Etika, seperti yang dipandang
Aristoteles, adalah sebuah usaha untuk mencapai
keutamaan-akhir atau
kebaikan-tertinggi kita.
Sebuah-akhir yang dipertahankan dan diperjuangkan sebagai
suatu-yang-benar-benar-terakhir.
Meskipun banyak
tujuan-kehidupan hanya berarti untuk mencapai
akhir-yang-lebih-jauh, aspirasi dan keinginan kita harus memiliki semacam
tujuan-akhir.
Keutamaan-akhir seperti itu secara
universal disebut
kebahagiaan.
Tetapi orang-orang mengartikan berbeda dengan mengungkapkan bahwa dirinya merasa perlu untuk mendiskusikan
sifat-kebahagiaan ( makna-kebahagiaan ) bagi diri masing-masing.
Sebagai permulaan,
kebahagiaan harus didasarkan pada
sifat-manusiawi dan harus dimulai dari
fakta-fakta-pengalaman-pribadi.
Dengan demikian,
kebahagiaan tidak dapat ditemukan dalam pengertian
abstrak atau
ideal apa-pun, seperti pendapat
kebaikan yang dikemukakan oleh
Plato.
Kebahagiaan itu pasti sesuatu yang
praktis-dan-manusiawi.
Yang kemudian, harus ditemukan dalam
pekerjaan dan
kehidupan-yang-unik pada manusia.
Tetapi
kebahagiaan bukanlah
kehidupan-vegetatif kita yang juga dimiliki
tanaman atau
kehidupan-sensitif kita yang juga dimiliki
hewan.
Oleh karena itu,
kebahagiaan-sejati terletak pada
kehidupan-aktif-makhluk-rasional atau dalam
realisasi-sempurna dan
pengabdian-sejati dari
jiwa dan
hakekat-diri, yang terus berlanjut sepanjang masa.
Aristoteles memperluas gagasan tentang
kebahagiaan melalui analisis
jiwa-manusia yang membentuk dan menghidupkan
organisme-hidup-manusia.
Bagian-bagian
jiwa dibagi sebagai berikut:
------------------------------------------------------
| Kalkulatif - Kebajikan Intelektual
Rasional-------------------------------------------
----------- | Apetitif - Kebajikan Moral
Irrasional------------------------------------------
| Vegetatif - Kebajikan Nutrisi
------------------------------------------------------
Jiwa-manusia memiliki
elemen-irasional yang juga dimiliki oleh
hewan dan
elemen-rasional yang membedakan
manusia dengan
organisme-hidup yang lain.
Elemen-irasional yang
paling-primitif adalah
fakultas-vegetatif yang bertanggung jawab terhadap
nutrisi dan
pertumbuhan. Organisme yang melakukan ini dengan baik dapat dikatakan memiliki
kebajikan-nutrisi.
Lapisan-kedua-jiwa adalah
fakultas-hasrat yang bertanggung jawab terhadap
emosi-dan-keinginan kita seperti sukacita, dukacita, harapan dan ketakutan.
Fakultas-hasrat bersifat
rasional-dan-irasional. Bersifat
irasional karena bahkan
hewan-pun mengalami
keinginan-keinginan. Namun, juga bersifat
rasional karena
manusia memiliki kemampuan yang berbeda untuk
mengendalikan-keinginan dengan
bantuan-akal.
Kemampuan-manusia untuk
mengendalikan-keinginan dengan
benar disebut
kebajikan-moral dan ini merupakan
fokus-moralitas.
Aristoteles mencatat bahwa ada sebuah bagian
rasional-murni pada
jiwa, yang disebut
fakultas-kalkulatif, yang bertanggung jawab atas kemampuan manusia untuk
merenung,
berpikir-logis, dan
merumuskan-prinsip-prinsip-ilmiah. Penguasaan kemampuan ini disebut
kebajikan-intelektual.
Aristoteles melanjutkan dengan membuat beberapa poin umum tentang
sifat-kebajikan-moral misalnya
kebajikan-mengatur-keinginan.
