Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, December 26, 2019

Bersamamu


Dengarkah ?
Batu batu teriak memekak
Ya, kakimu ! kakiku !
Menginjak seraya tergelak

Ringan, mata memaling muka
Sekuat nyali melolong tinggi
Ceria hati tega berlalu
Kita, terlalu bahagia !

Terganggukah ?
Berisik kerikil, keruh mengaduh
Berserak serak marah !
Mengamuk geram !

Nyatanya
Kita beralih ke bunga !
Berlimpah warna, ucapmu malu
Lembut mendekap, menarik syahdu

Heii, kupu indah ! kejutmu lalu
Nyaris berlari kita memburu
Riang derap tawa dipacu

Berebut tangan, merengkuh rindu

Perdulikah ?
Desir pasir meratap perih
Berhambur iba, meruntuh pedih
Sedih bersimpuh, merintih lirih

Akhh ! rupa kita berpura tuli
Berkali pula batin membuta

Cukuplah berdua, bisikmu gila !
Di bawah sana, biarlah merana !



Bekasi, 29 Desember 2019




Wednesday, December 18, 2019

Mereka


Pada awalnya pagi,

Menatap puncak, menjulang di ketinggian sana
Cemas berkerumun
Di belakang, keras orang orang berbisik
Senyum ramah, mengiris sinis

Berdirilah, membusung dada
Setapak demi setapak terseok
Melangkah, merambat
Mendaki tiada henti

Terpeleset, terpelanting,
Terluka sendiri..
Jatuh, menurun berulang kali
Riuh girang, mereka bergelak tawa !

Pada akhir, sore menjelang
Remang di puncak, sepi sendirian

Diam..
Sekuntum bunga kupetik

Tegap, menatap jauh ke bawah sana
Orang orang saling bertepuk tangan
Riang berloncatan, berdekapan
Mereka terus tertawa !

Bisu..
Sejenak sunyi mengisi

Lantang teriakan lalu menggema
Terimalah bunga ini !
Buat kalian !
Tangan ini melempar begitu saja

Pulanglah, teruslah bahagia !
Bawa serta anak istri kalian bahagia !


Bekasi, 19 desember 2019


Friday, October 11, 2019

Objektivitas 6 : Teori-Teori Filosofis Utama Tentang Realitas Objektif Dalam Sejarah Filsafat


Setiap kajian-serius apapun mengenai sifat-objektivitas dan pengetahuan-objektif seharusnya menelaah pendirian-pendapat metafisis dan epistemologis yang berpusat pada filsuf-filsuf utama dalam sejarah-filsafat, begitu juga kontribusi-kontribusi pendapat dari para pemikir akhir-akhir ini. Penjelasan-umum yang sangat singkat berikut ini seharusnya memberi gagasan darimana dapat memulai suatu kajian.

Plato sangat terkenal untuk suatu pandangan pemisahan realitas-objektif. Secara kasar ia menyatakan bahwa realitas-tertinggi bukanlah pada objek-benda-benda-biasa yang dapat di-indra dan berada di sekitar kita tetapi 'apa' yang berada di dalam dunia yang disebut dunia 'forma-forma' atau 'ideas' (istilah yunani yang dipakai Plato mirip dengan kata 'idea' tetapi lebih baik menyebutnya 'forma' karena yang dimaksud bukanlah 'ide-ide' yang hanya berada di dalam pikiran-saja seperti pada pemakaian modern terhadap kata 'idea'). Menurut Plato objek-benda-biasa yang kita alami melalui indra adalah nyata tetapi 'forma' adalah suatu realitas-yang-lebih-tinggi. Dapat dikatakan, realitas-tertinggi itulah satu-satunya realitas yang benar-benar objektif.

Forma-forma paling-sederhana digambarkan sebagai esensi-murni dari benda-benda atau penentu karakteristik-karakteristik dari benda-benda. Kita bisa melihat bermacam kursi disekitar kita tetapi 'esensi-apa' yang menjadikan sebuah-kursi seperti adanya adalah 'forma-kursi'. Begitu juga kita melihat banyak benda-benda yang indah disekitar kita, tetapi 'forma-keindahan' adalah 'apa' yang menjadikan benda-benda itu indah. Secara sederhana, 'forma' hanyalah 'apapun' yang menentukan benda-benda menjadi indah yang keberadaannya terpisah dari benda-benda itu sendiri dan semua-benda-lainnya.

Selaras dengan pengertian di atas, dalam epistemologi Plato membedakan pengetahuan-tertinggi sebagai pengetahuan tentang realitas-tertinggi yaitu pengetahuan tentang 'forma-forma'. Pemakaian modern kita pada istilah realitas-objektif dan pengetahuan-objektif tampak sangat masuk-akal sesuai dengan pengertian ini.

Sebaliknya Aristoteles meng-identifikasi-kan benda-benda-biasa di sekitar kita yang dapat diindra sebagai realitas-yang-paling-objektif. Ia menyebutnya 'substansi-primer'. 'Forma-forma' yang melekat/ada pada benda-benda itu ia menyebutnya 'substansi-sekunder'. Oleh karenanya, metafisika Aristoteles lebih cocok daripada pendapat Plato dengan pengertian kita sekarang ini mengenai realitas-objektif, tetapi pandangannya tentang pengetahuan-objektif berbeda dalam beberapa hal. Baginya pengetahuan-objektif adalah pengetahuan tentang 'forma-forma' atau esensi-esensi dari benda-benda. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual secara objektif tetapi tidak-sempurna. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual hanya selama terjadi kontak-perseptual dengan benda-benda-itu, tetapi kita dapat mengetahui 'forma-forma' secara sempurna atau tidak-dibatasi-waktu.

Descartes terkenal menekankan bahwa realitas-subjektif lebih diketahui daripada realitas-objektif, namun pengetahuan realitas-objektif tentang eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir nyaris menjadi dasar atau dasar-sesungguhnya sebagai pengetahuan realitas-subjektif pada seseorang tentang pikiran-yang-memikirkan-eksistensi-dirinya-sendiri. Bagi Descartes pengetahuan tampaknya diawali dari pengetahuan yang langsung dan pasti dalam kondisi-kondisi subjektif dan berlanjut menuju pengetahuan tentang eksistensi-objektif-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Cogito, ergo sum adalah menyatakan pengetahuan ini. Semua pengetahuan tentang realitas selain eksistensi-dirinya-sendiri pada akhirnya bersandar pada pengetahuan-langsung ini mengenai eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Eksistensi seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir adalah sebuah eksistensi-objektif, tetapi tampaknya Descartes menyimpulkan eksistensi-ini dari realitas-subjektif dari pemikiran-terhadap-dirinya-sendiri. Namun demikian penafsiran yang tepat terhadap perkataannya yang terkenal itu masih menjadi masalah kontroversi, dan mungkin tidak akan mengungkapkan kesimpulan sama sekali.

Kita telah meninjau beberapa pernyataan John Locke yang paling berpengaruh tentang sifat-realitas-objektif. Filsuf dan pendeta Geroge Barkeley mengikuti empirisme dari Locke dalam epistemologi, tetapi mengajukan pandangan yang berbeda mengenai realitas. Idealisme Barkeley menyatakan bahwa realitas-realitas yang ada hanyalah pikiran/jiwa dan isi-pikiran/konten-mental, meski demikian dia juga mempunyai sebuah konsep tentang realitas-objektif. Sebuah meja sebagai contoh, ada secara objektif di dalam pikiran Tuhan. Tuhan menciptakan realitas-objektif dengan memikirkan meja-itu dan mempertahankan realitas-objektif apapun, seperti meja-itu, hanya selama Dia terus memikirkan meja-itu. Dengan demikian meja-itu ada secara objektif bagi kita bukan hanya sebagai persepsi-persepsi-sekejap (sementara) tetapi sebagai sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin terhadapnya. Pengalaman partikular saya mengenai meja-itu pada saat ini adalah sebuah realitas-subjektif, tetapi meja-itu sebagai realitas-objektif dalam pikiran Tuhan berarti sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin kepadanya. Barkeley menegaskan tidak perlu untuk membuat postulat suatu substansi-fisik yang mendasari semua pengalaman-pengalaman itu menjadi realitas-objektif dari meja-itu. Sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman yang mungkin sudah cukup memadai.

Kita telah meninjau secara singkat pendapat Kant mengenai sifat-realitas-objektif, filsuf-filsuf yang lebih baru melanjutkan pembahasan ini dari banyak arah, beberapa menolak objektivitas secara-keseluruhan. Pembahasan detail tentang perkembangan ini berada di luar wilayah esai ini, tetapi pembaca yang tertarik seharusnya menyelidiki secara khusus Idealisme dari Hegel begitu juga aliran-aliran pemikiran selanjutnya seperti fenomenologi, eksistensialisme, logika positivisme, pragmatisme, dekonstruksionisme, dan post-modernisme. Filsafat pikiran, secara alami, juga terus-menerus menghadapi pertanyaan mendasar tentang subjektivitas dan objektivitas.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H5
Pemahaman Pribadi



Sunday, October 6, 2019

Objektivitas 5 : Objektivitas dalam Etika


a. Seorang-Manusia Berbeda dengan Objek-Benda

Pertama, sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia baik sebagai subjek (yang memiliki pengalaman-subjektif) juga sebagai objek di dalam realitas-objektif berhubungan dengan salah satu teori-etika tertinggi dalam sejarah filsafat.

Etika Immanuel Kant memberi tempat yang sangat-penting untuk menghormati seorang-manusia. Salah satu rumusan yang sangat berpengaruh dari Kant disebut Imperatif-Kategoris terkait dengan sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia.

Versi etika Kant menuntut bahwa seorang-manusia harus/wajib memperlakukan kemanusiaan, dalam dirinya-sendiri dan orang lain, tidak-pernah hanya sebagai sebuah alat, tetapi pada-saat-yang-sama sekaligus menjadi sebuah tujuan. (Groundwork, p.96)

Terhadap benda-benda yang 'hanya-objek-semata' (tidak mempunyai subjektivitas dalam dirinya), seseorang dapat memperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan, sebagai contoh seseorang dapat menggunakan sepotong-kayu, hanya sebagai alat untuk memperbaiki atau membuat suatu pagar.

Sebaliknya menurut Kant, seorang-manusia bukanlah 'hanya-objek-semata'. Seorang-manusia ditandai oleh subjektivitas, sebagai sesuatu yang memiliki sudut-pandang-subjektif dan mempunyai status-moral-khusus. Setiap seorang-manusia harus dihargai sebagai sebuah tujuan, yaitu sebagai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai-intrisik. Tampaklah bahwa nilai-nilai-inheren pada diri seorang-manusia secara mendasar bergantung pada fakta bahwa seseorang memiliki suatu kehidupan kesadaran-subjektif disamping keberadaan-objektif-nya.

Perbedaan etis ini memunculkan sebuah aspek terhadap istilah 'objek' sebagai 'hanya-objek-semata', yang dilawankan dengan aspek 'subjektivitas' pada diri seorang-manusia. Istilah objektivitas dalam kontek ini hanya menandai sifat 'keobjekan' yang melekat pada status-moral-nya.

Disamping kesepakatan-yang-diterima-luas bahwa menjadi seorang-manusia dengan sudut-pandang-subjektif memiliki status-moral-khusus, terdapat sebuah kesulitan umum untuk menjelaskan apakah dugaan-fakta ini, seperti juga semua dugaan-fakta-fakta-moral, adalah sebuah fakta-objektif dari sudut pandang pengertian apapun. Juga adalah sulit, bagaimana untuk menjelaskan seseorang dapat mengetahui kebenaran-kebenaran-moral, jika moralitas itu benar-benar bersifat objektif.


b. Objektivisme, Subjektivisme dan Non-Kognitivisme

Teori-teori filosofis tentang sifat-moralitas secara umum dibagi kedalam pernyataan bahwa kebenaran-moral mengekspresikan kondisi-kondisi-subjektif dan kebenaran-moral mengekspresikan fakta-fakta-objektif yang dianalogikan dengan fakta, misalnya fakta bahwa matahari memiliki massa yang kebih besar daripada bumi.

Sehingga disebut teori-subjektivis ketika memandang pernyataan-moral sebagai sebuah deklarasi bahwa telah menggenggam/menemukan fakta-fakta tertentu, tetapi fakta-fakta yang diekspresikan adalah fakta-fakta tentang suatu kondisi-subjektif yang dimiliki seorang-manusia.

Sebagai contoh, pernyataan moral :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu memberikan bantuan."

Bagi para penganut teori-subjektivis hanyalah berarti sesuatu seperti :

"Saya menilai itu adalah tindakan-serangan karena ada rasa permusuhan/kebencian dalam diri seseorang ketika seseorang mengabaikan orang-lain yang sedang menderita."

Itu adalah sebuah pernyataan terkait dengan persepsi-persepsi pada subjek terhadap sebuah objek (orang yang bertindak), bukan mengenai objek itu sendiri (yaitu tindakan-pengabaian terhadap seseorang yang menderita)

Sebaliknya teori-objektivis, terhadap pernyataan diatas akan dinyatakan dengan :

"Adalah salah melakukan tindakan-pengabaian..."

Sebagai sebuah pernyataan suatu fakta mengenai tindakan-pengabaian itu sendiri.

