Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, August 9, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (4)

c. Jean-Paul Sartre ( 1905-1980 )

Dalam kesadaran publik, setidaknya Sartre dapat dipastikan merupakan sosok-sentral dalam Eksistensialisme.

Semua tema yang kita perkenalkan sebelumnya hadir bersama dalam karya-karya-nya.

Dengan kemungkinan pengecualian terhadap Nietzsche, tulisan-tulisan-nya adalah yang paling luas dikumpulkan dalam karya seni artistik (the lovely, if oversimplifying, exsistensialism and humanism) dan karya-sastra-nya sangat luas dibaca atau dipentaskan (khususnya Novel Nausea).

Meski tidak nyaman dalam sorotan publik, bagaimanapun ia adalah model sesungguhnya dari seorang intelektual publik, menulis ratusan karya pendek untuk disebarkan pada publik dan mengambil sikap tegas, independen dan sering kontroversial berdiri pada peristiwa-peristiwa politik besar.

Tulisan-tulisan-nya yang paling jelas memiliki karakter Eksistensialis mulai dari karya-karya awal Sartre dan periode pertengahan, terutama pada tahun 1930-an dan 1940-an.

Dari tahun 1950 hingga selanjutnya, Satre merubah arah Eksistensialisme-nya menuju ke filsafat, tujuan dari langkah itu adalah untuk memahami kemungkinan suatu politik-revolusioner yang asli/murni.

Sartre berada pada akhir tahun 20-an ketika ia dipertemukan dengan fenomenologi, secara spesifik dengan gagasan-gagasan filsafat dari Edmund Husserl (kita harus menyebut bahwa Heidegger juga sangat dipengaruhi oleh Husserl, tetapi tidak begitu jelas dalam bahasa yang ia gunakan, karena ia meninggalkan bahasa kesadaran dan tindakan-tindakan) lebih khusus dan penting lagi pemikiran Sartre adalah paham intensionalitas dari Husserl.

Dalam interpretasi Sartre terhadap gagasan ini, kesadaran bukanlah diidentifikasikan dengan suatu-benda (misal sebuah pikiran, jiwa atau otak) dengan kata lain semacam suatu tempat-penyimpanan gagasan-gagasan dan gambaran-gambaran suatu benda/hal. Namun, kesadaran tidak-lain adalah keterarahan-kepada-suatu-benda/hal.

Sartre menemukan cara menarik untuk merangkum paham tentang objek-intensional :

"Jika saya mencintai dia, saya mencintai-nya karena dia 'dapat-dicintai' (lovable)."
(Sartre 1970:4-5).

Dalam pengalaman saya, sesuatu yang 'dapat-dicintai' (lovableness) pada dia bukanlah sebuah aspek gambaran-saya tentang dia, melainkan sebuah sifat yang dimiliki olehnya (dan pada akhirnya sebagai bagian dari dunia) yang melalui-nya kesadaran-saya dengan sendirinya mengarahkan diri kepada-nya.

Hal-hal yang saya perhatikan pada dia (senyumnya, tawanya) aslinya tidaklah netral dan kemudian saya melakukan interpretasi ide-ide terhadap hal-hal-itu sebagai 'indah,menarik,menyenangkan' (lovely), hal-hal-itulah aspek-aspek dari dia sebagai 'yang-dapat-dicintai' (lovable). Pemahaman bahwa kesadaran bukanlah suatu benda/hal adalah vital bagi Sartre.

Memang, kesadaran dikarakterisasikan terutama sebagai bukan-benda/hal-apapun : Yang pertama dan terutama bukanlah sesuatu yang disadari-nya. (Sartre menyebut eksistensi-manusia ada-bagi-dirinya-sendiri 'for itself' dan eksistensi-benda-lain ada-dalam-dirinya-sendiri 'in itself')

Karena kesadaran bukan suatu benda/hal, ia bukanlah subjek hukum-benda-benda, secara spesifik, kesadaran bukanlah bagian suatu rangkaian sebab-akibat dan identitas-nya tidaklah seperti suatu Substansi.

Sebelumnya kita telah mengajukan pandangan bahwa sebuah-perhatian terhadap sifat-kodrat-eksistensi dan lebih-khusus terhadap sifat-kodrat-yang-berbeda pada eksistensi-manusia dengan benda-benda-lain adalah menentukan tema-tema Eksistensialis.