Pertama, dia berpendapat bahwa
kemampuan-untuk-mengatur-keinginan kita bukanlah
naluriah atau
instingtif, tetapi dipelajari dan merupakan
hasil-pembelajaran-dan-praktik.
Kedua, dia mencatat bahwa jika kita
mengatur-keinginan kita
terlalu-banyak atau
terlalu-sedikit, maka kita akan
menciptakan-masalah.
Sebagai analogi,
Aristoteles berkomentar bahwa :
" Kelebihan atau kekurangan latihan senam berakibat fatal bagi kekuatan. "
Ketiga, dia berpendapat bahwa
kebajikan-mengatur-keinginan adalah
kualitas-karakter dan tidak dipahami sebagai
emosi atau
kemampuan-mental.
Inti penjelasan
Aristoteles tentang
kebajikan-moral adalah doktrinnya tentang
jalan-tengah. Menurut doktrin ini,
kebajikan-moral adalah
kualitas-karakter untuk
mengatur-keinginan agar berada di
tengah-tengah antara
kualitas-karakter yang lebih ekstrem atau sebaliknya. Misalnya, sebagai respons terhadap
emosi-ketakutan-alamiah, kita harus mengembangkan
kebajikan-karakter-keberanian. Jika kita mengembangkan
kualitas-karakter-keberanian-yang-berlebihan dengan cara
membatasi-ketakutan-terlalu-banyak, maka kita dikatakan sebagai
gegabah-tanpa-perhitungan, yang merupakan suatu
keburukan. Jika di sisi lain, kita mengembangkan
kualitas-karakter-keberanian-yang-kurang dengan
membatasi-ketakutan-terlalu-sedikit, maka kita dikatakan
pengecut, yang juga merupakan keadaan sebaliknya.
Kebajikan-keberanian, kemudian, terletak pada
tengah-tengah antara
kelebihan-ekstrem yaitu
karakter-gegabah-tanpa-perhitungan dan
kelemahan-ekstrem yaitu
karakter-pengecut.
Aristoteles dengan cepat menunjukkan bahwa
kebajikan-jalan-tengah bukanlah
jalan-tengah secara matematis yang ketat di antara dua ekstrem. Misalnya, jika mengkonsumsi 100 apel terlalu banyak, dan tidak memakan ( nol ) apel terlalu sedikit, ini tidak berarti bahwa kita harus makan 50 apel, yang merupakan
tengah-tengah secara matematika.Sebaliknya,
jalan-tengah tersebut ditentukan secara
rasional, berdasarkan pada
manfaat-relatif terhadap situasi yang ada. Artinya, ini adalah
" sebagai orang bijak yang mengambil keputusan ". Dia menyimpulkan bahwa sulit menjalani
kehidupan-yang-bajik terutama karena seringkali sulit untuk menemukan
jalan-tengah di antara dua yang ekstrem.
Kebanyakan
kebajikan-moral, dan bukan hanya
keberanian, harus dipahami sebagai jatuh pada
tengah-tengah di antara dua
ekstrem-keburukan yang menyertainya.
Daftarnya dapat ditunjukkan oleh tabel berikut ini :
Keutamaan-kebajikan dari daftar diatas adalah pemikiran yang tinggi, sebagai semacam
penghormatan-pada-diri-yang-ideal, yang dianggap sebagai
mahkota dari semua
kebajikan lainnya, yang bergantung pada
eksistensi mereka, dan dengan sendirinya cenderung
meningkatkan-kekuatan mereka.
Daftar ini tampaknya lebih merupakan deduksi dari rumusan daripada pernyataan fakta yang padanya formula itu sendiri didasarkan, dan
Aristoteles menemukan bahasa yang sering kali tidak memadai untuk mengungkapkan keadaan
kelebihan atau
kekurangan yang melibatkan teorinya misalnya ketika membahas mengenai
kebajikan dari
ambisi.
Sepanjang daftar di atas, dia menekankan pada
otonomi-kehendak sebagai hal yang sangat diperlukan untuk
kebajikan.