Teori-teori-subjektivis juga tidak memandang pernyataan-moral sebagai pernyataan-pernyataan mengenai suatu persepsi-persepsi atau perasaan-perasaan pada subjek-tunggal.

Sebagai contoh, seorang subjektivis dapat memandang pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral)."

Semata-mata hanya menyatakan perasaan-kebencian (ketidak-sukaan) dari sejumlah anggota dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya tertentu, atau diantara sejumlah orang-orang secara umum.

Selain objektivisme dan subjektivisme teori besar ketiga tentang moralitas disebut non-kognitivisme menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral tidaklah memuat pendapat apapun tentang realitas apapun baik subjektif atau objektif.

Pendekatan ini menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral hanyalah ekspresi-ekspresi dari perasaan-perasaan-subjektif yang tidak melaporkan (memberi informasi) mengenai adanya perasaan-perasaan semacam itu.

Sehingga pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral) ekivalen dengan mengeluh atau berkata "uuggh.." pada saat memikirkan penyiksaan daripada menggambarkan perasaan-perasaan kebencian yang ada dalam diri-anda kepada tindakan-penyiksaan.


c. Teori-Teori Objektivis

Diantara banyak teori-teori objektivis tentang moralitas, versi yang paling-langsung menunjuk pada pokok persoalan menyatakan bahwa moralitas adalah fakta-objektif, sebagai contoh pernyataan moral berikut :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu membantunya."

Jenis teori-objektivis akan menyatakan bahwa kesalahan-perilaku semacam itu merupakan bagian dari realitas-objektif yang sama dengan "Matahari mempunyai massa yang lebih-besar dari pada bumi." adalah bagian dari realitas-objektif.

Kedua fakta tersebut dipegang dengan mengabaikan apakah ada-suatu-kesadaran yang pernah/dapat mengetahui masing-masing fakta itu.

Teori-teori objektivis yang lain tentang moralitas berusaha untuk menjelaskan bermacam perasaan (yang sangat luas) bahwa terdapat suatu perbedaan penting antara pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan deskriptif faktual sambil mempertahankan bahwa kedua jenis pernyataan itu adalah berkenaan dengan sesuatu selain hanya kondisi-kondisi subjektif semata.

Teori-teori semacam itu membandingkan pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan mengenai kualitas-sekunder pada benda.

Menyatakan bahwa sebuah objek tertentu berwarna hijau bukanlah pernyataan yang hanya berkenaan dengan suatu kondisi-kondisi subjektif yang dimiliki seseorang.

Pernyataan tersebut membuat suatu penegasan tentang bagaimana suatu-objek ada di dunia, tetapi pernyataan itu merupakan suatu pernyataan yang hanya-dapat dirumuskan dengan kondisi subjek-yang-mempersepsi berada pada kondisi-yang-tepat (mata yang normal).

Oleh karenanya, penentuan apakah suatu-objek adalah berwarna hijau secara mendasar bergantung pada kesesuaian penilaian-penilaian yang dipertimbangkan dengan kondisi-kondisi subjek yang memadai (memenuhi syarat tertentu).

Berwarna hijau, sesuai definisi di atas, berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara tertentu.

Dengan analogi, pernyataan-pernyataan moral dapat menjadi pernyataan-pernyataan mengenai bagaimana suatu-benda ada secara objektif ketika secara esensial bergantung pada kesesuaian kondisi subjek.

Pada pandangan ini, menjadi salah secara moral berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepsi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara-cara tertentu.


d. Bisakah kita mengetahui Fakta-Fakta Moral ?

Pada masing-masing jenis-pendekatan-objektivis terhadap moralitas, adalah sulit untuk menjelaskan bagaimana seseorang dapat mengetahui sifat-moral pada suatu-objek.

Sepertinya kita tidak mampu untuk mengetahui kualitas-kualitas moral suatu-objek melalui pengalaman indra-biasa, sebagai contoh, karena kelima indra tampak hanya mengatakan/menginformasikan kepada kita bagaimana suatu-objek 'ada' di dunia ini, bukan bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' seperti adanya.

Kita juga tidak-dapat menalar dari bagaimana cara suatu-objek 'ada' di dunia hingga bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' karena seperti yang disampaikan David Hume, 'ada' di dunia secara logis tidak berarti 'ada-yang-seharusnya' seperti adanya.

Sejumlah filsuf, termasuk Hume telah membuat postulat bahwa kita mempunyai cara-khusus berkaitan dengan persepsi-moral, yang dapat dianalogikan dengan kelima-indra kita namun lebih dari itu (melampauinya), yang mampu memberikan kepada kita pengetahuan tentang fakta-fakta moral.

Gagasan yang diajukan ini kontroversial karena gagasan itu menghadirkan persoalan bagaimana melakukan verifikasi persepsi-persepsi moral dan penyelesaian perselisihan-moral. Gagasan itu juga problematis sepanjang tidak menyediakan penjelasan terhadap bagaimana persepsi-moral bekerja.

Sebaliknya, kita memiliki sebuah pemahaman yang baik tentang mekanisme-mekanisme yang bekerja sebagai dasar persepsi-persepsi kita terhadap kualitas-sekunder suatu-objek seperti sifat-warna (kehijauan).

Banyak orang menegaskan bahwa penilaian-penilaian moral lebih-jarang memperoleh/mencapai kesepakatan-yang-diterima-luas daripada penilaian-penilaian kepada objek-materi yang dapat diamati atau fakta-fakta yang dapat diukur.

Pernyataan seperti itu, tampak merupakan usaha untuk mengajukan pendapat bahwa penilaian-penilaian moral adalah tidak-objektif dengan alasan berdasar pada tidak-adanya kesepakatan-antar-subjek terhadapnya.

Namun ketidak-sepakatan-yang-luas tidaklah menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-objektif. Terdapat banyak contoh tentang ketidak-sepakatan terkait dengan fakta-fakta yang sangat-jelas-objektif. Sebagai contoh, pernah terdapat ketidak-sepakatan-yang-luas mengenai apakah alam semesta ini mengembang atau dalam suatu keadaan-ajeg. Ketidak-sepakatan itu tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada-fakta-objektif yang berkaitan dengan keadaan/kondisi alam semesta. Oleh karenanya, ketidak-sepakatan-yang-luas terhadap penilaian-penilaian moral dengan sendirinya, tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-fakta moral objektif.

Pernyataan ini tampak seperti sebuah upaya untuk melakukan modifikasi penarikan kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek-yang-diterima-luas menjadi sebuah kebenaran-objektif. Jika demikian, adalah sebuah kesalahan. Anggapan bahwa kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan kebenaran-objektif adalah kuat, tetapi selanjutnya itu tidak berarti bahwa seseorang dapat menyimpulkan dari tidak-adanya-kesepepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan-subjektif.

Seperti yang telah ditunjukan sebelumnya, ketidak-sepakatan-antar-subjek secara logis mendukung pernyataan bahwa terdapat sebuah kesalahan paling-tidak pada salah-satu penilaian-penilaian yang bertentangan, tetapi tidak mendukung sebuah pernyataan tentang subjektivitas-semata dari objek-material yang dinilai.

Lebih jauh lagi, kesepakatan-yang-nyaris-universal, yang diterima-sangat-luas dalam penilaian-moral biasanya menerima perhatian terlalu kecil dalam pembahasan-pembahasan sifat-moralitas.

Tampak terdapat penilaian-penilaian moral yang tak terhitung banyaknya (sebagai contoh pernyataan : "Adalah salah untuk menyakiti bayi yang baru lahir)" yang nyaris merupakan kesepakatan-universal yang disepakati dan disukai sepanjang kebudayaan dan periode waktu.

Kesepakatan ini seharusnya, paling tidak menjadi kebenaran-utama, yang mendukung sebuah pernyataan kepada objekivitas, seperti yang dilakukan pada katakanlah penilaian-penilaian mengenai temperatur di luar ruangan.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H4
Pemahaman Pribadi




Saturday, September 21, 2019

Objektivitas 4 : Pesoalan Metafisika


Persoalan Metafisika

Dalam metafisika, sebagai contoh dalam studi-filosofis mengenai sifat-dasar-kodrat (nature) pada realitas, topik tentang objektivitas mengemukakan kebingungan filosofis mengenai sifat-dasar dari 'diri' (the-self).

Menurut hampir semua teori metafisika, subjek yang mem-persepsi adalah juga suatu objek-potensial bagi persepsi-persepsi orang-lain. Lebih jauh lagi seseorang dapat mem-persepsi dirinya-sendiri sebagai sebuah objek disamping juga mengetahui kondisi-subjektif yang dimiliki dirinya secara jujur dan langsung.

Diri (the-self) kemudian dipahami baik sebagai objek maupun subjek. Pengetahuan tentang 'diri' sebagai objek tampak sangat berbeda dengan pengetahuan tentang 'diri' sebagai subjek.

Perbedaan-perbedaan yang paling jelas ditemukan pada bukti-bukti yang ditunjukan dalam filsafat-pikiran (philosophy of mind). Para filsuf yang membahas pikiran berupaya untuk mendamaikan, dalam sebuah pengertian, apa yang kita ketahui berkenaan dengan pikiran secara objektif dan apa yang kita ketahui secara subjektif.

Penyelidikan terhadap hal-hal yang-ada-dalam-pikiran (minded-beings) sebagai sebuah objek merupakan pusat-perhatian pada metode-metode psikologi, sosiologi dan sain yang menyelidiki otak manusia.

Mengamati hal-hal yang-ada-dalam-pikiran seseorang dari sudut pandang subjektif adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh kita-semua dan itu adalah pusat dari pemahaman-umum-kita tentang sifat-dasar-kodrat dari pikiran.

Masalah mendasar pada filsafat-pikiran adalah untuk menjelaskan bagaimana suatu-objek seberapa-pun kompleksnya, dapat muncul dalam pikiran seperti kita mengetahui-nya dari sudut pandang subjektif. Yaitu bagaimana bisa suatu 'yang-hanya-benda' membangkitkan kesadaran dengan kompleksitas yang kaya ketika kita mengalami-nya ?

Persoalan tersebut menunjukan cukup dapat dikonsepsikan bahwa terdapat ciptaan yang sama-persis dengan kita ketika dipandang sebagai objek, tetapi tidak memiliki apapun seperti pengertian kesadaran kita terhadap diri-kita sebagai subjek. Sehingga terdapat pertanyaan mengapa kita memiliki kesadaran-subjektif tentang pengalaman dan bagaimana itu terjadi.

Para filsuf juga berjuang untuk menjelaskan jenis hubungan-hubungan apa yang mungkin dapat ditemukan antara pikiran pada saat kita melihat-nya sebagai kesatuan secara objektif dengan pikiran pada saat kita mengalami-nya secara subjektif, sebagai contoh : adakah hubungan sebab-akibat dan bagaimana itu bekerja ?

Topik tentang memandang orang-lain dan bahkan diri-sendiri sebagai objek dalam dunia-objektif adalah persoalan metafisika tetapi juga mengemukakan persoalan etika terkait dengan perlakuan terhadap orang lain. Disamping itu terdapat persoalan-filosofis khusus mengenai penegasan terhadap objektivitas etika.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H3
Pemahaman Pribadi



Saturday, September 14, 2019

Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 3 )


e. Pembelaan Pengetahuan Objektif

Melawan pandangan skeptisisme terhadap realitas-objektif, dapat dikonsepsikan bahwa terdapat 'penanda-penanda' suatu kategori pada pengalaman-pengalaman-subjektif kita yang membedakan antara persepsi-persepsi yang dapat-diyakini sebagai kebenaran-objektif dengan ilusi-ilusi yang dibangkitkan secara murni-subjektif (misal halusinasi, salah-persepsi, atau persepsi-persepsi terhadap kualitas-sekunder).

Sebagai contoh, Descartes menulis-tentang 'kesan-kesan yang jelas-dan-terpilah' sebagai kesan-kesan yang memiliki satu 'tanda-inheren' seperti ada-nya, sebuah penguji terhadap keyakinan-akan-kebenaran (reliabilitas) yang dimiliki oleh kesan-kesan tersebut sebagai petunjuk (indikator) mengenai bagaimana sesuatu ada secara objektif. Namun sejak Descartes menyatakan kepastian pengetahuan diperoleh dari ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah, gagasan ini tidak banyak yang membela sekarang ini.

Yang paling bisa diterima oleh para filsuf hari ini adalah pernyataan yang lebih umum mengenai suatu keyakinan-akan-kebenaran dengan kemungkinan-yang-tinggi pada kesan-kesan-subjektif dihubungkan dengan suatu 'tanda-tanda' tertentu.

'Tanda-tanda' pada kesan-kesan yang dapat di-yakini-kebenaran-nya secara objektif bukanlah 'jelas-dan-terpilah' dalam pengertian Descartes, tetapi 'tanda-tanda' yang mempunyai hubungan dengan pengertian umum gagasan-gagasan yang masuk-akal terkait dengan kondisi-kondisi lingkungan perseptual yang optimal.

Oleh karenanya, para pembela pengetahuan-objektif disarankan lebih baik mencari 'tanda-tanda' yang dapat diakses secara subjektif, yang menunjukan suatu kemungkinan-kebenaran yang tinggi.

Seorang pembela ada-nya peluang (prospek) memperoleh pengetahuan-objektif tampaknya juga menghendaki untuk memberi nilai-penting kepada kesepakatan-antar-subjek.