Lebih jauh lagi, Eksitensialisme membahas tema kondisi-kesadaran, dan bukan sebuah benda/hal yang merupakan bagian dari rangkaian-sebab-akibat yaitu Saya bebas (tema kebebasan). Dari waktu ke waktu, momen ke momen, setiap tindakan saya adalah milik-saya-sendiri untuk dipilih.

Tentu saja, saya mempunyai sebuah masa-lalu yang tidak dapat ditanggalkan/dilepas, ini adalah bagian dari 'situasi-saya'. Namun demikian, sekali lagi, 'saya-lah' yang pertama dan terutama bukan 'situasi-saya'. Oleh karena itu, setiap saat saya harus memilih apakah melanjutkan alur kehidupan yang ada (saya-masa-lalu) atau menjadi sesuatu yang lain (saya-yang-baru).

Sehingga, eksistensi-saya (fakta satu-satunya bahwa saya-ada) adalah mendahului esensi (apa yang saya ciptakan pada diri-saya melalui pilihan-pilihan-bebas-saya).

Oleh karena itu, saya sangat bertanggung jawab bagi diri-saya-sendiri. Jika tindakan-saya bukan hanya apapun-yang-terjadi di dalam pikiran-saya, maka tindakan-saya membentuk sebuah prinsip-tindakan yang lebih umum.

Prinsip ini juga adalah salah satu yang harus saya pilih dengan bebas dan mengikatkan diri-saya kepada-nya, itu adalah suatu gambaran jenis-kehidupan yang saya yakini memiliki nilai (Dalam cara ini, Sartre bersinggungan dengan penjelasan Kantian yang luas terhadap kebebasan yang sudah kita perkenalkan sebelumnya dalam bagian tematik).

Sebagai yang 'tersituasi', saya juga menemukan diri-saya dikelilingi oleh semacam gambaran-gambaran --dari agama, kebudayaan, politik atau moralitas dan lain-lain-- tetapi tak ada satupun yang memaksa kebebasan saya. (Semua kekuatan-kekuatan ini yang mengejar untuk menyesuaikan/menundukan kebebasan-saya dengan melakukan objektivasi terhadap saya adalah bentuk tema Keramaian versi dari Sartre).

Saya mengada sebagai kebebasan, terutama dikarakterisasikan sebagai 'tidak-ditentukan' oleh apapun-juga, sehingga eksistensi-kontinyu-saya mensyaratkan latihan/tindakan terus menerus yang selalu kembali-membuat-baru kebebasan-saya (oleh karena itu dalam pembahasan tematik kita di atas, paham dari Spinosa dan Leibniz tentang eksistensi disebut sebagai suatu-perjuangan-untuk-ada)

Juga oleh karena itu, ketidak-beradaan-saya (non-eksistensi-saya) dan ketidak-beradaan dari semua-yang-saya-yakini, hanyalah tidak-adanya suatu kebebasan-memilih.

Saya (dalam pengertian sebuah eksistensi-manusia-yang-otentik) adalah bukan 'saya' (masa-lalu yang telah saya akumulasi, hal-hal di sekitar saya, atau cara orang-lain memandang saya)

Saya sendirian dalam tanggung-jawab-saya, sedang eksistensi-saya relatif terhadap segala-hal-eksternal yang mungkin memberinya makna, itu adalah absurd. Berhadapan langsung dengan semacam tanggung-jawab saya merasa 'cemas'.

Perhatikan bahwa meski penjelasan Sartre terhadap 'ketersituasian' memiliki banyak persamaan dengan Nietzsche dan Heidegger, ia melihat 'ketersituasian' terutama dalam pengertian apa yang memberikan makna pada kebebasan-manusia dan batas batasnya.

Nietzsche dan Heidegger secara kontras memandang suatu konsep kebebasan semacam itu sebagai kebebasan metafisis-yang-naif.

