Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, November 30, 2017

Estetika 3 : Nilai Estetika


Kita telah mencatat pandangan-pandangan Kant tentang objektivitas-dan-universalitas dari penilaian-penilaian terhadap keindahan-murni dan melalui beberapa cara gagasan-ini telah dipertahankan lebih lanjut.

Sebagai contoh, ada sebuah kurva terkenal yang diperoleh seorang psikolog abad ke-19 bernama Wilhelm Wundt, yang menunjukkan bagaimana gairah-manusia pada umumnya cukup terkait dengan kompleksitas-dari-rangsangan/stimulus.

Kita merasa bosan dengan hal-hal yang sederhana kemudian menjadi jenuh. Lebih jauh lagi kita menjadi kian cemas, dengan bertambahnya kompleksitas. Sementara di antara kedua-nya ada wilayah yang paling-menyenangkan.

Dimensi-kompleksitas hanyalah satu ukuran-objektif terhadap nilai-estetika, yang telah diajukan dalam cara yang objektif-dan-universal. Oleh karena itu, sekarang diketahui, misalnya, penilaian terhadap keindahan/kecantikan wajah-manusia adalah masalah rerata dan simetri (averageness and symmetry). Secara tradisional, kesamaan/keseragamam diambil menjadi pusat-pertimbangan, yang secara khusus oleh Aristoteles dikaitkan dengan Drama, dan bila kesamaan/keseragaman ditambahkan ke dalam dimensi-kompleksitas, akan membentuk sebuah penjelasan-umum mengenai nilai-estetika. Sehingga Francis Hutcheson, pada abad ke-18 menegaskan bahwa :

" Kesamaan/keseragaman dalam keberagaman/variasi selalu membuat sebuah benda menjadi indah. "

Monroe Beardsley, baru-baru ini, telah memperkenalkan kriteria ketiga yaitu intensitas, untuk menghasilkan tiga prinsip-umum terhadap nilai-objektif-estetika. Dia juga merinci beberapa prinsip-khusus.

Beardsley menyebut kriteria-objektif dalam gaya-seni sebagai prinsip-khusus. Ini bukan masalah menjadi-baik sesuai dengan jenis-nya sehingga melibatkan kesempurnaan dari sebuah konsep seperti dalam pengertian Kant. Tetapi melibatkan pendapat membuat-nilai-yang-baik (good-making) dan membuat-nilai-yang-buruk (bad-making) yang dapat berubah-ubah, lebih seperti pengertian yang dijelaskan oleh Hume dalam karya esainya yang utama membahas bidang ini yaitu Of the Standard of Taste tahun 1757 (Tentang Standar Terhadap Selera).

Untuk mengatakan sebuah karya-seni memiliki kualitas-positif, seperti humor sebagai sebuah karya misalnya, adalah untuk memberi nilai-baik (memuji) sampai ke tingkat/batas tertentu, karena penilaian akan diimbangi oleh kualitas-lain yang dapat membuat karya itu tidak-baik secara keseluruhan atau sebagai kesatuan.

Lebih jauh lagi, Beardsley membela semua prinsip-prinsip-nya dengan cara yang jauh lebih rinci dari para pendahulunya pada abad ke-18 yaitu melalui analisis-historis yang panjang dan berliku terhadap kritik yang benar-benar dikemukakan dalam evaluasi sebuah karya-seni. Dia juga secara eksplisit, melakukan penolakan bahwa prinsip-prinsip-nya adalah satu-satunya kriteria-nilai, dengan memisahkan alasan-obyektif dari sesuatu yang disebutnya sebagai alasan-afektif dan alasan-genetik.

Kedua-jenis-alasan yang disebut di atas, masing-masing berkaitan dengan respons-penonton serta asal-seniman dan jaman-hidup-nya dan dia mempertahankan pandangan, jika kedua-jenis-alasan tersebut dipertimbangkan dalam penilaian, akan melibatkan kekeliruan-afektif atau kekeliruan-intensi. Pembedaan itu membuat Beardsley mampu untuk fokus pada karya-seni dan hubungan-hubungan representasional-nya, jika ada, ke objek-objek di dunia publik.

Melawan pendapat Beardsley, selama bertahun-tahun, Joseph Margolis mempertahankan pandangan relativisme-yang-kuat. Dia bermaksud mengatakan bahwa kecocokan, kemiripan, dan non-kognitivisme mencirikan apresiasi-seni, bukan kebenaran, universalitas, dan pengetahuan.

Dia membela pandangan ini dengan mempertimbangkan konsep-estetika, penilaian-kritis terhadap nilai, dan khususnya interpretasi-sastra, dengan mengatakan lebih-umum, bahwa karya-seni adalah entitas-yang-muncul-dari-budaya karena itu tidak dapat diakses secara langsung oleh setiap fakultas yang menyerupai persepsi-indra.

Perdebatan utama mengenai nilai-estetika, memang menyangkut masalah sosial-dan-politik, dan kemiripan dari sudut pandang yang berbeda yang tampaknya tak terelakkan . Pertanyaan utama menyangkut apakah ada kelas-istimewa, sebutlah mereka yang memiliki perhatian-terhadap-estetika, atau apakah sejumlah kepentingan mereka tidak memiliki tempat/sisi yang berbeda, karena dari perspektif-sosiologis, sebuah selera hanyalah satu di antara semua-selera lain-nya dalam ekonomi-demokrasi.

Sosiolog Arnold Hauser lebih memilih sudut pandang non-relativistik, dan siap memberikan rangkuman tingkatan-selera. Seni-tinggi mengalahkan seni-populer, kata Hauser, karena dua hal yaitu pentingnya-isinya, dan sifat-yang-lebih-kreatif-dari-bentuknya.

Sebaliknya Roger Taylor, menanggalkan sepenuhnya sudut pandang tingkatan-selera, menyatakan bahwa Aida dan The Sound of Music memiliki nilai-yang-sama bagi khalayak/penonton masing-masing. Dia membela pendapat ini dengan analisis-filosofis yang menyeluruh, menolak gagasan bahwa ada semacam-kebenaran yang berhubungan dengan sebuah realitas-eksternal, dengan orang-orang yang mampu mengakses kebenaran-itu memiliki sejumlah nilai-istimewa. Sebaliknya, menurut Taylor, hanya ada skema-konseptual yang berbeda, di dalamnya kebenaran diukur hanya dengan koherensi-internal terhadap skema itu sendiri.

Janet Wolff melihat perdebatan di atas lebih-tidak-terlibat didalamnya, dia secara khusus mempelajari secara rinci pertentangan antara Kant dan Bourdieu.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H3
Pemahaman Pribadi


Friday, November 24, 2017

Estetika 2 : Konsep Estetika


Sangatlah mengejutkan, abad ke-18 adalah waktu yang damai dan tenang, tetapi ini berubah menjadi jeda sebelum kemudian badai datang, karena keluar dari klasikisme yang tertata-rapi, berkembanglah romantisisme yang liar di dalam seni dan sastra, dan bahkan dalam revolusi-politik.

Konsep-estetika yang menjadi lebih dihargai dalam periode ini dikaitkan dengan hal-yang-sublim.