Penegasan-penegasan terhadap kesepakatan-antar-subjek tentu didasarkan pada kesan-kesan-subjektif seseorang dan subjek-lain yang sepakat dengan penilaian-penilaian yang dimiliki oleh-nya.

Sehingga, kesepakatan-antar-subjek hanyalah satu jenis 'tanda', seseorang dapat menggunakan-nya untuk melakukan identifikasi kepada kesan-kesan yang lebih dapat di-yakini-kebenaran-nya.

Ini adalah penalaran-umum yang sederhana. Kita jauh lebih-yakin terhadap penilaian-penilaian kita (seharusnya) ketika kesan-kesan yang dipersepsi oleh kita juga dimiliki secara virtual oleh siapapun yang dengan-nya kita membahas kesan-kesan itu daripada ketika subjek-lain tidak sepakat. Kesesuaian menunjukan suatu 'tanda' kemampuan perseptual yang normal dan suatu pikiran yang masuk-akal.

Meskipun demikian, sebuah pusat anggapan dibalik pola umum penalaran ini, adalah sesungguhnya terdapat banyak subjek-lain yang juga mem-persepsi objek yang sama dan kita semua, setidaknya kadang-kala, mampu untuk mengetahui realitas-objektif.

Anggapan lain memandang bahwa realitas-objektif adalah konsisten secara logis. Menganggap realitas adalah konsisten, selanjutnya berarti penilaian-penilaian anda dan saya yang tidak-sesuai secara logis mengenai suatu hal/benda keduanya tidak-dapat menjadi benar. Ketidak-sepakatan-antar-subjek menunjukan kesalahan setidaknya salah satu diantara kita.

Seseorang juga dapat mengajukan pendapat bahwa kesepakatan-antar-subjek hanya menunjukan kemungkinan-kebenaran (probabilitas-kebenaran dan bukan kebenaran itu sendiri), karena pemahaman kesepakatan tidak seperti saya dan anda yang sama-sama salah dalam penilaian kita terhadap sebuah objek dan salah melalui cara yang sama persis. Namun sebaliknya, jika kita berdua salah berkenaan dengan suatu objek, hal tersebut seperti masing-masing melakukan penilaian-penilaian-salah yang berbeda, karena terdapat cara yang tak terhitung bagi kita untuk membuat suatu kesalahan penilaian terhadap sebuah objek


f. Tidak adakah jalan lepas dari Subjektivitas ?

Disamping cara-cara masuk-akal dalam berdebat bahwa ketidak-kesepakatan-antar-subjek menunjukan kesalahan dan kesepakatan-antar-subjek menunjukan kemungkinan-kebenaran (probabilitas-kebenaran), para pembela pengetahuan-objektif semuanya menghadapi ketakutan-filosofis yang menantang untuk menyediakan argumen kuat yang menunjukan bahwa apapun yang diduga sebagai satu 'tanda' keyakinan-akan-kebenaran (termasuk kesepakatan-antar-subjek) benar-benar memberi suatu kemungkinan-yang-tinggi terhadap kebenaran secara aktual.

Tugas tersebut tampak mensyaratkan pra-anggapan suatu metode untuk menentukan kebenaran-objektif melalui proses penentuan satu-kategori-tertentu pada kesan-kesan-subjektif sebagai petunjuk yang dapat-diyakini kebenaran-nya.

Begitulah, kita memerlukan suatu cara independen (non-subjektif) dalam menentukan kesan-kesan-subjektif mana yang menjadi dasar pengetahuan realitas-objektif sebelum kita menemukan 'penanda-penanda' pada kesan-kesan-subjektif yang di-yakini-kebenaran-nya yang dapat di akses secara subjektif.

Metode-independen semacam apakah yang bisa diperoleh, karena setiap metode pengetahuan, penilaian atau bahkan pemikiran tampak cukup jelas berlangsung di dalam dunia kesan-kesan-subjektif ?

Sepertinya seseorang tidak dapat keluar dari kesan-kesan-subjektif yang dimiliki-nya untuk menguji tingkat-keyakinan-akan-kebenaran pada kesan-kesan-subjektif.

Peluang (prospek) untuk memperoleh pengetahuan terhadap dunia-objektif dihambat oleh keterbatasan esensial kita di dalam kesan-kesan subjektif itu sendiri.



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2e
Pemahaman Pribadi


Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 2 )


c. Kualitas Primer dan Sekunder : Dapatkah Kita Mengetahui Kualitas Primer ?


Locke mengajukan pendapat bahwa ada suatu kualitas-primer dan kualitas-sekunder pada sebuah benda. Menurut perbedaan yang dikemukakan Locke, kesan-kesan-subjektif yang kita miliki adalah tidak-sesuai dengan realitas-objektif-apa-pun dalam benda-benda-yang-di-persepsi oleh kita.

Sebagai contoh, tidak-ada persepsi kita terhadap suara yang-seperti vibrasi-vibrasi fisik aktual yang kita ketahui sebagai asal-penyebab dari pengalaman-subjektif kita. Tidak-ada persepsi kita terhadap warna yang-seperti kombinasi-kombinasi kompleks dari bermacam frekuensi radiasi elektromagnetik yang kita ketahui sebagai asal-penyebab persepsi kita terhadap warna.

Locke menegaskan bahwa melalui sain, kita dapat mencapai/memperoleh pengetahuan mengenai karakteristik-primer suatu objek yang dimiliki-dalam-diri-nya-sendiri.

Dia berkata, sain mengajarkan kepada kita, suara seperti-yang-di-persepsi oleh kita tidak-ada dalam objek itu sendiri sedangkan dimensi spasial (ruang), masa, durasi, gerak dan lain-lain adalah ada-di-dalam objek itu sendiri.

Untuk menanggapi pendapat ini, seseorang dapat menyatakan bahwa, melalui sain kita mengetahui bahwa penyebab tidak-ada-sesuatu-pun-dalam-objek yang sesuai dengan kesan-kesan-subjektif kita tidak-lain adalah sifat-objektif-yang-sebenarnya dari objek itu sendiri.

Sehingga pendekatan Locke mengarah kepada optimisme terhadap pengetahuan-objektif sebagai contoh pengetahuan tentang hal/benda yang tidak-bergantung pada persepsi-persepsi kita kepada-nya.


d. Skeptisisme terhadap Pengetahuan tentang Realitas-Objektif 

Dalam menanggapi terhadap garis penalaran yang diajukan Locke, untuk menandai/menyebut objektivitas-murni Immanuel Kant menggunakan ekspresi/ungkapan/istilah 'benda-dalam-dirinya-sendiri' (the things-in-itself).

Benda-dalam-dirinya-sendiri adalah objek seperti ada-nya-dalam-diri-nya-sendiri, yang tidak bergantung pada sifat-sifat persepsi-subjektif apa-pun terhadap-nya.

Sementara Locke optimis terhadap pengetahuan-saintifik mengenai karakterisitik-objektif-yang-sesungguhnya (primer) dari benda-benda, Kant dipengaruhi oleh argumen-argumen skeptis dari David Hume yang menyatakan bahwa kita tidak-dapat mengetahui apa-pun mengenai sifat-sifat-sesungguhnya dari 'benda-dalam-dirinya-sendiri' selain bahwa itu ada.

Menurut Kant pengetahuan-saintifik adalah pengetahuan-sistematik mengenai sifat-sifat benda sebagai benda yang menampakan-diri kepada kita dan tidak sebagai 'benda-dalam-diri-nya sendiri'.

Menggunakan perbedaan yang dikemukakan oleh Kant, kesepakatan-antar-subjek tidak hanya tampak menjadi bukti-terbaik yang dapat dimiliki kita mengenai kebenaran-objektif tetapi merupakan penyusun kebenaran-objektif-itu sendiri. (Ini mensyaratkan suatu kesepakatan-antar-subjek yang sempurna secara teoritis di bawah kondisi-kondisi ideal)

Berawal dari asumsi bahwa kita dapat memiliki pengetahuan hanya untuk benda-benda yang tampak dalam pengalaman-subjektif, pengertian yang masuk akal untuk istilah objektif akan menjadi penilaian-penilaian yang terhadapnya dapat dicapai kesepakatan-antar-subjek yang universal. Bila secara alternatif kita memutuskan untuk membatasi istilah objektif kepada 'benda-dalam-diri-nya-sendiri' maka, menurut Kant tidak akan ada pengetahuan-objektif. Pemahaman tentang objektivitas oleh karenanya menjadi tidak berguna, bahkan mugkin tidak bermakna sama sekali (katakanlah bagi seorang yang melakukan verifikasi).

Menghadapi setiap serangan skeptisime pengetahuan terhadap realitas-objektif dalam pengertian yang kaku dan ketat, kita harus menggaris-bawahi bahwa pemahaman tentang ada-nya suatu realitas-objektif adalah tidak-bergantung kepada sikap khusus apa-pun terhadap prospek/kemungkinan kita untuk dapat mengetahui realitas-objektif-itu dalam pengertian objektif apapun.

Dengan kata lain, seseorang sepakat bahwa gagasan suatu realitas-objektif, yang ada-seperti-ada-nya terlepas dari persepsi-subjektif-apa-pun terhadap-nya, tampak masuk akal bahkan bagi setiap orang diantara kita yang memegang sedikit harapan untuk dapat mengetahui bahwa ada realitas semacam itu atau mengetahui apa-pun secara objektif mengenai suatu realitas semacam itu.

Mungkin situasi kemanusiaan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat mengetahui apa-pun yang melampaui pengalaman kita. Mungkin kita (setiap diri kita secara individual) dibatasi oleh teater/pertunjukan dari pikiran-pikiran kita sendiri. Namun demikian kita dapat menangkap konsep apa makna menyatakan sebuah realitas-objektif yang melampaui arus pengalaman-pengalaman kita.



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2c
Pemahaman Pribadi


Wednesday, September 11, 2019

Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 1 )


a. Dapatkah kita mengetahui realitas-objektif ?


Subjektif terutama dicirikan kepada pikiran-yang-mem-persepsi. Objektif dicirikan terutama oleh ekstensi-fisik ke dalam ruang dan waktu.

Beberapa perbedaan paling sederhana antara penilaian-subjektif dan realitas-objektif di-ilustrasi-kan dengan baik oleh contoh yang dikemukakan John Lock dengan seseorang yang mencelupkan tangan-kiri-nya ke dalam air-es sementara tangan-kanan-nya ke dalam air-panas untuk beberapa saat. Selanjutnya, ketika ia memasukan kedua-tangan-nya ke dalam ember yang berisi air-hangat yang suam-suam-kuku, ia sekaligus mengalami dua pengalaman-subjektif yang saling-bertentangan secara bersamaan dan satu realitas-objektif yang sama. Tangan-kiri-nya merasa dingin dan tangan-kanan-nya merasakan panas. Oleh karenanya pikiran seseorang yang mem-persepsi suatu objek dapat menangkap kesan-kesan yang sangat berbeda secara bersamaan dan beriringan dari suatu objek-tunggal.

Dari pengalaman tersebut, tampak akan sesuai bahwa dua pikiran yang berbeda dapat memiliki kesan-kesan yang sangat berbeda terhadap suatu objek-tunggal. Begitulah dua orang dapat memasukan masing-masing tangan-nya ke dalam air yang sama. Satu orang menggambarkannya sebagai air-yang-dingin dan orang yang lain menggambarkan sebagai air-yang-panas. Atau lebih masuk akal lagi, dua orang melangkah keluar rumah, satu orang menggambarkan cuaca di luar yang dingin sedang orang yang lain cuaca yang sejuk.

Kemudian kita melawankan dengan sebuah tantangan epistemologis, apakah dan jika bisa bagaimana, kesan-kesan subjektif dapat menuju kepada pengatahuan realitas-objektif. Seorang 'skeptis' mengajukan pendapat bahwa pengetahuan kita adalah terbatas pada dunia kesan-kesan-subjektif yang kita miliki, yang membuat kita tidak akan memiliki pengetahuan realitas-objektif sebagai benda-dalam-dirinya-sendiri.


b. Apakah kesepakatan-antara-subjek menunjukan pengetahuan-objektif ?

Pengukuran adalah dugaan suatu alat untuk mencapai penilaian-objektif, sebuah penilaian yang setidaknya memiliki kemungkinan-tinggi untuk menyatakan kebenaran mengenai realitas-objektif.

Dengan pengukuran, suatu penilaian-objektif terhadap cuaca, yang sangat-berbeda dengan dua gambaran-subjektif yang saling-bertentangan pada contoh di atas (dingin atau sejuk), akan menggambarkan cuaca sebagai katakanlah udara bersuhu 20 C (68 F).

Penilaian ini dihasilkan dari pemakaian suatu alat ukur. Alat ukur tidaklah seperti dua subjek-yang-mem-persepsi objek seperti contoh di atas, dengan menggunakan fungsi termometer akan memiliki / memperoleh penilaian yang berbeda terhadap udara di luar.

Contoh dari dua orang yang memberikan laporan berbeda mengenai cuaca (dingin atau sejuk) memberi ilustrasi bahwa adanya variasi pada penilaian oleh beberapa subjek yang berbeda adalah indikator kemungkinan subjektivitas dalam penilaian-penilaian mereka.