Meski demikian, anggaplah bahwa pada satu titik saya menyadari diri-saya melalui sebuah hal seperti berikut ini :

Sebagai contoh : saya berkata, "Saya seorang pelajar." (memperlakukan diri saya sebagai memiliki suatu-yang-tetap, hal seperti identitas) atau "Saya tidak ada pilihan" (memperlakukan diri-saya sebagai milik rangkaian sebab-akibat)

Saya menggambarkan sebuah identitas-tetap atau sejumlah kualitas terhadap diri-saya, cara saya melihat diri-saya mirip dengan saya mengucapkan, "Itu adalah sepotong batu granit" ketika saya melihat sebongkah batu granit.

Dalam kasus tersebut, saya berada dalam penolakan cara-eksistensi-manusia yang berbeda dengan benda-benda-lain. Saya terbang meninggalkan kebebasan-saya.

Ini adalah ketidak-otentikan atau 'keyakinan-buruk'. Seharusnya kita melihat, ketidak-otentikan bukanlah jebakan-kebetulan dalam kehidupan manusia, tetapi esensial terhadap-nya.

Eksistensi manusia adalah sebuah kejatuhan-terus-menerus yang menjauhi pengenalan-otentik terhadap kebebasan-nya.

Sartre disini oleh karena itu menggaungkan paham Heidegger daripada ketidak-otentikan sebagai sebuah kondisi kemungkinan dari eksistensi-manusia.

Intensionalitas memanifestasikan dirinya melalui cara-lain yang penting. Jarang bila saya hanya mengamati dunia, namun sebaliknya saya terlibat didalamnya ketika saya menginginkan untuk melakukan sesuatu, saya memiliki sebuah tujuan yang berada di masa-depan.

Disini, kesadaran-intensional bukanlah keterarahan yang statis kepada benda-benda, tetapi lebih sebuah proyeksi-aktif terhadap masa-depan.

Anggaplah bahwa saya sedang mengejar proyek-saya untuk menikahi kekasih-saya di masa-depan. Ini adalah relasi-intensional terhadap suatu-kondisi di masa-depan mengenai hubungan-cinta-saya.

Karena saya bebas, saya mengikatkan diri-saya kepada proyek-ini dan saya harus menyetujui-kembali terhadap ikatan itu setiap saat. Itu adalah bagian dari proyek-hidup-saya, gambaran dari kehidupan manusia yang saya tawarkan pada diri-saya dan orang lain sebagai sesuatu yang bernilai.

Namun, perhatikan bahwa proyek-saya melibatkan ketidak-otentikan. Saya memproyeksikan diri-saya berada di masa-depan dimana saya sudah-menikahi kekasih-saya (married) --begitulah, saya menetapkan diri-saya sebagai manusia-yang-sudah-menikah (married), seolah-olah saya sebuah ada-yang-tetap.

Oleh karena itu terdapat sebuah tegangan-esensial pada semua proyeksi. Pada satu sisi, fakta satu-satunya bahwa saya memproyeksikan diri-saya ke masa-depan adalah sisipan dari kebebasan-saya, hanya kesadaran-bebas-radikal yang dapat memproyeksikan dirinya-sendiri.

Saya ada sebagai proyeksi terhadap masa-depan, yang sekali lagi, bukanlah saya. Sehingga, saya (dalam pengertian diri yang otentik) adalah bukan-saya (karena proyeksi-saya yang selalu dalam perjalanan menuju masa depan)

Disisi lain, dalam memproyeksikan, saya memproyeksikan diri-saya sebagai suatu-benda, yaitu sebagai satu-benda yang tidak lagi memiliki proyeksi, tidak mempunyai masa-depan, dan tidak bebas.

Maka setiap tindakan, sebagai ekspresi dari kebebasan sekaligus merupakan sebuah jerat-kebebasan. Proyeksi adalah absurd : saya mengejar untuk menjadi objek-yang-tidak-mungkin 'for-it-self-in-it-self', suatu benda yang bebas sekaligus hanya-benda yang tidak-bebas.

Lahirnya tegangan ini, adalah sebuah pengenalan terhadap kebebasan, apa yang disyaratkan-nya dan kerapuhan esensial-nya.

Sehingga, sekali lagi, kita berhadapan dengan kecemasan-eksistensial. (dalam artikel ini, kita tidak menekankan pentingnya konsep waktu bagi Eksistensialisme, tetapi tidak seharusnya dilewati beberapa karya : witness salah satu konsep waktu dari Nietzsche yang paling terkenal ( pengulangan-abadi ) dan beberapa judul sebagian besar karya awal Heidegger Being dan Time.