Hal-yang-sublim dapat dipahami keluar dari batasan-batasan, nyaris tidak-masuk-akal. Menurut Kant, hal-yang-sublim adalah suatu pertimbangan yang mengacu pada dirinya-sendiri. Artinya, subjek tidak memiliki kriteria untuk membandingkan-nya dengan yang lain namun hal-yang-sublim juga mempunyai nilai-universal.

Hal-yang-sublim harus selalu besar dan bersifat kolosal, tidak mengenal batas dan mengundang imajinasi atau melampaui-rasio.

Berhadapan dengan hal-yang-sublim, orang mengalami rasa kagum-dan-gentar. Rasa puas yang ditimbulkan-nya berbeda dengan keindahan, karena keindahan menimbulkan rasa-puas yang ceria-dan-ringan sedangkan hal-yang-sublim menimbulkan rasa-puas yang berat, dalam-dan-serius.

Hal-yang-sublim oleh Edmund Burke diteorikan dalam karyanya A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (Suatu Penyelidikan Filosofis terhadap Asal-Muasal Gagasan-Kita tentang Yang-Sublim dan Keindahan).

Menurut Burke, hal-yang-sublim lebih banyak berhubungan dengan rasa-sakit/kepedihan daripada kesenangan-murni, karena terlibatnya ancaman terhadap eksistensi-diri, seperti di lautan bebas yang buas dengan ombak tinggi, dan jalan-setapak di tengah padang-ilalang atau hutan semak yang sepi, dengan manusia berhati iblis dan nafsu yang dramatis, yang dipotret oleh para-seniman dan para-penulis. Tetapi di dalam situasi seperti itu, tentu saja, ini masih merupakan suatu "ketakutan-yang-menyenangkan (Delightful-Horror)" seperti yang dinilai Burke, karena seseorang terisolasi oleh fiksi dari karya yang menanyakan tentang bahaya-yang-sesungguhnya.

Sublim-dan-keindahan hanyalah dua di antara banyak istilah yang dapat digunakan untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman-estetika kita.

Untuk memulai menyebut yang lain, jelas ada juga kekonyolan-dan-kejelekan. Namun untuk mengenali kualitas yang lebih-baik lagi, tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan sesuatu-yang-mungkin baik-atau-cantik daripada mengerikan-atau-menyeramkan dan indah-atau-hebat daripada kotor-atau-busuk.

Frank Sibley menulis serangkaian artikel penting, dimulai pada tahun 1959, mempertahankan pandangan tentang konsep-konsep-estetika sebagai sebuah-keseluruhan. Dia mengatakan bahwa hal-hal-estetis tidak-diatur atau tidak-dalam-kondisi-yang-diatur, namun memerlukan bentuk-persepsi-yang-tinggi, yang bisa disebut selera, kepekaan, atau penilaian. Meskipun demikian analisis-lengkap-nya, mengandung aspek-lain, karena ia tidak hanya memperhatikan semacam-konsep yang telah disebutkan di atas, tapi juga dengan suatu-kelompok-lain yang memiliki suatu karakter-yang-agak-berbeda.

Cukup sering, bagi seseorang menggambarkan karya-seni, dengan menggunakan istilah yang berhubungan terutama dengan kehidupan-emosional dan kehidupan-mental manusia. Seseorang bisa menyebut sebuah karya itu gembira, melankolis, tenteram, cerdas, vulgar dan rendah-hati misalnya. Semua itu jelas terbukti bukanlah istilah estetika-murni, karena penggunaan-nya yang lebih-jauh (berlebihan), namun tetap relevan dengan banyak pengalaman-estetika.

Pendapat Sibley tentang konsep-estetika adalah disana tidak-ada-persyaratan yang memadai untuk penerapan-nya.

Pada banyak konsep, yang sering disebut konsep-tertutup, untuk mendapatkan hasil-penilaian adalah memerlukan syarat-yang-cukup-dan-memadai untuk penerapan-nya. Untuk menyebut seorang bujangan, misalnya, perlu syarat laki-laki dan belum-menikah, meski sudah memasuki usia-kawin dan ketiga-syarat ini cukup memadai untuk menerapkan konsep-bujangan kepada seseorang bahwa dia termasuk di dalam pengertian konsep-bujangan dan dapat disebut sebagai seorang bujangan.

Meskipun demikian, untuk konsep-lain yang disebut konsep-terbuka, tidak-ada-definisi semacam itu yang diberikan, meskipun demikian bagi konsep-estetika, Sibley menunjukan masih-terdapat beberapa syarat-yang-diperlukan, karena ada beberapa fakta dapat mengesampingkan penerapan-nya, misalnya norak, mencolok atau flamboyan (sifat yang cenderung menarik perhatian karena sikap percaya diri dan gaya berlebihan).

Oleh karena itu timbul pertanyaan :

Bagaimana kita melakukan penilaian-estetika jika tidak dengan memeriksa syarat-syarat yang memadai ?

Penjelasan Sibley adalah bahwa, ketika konsep-konsep itu bukanlah persepsi-murni sepenuhnya, hampir pasti itu hanyalah metafora. Dengan demikian, kita menyebut sebuah karya-seni sebagai dinamis-atau-sedih, seperti sebelum-sebelumnya, adalah dengan membandingan perilaku-manusia dengan kualitas -kulaitas tersebut.

Ahli teori lain, seperti Rudolph Arnheim dan Roger Scruton, memiliki pandangan serupa. Sesungguhnya Scruton, membedakan delapan jenis-konsep-estetika dan kita akan melihat beberapa dari yang lain di bawah ini.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H2
Pemahaman Pribadi



Friday, November 17, 2017

Salah


Apa ini !
Kencang, menekan
Sesak, meregang tegang
Ketengah, menarik narik !

Pergi saja !
Diam di sini !
Berangkat ?
Apa kaku di sini ?

Kau seru aku ?
Geram gumamku : Tak perlu !
Dengar !
Duduklah !

Yang bebas,
Bukankah kau ?

Samudra tenang !
Gemulai angin !


Melayang
Mengambang
Memandang
Di atas, sendiri !


Datanglah !
Kenapa ?
Ada di sana ?
Kau teriak : Salah !



Bekasi, 17 November 2017


Thursday, November 16, 2017

Estetika 1 : Pengantar


Estetika dapat didefinisikan secara-sempit sebagai teori-keindahan atau lebih-luas lagi sebagai filsafat-seni. Tradisi minat terhadap keindahan itu sendiri meluas pada abad ke-18 M dengan memasukkan sesuatu-yang-sublim, dan sejak tahun 1950 jumlah konsep-estetika-murni yang dibahas dalam literatur bahkan berkembang lebih-luas lagi.

Secara tradisi, filsafat-seni terkonsentrasi pada bahasan definisi-keindahan, namun akhir-akhir ini sudah tidak menjadi pusat perhatian-nya, analisis yang cermat terhadap aspek-seni sebagian besar telah menggantikan-nya.