Adanya kesepakatan/persetujuan kepada satu-penilaian diantara beberapa penilaian-subjek yang berbeda-beda misal dari contoh di atas 'udara bersuhu 20 C' seringkali diterima sebagai indikasi / petunjuk dari objektivitas.

Para filsuf biasa menyebut bentuk kesepakatan/persetujuan seperti itu sebagai kesepakatan-antar-subjek (intersubjective agreement)

Apakah kesepakatan-antar-subjek membuktikan bahwa disana ada kebenaran-objektif ?

Jawabnya adalah tidak, karena mempunyai/adanya satu atau tiga atau bahkan lebih subjek-yang-setuju dengan sebuah gambaran-subjektif, sebagai contoh, gambaran bahwa udara di luar sangat-dingin, tidak mengeluarkan kemungkinan adanya subjek-lain yang berpendapat bahwa udara di luar sama sekali tidak-dingin.

Akankah kita memiliki tingkat kecocokan yang tinggi terhadap kebenaran-objektif jika kita memiliki kesepakatan-antar-subjek dengan jumlah subjek yang sepakat banyak ?

Garis penalaran ini tampak menjanjikan, tetapi tidak bagi penelitian lain dari John Lock mengenai adanya kemungkinan perbedaan antara kesan-kesan-subjektif dan realitas-objektif.


Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2a
Pemahaman Pribadi


Sunday, September 8, 2019

Objektivitas 2 : Pemakaian Dan Makna


Banyak para filsuf menggunakan istilah 'realitas-objektif' untuk merujuk/menunjuk/mengacu kepada apa-pun yang 'ada' seperti ada-nya, yang tidak-bergantung pada suatu kesadaran apa-pun terhadap-nya (melalui persepsi, pikiran dll)

Objek-fisik umum dengan kategori tengah-tengah antara objek-objek fisik dan non-fisik (misal, warna, suara dll), kepada-nya diterapkan seperti halnya realitas pada seseorang yang memiliki kondisi-subjektif. Realitas-subjektif (ditafsirkan secara luas) kemudian akan mencakup apa-pun yang-keberadaan-nya bergantung pada suatu kesadaran terhadap-nya.

Warna-warna dan suara-suara tertentu (ketika di-persepsi) adalah contoh-utama dari suatu yang 'ada' hanya ketika terdapat kondisi-kesadaran yang sesuai/memadai untuk keberadaan-nya.

Emosi-emosi tertentu (misal, kebahagiaan saya sekarang-ini) juga tampak menjadi suatu realitas-subjektif, suatu yang 'ada' ketika seseorang merasakan-nya dan mengejar untuk 'ada' ketika perasaan (mood) seseorang berubah.

'Pengetahuan-objektif' hanya dapat mengacu kepada pengetahuan mengenai suatu realitas-objektif. Dengan demikian 'pengetahuan-subjektif' merupakan pengetahuan apa-pun tentang realitas-subjektif.

Namun demikian, terdapat pemakaian lain yang berkaitan dengan istilah objektivitas. Banyak filsuf menggunakan istilah 'pengetahuan-subjektif' hanya untuk merujuk/menunjuk/mengacu kepada pengetahuan-pada-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif

Pengetahuan semacam itu dibedakan dari pengetahuan-seseorang terhadap kondisi-subjektif yang dimiliki orang-lain dan dari pengetahuan tentang realitas-objektif, yang keduanya menjadi pengetahuan-objektif sesuai definisi yang ada di atas.

Pengetahuan anda mengenai kondisi-subjektif yang dimiliki orang-lain dapat disebut pengetahuan-objektif karena kondisi-subjektif pada orang-lain diperlakukan/dipandang sebagai bagian dunia yang berarti suatu 'objek' bagi anda, sama-persis seperti anda dengan kondisi-subjektif yang dimiliki anda adalah bagian dari dunia yang berarti suatu 'objek' bagi orang-lain

Hal tersebut merupakan perbedaan penting dalam epistemologi (studi-filosofis tentang pengetahuan) karena banyak para filsuf tetap mempertahankan pengetahuan-subjektif dalam pengertian di atas mempunyai status-spesial.

Secara kasar, mereka menegaskan bahwa pengetahuan-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif adalah langsung menjadi pengetahuan-subjektif, dalam pengertian bahwa pengetahuan-apa-pun selain-itu tidaklah demikian.

Akan lebih mudah untuk menunjuk/menyebut pengetahuan-pada-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif hanya sebagai pengetahuan-subjektif. Mengikuti definisi ini, pengetahuan-objektif merupakan pengetahuan apa-pun selain pengetahuan-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif.

Terakhir satu gaya pemakaian yang penting terhadap istilah yang berhubungan dengan objektivitas adalah berkaitan dengan karakteristik klaim-dukungan yang dimiliki pengetahuan tertentu.

'Pengetahuan-objektif' dapat menunjuk kepada klaim-pengetahuan dengan status didukung-penuh atau telah terbukti-kebenarannya. Sesuai dengan itu, 'pengetahuan-subjektif' dapat merujuk kepada klaim-pengetahuan yang tidak mempunyai dukungan atau didukung secara lemah kebenaran-nya.

Adalah lebih akurat untuk menunjuk klaim-pengetahuan sebagai penilaian-penilaian objektif dan subjektif daripada pengetahuan-objektif atau pengetahuan-subjektif, tetapi seseorang seharusnya waspada untuk penggunaan istilah 'pengetahuan' dalam konteks ini

Pemakaian di atas sesuai dengan konotasi-umum terhadap pengertian istilah 'objektivitas' sebagai kebulatan (soliditas), keyakinan/kepercayaan,akurasi, ketidak-berpihakan dan lain-lain. Sementara konotasi-umum untuk banyak pemakaian istilah 'subjektivitas ' termasuk didalamnya adalah ketidak-percayaan, bias, sebuah perspektif (personal) yang tidak lengkap dan lain-lain.

'Penilaian-objektif atau keyakinan' mengacu pada sebuah penilaian atau keyakinan yang didasarkan pada dukungan-kuat bukti-bukti secara objektif, yaitu sejumlah bukti yang akan membangkitkan-keyakinan bagi setiap ada-rasional apa-pun.

Sebuah penilaian-subjektif maka akan tampak menjadi sebuah penilaian atau keyakinan yang didukung oleh bukti-bukti yang membangkitkan-keyakinan pada beberapa ada-rasional (subjek) tetapi tidak bagi ada-rasional yang lain. Hal itu juga dapat merujuk pada sebuah penilaian yang didasarkan pada bukti yang hanya diperlukan bagi sejumlah subjek tertentu.

Yang tersebut di atas adalah pemakaian-utama untuk istilah dalam bahasan-bahasan filosofis. mari kita memeriksa beberapa persoalan-utama epistemologis terhadap objektivitas, dengan terlebih dahulu mengambil asumsi definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya tentang realitas-objektif dan realitas-subjektif.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#H1
Pemahaman Pribadi



Friday, September 6, 2019

Objektivitas 1 : Pendahuluan


Istilah 'objektivitas' dan 'subjektivitas', dalam pemakaian modern, secara umum berhubungan dengan suatu subjek yang mem-persepsi (biasanya seseorang) dan objek yang di-persepsi atau objek-objek yang tidak-di-persepsi.

Mem-persepsi berarti melakukan proses menangkap, mengenali, mengolah, menyusun, informasi-informasi-sensorik yang diterima melalui indra kemudian melakukan interpretasi/menafsir, membuat kesimpulan atau membentuk konsepsi guna memperoleh gambaran atau pengetahuan/pemahaman tentang objek-yang-di-persepsi, dunia dan lingkungan.

Objek adalah suatu 'ada' yang tidak-bergantung pada persepsi-subjek terhadap-nya (independen). Dengan kata lain, objek ada-di-luar-sana seperti ada-nya, bahkan jika tidak-ada subjek yang mem-persepsi terhadap-nya (menyadari/mengetahui/memahami keberadaan-nya). Oleh karena itu, objektivitas biasanya diasosiasikan dengan gagasan seperti realitas, kebenaran dan hal-hal-dasar-yang-diyakini.

Subjek yang mem-persepsi sebuah objek dapat mem-persepsi secara akurat atau mem-persepsi sifat-sifat objek yang sesungguhnya tidak melekat pada objek tersebut. Sebagai contoh subjek yang menderita sakit-kuning akan mem-persepsi sebuah objek sebagai berwarna-kuning meskipun objek tersebut secara aktual tidaklah berwarna-kuning. Oleh karena itu, istilah 'subjektivitas' biasanya menunjukan kemungkinan-kesalahan.

Adanya potensi ketidak-samaan secara aktual antara sifat-sifat pada kesan-kesan-indrawi (perceptual-impressions) yang ditangkap oleh subjek melalui indra dengan kualitas-kualitas-nyata sesungguhnya yang melekat pada objek yang di-persepsi memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Juga terdapat pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai sifat-dasar dari realitas-objektif dan sifat-dasar realitas pada diri-kita yang disebut juga realitas-subjektif.

Akibatnya, kita memiliki bermacam pemakaian terhadap istilah 'objektif' dan 'subjektif' dengan asal-muasal bahasa-nya yang sama untuk menyatakan ada-nya kemungkinan perbedaan antara realitas-objektif dan kesan-kesan-indrawi yang subjektif.

Para filsuf menyebut/menunjuk/mengacu kepada kesan-kesan-indrawi (perceptual-impressions) itu sendiri sebagai 'ada' yang subjektif atau objektif.

Penilaian-penilaian sebagai 'objektif' atau 'subjektif' selanjutnya menuju ke tingkatan yang berbeda-beda dan kita membagi realitas ke dalam realitas-objektif dan realitas-subjektif.

Oleh karena itu, adalah penting untuk membedakan beragam pemakaian istilah 'objektif' dan 'subjektif'.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/objectiv/
Pemahaman Pribadi



Sunday, September 1, 2019

Eksistensialisme 4 : Pengaruh Eksistensialisme

a. Seni dan Psikologi

Dalam bidang seni-visual eksistensialisme telah memberi banyak pengaruh, yang paling jelas adalah pada gerakan ekspresionisme.

Ekspresionisme dimulai di Jerman pada awal abad ke-20. Dengan penekanan pada pengalaman-subjektif, kecemasan dan intensitas-emosional. Ekspresionisme Jerman mengejar untuk melampaui representasi-realis-yang-naif dan untuk berurusan dengan kecemasan manusia modern (dicontohkan dengan pengalaman-pengalaman mengerikan Perang-Dunia-Pertama).

Banyak dari para seniman-ekspresionisme membaca Nietzsche dengan intensif dan mengikuti pendapat-pendapat Nietzsche tentang evaluasi menggunakan prinsip-prinsip yang berbeda (transvaluasi) terhadap nilai-nilai yang diuji melalui alternatif gaya-hidup (cara menjalani hidup). Karya ukir dari Erich Heckel berjudul Friedrich Nietzsche dari tahun 1905 adalah sebuah pengingat-kuat terhadap gerakan-gerakan yang berkaitan dengan pemikiran para eksistensialis.

Ekspresionisme-abstrak (yang termasuk didalamnya seniman seperti de Kooning dan Pollock dan teoritis seperti Rosenberg) melanjutkan dengan sejumlah tema-tema yang sama di Amerika Serikat dari tahun 1940-an dan cenderung untuk mengangkat eksistensialisme sebagai salah satu panduan-intelektual, khususnya setelah kuliah-keliling dari Sartre pada tahun 1946 dan sebuah produksi karya-nya 'No Exit' di New York.

Ekspresionisme Jerman secara khusus penting selama kelahiran seni-baru dalam perfilman.

Mungkin karya film yang paling dekat dengan perhatian para eksistensialis peninggalan dari F.W Murnau dengan judul 'The Last Laugh' ( 1924 ) didalamnya gerakan kamera yang terus-menerus (yang membentuk figur-awal pedoman pemakaian camera-tangan pada film 'The Danish', dari gerakan pembuatan film Dogma 95) berupaya untuk menahan kecemasan spiritual seorang lelaki yang tiba-tiba menemukan dirinya dalam sebuah dunia tanpa-makna.

Ekspresionisme menyebar menjadi sebuah gaya yang mendunia dalam dunia-perfilman, khususnya pada sutradara-film seperti Lang yang meninggalkan Jerman dan menuju Hollywood. Karya Jean Genet, 'Un chant d Amour' (1950) sebuah eksplorasi gerak-puitis terhadap nafsu/hasrat. Dalam sel-tahanan yang kotor dengan ketakutan-irrasional-ekstrim hasrat narapidana untuk berhubungan-intim terjadi melawan latar-belakang keputus-asaan yang tak-terelakan bagi eksistensi itu sendiri.

Sutradara Eropa seperti Bergman Godard seringkali diasosiasikan dengan tema-tema eksistensialis. Karya Godard berjudul 'Vivre sa vie' (My Life to Live, Kehidupanku untuk Diihayati, 1962) menyatakan secara eksplisit eksplorasi terhadap sifat-alami kebebasan di bawah kondisi-kondisi ekstrim sosial dan tekanan personal.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 gagasan-gagasan para eksistensialis menjadi umum dalam arus-utama perfilman, meresap dalam karya-karya para penulis dan sutradara seperti Woody Allen, Richard Linklater, Charlie Kaufman dan Christopher Nolan.