Dalam keterarahan-intensional kepada kekasih-saya, saya menemukan 'loveable' yang dimiliki-nya

Namun demikian ini juga suatu objektivasi. Dalam tatapan-intensional saya, dia adalah 'loveable' dalam pengertian yang sama bahwa granit adalah keras atau berat.

Sejauh ketika saya jatuh cinta, maka saya mengejar untuk menolak kebebasan-nya

Meski demikian, sejauh ketika saya berharap untuk dicintai oleh-nya, maka dia harus bebas untuk memilih saya sebagai kekasih-nya.

Jika dia bebas, dia melepaskan cinta-saya, jika tidak-bebas, dia tidak bisa jatuh-cinta pada saya.

Adalah dalam pengertian ini bahwa Sartre melakukan analisis terhadap cinta dalam Bagian Tiga dari karyanya Being and Nothingness.

Cinta disini adalah sebuah contoh studi dalam bentuk-bentuk dasar hubungan sosial.

Sartre oleh karenanya bergerak dari kerangka referensi yang sepenuhnya individualistik (diri-saya, kebebasan-saya, dan proyeksi-saya) menuju suatu pertimbangan terhadap diri dalam hubungan-hubungan kongkret dengan orang lain.

Sartre sedang membuat karya --dengan suatu cara yang menurutnya kurang memadai-- persoalan-persoalan yang disajikan oleh dialektika-pengenalan Hegellian, yang telah kita sebutkan di atas.

Neraka dari lingkaran-tindakan-tindakan-kebebasan-tanpa-akhir ini dan objektivasi didramatisasi secara briliant dalam pertunjukan No Exit.

Beberapa tahun kemudian pada akhir tahun 1940, Sartre menulis apa yang telah dipublikasikan sebagai Notebook for an Ethics.

Sartre (pada saat itu dipengaruhi oleh kritisisme dari Marleau-Ponti dan de Beauvoir, dan oleh peningkatan-komitmen-nya kepada politik-kolektivisme) melakukan elaborasi besar terhadap penjelasan eksistensialis-nya tentang hubungan-hubungan dengan ada-yang-lain, mengangkat gagasan Hegellian dengan lebih serius. Dia tidak lagi memikirkan tentang relasi-relasi kongkret dengan terlalu pesimistik.

Meski Nietzsche dan Heidegger keduanya mengajukan kemungkinan sebuah ada-otentik bersama ada-yang-lain, keduanya meninggalkan dibawah-pengembangan secara serius.

Untuk tujuan kita, ada dua kunci gagasan dalam karya Sartre, Notebooks.

Yang pertama adalah bahwa proyeksi-proyeksi-saya dapat diwujudkan hanya dengan berkerjasama dengan ada-yang-lain. Meskipun demikian, kerjasama itu mensyaratkan pra-pemahaman terhadap kebebasan mereka (saya tidak bisa membuat dia mencintai saya), dan penilaian-penilaian mereka terhadap saya harus menjadi perhatian saya.

Oleh karena itu mengijinkan kebebasan kepada ada-yang-lain harus menjadi sebuah bagian-pusat dari semua proyek-proyek saya.

Sartre oleh karenanya mengikatkan diri-nya melawan suatu bentuk-bentuk dominasi politik, sosial atau ekonomi.

Kedua, terdapat kemungkinan terhadap sebuah bentuk organisasi sosial dan aksi didalamnya setiap individual secara bebas memberikan diri-nya kepada suatu proyek bersama : sebuah 'kota terakhir' (ini adalah sebuah karya yang mengangkat kembali gagasan Kant tentang 'kerajaan-terakhir' dalam the Metaphysis of Morals)

Suatu ada-otentik bagi Sartre oleh karena itu berarti dua hal.

Pertama, adalah semacam sebuah 'gaya' dari mengada --seorang yang setiap-saat berada dalam kecemasan dan itu berarti sadar sepenuhnya terhadap absurditas dan kerapuhan kebebasan-nya.

Kedua, meskipun terdapat tingkat minimal dari konten pada setiap proyek-otentik : apapun proyak-saya, juga harus suatu proyek kebebasan, bagi diri-saya dan ada-yang-lain


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2d
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment