Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, August 25, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (6)

f. Albert Camus (1913-1960)

Albert Camus adalah seorang intelektual, penulis dan jurnalis Perancis.

Karya-karyanya dengan elemen yang beragam begitu juga hubungan-ambivalen-nya dengan filsafat dan eksistensialisme membuat setiap usaha untuk melakukan klasifikasi terhadap dirinya ke dalam 'eksistensialis' merupakan sebuah operasi yang beresiko.

Seorang penerima hadiah nobel kesusastraan pada tahun 1957 utamanya untuk novel-novelnya, ia juga dikenal sebagai seorang filsuf karena karya-karya non-sastra dan hubungan-nya dengan Jean Paul Sartre.

Dan tanggapan-nya kemudian adalah sangat jelas :

"Saya bukan seorang filsuf, karena saya tidak cukup percaya pada akal untuk mempercayai suatu sistem. Apa yang menarik saya adalah mengetahui bagaimana kita harus bersikap dan lebih tepatnya bagaimana untuk bersikap ketika seseorang tidak mempercayai Tuhan atau akal."
(Camus dalam Sherman 2009:1)

Persoalan bukanlah hanya mengenai label 'eksistensialis'. Tetapi lebih menunjuk kepada suatu 'tegangan-yang-dalam' yang terdapat pada pemikiran semua pemikir yang dikaitkan dengan eksistensialisme.

Pertanyaannya adalah :
Dengan berapa banyak suara, pikiran dapat berbicara ?

Seperti yang telah kita lihat, para pemikir eksistensialisme seringkali mengirimkan/mengeluarkan lebih dari satu suara.

Hampir semua dari mereka memiliki kesamaan suatu 'kecurigaan-yang-dalam' terhadap sebuah filsafat yang bekerja/beroperasi dengan akal seperti yang diungkapkan oleh Pencerahan.

Camus memiliki kecurigaan yang sama dan oleh karenanya ia menyebut filsafat-nya tentang absurditas bermaksud untuk menetapkan batas terhadap ambisi-ambisi yang berlebihan pada rasionalitas Barat.

Akal adalah hal-yang-absurd dalam hal akal percaya bahwa dapat menjelaskan totalitas-pengalaman manusia namun tepatnya justru, itu adalah ketidak-mampuan-nya untuk menjelaskan itu sebagai contoh suatu momen dari gagalnya-rancangan (a moment of fall designates).

Sehingga dalam novelnya 'The Fall' narasi riuh dari tokoh protagonis mengungkapkan pengambil-alihan suatu kehidupan dari keajegan/keteraturan-semu oleh kekuatan kegelapan dan irrasionalitas.

"Sebuah neraka borjuis, tentu saja dihuni oleh mimpi-mimpi buruk."
(Camus, 2006:10)

Dengan cara yang sama Camus juga menolak keterkaitannya dengan eksistensialisme.

“Non, je ne suis pas existentialist."
(Tidak, saya bukan seorang eksistensialis)

Adalah judul dari sebuah wawancara terkenal yang diberikan olehnya untuk majalah Les Nouvelles Litteraires pada 15 November 1945.

Persoalan sesungguhnya adalah bahwa penolakan Camus terhadap eksistensialisme lebih diarahkan pada eksistensialisme versi Sartre daripada mengarah untuk meninggalkan persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh para pemikir eksistensialis.

Secara khusus, Camus khawatir bahwa penyembahan Sartre terhadap sejarah (Sartre memproklamirkan diri sebagai seorang Marxis) akan tidak-sesuai dengan afirmasi terhadap kebebasan-personal. Camus menuduh Hegel (selanjutnya Marx juga) telah mereduksi manusia ke dalam sejarah dan oleh karena itu menolak manusia sebagai kemungkinan untuk menciptakan-sejarah-dirinya-sendiri yang merupakan afirmasi kebebasan-nya.

Secara filosofis, Camus dikenal untuk konsepsinya tentang hal-yang-absurd.

Mungkin kita harus membuat jelas sejak awal apa hal-yang-tidak-absurd itu. Hal-yang-absurd bukanlah nihilisme. Bagi Camus penerimaan terhadap hal-yang-absurd tidak mengarah kepada nihilisme (menurut Nitezsche nihilisme menandai keadaan didalamnya nilai-nilai tertinggi meruntuhkan dirinya-sendiri atau mengarah kepada keajegan-keadaan/inersia) tetapi lebih mengarah kepada hal yang berlawanan dengan keduanya : yaitu kepada tindakan dan partisipasi.

Pemahaman terhadap hal-yang-absurd menandai ruangan yang terbuka antara di satu sisi, manusia membutuhkan pengetahuan/penjelasan, dan di sisi lain, 'kebisuan-dunia yang tidak masuk-akal' seperti yang dikatakan Camus dengan indah.

Dalam sebuah dunia tanpa Tuhan, kebenaran-abadi atau prinsip-prinsip panduan apapun, bagaimana manusia mampu menanggung tanggung-jawab terhadap sebuah aktivitas pemberian-makna pada dunia dan kehidupan ?

Manusia-absurd, seperti seorang austronot melihat ke bumi dari atas, seraya berharap apakah sebuah sistem filosofis, sebuah agama, suatu ideologi-politik mampu membuat dunia memberi respon terhadap pertanyaan manusia atau lebih kepada apakah konstruksi-konstruksi semua manusia tidak berarti apapun kecuali riasan-wajah berlebihan seorang badut yang menempel disana untuk menutupi kepedihan-nya. Kecurigaan yang mengerikan ini menghantui manusia-absurd.