Adanya fakta bahwa Sartre dan Camus keduanya seorang novelis dan penulis naskah yang terkenal, membuat pengaruh eksistensialisme terhadap kesusastraan tidaklah mengejutkan.

Meski demikian, pengaruh juga terjadi melalui jalur lain. Novelis seperti Dostoevsky atau Kafka dan penulis-drama Ibsen seringkali dikutip oleh para eksistensialis abad pertengahan sebagai pelopor yang penting, setara dengan Kierkegaard dan Nietzsche.

Dostoevsky menciptakan sebuah karakter Ivan Karamazov (dalam karya The Brothers Karamazov 1880) yang memegang pandangan bahwa jika Tuhan mati, maka segalanya diperbolehkan/diijinkan, baik Nietzsche dan Sartre membahas Dostoevsky dengan antusias.

Di dalam drama, pertunjukan-teater tentang hal-yang-absurd dan yang paling jelas pada Beckett telah dipengaruhi oleh gagasan-gagasan para eksistensialis, kemudian para penulis-naskah seperti Albee, Pinter dan Stoppard meneruskan tradisi ini.

Salah satu sosok-kunci psikologi abad ke-20, Sigmund Freud sangat berhutang pada Nietzsche khususnya pada analisisnya terhadap peran psikologi dalam kebudayaan dan sejarah dan untuk pandangan-nya terhadap artefak-kebudayaan seperti drama atau musik sebagai dokumentasi 'ketidak-sadaran' dari tegangan-tegangan psikologis.

Tetapi suatu pengangkatan tema-tema eksistensialis yang lebih-eksplisit ditemukan dalam gerakan 'psikoterapi-eksistensialis' yang luas.

Sebuah tema umum dalam gerakan ini, sebaliknya adalah kelompok yang sangat beragam memandang bahwa psikologi-sebelumnya keliru memahami terhadap sifat-dasar manusia dan khususnya hubungannya dengan manusia-lain dan terhadap tindakan-tindakan pemberian-makna kehidupan, oleh karenanya juga psikologi-sebelumnya telah keliru memahami suatu perilaku 'sehat' kepada diri, manusia-lain dan kemungkinan pemberian makna.

Sosok kunci disini termasuk psikolog Swiss, Ludwig Binswanger dan kemudian Menard Boss, keduanya merupakan pembaca antusias dari Heidegger, Frankl orang Austria, yang menemukan metode terapi-logo, di Inggris Laing dan Cooper yang secara eksplisit dipengaruhi oleh Sartre dan di Amerika Serikat, Rollo May yang menekankan pentingnya kecemasan yang permanen.

b. Filsafat

Secara keseluruhan, eksistensialisme memberi pengaruh-langsung yang relatif-sedikit dalam filsafat.

Di Jerman, eksistensialisme (dan khususnya Heidegger) telah dikritik karena sifat terlalu kabur, abstrak atau bahkan mistis. Kritik tersebut secara khusus dilakukan oleh Adorno dalam The Jargon of Authenticity, dan dalam Dog Years, novelis Gunter Grass memberi kritik sebuah kemiripan dengan Voltair, suatu satire kasar terhadap Heidegger.

Kritik banyak digemakan dalam tradisi analitik. Heidegger dan para eksistensialis juga dituntut karena kurang memberikan perhatian terhadap struktur-sosial-dan-politik atau nilai yang disertai hasil-hasil yang membahayakan.

Di Perancis, filsuf seperti Sartre dikritisi oleh mereka yang baru dibawah pengaruh strukturalisme karena tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap sifat-dasar bahasa dan struktur-struktur impersonal dari makna.

Singkatnya, filsafat terus bergerak dan dalam arah yang berbeda. Para filsuf individual masih berpengaruh, meskipun demikian : Nietzsche dan Heidegger secara khusus adalah topik-topik yang sangat hidup didalam filsafat bahkan dalam abad ke-21.

Meskipun demikian, terdapat sejumlah pengaruh-tidak-langsung yang masih penting. Mari kita angkat tiga contoh.

Kedua persoalan tentang kebebasan berhubungan dengan situasi dan nilai penting secara filosofis terhadap apa yang sebaliknya mungkin-muncul menjadi faktor-faktor-kontekstual-eksternal, tetap menjadi kunci meskipun dalam perubahan-rumusan yang dramatis dalam karya Michael Foucault atau Alain Badiou dua sosok sentral pemikiran Eropa hingga akhir abad ke-20.

Demikian juga, pentingnya secara filosofis bahwa para eksistensialis telah meletakan emosi menjadi berpengaruh melegitimasi wilayah-secara-keseluruhan terhadap penyelidikan filosofis bahkan oleh para filsuf yang tidak tertarik pada eksistensialisme.

Begitu juga, eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menegaskan filsafat dapat dan seharusnya berkaitan dengan 'dunia-nyata' secara langsung, topik-topik seperti sex, kematian atau kejahatan, adalah topik-topik yang paling sering didekati secara abstrak dalam tradisi-filosofis.

Mary Warnock menulis tentang eksistensialisme dan khususnya Sartre sebagai contoh, sementara juga memiliki peran publik yang sangat penting dan dalam etika terapan baru-baru ini.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2f
Pemahaman Pribadi


Sunday, August 25, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (6)

f. Albert Camus (1913-1960)

Albert Camus adalah seorang intelektual, penulis dan jurnalis Perancis.

Karya-karyanya dengan elemen yang beragam begitu juga hubungan-ambivalen-nya dengan filsafat dan eksistensialisme membuat setiap usaha untuk melakukan klasifikasi terhadap dirinya ke dalam 'eksistensialis' merupakan sebuah operasi yang beresiko.

Seorang penerima hadiah nobel kesusastraan pada tahun 1957 utamanya untuk novel-novelnya, ia juga dikenal sebagai seorang filsuf karena karya-karya non-sastra dan hubungan-nya dengan Jean Paul Sartre.

Dan tanggapan-nya kemudian adalah sangat jelas :

"Saya bukan seorang filsuf, karena saya tidak cukup percaya pada akal untuk mempercayai suatu sistem. Apa yang menarik saya adalah mengetahui bagaimana kita harus bersikap dan lebih tepatnya bagaimana untuk bersikap ketika seseorang tidak mempercayai Tuhan atau akal."
(Camus dalam Sherman 2009:1)

Persoalan bukanlah hanya mengenai label 'eksistensialis'. Tetapi lebih menunjuk kepada suatu 'tegangan-yang-dalam' yang terdapat pada pemikiran semua pemikir yang dikaitkan dengan eksistensialisme.

Pertanyaannya adalah :
Dengan berapa banyak suara, pikiran dapat berbicara ?

Seperti yang telah kita lihat, para pemikir eksistensialisme seringkali mengirimkan/mengeluarkan lebih dari satu suara.

Hampir semua dari mereka memiliki kesamaan suatu 'kecurigaan-yang-dalam' terhadap sebuah filsafat yang bekerja/beroperasi dengan akal seperti yang diungkapkan oleh Pencerahan.

Camus memiliki kecurigaan yang sama dan oleh karenanya ia menyebut filsafat-nya tentang absurditas bermaksud untuk menetapkan batas terhadap ambisi-ambisi yang berlebihan pada rasionalitas Barat.

Akal adalah hal-yang-absurd dalam hal akal percaya bahwa dapat menjelaskan totalitas-pengalaman manusia namun tepatnya justru, itu adalah ketidak-mampuan-nya untuk menjelaskan itu sebagai contoh suatu momen dari gagalnya-rancangan (a moment of fall designates).

Sehingga dalam novelnya 'The Fall' narasi riuh dari tokoh protagonis mengungkapkan pengambil-alihan suatu kehidupan dari keajegan/keteraturan-semu oleh kekuatan kegelapan dan irrasionalitas.

"Sebuah neraka borjuis, tentu saja dihuni oleh mimpi-mimpi buruk."
(Camus, 2006:10)

Dengan cara yang sama Camus juga menolak keterkaitannya dengan eksistensialisme.

“Non, je ne suis pas existentialist."
(Tidak, saya bukan seorang eksistensialis)

Adalah judul dari sebuah wawancara terkenal yang diberikan olehnya untuk majalah Les Nouvelles Litteraires pada 15 November 1945.

Persoalan sesungguhnya adalah bahwa penolakan Camus terhadap eksistensialisme lebih diarahkan pada eksistensialisme versi Sartre daripada mengarah untuk meninggalkan persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh para pemikir eksistensialis.

Secara khusus, Camus khawatir bahwa penyembahan Sartre terhadap sejarah (Sartre memproklamirkan diri sebagai seorang Marxis) akan tidak-sesuai dengan afirmasi terhadap kebebasan-personal. Camus menuduh Hegel (selanjutnya Marx juga) telah mereduksi manusia ke dalam sejarah dan oleh karena itu menolak manusia sebagai kemungkinan untuk menciptakan-sejarah-dirinya-sendiri yang merupakan afirmasi kebebasan-nya.

Secara filosofis, Camus dikenal untuk konsepsinya tentang hal-yang-absurd.

Mungkin kita harus membuat jelas sejak awal apa hal-yang-tidak-absurd itu. Hal-yang-absurd bukanlah nihilisme. Bagi Camus penerimaan terhadap hal-yang-absurd tidak mengarah kepada nihilisme (menurut Nitezsche nihilisme menandai keadaan didalamnya nilai-nilai tertinggi meruntuhkan dirinya-sendiri atau mengarah kepada keajegan-keadaan/inersia) tetapi lebih mengarah kepada hal yang berlawanan dengan keduanya : yaitu kepada tindakan dan partisipasi.

Pemahaman terhadap hal-yang-absurd menandai ruangan yang terbuka antara di satu sisi, manusia membutuhkan pengetahuan/penjelasan, dan di sisi lain, 'kebisuan-dunia yang tidak masuk-akal' seperti yang dikatakan Camus dengan indah.

Dalam sebuah dunia tanpa Tuhan, kebenaran-abadi atau prinsip-prinsip panduan apapun, bagaimana manusia mampu menanggung tanggung-jawab terhadap sebuah aktivitas pemberian-makna pada dunia dan kehidupan ?

Manusia-absurd, seperti seorang austronot melihat ke bumi dari atas, seraya berharap apakah sebuah sistem filosofis, sebuah agama, suatu ideologi-politik mampu membuat dunia memberi respon terhadap pertanyaan manusia atau lebih kepada apakah konstruksi-konstruksi semua manusia tidak berarti apapun kecuali riasan-wajah berlebihan seorang badut yang menempel disana untuk menutupi kepedihan-nya. Kecurigaan yang mengerikan ini menghantui manusia-absurd.

Dalam sebuah pembuka yang paling diingat pada sebuah buku non-fiksi ia menyatakan :

"Ada, tetapi hanya satu persoalan filosofis yang benar-benar serius dan itu adalah bunuh-diri. Menilai apakah kehidupan adalah hidup yang bernilai/bermakna atau tidak adalah untuk menjawab pertanyaan mendasar filsafat. Semua-pertanyaan-lain apakah dunia memiliki tiga-dimensi atau tidak, apakah pikiran memiliki sembilan atau dua-belas kategori, muncul kemudian setelahnya. Ini adalah permainan, seseorang pertama-tama harus menjawabnya."
(Camus, 2000:11).

Persoalan bunuh-diri (sebuah persoalan yang sangat pribadi) mewujudkan kondisi-tak-terelakan-yang-mendesak dihadapi untuk memberi respon kepada pemberian-makna pada kehidupan.

Bahkan bagi Camus sebuah respon bunuh-diri terhadap persoalan-makna-kehidupan dapat merupakan konfirmasi bahwa hal-yang-absurd telah mengambil-alih kehidupan sisi dalam manusia. Dapat juga berarti bahwa manusia bukan lagi seekor binatang yang mengejar jawaban, sesuai dengan sejumlah-dorongan dari dalam yang mengarahkan-nya untuk bertindak demi memberi makna pada dunia. Bunuh-diri tidak menjadi-yang-lain selain penerima pasif dari kebisuan-dunia.

"...Hal-yang-absurd... adalah kesadaran sekaligus penolakan secara bersamaan terhadap kematian."
(Camus 2000:54)

Seseorang harus menyadari terhadap kematian --karena kematian tepatnya adalah perwujudan dari mortalitas-manusia, yang mendorong seseorang untuk berjuang memperoleh jawaban-- dan manusia pada akhirnya harus menolak kematian --yaitu menolak bunuh-diri juga menolak menjadi mayat-hidup dalam keajegan dan tanpa-tindakan. Seperti yang dikatakan Camus, pada akhirnya seseorang harus menjaga-hal-yang-absurd tetap hidup. Tetapi apa maksudnya menjaga-hal-yang-absurd itu ?

Dalam The Myth of Sisyphus Camus menceritakan kisah tentang mitos Sisyphus yang telah dikutuk oleh Dewa. Sisyphus dihukum untuk menjalani hidup dengan mendorong batu kepuncak gunung dan kemudian harus membiarkan jatuh-kembali dengan beratnya sendiri. Begitu terus berulang dan berulang Sisyphus harus melakukan-nya. Sisyphus tidak menolak hukuman ia melakukan itu sepanjang hidupnya.