Keberanian misalnya hanya benar-benar layak saat dilakukan berdasar
cinta pada
kehormatan dan
tugas, kemurahan-hati menjadi
kekasaran ( ketidak-sopanan ) bila tidak dilakukan atas
cinta pada apa yang
benar-dan-indah, tetapi untuk menunjukan
kekayaan.
Keadilan digunakan baik secara umum maupun dalam arti khusus. Secara pengertian umum, ini setara dengan
ketaatan-hukum. Dengan demikian, hal itu adalah sama dengan
kebajikan, berbeda hanya sejauh praktik
kebajikan hanya bersifat
abstrak, dan
keadilan menerapkannya dalam berurusan dengan orang lain.
Keadilan dalam arti khusus menampilkan diri dalam dua bentuk.
Pertama,
keadilan-distributif memberikan
penghargaan dan
imbalan sesuai dengan manfaat penerima.
Kedua,
keadilan-korektif tidak memperhitungkan posisi pihak-pihak yang terkait, namun hanya menjamin persamaan di antara keduanya dengan mengambil keuntungan dari yang beruntung dan menambahkannya pada pihak lain yang merugi. Sebenarnya,
keadilan-distributif dan
korektif lebih dari sekadar pembalasan dan timbal balik. Namun, dalam situasi nyata kehidupan masyarakat, pembalasan dan timbal balik adalah formula yang memadai ketika keadaan seperti itu melibatkan uang, tergantung pada hubungan antara produsen dan konsumen.
Karena
keadilan-absolut bersifat
abstrak, di dunia nyata itu harus dilengkapi dengan
keadilan, yang mengoreksi dan memodifikasi
hukum-hukum-keadilan di mana ia gagal. Dengan demikian,
moralitas mensyaratkan standar yang tidak hanya mengatur
kekurangan-keadilan-absolut tapi juga merupakan
gagasan-kemajuan-moral. Gagasan tentang
moralitas ini diberikan oleh
fakultas-wawasan-moral.
Orang yang
benar-benar-baik pada saat yang sama adalah orang yang memiliki
wawasan-moral-sempurna, dan orang yang memiliki
wawasan-moral-sempurna juga adalah orang yang sangat baik.
Gagasan kita tentang
tujuan-akhir dari
tindakan-moral dikembangkan melalui
kebiasaan-pengalaman, dan ini secara bertahap membingkai dengan sendirinya kepada
persepsi-tertentu. Ini adalah tugas
akal untuk menangkap dan mengatur
persepsi-khusus ini. Namun,
tindakan-moral tidak pernah merupakan hasil dari
tindakan-pemahaman belaka, juga bukan akibat dari
keinginan-sederhana yang memandang
tujuan hanya sebagai hal-hal yang menghasilkan
rasa-sakit atau
kesenangan.
Kita mulai dengan
konsepsi-rasional tentang
sesuatu-yang-menguntungkan, namun
konsepsi ini dalam dirinya sendiri tidak mempunyai
kekuatan tanpa
dorongan-alami yang memberinya
kekuatan.
Kehendak atau
tujuan yang diimplikasikan oleh
moralitas adalah
akal yang dirangsang untuk bertindak berdasarkan
keinginan, atau
keinginan yang dipandu dan dikendalikan oleh
pemahaman. Faktor-faktor ini kemudian memotivasi
tindakan-yang-dikehendaki.
Kebebasan-akan-kehendak adalah sebuah faktor yang disertai oleh adanya
pilihan-baik dan
pilihan-jahat.
Tindakan-tidak-dikehendaki hanya terjadi jika orang lain
memaksa-tindakan kita, atau jika kita tidak mengetahui pentingnya rincian dalam tindakan.
Tindakan-bersifat-sukarela bila penyebab utama tindakan ( baik saleh atau kejam ) terletak dalam diri kita sendiri.
Kelemahan-moral dalam
kehendak akan mengakibatkan seseorang melakukan
sesuatu-yang-salah, hal ini berarti mengetahui bahwa sesuatu itu adalah
benar, namun mengikuti
keinginannya dengan melawan
akal. Bagi
Aristoteles, kondisi ini bukan
mitos, seperti yang dianggap oleh
Socrates. Masalahnya adalah
konflik-prinsip-moral yang saling bertentangan.
