kebahagiaan dari tawa mereka, wajah riang mereka dan gerak tubuh mereka .
" Kasihan ? "
" Bukankah mereka gembira, coba perhatikan deh ! ", Dia memalingkan muka kembali kearah anak anak itu.
" Iyaa, yaaah..! ", Dia lantas tersenyum memandangku.
Esok harinya, ditengah siang bolong, panas yang terik, di belakang tubuh gendut, diantara kendaraan yang berjubel. Di sebelah samping seorang bapak dengan pakaian rapi duduk di dalam mobil sedan altis yang tentu ber AC, terasa sejuk dan nyaman. Spontan saya mendekatkan mulut ke helm Bapak Gendut.
" Duhh enaknya naik mobil, ga kepanasan, ga kringatan ! "
" Sawang sinawang mas ! "
" Gimana ngerasa enak, wong lagi baca buku."
"Jangan jangan lagi ngitung utang ! ", Bapak Gendut menjawab dengan logatnya yang kental, seraya menarik gas karena lampu berubah hijau seperti seragam kebesarannya.
Setelah sampai tujuan, saya turun lantas membayarnya, saat itu langsung termenung, hati menggumam sendiri, " Suwun kang ilmunya.. ". Segera saya membalik badan meninggalkannya. Baru mengayun beberapa langkah terdengar suara keras memanggil.
" Masss..! Massss..! ", Saya kembali membalikkan badan, kulihat Bapak Gendut melambaikan uang kearahku.
" Kurraanggg..!! ", teriaknya lantang.
" Sialaannn..! ", Hatipun memaki menahan malu.
Kelapa Gading, 2 Mei 2016
" Coba liat anak anak itu, kasihan ya ?! ", Nada suaranya seperti mendorong saya untuk setuju dengan ucapannya ketika saya melihat anak anak itu bermain di sungai yang kotor.
Sejenak saya cermati pemandangan itu, sekilas justru saya menangkap kebahagiaan dari tawa mereka, wajah riang mereka dan gerak tubuh mereka .
" Kasihan ? "
" Bukankah mereka gembira, coba perhatikan deh ! ", Dia memalingkan muka kembali kearah anak anak itu.
" Iyaa, yaaah..! ", Dia lantas tersenyum memandangku.
Esok harinya, ditengah siang bolong, panas yang terik, di belakang tubuh gendut, diantara kendaraan yang berjubel. Di sebelah samping seorang bapak dengan pakaian rapi duduk di dalam mobil sedan altis yang tentu ber AC, terasa sejuk dan nyaman. Spontan saya mendekatkan mulut ke helm Bapak Gendut.
" Duhh enaknya naik mobil, ga kepanasan, ga kringatan ! "
" Sawang sinawang mas ! "
" Gimana ngerasa enak, wong lagi baca buku."
"Jangan jangan lagi ngitung utang ! ", Bapak Gendut menjawab dengan logatnya yang kental, seraya menarik gas karena lampu berubah hijau seperti seragam kebesarannya.
Setelah sampai tujuan, saya turun lantas membayarnya, saat itu langsung termenung, hati menggumam sendiri, " Suwun kang ilmunya.. ". Segera saya membalik badan meninggalkannya. Baru mengayun beberapa langkah terdengar suara keras memanggil.
" Masss..! Massss..! ", Saya kembali membalikkan badan, kulihat Bapak Gendut melambaikan uang kearahku.
" Kurraanggg..!! ", teriaknya lantang.
" Sialaannn..! ", Hatipun memaki menahan malu.
Kelapa Gading, 2 Mei 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)