"Sisyphus, proletarian dari para Dewa, yang-lemah dan pemberontak, mengetahui seluruh kondisi malang-nya : itulah yang ia pikirkan selama menuruni puncak-gunung. Kejernihan bahwa kondisi itu menjadi siksaan-nya sekaligus mahkota-kemenangan-nya. Tidak ada takdir yang tidak bisa diatasi dengan cemoohan."
(Camus 200:109)

Seseorang kemudian harus membayangkan kemenangan Sisyphus: takdir dan absurditas telah diatasi dengan suatu hinaan yang penuh kegembiraan. Cemoohan adalah respon yang layak dihadapan wajah hal-yang-absurd, sebutan lain untuk 'cemoohan' disini dipandang sebagai kreasi artistik.

Ketika Camus berkata:

"Seseorang tidak menemukan hal-yang-absurd tanpa digoda untuk menulis sebuah pedoman-kebahagiaan."
(Camus 2000:110)

Ia menulis tentang sebuah momen kegilaan yang menggembirakan, yang merupakan momen kelahiran bagi karya-artistik. Kegilaan, namun yang-demikian-dalam, perhatikan fungsi dari 'The-Fool' dalam karya Shakespear 'King Lear' sebagai seseorang yang mengungkapkan kebenaran-yang-paling-dalam kepada Raja dengan memainkan mimikri dan lagu-lagu. Kegilaan semacam itu dapat mengatasi hal-yang-absurd sekaligus tanpa membuang/menolak-nya.

Nyaris sepuluh tahun setelah publikasi dari The Myth of Sisyphus, Camus menerbitkan karya filosofis besar yang kedua, The Rebel (1951). Camus melanjutkan persoalan yang telah dimulai dalam The Myth of Sisyphus. Sebelumnya, dalam kisah The Myth of Sisyphus pemberontakan atau penciptaan-diri telah dipandang sebagai keharusan-memberi-respon kepada hal-yang-absurd dari eksistensi.

Dalam The Rebel, Camus melanjutkan untuk menguji sifat-alami pemberontakan dan berbagai perwujudan-nya dalam sejarah. Dalam The Myth of Sisyphus, dengan gaya yang benar-benar Nietzschean, Camus berkata :

"Hanya ada satu tindakan yang berguna, yaitu penciptaan-kembali manusia dan bumi.”
(Camus 2000: 31).

Namun demikian, dalam karyanya The Rebel, yang mengingatkan pada Peternakan Hewan milik Orwell, salah satu pokok-pertama yang dibuat olehnya adalah sebagai berikut :

“Si-Budak memulai dengan memohon keadilan dan berakhir dengan ingin memakai mahkota. Si-Budak juga ingin/bermaksud mendominasi.”
(Camus 2000b: 31)

Masalahnya adalah bahwa meski manusia memberontak secara-otentik melawan keduanya, baik kondisi-kondisi sosial yang tidak adil, juga seperti yang dikatakan Camus melawan seluruh-penciptaan, namun demikian dalam administrasi secara praktis terhadap revolusi semacam itu, manusia menjadi menolak kemanusiaan dari yang-lain melalui usaha memaksakan individualitas diri-nya.

Ambillah contoh kasus Marquis de Sade yang terkenal, yang dieksplorasi oleh Camus. Dalam Sade, kekuatan-kekuatan kontradiktif sedang bekerja (lihat The 120 Days of Sodom). Di satu sisi, Sade berharap pembentukan suatu komunitas (yang pasti gila) disertai nafsu menjadi Tuan-Tertinggi, dan di sisi lain nafsu-ini memakan dirinya-sendiri dan semua subjek yang menggantikanya dengan cara-itu.

Camus melanjutkan untuk memeriksa perwujudan-perwujudan pemberontakan dalam sejarah, kasus yang paling menonjol adalah yang terjadi pada Revolusi Perancis.

Camus berpendapat bahwa revolusi berakhir dengan menggantikan nilai-nilai-transenden yang diburu untuk dihapuskan. Semua gagasan tentang keadilan yang sangat-kuat sekarang mengambil-tempat yang sebelumnya dihuni oleh Tuhan.

Saran terkenal yang diajukan oleh Rousseau bahwa di bawah pemerintahan 'kehendak-umum' setiap orang akan 'dipaksa untuk menjadi bebas' (Rousseau dalam Foley 2008: 61) membuka jalan bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah revolusi.

Camus merasa takut bahwa semua revolusi berakhir dengan pembentukan-kembali Negara.

"...Tujuh belas delapan puluh sembilan membawa Napoleon, 1848 Napoleon III, 1917 Stalin, gangguan Italia tahun dua puluhan, Mussolini, Republik Weimar, Hitler”
(Camus 2000b:146).

Camus kemudian beralih memeriksa pandangan para Marxis tentang sejarah sebagai respon terhadap upaya-upaya gagal untuk pembentukan sebuah rezim revolusioner yang hakiki.

Camus meneliti kesamaan antara konsepsi Kristen dan Marxis tentang sejarah. Keduanya menunjukkan sebuah pemikiran borjuis yang hanya memusatkan pada kemajuan. Atas nama masa-depan semuanya dapat dibenarkan :

"masa-depan adalah satu-satunya jenis-kepemilikan yang rela diberikan oleh Tuan kepada para budak."
(Camus 2000b: 162).

Menurut kedua pandangan itu, sejarah adalah kemajuan-linier dari satu permulaan menuju akhir yang pasti (keselamatan metafisik manusia atau keselamatan materialistis-nya dalam masyarakat komunis masa-depan). Dipengaruhi oleh pembacaan karya Kojève tentang Hegel, Camus menafsirkan masa-depan masyarakat-tanpa-kelas ini sebagai 'akhir-sejarah'. 'Akhir-sejarah' menunjukkan bahwa ketika semua kontradiksi berhenti, maka sejarah itu sendiri menjadi berakhir. Camus berpendapat, secara esensial nihilistik : sejarah, dalam akibat, menerima bahwa penciptaan-makna tidaklah mungkin lagi dan ia melakukan bunuh diri.

Karena revolusi-revolusi sejarah sebagian besar merupakan gerakan nihilistik, Camus berpendapat bahwa adalah membuat-mutlak terhadap nilai-nilai-revolusi yang pasti mengarah kepada negasi/penolakan/penghancuran nilai-nilai itu sendiri.
Sebaliknya, suatu konsepsi relatif terhadap nilai-nilai ini akan mampu menopang/mempertahankan suatu komunitas individual-bebas yang tidak lupa bahwa setiap pemberontakan-sejarah telah dimulai dengan menegaskan/menyatakan/menetapkan satu nilai-proto (yaitu solidaritas manusia) yang terhadap-nya setiap-nilai-nilai-lain dapat didasarkan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2f
Pemahaman Pribadi



Thursday, August 22, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (5)

e. Simone de Beauvoir ( 1908-1986 )

Simone de Beauvoir adalah murid termuda yang pernah lolos melewati ujian-resmi penerimaan siswa pada lembaga-pendidikan-tinggi yang prestisius : Ecole Normale Superieure. Selanjutnya ia menjadi seorang siswa yang cemerlang di sana. Ia adalah seorang penulis, filsuf, feminis, teman-hidup dari Jean Paul Sartre, ia terkenal kurang-baik karena cara hidup yang anti borjuis dan hubungan sex bebasnya, diantaranya sebuah hubungan penuh gairah dengan penulis Amerika Nelson Algren.

Banyak tinta telah ditumpahkan untuk memperdebatkan apakah karya de Beauvoir dibangun dari kerangka-karya-filosofis yang independen atau merupakan sebuah rumusan ulang dari karya Sartre.

Debat tersebut tentu bersandar pada kekeliruan konsep-dasar yang menghendaki sebuah kerangka-karya agar ada dan berkembang secara independen (tidak dipengaruhi oleh) lingkungan intelektual-nya. Objektivitas semacam itu tidak hanya mustahil tetapi juga tidak-dapat dikehendaki : kerangka-karya semacam itu pada akhirnya tidak akan relevan karena tidak-dapat dikomunikasikan.

Sehingga pertanyaan tentang independensi terhadap de Beauvoir dapat diabaikan disini karena tidak-relevan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang muncul dari karya-karyanya.

Pada tahun 1943 Being and Nothingness, karya yang merupakan landasan-dasar dari gerakan Eksistensialis di Perancis dipublikasikan.

Dalam karya itu Sartre memberikan sebuah penjelasan terhadap Kebebasan sebagai elemen-pembentuk-yang-penting secara ontologis kepada subjek. Seseorang tidak-dapat menjadi-yang-lain kecuali menjadi-bebas : ini adalah inti dari konsepsi Kebebasan Sartrean.

Pada tahun 1945 karya Marleau Ponty, Phenomenologi of Perception diterbitkan. Di sana begitu juga dalam esai yang terbit pada tahun yang sama berjudul 'The war has taken place', Marleau Ponty melakukan kritik-keras terhadap pendirian Sartrean, ia memberi kritik sebagai sebuah rumusan ulang dari pokok-pokok ajaran-dasar Stoikisme.

Seseorang tidak dapat menerima Kebebasan dalam isolasi dari Kebebasan yang-lain. Tindakan adalah melibatkan partisipasi (bersifat partisipatif):

"...kebebasan saya adalah terjalin-erat dengan kebebasan oran-lain melalui jalan dunia"
(Marleau Ponty dalam Stewart 1995:315)

Lebih jauh lagi tindakan terjadi dalam suatu konteks-historis tertentu. Bagi Marleau Ponty kehendak-bebas subjektif selalu dalam hubungan dialektis dengan konteks-historis-nya

Pada tahun 1947 karya Simone de Beauvoir Ethics of Ambiguity diterbitkan.

Buku itu adalah sebuah pengantar kepada Eksistensialisme tetapi juga suatu bagian kritik kepada pendirian-pendapat Sartre terhadap Kebebasan dan merupakan bagian pengembangan-parsial dari Eksistensialisme menuju bersifat sosial.

Walau de Beauvoir menggaungkan kritisisme dari Marleau Ponty terkait dengan hubungan antar-subjek yang esensial, namun ia tetap tidak meninggalkan tekanan pentingnya konteks-sosial memainkan peranan dalam proses-analisa masalah-masalah moral. Seperti Sartre hanya pada akhir kehidupannya hal tersebut kemudian diakui oleh-nya.

Dari segi apapun, buku karya de Beauvoir mengendapkan lebih-lanjut sebagian besar pemikiran-ulang dari gagasan Sartre dan hasilnya adalah Notebooks for an Ethics

Dalam Ethics of Ambigiuty de Beauvoir menawarkan sebuah gambar tentang subjek-manusia sebagai osilasi yang terus-menerus antara faktisitas dan transendensi

Meski manusia selalu dibatasi oleh fakta-fakta-yang-tidak-dapat-dijelaskan (brute-fact) mengenai eksistensi-nya, namun demikian kondisi-tersebut selalu memberi inspirasi untuk mengatasi/melampaui situasi itu, demi memilih Kebebasan-nya dan oleh karenanya untuk menciptakan dirinya-sendiri. Tegangan ini harus dipertimbangkan positif dan tidak membatasi tindakan.

Tegangan itu tepatnya disebabkan oleh ontologi manusia adalah sebuah medan-perang dari gerakan-gerakan antitese (sebuah pandangan dari de Beauvoir yang konsisten dengan Hegelianisme) bahwa subjek harus menghasilkan suatu Etika yang akan terus-meneerus bersama inti-ontologis-nya. Istilah untuk menyebut tegangan ini adalah Ambiguitas. Ambiguitas bukanlah suatu kualitas dari manusia sebagai substansi, tetapi karakterisasi dari eksistensi-manusia. Kita adalah 'ada-yang-ambigu', yang ditakdirkan melempar diri-kita ke masa-depan sementara secara bersamaan, adalah hakekat-eksistensi kita-sendiri yang melemparkan kita kembali ke dalam faktisitas.

Dengan kata lain, kembali ke fakta-fakta-yang-tidak-bisa-dijelaskan bahwa kita dalam pengertian telah ditakdirkan untuk gagal --bukan dalam proyek rencana-masa-depan tertentu ini atau itu, tetapi untuk gagal sebagai transendensi murni dan berkelanjutan.

Tepatnya melalui atau disebabkan oleh kegagalan-fundamental ini sehingga kita menyadari bahwa relasi-etis kita dengan dunia tidak dapat berpusat-pada-diri (self-referensial) tetapi juga harus melewati perwujudan takdir-bersama pada manusia sebagai suatu-ada yang-gagal dan memiliki-interrelasi.

Tidak seperti Sartre de Beauvoir adalah seorang pembaca-terdidik ajaran-ajaran Hegel. Pendirian-nya terhadap suatu etika-eksistensial oleh karenanya lebih berat dipengaruhi oleh pandangan Hegel mengenai 'momen-pengenalan' dalam karyanya Phenomenology of Spirit (Hegel 1977:111)

Dalam karya itu Hegel menjelaskan 'momen-pengenalan' sebagai gerakan yang melaluinya kesadaran-diri memproduksi dirinya-sendiri dengan menempatkan yang-lain sebagai kesadaran-diri, bukan sebagai sebuah objek-diam (bisu) tetapi sebagai diri-dengan-kesadaran-diri.

Gerakan 'momen-pengenalan' Hegelian bertahan sebagai salah satu momen yang paling mengesankan dalam sejarah filsafat karena gerakan itu untuk pertama kalinya menyatakan bahwa pembentukan terhadap diri tidak-terjadi dari dalam-diri tetapi dari-luar (tidak seperti yang dijelaskan oleh Descartes, dalam pengertian satu-satunya hakekat-kebenaran adalah kebenaran tentang keberadaan-saya, atau pada Leibniz untuk pengertian monads adalah 'windowless' atau Fichte, untuk pengertian 'Saya' adalah unsur-pembentuk-diri yang absolut).

Hegel mengatakan kepada kita, hanya karena disebabkan orang-lain mengakui-saya sebagai satu-subjek sehingga Saya dapat dikonstruksikan seperti-itu. Di luar dari 'momen-pengenalan' tidak ada kesadaran-diri. De Beauvoir mengambil jantung ajaran Hegelian dan berupaya merumuskan suatu etika darinya.

Akan menjadi seperti apakah etika ini ?

Seperti pada Nietzsche, etika yang dihasilkan mengacu pada suatu cara-menjalani-hidup (a βίος), yang dipertentangkan terhadap moralitas yang berkaitan dengan persetujuan atau pengutukan terhadap perilaku. Sehingga tidak ada resep untuk etika. Ditarik dari ajaran 'momen-pengenalan' Hegel, de Beauvoir menerima pendapat bahwa kemungkinan-perkembangan-manusia adalah didasarkan terutama pada pengakuan-eksistensi-nya oleh yang-lain.

"Manusia dapat menemukan satu justifikasi terhadap eksistensi-dirinya hanya dalam eksistensi pada orang-lain"
(Beauvoir 1976:72)

dan yang kedua pada pengakuan bahwa perkembangan-diri-saya-sendiri (atau dalam bahasa para eksistensialis, kemampuan-saya untuk memiliki proyek-masa-depan) melampaui kemungkinan suatu perkembangan-yang dimiliki oleh setiap manusia.

"Hanya Kebebasan dari yang-lain menjaga masing-masing kita dari pengerasan/pembekuan dalam absurditas dari faktisitas."
(Beauvoir, 1976:73)

de Beauvoir kembali menulis:

"Untuk menghendaki diri-seorang Bebas juga adalah untuk menghendaki yang-lain Bebas"
(1976:71)

The Ethics of Ambiguity berakhir dengan menyatakan keharusan menerima Kebebasan-seseorang dan penegasan bahwa hanya melalui tindakan yang membuat Kebebasan mungkin menciptakan diri.

Ini bukanlah satu inti-pendapat yang mudah diterima. Pendapat itu membangun sebuah gerakan perlawanan terhadap sebuah tradisi panjang dari filsafat yang memahami diri sebagai 'teori' : ketidak-tertarikan kontemplasi kepada sifat-kodrat alam dan dunia

de Beauvoir memiliki persamaan dengan banyak para Eksistensialis, ia memahami filsafat sebagai praksis : keterlibatan tindakan dalam dunia dan partisipasi dalam wacana sejarah. The Second Sex dilahirkan di luar pemahaman tersebut.

Pada tahun 1949 Le Deuxieme Sexe dipublikasikan di Perancis. Di Inggris karya itu muncul sebagai The Second Sex dalam sebuah translasi pendek yang tidak lengkap.

Buku itu dengan segera mencapai best-seller dan kemudian menjadi suatu teks/wacana pendirian Second Wave Feminism (Gelombang Kedua Feminisme) gerakan feminis dari awal 60 hingga 70 yang diinspirasikan oleh gerakan-hak-hak-sipil dan memusatkan pada pengujian teoritis terhadap konsep persamaan, ketidak-samaan, peranan-keluarga, keadilan dan lain sebagainya).

Lebih dari segalanya, The Second Sex membangun sebuah studi dalam eksistensialisme-terapan dimana konsep abstrak 'Wanita' dipasrahkan untuk pengujian terhadap kehidupan sehari-hari seseorang yang berjuang melawan penindasan dan penghinaan kemanusiaan.

Ketika de Beauvoir mengatakan bahwa tidak-ada sesuatu semacam 'Wanita' kita harus mendengar gaung dari pernyataan Kierkegaardian mengenai individu-tunggal melawan abstraksi-abstraksi dari filsafat Hegelian atau mirip dengan peneguhan Sartre pada pentingnya mengutamakan kehidupan-personal terhadap penciptaan-diri seseorang (apa yang disebut Sartre 'eksistensi') sebagai yang-dilawankan dengan suatu pemahaman pra-penetapan-ideal terhadap sesuatu-seharusnya-seperti-apa (apa yang disebut Sartre sebagai 'esensi')

The Second Sex adalah sebuah contoh teks (wacana) yang menunjukan bagaimana sebuah gerakan-filsafat dapat menjadi nyata, efek-efek nyata yang benar-benar dilihat, dirasakan pada kehidupan banyak orang dan latihan yang luar biasa dalam hal filsafat mewujud menjadi apa.

"Saya telah lama ragu (menunda) sebelum menulis sebuah buku tentang wanita. Subjek bahasan yang membuat perih khususnya bagi para-wanita..."
(Beauvoir 2009:3)

The Second Sex memulai dengan pertanyaan yang paling jelas ( tetapi jarang dipertanyakan ) : Apa itu wanita ?

De Beauvoir menemukan bahwa saat ini, tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Alasannya adalah bahwa tradisi selalu berpikir tentang Wanita sebagai 'selain-laki-laki'

Hanya seorang-lelaki yang membentuk-dirinya sebagai sebuah-subjek (de Beauvoir berkata sebagai sang-Absolut) dan Wanita menentukan dirinya hanya melalui-nya.

"Dia (seorang-wanita) menentukan dan membedakan dirinya dalam hubungan dengan seorang-lelaki dan lelaki-itu tidak berhubungan dengan-nya. Wanita-itu tidak-esensial dihadapan yang-esensial..."
(Beauvoir, 2009:6)

Tetapi mengapa demikian, Wanita menerima atau mentolerir sejak awal proses ini yang dengannya ia menjadi 'selain-laki-laki' ?

De Beauvoir tidak memberi jawaban menyeluruh, sebaliknya dengan beralih kepada pemahaman Sartre tentang keyakinan-buruk (yang mengacu pada kecemasan keberadaan-manusia dihadapan tanggung-jawab yang menyertai perwujudan dari kebebasan-radikal-nya), dia berpikir bahwa wanita berada dalam waktu, terlibat dalam situasi mereka.

Sesungguhnya adalah lebih mudah bagi seseorang --siapapun-- untuk menerima peranan sebuah objek (sebagai contoh seorang ibu rumah-tangga yang dijaga oleh suaminya) daripada mengambil tanggung-jawab untuk menciptakan dia atau dirinya dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kebebasan bagi yang-lain.

Secara alamiah kondisi keyakinan-buruk bukan selalu persoalannya. Sering kali para-wanita menemukan diri-mereka dalam lingkungan sosial-budaya yang menolak kemungkinan mereka terhadap pengembangan-personal (seperti yang terjadi pada hampir-semua mayoritas komunitas keagamaan)

Sebuah masalah lebih-jauh yang dihadapi para-wanita adalah pemahaman terhadap diri-mereka sebagai sebuah kesatuan yang akan membuat mereka mampu untuk menerima peranan dari pilihan-pilihan mereka.

"Proletariat berkata 'kita'. Begitu juga orang kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:8)

Dengan berkata 'kita', mereka mengambil peranan subjek dan merubah orang-lain menjadi 'yang-lain'. Para wanita tidak-mampu untuk menyempurnakan 'kita' ini.

"Mereka hidup terpencar-pencar diantara lelaki, terikat oleh rumah, pekerjaan, kepentingan ekonomi, dan kondisi-kondisi sosial pada lelaki-tertentu --ayah, suami-- lebih dekat daripada pada wanita-wanita lain."

"Sebagai wanita-wanita borjuis, mereka dalam solidaritas dengan para lelaki borjuis dan bukan dengan para wanita proletariat, sebagai wanita kulit putih mereka dalam solidaritas dengan lelaki kulit putih dan tidak dengan wanita kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:9)

"Para wanita menggabungkan diri terutama dengan kelas atau ras mereka dan bukan dengan wanita lain. Identitas perempuan adalah sangat terikat dengan identitas lelaki disekitar mereka..."
(Reynolds, 2006:145)

Salah satu yang paling menarik perhatian dalam momen-momen The Second Sex adalah petikan frase:

"Seseorang tidaklah dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi wanita."
(Beauvoir 2009:293)

Ia menjelaskan :

"Tidak ada takdir biologis, fisik, ekonomi menentukan sosok seorang manusia-perempuan yang diemban ke dalam masyarakat. Adalah peradaban sebagai sebuah keseluruhan yang membuat lebih-rinci produk-tengah antara laki-laki dan lelaki-yang-dikebiri yang disebut feminin."
(Beauvoir, 2008:293)

Bagi sejumlah feminis, ini jelas penasbihan terhadap persoalan perbedaan sex-gender (dimana jenis-kelamin menandai identitas biologis dari seseorang dan gender merupakan pelekatan sifat-sifat oleh kebudayaan terhadap tubuh dengan jenis-kelamin tertentu)

Secara sederhana, mutlak tidak-ada yang menetapkan/menentukan feminitas yang melekat pada seorang wanita (bagaimana seorang wanita bertindak, merasakan, bertingkah-laku), segalanya yang datang ke dalam pikiran kita sebagai feminin adalah suatu konstruksi-sosial bukan suatu pemberian alamiah.

Para feminis yang muncul kemudian seperti Monique Wittig dan Judith Butler akan berpendapat bahwa 'jenis-kelamin' adalah 'gender' dalam pengertian sebuah tubuh dengan jenis-kelamin selalu sudah ada dalam sebuah jalinan hubungan kebudayaan yang menentukan-nya.

Oleh karena itu pemberian tanda jenis-kelamin (seorang dokter yang menyatakan jenis-kelamin pada sorang bayi) adalah pendapat normatif yang di-naturalisasi-kan (tetapi sama sekali tidak-natural) yang mengirimkan manusia ke dalam relasi-relasi kekuasaan.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2e
Pemahaman Pribadi



Friday, August 9, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (4)

c. Jean-Paul Sartre ( 1905-1980 )

Dalam kesadaran publik, setidaknya Sartre dapat dipastikan merupakan sosok-sentral dalam Eksistensialisme.

Semua tema yang kita perkenalkan sebelumnya hadir bersama dalam karya-karya-nya.

Dengan kemungkinan pengecualian terhadap Nietzsche, tulisan-tulisan-nya adalah yang paling luas dikumpulkan dalam karya seni artistik (the lovely, if oversimplifying, exsistensialism and humanism) dan karya-sastra-nya sangat luas dibaca atau dipentaskan (khususnya Novel Nausea).

Meski tidak nyaman dalam sorotan publik, bagaimanapun ia adalah model sesungguhnya dari seorang intelektual publik, menulis ratusan karya pendek untuk disebarkan pada publik dan mengambil sikap tegas, independen dan sering kontroversial berdiri pada peristiwa-peristiwa politik besar.

Tulisan-tulisan-nya yang paling jelas memiliki karakter Eksistensialis mulai dari karya-karya awal Sartre dan periode pertengahan, terutama pada tahun 1930-an dan 1940-an.

Dari tahun 1950 hingga selanjutnya, Satre merubah arah Eksistensialisme-nya menuju ke filsafat, tujuan dari langkah itu adalah untuk memahami kemungkinan suatu politik-revolusioner yang asli/murni.

Sartre berada pada akhir tahun 20-an ketika ia dipertemukan dengan fenomenologi, secara spesifik dengan gagasan-gagasan filsafat dari Edmund Husserl (kita harus menyebut bahwa Heidegger juga sangat dipengaruhi oleh Husserl, tetapi tidak begitu jelas dalam bahasa yang ia gunakan, karena ia meninggalkan bahasa kesadaran dan tindakan-tindakan) lebih khusus dan penting lagi pemikiran Sartre adalah paham intensionalitas dari Husserl.

Dalam interpretasi Sartre terhadap gagasan ini, kesadaran bukanlah diidentifikasikan dengan suatu-benda (misal sebuah pikiran, jiwa atau otak) dengan kata lain semacam suatu tempat-penyimpanan gagasan-gagasan dan gambaran-gambaran suatu benda/hal. Namun, kesadaran tidak-lain adalah keterarahan-kepada-suatu-benda/hal.

Sartre menemukan cara menarik untuk merangkum paham tentang objek-intensional :

"Jika saya mencintai dia, saya mencintai-nya karena dia 'dapat-dicintai' (lovable)."
(Sartre 1970:4-5).

Dalam pengalaman saya, sesuatu yang 'dapat-dicintai' (lovableness) pada dia bukanlah sebuah aspek gambaran-saya tentang dia, melainkan sebuah sifat yang dimiliki olehnya (dan pada akhirnya sebagai bagian dari dunia) yang melalui-nya kesadaran-saya dengan sendirinya mengarahkan diri kepada-nya.

Hal-hal yang saya perhatikan pada dia (senyumnya, tawanya) aslinya tidaklah netral dan kemudian saya melakukan interpretasi ide-ide terhadap hal-hal-itu sebagai 'indah,menarik,menyenangkan' (lovely), hal-hal-itulah aspek-aspek dari dia sebagai 'yang-dapat-dicintai' (lovable). Pemahaman bahwa kesadaran bukanlah suatu benda/hal adalah vital bagi Sartre.

Memang, kesadaran dikarakterisasikan terutama sebagai bukan-benda/hal-apapun : Yang pertama dan terutama bukanlah sesuatu yang disadari-nya. (Sartre menyebut eksistensi-manusia ada-bagi-dirinya-sendiri 'for itself' dan eksistensi-benda-lain ada-dalam-dirinya-sendiri 'in itself')

Karena kesadaran bukan suatu benda/hal, ia bukanlah subjek hukum-benda-benda, secara spesifik, kesadaran bukanlah bagian suatu rangkaian sebab-akibat dan identitas-nya tidaklah seperti suatu Substansi.

Sebelumnya kita telah mengajukan pandangan bahwa sebuah-perhatian terhadap sifat-kodrat-eksistensi dan lebih-khusus terhadap sifat-kodrat-yang-berbeda pada eksistensi-manusia dengan benda-benda-lain adalah menentukan tema-tema Eksistensialis.

Lebih jauh lagi, Eksitensialisme membahas tema kondisi-kesadaran, dan bukan sebuah benda/hal yang merupakan bagian dari rangkaian-sebab-akibat yaitu Saya bebas (tema kebebasan). Dari waktu ke waktu, momen ke momen, setiap tindakan saya adalah milik-saya-sendiri untuk dipilih.

Tentu saja, saya mempunyai sebuah masa-lalu yang tidak dapat ditanggalkan/dilepas, ini adalah bagian dari 'situasi-saya'. Namun demikian, sekali lagi, 'saya-lah' yang pertama dan terutama bukan 'situasi-saya'. Oleh karena itu, setiap saat saya harus memilih apakah melanjutkan alur kehidupan yang ada (saya-masa-lalu) atau menjadi sesuatu yang lain (saya-yang-baru).

Sehingga, eksistensi-saya (fakta satu-satunya bahwa saya-ada) adalah mendahului esensi (apa yang saya ciptakan pada diri-saya melalui pilihan-pilihan-bebas-saya).

Oleh karena itu, saya sangat bertanggung jawab bagi diri-saya-sendiri. Jika tindakan-saya bukan hanya apapun-yang-terjadi di dalam pikiran-saya, maka tindakan-saya membentuk sebuah prinsip-tindakan yang lebih umum.

Prinsip ini juga adalah salah satu yang harus saya pilih dengan bebas dan mengikatkan diri-saya kepada-nya, itu adalah suatu gambaran jenis-kehidupan yang saya yakini memiliki nilai (Dalam cara ini, Sartre bersinggungan dengan penjelasan Kantian yang luas terhadap kebebasan yang sudah kita perkenalkan sebelumnya dalam bagian tematik).

Sebagai yang 'tersituasi', saya juga menemukan diri-saya dikelilingi oleh semacam gambaran-gambaran --dari agama, kebudayaan, politik atau moralitas dan lain-lain-- tetapi tak ada satupun yang memaksa kebebasan saya. (Semua kekuatan-kekuatan ini yang mengejar untuk menyesuaikan/menundukan kebebasan-saya dengan melakukan objektivasi terhadap saya adalah bentuk tema Keramaian versi dari Sartre).

Saya mengada sebagai kebebasan, terutama dikarakterisasikan sebagai 'tidak-ditentukan' oleh apapun-juga, sehingga eksistensi-kontinyu-saya mensyaratkan latihan/tindakan terus menerus yang selalu kembali-membuat-baru kebebasan-saya (oleh karena itu dalam pembahasan tematik kita di atas, paham dari Spinosa dan Leibniz tentang eksistensi disebut sebagai suatu-perjuangan-untuk-ada)

Juga oleh karena itu, ketidak-beradaan-saya (non-eksistensi-saya) dan ketidak-beradaan dari semua-yang-saya-yakini, hanyalah tidak-adanya suatu kebebasan-memilih.

Saya (dalam pengertian sebuah eksistensi-manusia-yang-otentik) adalah bukan 'saya' (masa-lalu yang telah saya akumulasi, hal-hal di sekitar saya, atau cara orang-lain memandang saya)

Saya sendirian dalam tanggung-jawab-saya, sedang eksistensi-saya relatif terhadap segala-hal-eksternal yang mungkin memberinya makna, itu adalah absurd. Berhadapan langsung dengan semacam tanggung-jawab saya merasa 'cemas'.

Perhatikan bahwa meski penjelasan Sartre terhadap 'ketersituasian' memiliki banyak persamaan dengan Nietzsche dan Heidegger, ia melihat 'ketersituasian' terutama dalam pengertian apa yang memberikan makna pada kebebasan-manusia dan batas batasnya.

Nietzsche dan Heidegger secara kontras memandang suatu konsep kebebasan semacam itu sebagai kebebasan metafisis-yang-naif.

Meski demikian, anggaplah bahwa pada satu titik saya menyadari diri-saya melalui sebuah hal seperti berikut ini :

Sebagai contoh : saya berkata, "Saya seorang pelajar." (memperlakukan diri saya sebagai memiliki suatu-yang-tetap, hal seperti identitas) atau "Saya tidak ada pilihan" (memperlakukan diri-saya sebagai milik rangkaian sebab-akibat)

Saya menggambarkan sebuah identitas-tetap atau sejumlah kualitas terhadap diri-saya, cara saya melihat diri-saya mirip dengan saya mengucapkan, "Itu adalah sepotong batu granit" ketika saya melihat sebongkah batu granit.

Dalam kasus tersebut, saya berada dalam penolakan cara-eksistensi-manusia yang berbeda dengan benda-benda-lain. Saya terbang meninggalkan kebebasan-saya.

Ini adalah ketidak-otentikan atau 'keyakinan-buruk'. Seharusnya kita melihat, ketidak-otentikan bukanlah jebakan-kebetulan dalam kehidupan manusia, tetapi esensial terhadap-nya.

Eksistensi manusia adalah sebuah kejatuhan-terus-menerus yang menjauhi pengenalan-otentik terhadap kebebasan-nya.

Sartre disini oleh karena itu menggaungkan paham Heidegger daripada ketidak-otentikan sebagai sebuah kondisi kemungkinan dari eksistensi-manusia.

Intensionalitas memanifestasikan dirinya melalui cara-lain yang penting. Jarang bila saya hanya mengamati dunia, namun sebaliknya saya terlibat didalamnya ketika saya menginginkan untuk melakukan sesuatu, saya memiliki sebuah tujuan yang berada di masa-depan.

Disini, kesadaran-intensional bukanlah keterarahan yang statis kepada benda-benda, tetapi lebih sebuah proyeksi-aktif terhadap masa-depan.

Anggaplah bahwa saya sedang mengejar proyek-saya untuk menikahi kekasih-saya di masa-depan. Ini adalah relasi-intensional terhadap suatu-kondisi di masa-depan mengenai hubungan-cinta-saya.

Karena saya bebas, saya mengikatkan diri-saya kepada proyek-ini dan saya harus menyetujui-kembali terhadap ikatan itu setiap saat. Itu adalah bagian dari proyek-hidup-saya, gambaran dari kehidupan manusia yang saya tawarkan pada diri-saya dan orang lain sebagai sesuatu yang bernilai.

Namun, perhatikan bahwa proyek-saya melibatkan ketidak-otentikan. Saya memproyeksikan diri-saya berada di masa-depan dimana saya sudah-menikahi kekasih-saya (married) --begitulah, saya menetapkan diri-saya sebagai manusia-yang-sudah-menikah (married), seolah-olah saya sebuah ada-yang-tetap.

Oleh karena itu terdapat sebuah tegangan-esensial pada semua proyeksi. Pada satu sisi, fakta satu-satunya bahwa saya memproyeksikan diri-saya ke masa-depan adalah sisipan dari kebebasan-saya, hanya kesadaran-bebas-radikal yang dapat memproyeksikan dirinya-sendiri.

Saya ada sebagai proyeksi terhadap masa-depan, yang sekali lagi, bukanlah saya. Sehingga, saya (dalam pengertian diri yang otentik) adalah bukan-saya (karena proyeksi-saya yang selalu dalam perjalanan menuju masa depan)

Disisi lain, dalam memproyeksikan, saya memproyeksikan diri-saya sebagai suatu-benda, yaitu sebagai satu-benda yang tidak lagi memiliki proyeksi, tidak mempunyai masa-depan, dan tidak bebas.

Maka setiap tindakan, sebagai ekspresi dari kebebasan sekaligus merupakan sebuah jerat-kebebasan. Proyeksi adalah absurd : saya mengejar untuk menjadi objek-yang-tidak-mungkin 'for-it-self-in-it-self', suatu benda yang bebas sekaligus hanya-benda yang tidak-bebas.

Lahirnya tegangan ini, adalah sebuah pengenalan terhadap kebebasan, apa yang disyaratkan-nya dan kerapuhan esensial-nya.

Sehingga, sekali lagi, kita berhadapan dengan kecemasan-eksistensial. (dalam artikel ini, kita tidak menekankan pentingnya konsep waktu bagi Eksistensialisme, tetapi tidak seharusnya dilewati beberapa karya : witness salah satu konsep waktu dari Nietzsche yang paling terkenal ( pengulangan-abadi ) dan beberapa judul sebagian besar karya awal Heidegger Being dan Time.

Dalam keterarahan-intensional kepada kekasih-saya, saya menemukan 'loveable' yang dimiliki-nya

Namun demikian ini juga suatu objektivasi. Dalam tatapan-intensional saya, dia adalah 'loveable' dalam pengertian yang sama bahwa granit adalah keras atau berat.

Sejauh ketika saya jatuh cinta, maka saya mengejar untuk menolak kebebasan-nya

Meski demikian, sejauh ketika saya berharap untuk dicintai oleh-nya, maka dia harus bebas untuk memilih saya sebagai kekasih-nya.

Jika dia bebas, dia melepaskan cinta-saya, jika tidak-bebas, dia tidak bisa jatuh-cinta pada saya.

Adalah dalam pengertian ini bahwa Sartre melakukan analisis terhadap cinta dalam Bagian Tiga dari karyanya Being and Nothingness.

Cinta disini adalah sebuah contoh studi dalam bentuk-bentuk dasar hubungan sosial.

Sartre oleh karenanya bergerak dari kerangka referensi yang sepenuhnya individualistik (diri-saya, kebebasan-saya, dan proyeksi-saya) menuju suatu pertimbangan terhadap diri dalam hubungan-hubungan kongkret dengan orang lain.

Sartre sedang membuat karya --dengan suatu cara yang menurutnya kurang memadai-- persoalan-persoalan yang disajikan oleh dialektika-pengenalan Hegellian, yang telah kita sebutkan di atas.

Neraka dari lingkaran-tindakan-tindakan-kebebasan-tanpa-akhir ini dan objektivasi didramatisasi secara briliant dalam pertunjukan No Exit.

Beberapa tahun kemudian pada akhir tahun 1940, Sartre menulis apa yang telah dipublikasikan sebagai Notebook for an Ethics.

Sartre (pada saat itu dipengaruhi oleh kritisisme dari Marleau-Ponti dan de Beauvoir, dan oleh peningkatan-komitmen-nya kepada politik-kolektivisme) melakukan elaborasi besar terhadap penjelasan eksistensialis-nya tentang hubungan-hubungan dengan ada-yang-lain, mengangkat gagasan Hegellian dengan lebih serius. Dia tidak lagi memikirkan tentang relasi-relasi kongkret dengan terlalu pesimistik.

Meski Nietzsche dan Heidegger keduanya mengajukan kemungkinan sebuah ada-otentik bersama ada-yang-lain, keduanya meninggalkan dibawah-pengembangan secara serius.

Untuk tujuan kita, ada dua kunci gagasan dalam karya Sartre, Notebooks.

Yang pertama adalah bahwa proyeksi-proyeksi-saya dapat diwujudkan hanya dengan berkerjasama dengan ada-yang-lain. Meskipun demikian, kerjasama itu mensyaratkan pra-pemahaman terhadap kebebasan mereka (saya tidak bisa membuat dia mencintai saya), dan penilaian-penilaian mereka terhadap saya harus menjadi perhatian saya.

Oleh karena itu mengijinkan kebebasan kepada ada-yang-lain harus menjadi sebuah bagian-pusat dari semua proyek-proyek saya.

Sartre oleh karenanya mengikatkan diri-nya melawan suatu bentuk-bentuk dominasi politik, sosial atau ekonomi.

Kedua, terdapat kemungkinan terhadap sebuah bentuk organisasi sosial dan aksi didalamnya setiap individual secara bebas memberikan diri-nya kepada suatu proyek bersama : sebuah 'kota terakhir' (ini adalah sebuah karya yang mengangkat kembali gagasan Kant tentang 'kerajaan-terakhir' dalam the Metaphysis of Morals)

Suatu ada-otentik bagi Sartre oleh karena itu berarti dua hal.

Pertama, adalah semacam sebuah 'gaya' dari mengada --seorang yang setiap-saat berada dalam kecemasan dan itu berarti sadar sepenuhnya terhadap absurditas dan kerapuhan kebebasan-nya.

Kedua, meskipun terdapat tingkat minimal dari konten pada setiap proyek-otentik : apapun proyak-saya, juga harus suatu proyek kebebasan, bagi diri-saya dan ada-yang-lain


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2d
Pemahaman Pribadi