Tindakan-moral dapat direpresentasikan sebagai
silogisme di mana
prinsip-moralitas-umum membentuk
premis-pertama ( premis-mayor ), sedangkan aplikasinya secara khusus adalah
premis-kedua ( premis-minor ). Meskipun demikian
kesimpulan yang dicapai melalui spekulasi, tidak selalu dilakukan dalam praktik.
Silogisme-moral bukan hanya masalah
logika, tapi juga melibatkan
dorongan-psikologis-dan-keinginan.
Keinginan dapat menyebabkan
premis-minor diterapkan oleh seseorang daripada
premis-mayor yang lain, yang terdapat di dalam pikiran seorang pelaku.
Hewan, di sisi lain, tidak dapat disebut memiliki
kehendak-lemah atau
tidak-mampu karena
konflik-prinsip-moral semacam itu tidak mungkin terjadi pada hewan.
Kesenangan tidak diidentifikasikan dengan
kebaikan.
Kesenangan ditemukan dalam
kesadaran terhadap
tindakan-bebas-spontan. Ini adalah suatu pengalaman yang tidak terlihat, seperti pandangan, dan selalu hadir saat sebuah
organ-sempurna beraksi terhadap
objek-yang-sempurna. Sesuai dengan itu,
kesenangan memiliki jenis yang berbeda-beda, bervariasi seiring dengan perbedaan nilai dari fungsi yang menjadi ekspresi mereka.
Kesenangan pada akhirnya ditentukan oleh
penghakiman/penilaian oleh orang-yang-baik.
Keutamaan-akhir kita adalah perkembangan sempurna dari
hakekat-sifat diri kita. Dengan demikian, hal itu harus ditemukan secara khusus terutama dalam realisasi
fakultas-tertinggi kita, yaitu
akal. Inilah sebenarnya yang menyusun
kepribadian kita, dan kita tidak akan mengejar hidup kita sendiri, tetapi kehidupan makhluk yang lebih rendah, jika kita mengikuti
tujuan yang lain.
Sesuai dengan itu,
cinta-diri-sendiri dapat dikatakan sebagai
hukum-moral-tertinggi, karena meskipun
cinta-diri-sendiri itu dapat dipahami sebagai semacam
keegoisan yang memberikan
sifat-rendah seseorang, juga dapat dan memang benar, merupakan
cinta kepada suatu
sifat-yang-lebih-tinggi dan
rasional yang menyusun setiap
hakekat-diri seseorang. Pemikiran kehidupan semacam itu selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu yang paling menyenangkan, paling mencukupi diri, paling kontinyu, dan paling sesuai dengan
tujuan-tujuan kita. Hal ini juga yang paling mirip dengan kehidupan
Tuhan : karena
Tuhan tidak dapat dikonsepsikan/dipahami sebagai mempraktikkan
kebajikan-moral-biasa dan karenanya harus menemukan
kebahagiaan-Nya dalam
kontemplasi.
Persahabatan adalah sebuah bantuan yang sangat diperlukan dalam membingkai/membentuk
kehidupan-moral-yang-lebih-tinggi bagi diri kita. Jika
persahabatan bukan merupakan sebuah
kebajikan pada dirinya sendiri, setidaknya
persahabatan berkaitan erat dengan
kebajikan, dan
persahabatan membuktikan dirinya melayani hampir di semua
kondisi-eksistensi kita. Meskipun demikian, hasil seperti itu bukan berasal dari
persahabatan untuk memperoleh
manfaat-duniawi atau
kesenangan-duniawi, tetapi hanya dari
persahabatan yang didasarkan pada
kebajikan.
Sahabat-sejati sebenarnya adalah
diri-kedua dan
nilai-pertemanan-sejati dari
persahabatan terletak pada kenyataan bahwa teman tersebut menyediakan
cermin-tindakan-yang-baik bagi kita, dan dengan demikian meningkatkan
kesadaran-dan-penghargaan kita terhadap kehidupan.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H7
Pemahaman Pribadi