Filsafat-estetika dalam tulisan ini dipusatkan pembahasan-nya kepada perkembangan pada masa akhir-akhir ini. Jadi, setelah melakukan penjelajahan terhadap gagasan-tentang-keindahan dan konsep-konsep yang terkait, pertanyaan tentang nilai-dari-pengalaman-estetika dan keragaman-perilaku-estetika juga akan dibahas, sebelum beralih ke hal-hal yang memisahkan seni dan estetika-murni terutama pada hadirnya-tujuan/intensi. Hal itu akan mengarah kepada sebuah penelusuran terhadap beberapa definisi-utama-seni yang telah dikemukakan, bersama dengan penjelasan periode de-definition baru-baru ini. Konsep ekspresi, representasi, dan sifat-objek-seni kemudian juga akan dibahas.

Apa yang bisa disebut bidang-lengkap-estetika adalah sangat luas. Bahkan sekarang terdapat ensiklopedia-empat-jilid yang dikhususkan untuk berbagai topik yang mungkin termasuk di dalamnya. Meskipun demikian masalah-inti dalam filsafat-estetika, saat ini sudah cukup banyak ditetapkan, lihat buku yang disunting oleh Dickie, Sclafani, dan Roblin, dan monograf oleh Sheppard, di antara banyak buku-buku lainnya.

Estetika dalam arti-sentral (definisi-keindahan) dikatakan telah dimulai pada awal abad ke-18 M, dengan serangkaian artikel The Pleasures of the Imagination yang oleh jurnalis Joseph Addison ditulis dalam edisi awal majalah The Spectator pada tahun 1712. Sebelum masa ini, pemikiran oleh tokoh-tokoh terkenal membuat sejumlah aktivitas yang terlibat ke dalam lapangan ini, misalnya dalam perumusan teori-umum proporsi-dan-harmoni, yang paling rinci terutama dalam bidang arsitektur dan musik. Namun perkembangan penuh lebih lanjut, refleksi-filosofis tentang estetika tidak lagi muncul sampai meluasnya aktivitas-rekreasi (bersenang-senang) di abad ke-18 M.

Sejauh ini, hingga menjelang akhir abad ke-18 M para teoritikus-awal yang paling lengkap dan berpengaruh adalah Immanuel Kant. Oleh karena itu pertama-tama, adalah penting untuk memiliki beberapa pengertian bagaimana Kant mendekati subjek-estetika.

Kritik terhadap gagasan-nya, dan alternatif-nya, akan disajikan kemudian di bagian awal tulisan ini, tapi melalui dia kita dapat menemukan beberapa konsep-kunci dalam subjek-estetika sebagai pengenalan.

Kant terkadang dianggap sebagai seorang formalis dalam teori-seni. Artinya, seseorang yang menganggap isi-sebuah-karya-seni bukanlah perhatian bahasan dari estetika. Namun itu hanyalah sebagian cerita. Yang pasti dia seorang formalis terhadap kenikmatan-murni-dari-alam, tapi bagi Kant sebagian besar seni itu tidak-nurni, karena melibatkan sebuah konsep.

Bahkan kenikmatan sebagai bagian-alam-pun tidak-murni, yaitu ketika sebuah konsep-dilibatkan, seperti ketika kita mengagumi kesempurnaan sebuah tubuh-binatang atau badan-manusia. Tetapi, misalnya, ketika kita melihat pola-abstrak-acak pada sejumlah dedaunan atau sebuah bidang-warna seperti pada bunga-poppy-liar atau matahari-terbenam, menurut Kant di sana tidak-hadir konsep semacam itu. Dalam kasus seperti itu, kemampuan-kognitif adalah bermain-secara-bebas.

Secara kodrati, seni kadang-kadang mampu mencapai kemunculan-kebebasan ini, itu kemudian disebut 'fine-art' (seni yang semata-mata untuk estetika) tetapi bagi Kant tidak-semua seni memiliki kualitas ini.

Secara keseluruhan, teori-tentang keindahan-murni dari Kant memiliki empat-aspek :
1. Kebebasan dari konsep
2. Objektivitas
3. Bebas-kepentingan
4. Kewajiban menarik-perhatian-penuh-dengan-ketiadaan-diri

Yang dimaksud dengan konsep bagi Kant berarti akhir atau tujuan yaitu penilaian oleh kemampuan-kognitif pemahaman-dan-imajinasi manusia yang diterapkan pada suatu objek.

Untuk mengambil sebuah contoh, misalnya seseorang yang melihat sebuah batu kecil berkata :

" Itu adalah sebuah kerikil. ".

Namun bila tidak-ada-konsep-tertentu yang terlibat, seperti halnya melihat kerikil-kerikil yang tersebar di pantai, kemampuan-kognitif dipertahankan dalam permainan-bebas dan saat inilah permainan-ini-harmonis sehingga ada-pengalaman terhadap keindahan-murni.

Menurut Kant, ada juga objektivitas-dan-universalitas dalam penilaian itu, karena kemampuan-kognitif adalah umum bagi semua-orang yang dapat menilai, misalnya, bahwa objek-individual adalah kerikil. Kemampuan-kognitif ini berfungsi sama, apakah mereka berasal dari penilaian-tertentu (konsep) atau dibiarkan dalam permainan-bebas, seperti saat menilai pola-kerikil di sepanjang garis pantai.

Namun, ini bukanlah dasar landasan-yang-wajib untuk penangkapan terhadap keindahan-murni. Menurut Kant, itu berasal dari ketiadaan-diri di dalam sebuah penangkapan, yang disebut pada abad ke-18 M sebagai bebas-kepentingan. Hal ini muncul karena keindahan-murni tidak-memuaskan kenikmatan kita secara indra (sensual). Juga tidak menimbulkan keinginan apapun untuk memiliki objek itu. Ini "menyenangkan" tentu saja, tetapi dengan sebuah cara penangkapan-intelektual yang berbeda.

Keindahan-murni, dengan kata lain, hanya memegang-penuh-perhatian-pikiran kita, yang berarti kita tidak memiliki perhatian lebih lanjut selain merenungkan-objek itu sendiri. Menangkap-objek dalam kasus seperti itu adalah tujuan itu sendiri. Ini bukan sarana untuk tujuan lebih jauh, dan di-nikmati-demi-dirinya-sendiri.

Karena moralitas mensyaratkan kita untuk menjunjung melampaui diri kita sehingga perilaku/sikap dalam perhatian-penuh-dengan-ketiadaan-diri menjadi sebuah kewajiban. Penilaian terhadap keindahan-murni, dengan-ketiadaan-diri memicu serta menarik seseorang ke dalam sudut pandang moral.

"Keindahan adalah simbol moralitas." dan "menikmati kenikmatan-alam adalah tanda jiwa yang baik." adalah kunci-ucapan Kant. Kenikmatan yang dibagi-bersama matahari terbenam atau pantai menunjukkan adanya harmoni-antara-kita-semua-dan-dunia.

Di antara gagasan ini, gagasan bebas-kepentingan memiliki banyak kualitas-umum yang diterima paling luas. Bahkan, Kant mengambilnya dari teori-teori abad ke-18 M sebelum ia mengemukakan teorinya, seperti dari filsuf-moral bernama Lord Shaftesbury, dan sejak itu, ini telah menarik banyak perhatian, misalnya baru-baru ini oleh sosiolog Prancis Pierre Bourdieu.

Jelas, dalam konteks ini bebas-kepentingan tidak berarti tidak-ada-kepentingan dan secara paradoks itu paling dekat dengan apa yang sekarang kita sebut kepentingan-kita adalah hal-hal-menyenangkan seperti hobi, melakukan perjalanan, dan olahraga seperti yang akan kita lihat di bawah ini. Tapi di abad-abad awal sebelumnya kepentingan-seseorang adalah keuntungan-seseorang, yang berarti kepentingan-pribadi, sehingga merupakan negasi dari apa yang berkaitan dengan estetika sampai etika.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H1
Pemahaman Pribadi



Tuesday, November 14, 2017

Aristoteles 7 : Seni Dan Puisi


Seni didefinisikan oleh Aristoteles sebagai realisasi dalam bentuk-eksternal dari sebuah hakekat-ide/gagasan, dan dapat ditelusuri kembali kepada sifat cinta-kepada-peniruan yang menjadi ciri manusia dan kepada kesenangan yang kita rasakan ketika mengenali kemiripan.

Namun, seni tidak terbatas hanya sekedar penyalinan/peniruan belaka. Seni membuat sifat menjadi ideal dan melengkapi kekurangannya. Seni berusaha menangkap tipe-universal dari suatu fenomena-individual.

Oleh karena itu perbedaan antara seni-puisi dan sejarah bukanlah bahwa yang satu menggunakan ukuran dan yang lainnya tidak. Perbedaannya adalah bahwa sementara sejarah terbatas pada apa yang sebenarnya terjadi, sedang puisi menggambarkan sesuatu dalam karakter-universal dari apa yang terjadi. Dan, oleh karena itu :

" Puisi lebih filosofis dan lebih tinggi daripada sejarah ".

Peniruan/penyalinan dapat me-representasi-kan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih buruk daripada umumnya, atau mungkin tidak-melampaui atau tidak-berada di bawah standar rata-rata-umum. komedi adalah peniruan dari contoh sifat kemanusiaan yang menjadi lebih buruk, namun dipahami bukan dalam arti keburukan-yang-mutlak, tapi hanya sejauh apa yang rendah dan yang tidak sadar masuk ke dalam sesuatu yang menggelikan dan lucu.

Tragedi, di sisi lain, adalah representasi sesuatu yang serius atau penuh-makna atau bulat atau final dan suatu tindakan-menjangkau yang kurang atau lebih, sebuah representasi yang dipengaruhi oleh tindakan dan bukan sekadar narasi.

Hal tersebut sesuai dengan penggambaran kejadian yang merangsang rasa takut dan kasihan dalam pikiran pengamat untuk membersihkan atau membuang perasaan-perasaan itu dan memperpanjang serta mengatur rasa simpati mereka. Dengan demikian, merupakan penyembuhan Homeopati terhadap nafsu (sebuah sistem pengobatan penyakit dimana orang yang sakit diberi zat-alami yang menghasilkan efek yang sama seperti yang dihasilkan oleh penyakit itu pada orang yang sehat).

Sepanjang seni membuat universal peristiwa-peristiwa khusus tertentu, tragedi dalam menggambarkan situasi yang penuh gairah dan kritis, membawa pengamat keluar dari sudut pandang egois dan individual dan memandangnya sehubungan dengan kebanyakan manusia pada umumnya.

Hal itu sejalan dengan penjelasan Aristoteles mengenai penggunaan musik Orgiastik dalam penyembahan Bacchas dan dewa-dewa lainnya. Ini memberi saluran keluar bagi semangat religius dan dengan demikian mengubah sentimen religius seseorang menjadi stabil.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H9
Pemahaman Pribadi



Friday, November 10, 2017

Aristoteles 6 : Politik


Aristoteles tidak menganggap Politik sebagai ilmu terpisah dari Etika, namun sebagai penyempurna, dan hampir merupakan pembuktian / verifikasi terhadap-nya.  

Moral-ideal dalam administrasi-politik hanyalah aspek yang berbeda dari moral yang juga berlaku untuk kebahagiaan-individu.

Manusia secara alamiah adalah makhluk-sosial, dan memiliki pendapat-rasional ( logos ) yang dengan sendirinya membawa kita mengarah kepada persatuan-sosial.

Negara merupakan perkembangan dari keluarga melalui masyarakat-desa, yang merupakan sebuah bentuk cabang-keluarga. Dibentuk pada awalnya untuk memenuhi kepuasan-kehendak-alamiah, yang kemudian keberadaan-nya / eksistensi-nya untuk mencapai tujuan-moral dan untuk meningkatkan kehidupan-yang-lebih-tinggi.  

Negara sesungguhnnya bukan hanya serikat-lokal untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak benar dan demi kenyamanan melakukan pertukaran / interaksi. Juga bukan-institusi-belaka untuk melindungi barang-barang dan kepemilikan harta benda. Negara adalah organisasi-hakekat-moral-sejati untuk memajukan perkembangan manusia.

Keluarga, yang secara kronologis ada sebelum Negara, melibatkan serangkaian hubungan antara suami-dan-istri, orang-tua-dan-anak, tuan-dan-budak.

Aristoteles menganggap budak sebagai bagian-dari-harta-hidup yang tidak memiliki eksistensi kecuali dalam hubungan-nya dengan tuan-nya. Perbudakan adalah institusi-alami karena merupakan sebuah aturan dan subjek-kelompok dalam masyaraktat yang saling terkait satu sama lain seperti jiwa ke tubuh. Namun, kita harus membedakan antara mereka yang adalah budak-secara-alami, dan mereka yang menjadi-budak hanya karena perang-dan-penaklukan.

Manajemen rumah tangga melibatkan perolehan-kekayaan, namun harus dibedakan dengan memperoleh-uang hanya untuk memenuhi kepentingan / kebutuhan diri. Kekayaan adalah segala sesuatu yang nilainya bisa diukur dengan uang, yang menyusun kekayaan merupakan kegunaan yang melebihi kepemilikan untuk pemakaian memenuhi kebutuhan hidup ( komoditas ).

Pertukaran-keuangan pertama kali melibatkan pertukaran-barang ( barter ). Namun, dengan adanya kesulitan penyebaran barang antar-negara yang luas dan terpisah satu sama lain, uang sebagai mata-uang kemudian muncul.

Pada awalnya uang hanyalah sejumlah logam dengan berat atau ukuran tertentu. Setelah itu mendapat cap untuk menandai jumlah-nya. Permintaan adalah standar nilai sebenarnya. Mata-uang, oleh karena itu hanyalah sebuah konvensi / kesepakatan yang mewakili permintaan. Uang berdiri / berada di antara produsen dan penerima-nya untuk menjamin keadilan ( fairness ). Riba adalah penggunaan uang yang tidak wajar dan tercela.

Kepemilikan bersama atas istri dan harta benda seperti yang digambarkan oleh Plato dalam karyanya Republik bersandar pada konsepsi-yang-salah terhadap masyarakat-politik. Sebab, Negara bukanlah kesatuan-yang-homogen, seperti yang diyakini Plato, melainkan terdiri dari unsur-unsur-yang-berbeda.

Pengelompokan konstitusi ( aturan dasar kehidupan bersama ) didasarkan pada fakta bahwa pemerintahan dapat dilaksanakan untuk mencapai pemerintah-yang-baik atau pengaturan-yang-baik, dan dapat dipusatkan hanya pada satu-orang atau dimiliki oleh beberapa-orang atau oleh banyak-orang.

Oleh karena itu, ada tiga-bentuk-pemerintahan yang sunguh-sungguh yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Republik-Konstitusional.  

Penyimpangan-bentuk dari tiga-pemerintahan ini adalah Tirani, Oligarki dan Demokrasi. Perbedaan antara dua yang terakhir bukanlah hanya Demokrasi adalah pemerintahan-oleh-yang-banyak dan Oligarki adalah pemerintahan-oleh-yang-sedikit tetapi juga Demokrasi adalah negara-orang-orang-tidak-punya dan Oligarki adalah negara-orang-orang-kaya.

Dipertimbangkan secara abstrak, ke-enam-bentuk-negara ini berada dalam urutan preferensi sebagai berikut : Monarki, Aristokrasi, Republik-Konstitusional, Demokrasi, Oligarki, Tirani.

Meskipun Monarki dengan orang-yang-sempurna akan menjadi bentuk-pemerintahan-tertinggi, tetapi tidak-ada-nya orang-semacam-itu membuat bentuk Monarki praktis tidak diperhitungkan.

Demikian pula, Aristokrasi-Sejati hampir tidak pernah ditemukan dalam bentuknya yang sempurna ( tidak rusak ).

Adalah dalam konstitusi bahwa orang-baik dan warga-negara-yang-baik menemukan titik-temu. Oleh karena itu, dengan mengesampingkan preferensi-ideal, Negara-Republik-Konstitusional dianggap sebagai bentuk pemerintahan-terbaik, terutama karena ia menjamin dominasi dari kelas-menengah-yang-besar, yang selalu menjadi dasar-utama dari bentuk-negara apapun agar terus bertahan ( permanen ).

Dengan penyebaran penduduk, Demokrasi tampaknya cenderung menjadi bentuk-pemerintahan-yang-umum.

Yang mana merupakan bentuk-negara-terbaik adalah pertanyaan yang tidak bisa langsung dijawab. Ras / bangsa yang berbeda cocok dengan bentuk-pemerintahan-yang-berbeda, dan pertanyaan yang sesuai untuk para-politisi bukanlah apa yang secara abstrak-merupakan-bentuk-negara-terbaik, tetapi apakah bentuk-negara-terbaik yang sesuai dengan kondisi yang ada.

Meskipun demikian, pada umumnya bentuk-negara-terbaik akan memungkinkan seseorang untuk bertindak sebaik mungkin dan hidup dengan cara yang paling membahagiakan.

Untuk melayani tujuan ini, Negara-ideal seharusnya tidak-terlalu-besar atau tidak-terlalu-kecil, tetapi cukup-bagi-dirinyaNegara-ideal harus menempati posisi yang menguntungkan pada daratan dan lautan dan terdiri dari warga yang diberi karunia dengan semangat-bangsa-bangsa-utara dan kecerdasan-bangsa-bangsa-asia.

Lebih jauh lagi, sebaiknya berhati-hati untuk menghindari pemerintahan dimana semua pihak terlibat dalam perdagangan dan komersialisasi. Negara-terbaik tidak hanya membuat para-pekerja menjadi seorang warga-negara, tetapi juga harus mendukung para-penganut-agama menjadi warga-negara, harus menjamin-moralitas melalui pengaruh pendidikan-hukum dan pelatihan-pelatihan awal.

Hukum, bagi Aristoteles adalah ungkapan-luar dari cita-cita-moral tanpa bias perasaan-subjektif-manusia, dengan demikian Negara tidak hanya kesepakatan atau konvensi belaka, tetapi sebuah kekuatan-moral perpanjangan dari semua-kebajikan.

Karena bersifat universal dalam karakternya, diperlukan modifikasi dan adaptasi terhadap bentuk-negara tertentu melalui prinsip-persamaan.

Pendidikan harus dipandu dengan undang-undang agar sesuai dengan hasil analisis psikologis, dan mengikuti perkembangan bertahap kemampuan-tubuh-dan-mental.

Anak-anak selama tahun-tahun awal mereka harus dipelihara / dijaga dengan hati-hati dari semua hubungan yang merugikan, dan diperkenalkan pada hiburan sebagai  persiapan mereka untuk tugas berat menjalani kehidupan.

Pendidikan-sastra mereka harus dimulai pada tahun ketujuh mereka, dan berlanjut hingga ke tahun kedua puluh satu mereka. Periode ini dibagi menjadi dua program pelatihan, satu dari usia tujuh sampai pubertas, dan yang lainnya dari masa pubertas sampai usia dua puluh satu tahun.

Pendidikan semacam itu seharusnya tidak diserahkan kepada perusahaan-perusahaan-swasta, namun harus dilakukan oleh Negara.

Ada empat cabang utama pendidikan yaitu membaca dan menulis, senam, musik, dan melukis. Mereka seharusnya tidak dipelajari untuk mencapai tujuan tertentu, namun dalam semangat-kebebasan yang menciptakan kebebasan-sejati. Jadi, misalnya, senam tidak boleh dikejar dengan secara eksklusif, atau akan menghasilkan tipe karakter biadab yang keras. Lukisan tidak harus dipelajari hanya untuk mencegah orang ditipu dengan gambar, tapi untuk membuat mereka memperhatikan keindahan fisik. Musik tidak boleh dipelajari hanya untuk hiburan, tapi juga untuk pengaruh moral yang diberikan pada perasaan.

Sesungguhnya semua pendidikan-sejati adalah, seperti yang dilihat Plato, yaitu sebuah pelatihan-untuk-simpati kita sehingga kita bisa mencintai-dan-membenci-dengan-cara-yang-benar.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H8
Pemahaman Pribadi


Thursday, November 9, 2017

Aristoteles 5 : Etika


Etika, seperti yang dipandang Aristoteles, adalah sebuah usaha untuk mencapai keutamaan-akhir atau kebaikan-tertinggi kita.

Sebuah-akhir yang dipertahankan dan diperjuangkan sebagai suatu-yang-benar-benar-terakhir.

Meskipun banyak tujuan-kehidupan hanya berarti untuk mencapai akhir-yang-lebih-jauh, aspirasi dan keinginan kita harus memiliki semacam tujuan-akhir.  

Keutamaan-akhir seperti itu secara universal disebut kebahagiaan.

Tetapi orang-orang mengartikan berbeda dengan mengungkapkan bahwa dirinya merasa perlu untuk mendiskusikan sifat-kebahagiaan ( makna-kebahagiaan ) bagi diri masing-masing.

Sebagai permulaan, kebahagiaan harus didasarkan pada sifat-manusiawi dan harus dimulai dari fakta-fakta-pengalaman-pribadi.

Dengan demikian, kebahagiaan tidak dapat ditemukan dalam pengertian abstrak atau ideal apa-pun, seperti pendapat kebaikan yang dikemukakan oleh Plato.

Kebahagiaan itu pasti sesuatu yang praktis-dan-manusiawi.

Yang kemudian, harus ditemukan dalam pekerjaan dan kehidupan-yang-unik pada manusia.

Tetapi kebahagiaan bukanlah kehidupan-vegetatif kita yang juga dimiliki tanaman atau kehidupan-sensitif kita yang juga dimiliki hewan.

Oleh karena itu, kebahagiaan-sejati terletak pada kehidupan-aktif-makhluk-rasional atau dalam realisasi-sempurna dan pengabdian-sejati dari jiwa dan hakekat-diri, yang terus berlanjut sepanjang masa.

Aristoteles memperluas gagasan tentang kebahagiaan melalui analisis jiwa-manusia yang membentuk dan menghidupkan organisme-hidup-manusia.

Bagian-bagian jiwa dibagi sebagai berikut:


------------------------------------------------------
                |  Kalkulatif - Kebajikan Intelektual
 Rasional-------------------------------------------
-----------  |  Apetitif    - Kebajikan Moral       
 Irrasional------------------------------------------
                |  Vegetatif  - Kebajikan Nutrisi       
------------------------------------------------------


Jiwa-manusia memiliki elemen-irasional yang juga dimiliki oleh hewan dan elemen-rasional yang membedakan manusia dengan organisme-hidup yang lain.

Elemen-irasional yang paling-primitif adalah fakultas-vegetatif yang bertanggung jawab terhadap nutrisi dan pertumbuhan. Organisme yang melakukan ini dengan baik dapat dikatakan memiliki kebajikan-nutrisi.  

Lapisan-kedua-jiwa adalah fakultas-hasrat yang bertanggung jawab terhadap emosi-dan-keinginan kita seperti sukacita, dukacita, harapan dan ketakutan. Fakultas-hasrat bersifat rasional-dan-irasional. Bersifat irasional karena bahkan hewan-pun mengalami keinginan-keinginan. Namun, juga bersifat rasional karena manusia memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengendalikan-keinginan dengan bantuan-akal. Kemampuan-manusia untuk mengendalikan-keinginan dengan benar disebut kebajikan-moral dan ini merupakan fokus-moralitas.

Aristoteles mencatat bahwa ada sebuah bagian rasional-murni pada jiwa, yang disebut fakultas-kalkulatif, yang bertanggung jawab atas kemampuan manusia untuk merenung, berpikir-logis, dan merumuskan-prinsip-prinsip-ilmiah. Penguasaan kemampuan ini disebut kebajikan-intelektual.

Aristoteles melanjutkan dengan membuat beberapa poin umum tentang sifat-kebajikan-moral misalnya kebajikan-mengatur-keinginan. Pertama, dia berpendapat bahwa kemampuan-untuk-mengatur-keinginan kita bukanlah naluriah atau instingtif, tetapi dipelajari dan merupakan hasil-pembelajaran-dan-praktik. Kedua, dia mencatat bahwa jika kita mengatur-keinginan kita terlalu-banyak atau terlalu-sedikit, maka kita akan menciptakan-masalah.

Sebagai analogi, Aristoteles berkomentar bahwa :

" Kelebihan atau kekurangan latihan senam berakibat fatal bagi kekuatan. "

Ketiga, dia berpendapat bahwa kebajikan-mengatur-keinginan adalah kualitas-karakter dan tidak dipahami sebagai emosi atau kemampuan-mental.

Inti penjelasan Aristoteles tentang kebajikan-moral adalah doktrinnya tentang jalan-tengah. Menurut doktrin ini, kebajikan-moral adalah kualitas-karakter untuk mengatur-keinginan agar berada di tengah-tengah antara kualitas-karakter yang lebih ekstrem atau sebaliknya. Misalnya, sebagai respons terhadap emosi-ketakutan-alamiah, kita harus mengembangkan kebajikan-karakter-keberanian. Jika kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-berlebihan dengan cara membatasi-ketakutan-terlalu-banyak, maka kita dikatakan sebagai gegabah-tanpa-perhitungan, yang merupakan suatu keburukan. Jika di sisi lain, kita mengembangkan kualitas-karakter-keberanian-yang-kurang dengan membatasi-ketakutan-terlalu-sedikit, maka kita dikatakan pengecut, yang juga merupakan keadaan sebaliknya. Kebajikan-keberanian, kemudian, terletak pada tengah-tengah antara kelebihan-ekstrem yaitu karakter-gegabah-tanpa-perhitungan dan kelemahan-ekstrem yaitu karakter-pengecut.  

Aristoteles dengan cepat menunjukkan bahwa kebajikan-jalan-tengah bukanlah jalan-tengah secara matematis yang ketat di antara dua ekstrem. Misalnya, jika mengkonsumsi 100 apel terlalu banyak, dan tidak memakan ( nol ) apel terlalu sedikit, ini tidak berarti bahwa kita harus makan 50 apel, yang merupakan tengah-tengah secara matematika.Sebaliknya, jalan-tengah tersebut ditentukan secara rasional, berdasarkan pada manfaat-relatif terhadap situasi yang ada. Artinya, ini adalah " sebagai orang bijak yang mengambil keputusan ". Dia menyimpulkan bahwa sulit menjalani kehidupan-yang-bajik terutama karena seringkali sulit untuk menemukan jalan-tengah di antara dua yang ekstrem.

Kebanyakan kebajikan-moral, dan bukan hanya keberanian, harus dipahami sebagai jatuh pada tengah-tengah di antara dua ekstrem-keburukan yang menyertainya.

Daftarnya dapat ditunjukkan oleh tabel berikut ini :




Keutamaan-kebajikan dari daftar diatas adalah pemikiran yang tinggi, sebagai semacam penghormatan-pada-diri-yang-ideal, yang dianggap sebagai mahkota dari semua kebajikan lainnya, yang bergantung pada eksistensi mereka, dan dengan sendirinya cenderung meningkatkan-kekuatan mereka.

Daftar ini tampaknya lebih merupakan deduksi dari rumusan daripada pernyataan fakta yang padanya formula itu sendiri didasarkan, dan Aristoteles menemukan bahasa yang sering kali tidak memadai untuk mengungkapkan keadaan kelebihan atau kekurangan yang melibatkan teorinya misalnya ketika membahas mengenai kebajikan dari ambisi.

Sepanjang daftar di atas, dia menekankan pada otonomi-kehendak sebagai hal yang sangat diperlukan untuk kebajikan. Keberanian misalnya hanya benar-benar layak saat dilakukan berdasar cinta pada kehormatan dan tugas, kemurahan-hati menjadi kekasaran ( ketidak-sopanan ) bila tidak dilakukan atas cinta pada apa yang benar-dan-indah, tetapi untuk menunjukan kekayaan.

Keadilan digunakan baik secara umum maupun dalam arti khusus. Secara pengertian umum, ini setara dengan ketaatan-hukum. Dengan demikian, hal itu adalah sama dengan kebajikan, berbeda hanya sejauh praktik kebajikan hanya bersifat abstrak, dan keadilan menerapkannya dalam berurusan dengan orang lain. Keadilan dalam arti khusus menampilkan diri dalam dua bentuk. Pertama, keadilan-distributif memberikan penghargaan dan imbalan sesuai dengan manfaat penerima. Kedua, keadilan-korektif tidak memperhitungkan posisi pihak-pihak yang terkait, namun hanya menjamin persamaan di antara keduanya dengan mengambil keuntungan dari yang beruntung dan menambahkannya pada pihak lain yang merugi. Sebenarnya, keadilan-distributif dan korektif lebih dari sekadar pembalasan dan timbal balik. Namun, dalam situasi nyata kehidupan masyarakat, pembalasan dan timbal balik adalah formula yang memadai ketika keadaan seperti itu melibatkan uang, tergantung pada hubungan antara produsen dan konsumen.

Karena keadilan-absolut bersifat abstrak, di dunia nyata itu harus dilengkapi dengan keadilan, yang mengoreksi dan memodifikasi hukum-hukum-keadilan di mana ia gagal. Dengan demikian, moralitas mensyaratkan standar yang tidak hanya mengatur kekurangan-keadilan-absolut tapi juga merupakan gagasan-kemajuan-moral. Gagasan tentang moralitas ini diberikan oleh fakultas-wawasan-moral.

Orang yang benar-benar-baik pada saat yang sama adalah orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna, dan orang yang memiliki wawasan-moral-sempurna juga adalah orang yang sangat baik.

Gagasan kita tentang tujuan-akhir dari tindakan-moral dikembangkan melalui kebiasaan-pengalaman, dan ini secara bertahap membingkai dengan sendirinya kepada persepsi-tertentu. Ini adalah tugas akal untuk menangkap dan mengatur persepsi-khusus ini. Namun, tindakan-moral tidak pernah merupakan hasil dari tindakan-pemahaman belaka, juga bukan akibat dari keinginan-sederhana yang memandang tujuan hanya sebagai hal-hal yang menghasilkan rasa-sakit atau kesenangan.

Kita mulai dengan konsepsi-rasional tentang sesuatu-yang-menguntungkan, namun konsepsi ini dalam dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan tanpa dorongan-alami yang memberinya kekuatan. Kehendak atau tujuan yang diimplikasikan oleh moralitas adalah akal yang dirangsang untuk bertindak berdasarkan keinginan, atau keinginan yang dipandu dan dikendalikan oleh pemahaman. Faktor-faktor ini kemudian memotivasi tindakan-yang-dikehendaki. Kebebasan-akan-kehendak adalah sebuah faktor yang disertai oleh adanya pilihan-baik dan pilihan-jahat. Tindakan-tidak-dikehendaki hanya terjadi jika orang lain memaksa-tindakan kita, atau jika kita tidak mengetahui pentingnya rincian dalam tindakan. Tindakan-bersifat-sukarela bila penyebab utama tindakan ( baik saleh atau kejam ) terletak dalam diri kita sendiri.

Kelemahan-moral dalam kehendak akan mengakibatkan seseorang melakukan sesuatu-yang-salah, hal ini berarti mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar, namun mengikuti keinginannya dengan melawan akal. Bagi Aristoteles, kondisi ini bukan mitos, seperti yang dianggap oleh Socrates. Masalahnya adalah konflik-prinsip-moral yang saling bertentangan.

Tindakan-moral dapat direpresentasikan sebagai silogisme di mana prinsip-moralitas-umum membentuk premis-pertama ( premis-mayor ), sedangkan aplikasinya secara khusus adalah premis-kedua ( premis-minor ). Meskipun demikian kesimpulan yang dicapai melalui spekulasi, tidak selalu dilakukan dalam praktik. Silogisme-moral bukan hanya masalah logika, tapi juga melibatkan dorongan-psikologis-dan-keinginan. Keinginan dapat menyebabkan premis-minor diterapkan oleh seseorang daripada premis-mayor yang lain, yang terdapat di dalam pikiran seorang pelaku. Hewan, di sisi lain, tidak dapat disebut memiliki kehendak-lemah atau tidak-mampu karena konflik-prinsip-moral semacam itu tidak mungkin terjadi pada hewan.

Kesenangan tidak diidentifikasikan dengan kebaikan. Kesenangan ditemukan dalam kesadaran terhadap tindakan-bebas-spontan. Ini adalah suatu pengalaman yang tidak terlihat, seperti pandangan, dan selalu hadir saat sebuah organ-sempurna beraksi terhadap objek-yang-sempurna. Sesuai dengan itu, kesenangan memiliki jenis yang berbeda-beda, bervariasi seiring dengan perbedaan nilai dari fungsi yang menjadi ekspresi mereka. Kesenangan pada akhirnya ditentukan oleh penghakiman/penilaian oleh orang-yang-baik.

Keutamaan-akhir kita adalah perkembangan sempurna dari hakekat-sifat diri kita. Dengan demikian, hal itu harus ditemukan secara khusus terutama dalam realisasi fakultas-tertinggi kita, yaitu akal. Inilah sebenarnya yang menyusun kepribadian kita, dan kita tidak akan mengejar hidup kita sendiri, tetapi kehidupan makhluk yang lebih rendah, jika kita mengikuti tujuan yang lain.

Sesuai dengan itu, cinta-diri-sendiri dapat dikatakan sebagai hukum-moral-tertinggi, karena meskipun cinta-diri-sendiri itu dapat dipahami sebagai semacam keegoisan yang memberikan sifat-rendah seseorang, juga dapat dan memang benar, merupakan cinta kepada suatu sifat-yang-lebih-tinggi dan rasional yang menyusun setiap hakekat-diri seseorang. Pemikiran kehidupan semacam itu selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu yang paling menyenangkan, paling mencukupi diri, paling kontinyu, dan paling sesuai dengan tujuan-tujuan kita. Hal ini juga yang paling mirip dengan kehidupan Tuhan : karena Tuhan tidak dapat dikonsepsikan/dipahami sebagai mempraktikkan kebajikan-moral-biasa dan karenanya harus menemukan kebahagiaan-Nya dalam kontemplasi.

Persahabatan adalah sebuah bantuan yang sangat diperlukan dalam membingkai/membentuk kehidupan-moral-yang-lebih-tinggi bagi diri kita. Jika persahabatan bukan merupakan sebuah kebajikan pada dirinya sendiri, setidaknya persahabatan berkaitan erat dengan kebajikan, dan persahabatan membuktikan dirinya melayani hampir di semua kondisi-eksistensi kita. Meskipun demikian, hasil seperti itu bukan berasal dari persahabatan untuk memperoleh manfaat-duniawi atau kesenangan-duniawi, tetapi hanya dari persahabatan yang didasarkan pada kebajikan. Sahabat-sejati sebenarnya adalah diri-kedua dan nilai-pertemanan-sejati dari persahabatan terletak pada kenyataan bahwa teman tersebut menyediakan cermin-tindakan-yang-baik bagi kita, dan dengan demikian meningkatkan kesadaran-dan-penghargaan kita terhadap kehidupan.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H7
Pemahaman Pribadi


Wednesday, November 1, 2017

Aristoteles 4 : Jiwa Dan Psikologi


Jiwa didefinisikan oleh Aristoteles sebagai ekspresi-sempurna atau realisasi dari suatu sifat-tubuh.

Dari definisi ini, dapat ditarik pengertian adanya hubungan erat antara keadaan-psikologis dan proses-fisiologis.

Tubuh-dan-jiwa disatukan dengan cara yang sama seperti lilin/tinta disatukan dengan impresi (kesan/pola) dari gambar-cetakan pada stempel ketika gambar-hasil-cetakan menempel pada kertas.

Para metafisikawan sebelum Aristoteles membahas jiwa secara abstrak tanpa memperhatikan lingkungan/keadaan tubuh.

Aristoteles meyakini hal ini sebagai sebuah kesalahan.

Pada saat yang sama, Aristoteles menganggap jiwa-dan-pikiran bukanlah produk dari kondisi-fisiologis-tubuh, namun sebagai hakekat-dari-tubuh yang berarti sebuah substansi yang hanya di dalam-nya kondisi-tubuh mendapatkan makna-sesungguhnya.

Jiwa me-manifestasi-kan aktivitas-nya pada fakultas atau bagian-tertentu yang sesuai dengan tahap perkembangan biologis, adalah fakultas-nutrisi khusus pada tumbuhan, fakultas-gerak khusus pada hewan, dan fakultas-penalaran khusus pada manusia.

Fakultas-fakultas ini menyerupai sifat matematis-angka di mana yang lebih tinggi/besar mencakup yang lebih rendah/kecil, dan harus dipahami tidak seperti bagian-fisik-aktual yang sesungguhnya, tetapi seperti aspek (sisi) cembung dan cekung yang kita bedakan pada satu-garis-lengkung.

Fakultas-penalaran (pikiran) tetap/terus berada dalam kondisi kesatuan dan hal ini absurd untuk dibahas, seperti yang dilakukan oleh Plato misalnya, ketika memperhatikan satu-bagian dan mengabaikan bagian-lain.

Indra-persepsi adalah sebuah fakultas yang menerima forma-forma dari suatu objek-luar yang kndependen (terlepas) dari materi yang menyusun objek itu, sama seperti lilin/tinta yang mengambil impresi (kesan/pola) dari gambar-cetakan pada stempel tanpa membawa emas atau logam lain sebagai bahan yang menyusun stempel itu.

Sebagai subjek dari impresi (kesan/pola), fakultas-persepsi melibatkan sebuah gerakan dan semacam perubahan-kualitatif.

Namun fakultas-persepsi tidaklah semata pasif atau reseptif terhadap afeksi.

Fakultas-persepsi selanjutnya melakukan aksi-aksi, dan membedakan antara kualitas-kualitas benda-benda-luar, menjadi sebuah gerakan-jiwa melalui medium-tubuh.

Objek-objek dari indra bisa berupa :

(1) Objek-khusus, misalnya warna adalah objek-khusus dari indra-penglihatan dan suara adalah objek-khusus dari indra-pendengaran.

(2) Objek-umum, adalah objek-pengindraan yang ditangkap oleh beberapa-indra-sekaligus dalam bentuk kombinasi misalnya gerak-atau-Gambar.

(3) Insidental atau inferensial misalnya ketika dari sensasi-langsung warna-putih kita dapat mengenal seseorang atau suatu-benda yang berwarna putih.

Ada lima indra-khusus.

Dari jumlah tersebut, indra-sentuh adalah yang paling mendasar, indra-pendengaran yang paling instruktif, dan indra-penglihatan yang paling mengagumkan/mengesankan.

Organ dari alat-alat-indra ini tidak pernah bertindak secara langsung, namun dipengaruhi oleh beberapa media misalnya udara.

Bahkan sentuhan, yang seolah terjadi melalui tindakan kontak-aktual, sebenarnya mungkin melibatkan beberapa kendaraan/perantara komunikasi.

Bagi Aristoteles, jantung adalah organ-indra-umum atau sentral.

Jantung mengenali kualitas-umum yang terlibat dalam semua sensasi-objek-kongkret.

Pertama, jantung adalah indra yang membawa kita kepada sebuah kesadaran-akan-sensasi.

Kedua, melalui satu aksi/tindakan di depan pikiran, jantung menangkap objek-objek-dari-pengetahuan-kita dan membuat kita mampu membedakan antara laporan-laporan dari indra yang berbeda-beda.

Aristoteles mendefinisikan imajinasi sebagai suatu gerakan yang dihasilkan sebuah sensasi-aktual.

Dengan kata lain, ini adalah proses di mana impresi (kesan/pola) pada indra dipotret/digambar dan dipertahankan di depan pikiran dan adalah sesuai dengan dasar-ingatan.

Gambar-gambar-representatif adalah yang menyediakan forma-forma dari materi-materi-pikiran.

Ilusi-dan-mimpi keduanya mirip karena sebuah kesan pada organ-indra yang serupa dengan yang disebabkan oleh kehadiran-aktual dari fenomena-yang-dapat-di-indra.

Memori (ingatan) didefinisikan sebagai kepemilikan permanen gambar-sensorik sebagai salinan yang merepresentasikan objek yang ditunjuk oleh gambar itu.

Pengumpulan atau pemanggilan kembali sisa memori (ingatan) ke dalam pikiran, bergantung pada hukum yang mengatur asosiasi-gagasan-gagasan kita.

Kita melacak asosiasi-asosiasi dengan mulai memikirkan objek yang disajikan pada kita, lalu mempertimbangkan apa yang serupa, bertentangan atau bersebelahan.

Pikiran adalah sumber dari prinsip-prinsip-pertama pengetahuan.

Pikiran dipertentangkan dengan indra sejauh sensasi-sensasi adalah dibatasi-dan-individual sedang pikiran adalah bebas-dan-universal.

Selain itu, sementara indra berkaitan dengan fenomena dari aspek-material-dan-konkret, pikiran berkaitan dengan aspek-abstrak-dan-ideal.

Tapi meskipun pikiran itu sendiri merupakan sumber gagasan-umum, tetapi hal itu hanya berupa potensi.

Karena, gagasan-umum itu sampai pada pikiran hanya dengan proses perkembangan/pembangunan di mana secara bertahap gagasan-umum itu memakai indra di dalam pikiran, dan menyatu dan menafsirkan presentasi-indra.

Kerja pikiran ini ketika memikirkan mengarah pada pertanyaan : Bagaimana pikiran-yang-immaterial bisa menerima benda-benda-material ?

Itu hanya mungkin berdasarkan adanya beberapa kesamaan-semu antara pikiran dan benda-benda.

Aristoteles mengenali pikiran-aktif yang menciptakan objek-pikiran.

Hal ini dibedakan dari pikiran-pasif yang menerima, menggabungkan dan membandingkan objek-objek-pikiran.

Pikiran-aktif membuat dunia yang dapat dipahami dengan akal-budi, dan menganugerahkan materi-materi-pengetahuan berupa gagasan atau kategori yang membuat mereka dapat diakses oleh pikiran.

Ini sama seperti matahari berkomunikasi dengan objek-material yang bersinar, tanpa ada warna tertentu yang tidak terlihat, dan penglihatan tidak akan mempunyai objek.

Oleh karena itu, pikiran terhadap jiwa manusia, Aristoteles menggambarkan-nya sebagai berasal dari luar, dan hampir tampaknya mengidentifikasinya dengan Tuhan sebagai pemikir-abadi yang hadir-dimana-mana.

Bahkan pada manusia, singkatnya, pikiran menyadari adanya suatu karakteristik-esensial dari pikiran-absolut yaitu kesatuan-pikiran sebagai subjek dengan pikiran-pikiran sebagai objek.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H6
Pemahaman Pribadi