Dalam sebuah pembuka yang paling diingat pada sebuah buku non-fiksi ia menyatakan :

"Ada, tetapi hanya satu persoalan filosofis yang benar-benar serius dan itu adalah bunuh-diri. Menilai apakah kehidupan adalah hidup yang bernilai/bermakna atau tidak adalah untuk menjawab pertanyaan mendasar filsafat. Semua-pertanyaan-lain apakah dunia memiliki tiga-dimensi atau tidak, apakah pikiran memiliki sembilan atau dua-belas kategori, muncul kemudian setelahnya. Ini adalah permainan, seseorang pertama-tama harus menjawabnya."
(Camus, 2000:11).

Persoalan bunuh-diri (sebuah persoalan yang sangat pribadi) mewujudkan kondisi-tak-terelakan-yang-mendesak dihadapi untuk memberi respon kepada pemberian-makna pada kehidupan.

Bahkan bagi Camus sebuah respon bunuh-diri terhadap persoalan-makna-kehidupan dapat merupakan konfirmasi bahwa hal-yang-absurd telah mengambil-alih kehidupan sisi dalam manusia. Dapat juga berarti bahwa manusia bukan lagi seekor binatang yang mengejar jawaban, sesuai dengan sejumlah-dorongan dari dalam yang mengarahkan-nya untuk bertindak demi memberi makna pada dunia. Bunuh-diri tidak menjadi-yang-lain selain penerima pasif dari kebisuan-dunia.

"...Hal-yang-absurd... adalah kesadaran sekaligus penolakan secara bersamaan terhadap kematian."
(Camus 2000:54)

Seseorang harus menyadari terhadap kematian --karena kematian tepatnya adalah perwujudan dari mortalitas-manusia, yang mendorong seseorang untuk berjuang memperoleh jawaban-- dan manusia pada akhirnya harus menolak kematian --yaitu menolak bunuh-diri juga menolak menjadi mayat-hidup dalam keajegan dan tanpa-tindakan. Seperti yang dikatakan Camus, pada akhirnya seseorang harus menjaga-hal-yang-absurd tetap hidup. Tetapi apa maksudnya menjaga-hal-yang-absurd itu ?

Dalam The Myth of Sisyphus Camus menceritakan kisah tentang mitos Sisyphus yang telah dikutuk oleh Dewa. Sisyphus dihukum untuk menjalani hidup dengan mendorong batu kepuncak gunung dan kemudian harus membiarkan jatuh-kembali dengan beratnya sendiri. Begitu terus berulang dan berulang Sisyphus harus melakukan-nya. Sisyphus tidak menolak hukuman ia melakukan itu sepanjang hidupnya.

"Sisyphus, proletarian dari para Dewa, yang-lemah dan pemberontak, mengetahui seluruh kondisi malang-nya : itulah yang ia pikirkan selama menuruni puncak-gunung. Kejernihan bahwa kondisi itu menjadi siksaan-nya sekaligus mahkota-kemenangan-nya. Tidak ada takdir yang tidak bisa diatasi dengan cemoohan."
(Camus 200:109)

Seseorang kemudian harus membayangkan kemenangan Sisyphus: takdir dan absurditas telah diatasi dengan suatu hinaan yang penuh kegembiraan. Cemoohan adalah respon yang layak dihadapan wajah hal-yang-absurd, sebutan lain untuk 'cemoohan' disini dipandang sebagai kreasi artistik.

Ketika Camus berkata:

"Seseorang tidak menemukan hal-yang-absurd tanpa digoda untuk menulis sebuah pedoman-kebahagiaan."
(Camus 2000:110)

Ia menulis tentang sebuah momen kegilaan yang menggembirakan, yang merupakan momen kelahiran bagi karya-artistik. Kegilaan, namun yang-demikian-dalam, perhatikan fungsi dari 'The-Fool' dalam karya Shakespear 'King Lear' sebagai seseorang yang mengungkapkan kebenaran-yang-paling-dalam kepada Raja dengan memainkan mimikri dan lagu-lagu. Kegilaan semacam itu dapat mengatasi hal-yang-absurd sekaligus tanpa membuang/menolak-nya.

Nyaris sepuluh tahun setelah publikasi dari The Myth of Sisyphus, Camus menerbitkan karya filosofis besar yang kedua, The Rebel (1951). Camus melanjutkan persoalan yang telah dimulai dalam The Myth of Sisyphus. Sebelumnya, dalam kisah The Myth of Sisyphus pemberontakan atau penciptaan-diri telah dipandang sebagai keharusan-memberi-respon kepada hal-yang-absurd dari eksistensi.

Dalam The Rebel, Camus melanjutkan untuk menguji sifat-alami pemberontakan dan berbagai perwujudan-nya dalam sejarah. Dalam The Myth of Sisyphus, dengan gaya yang benar-benar Nietzschean, Camus berkata :

"Hanya ada satu tindakan yang berguna, yaitu penciptaan-kembali manusia dan bumi.”
(Camus 2000: 31).

Namun demikian, dalam karyanya The Rebel, yang mengingatkan pada Peternakan Hewan milik Orwell, salah satu pokok-pertama yang dibuat olehnya adalah sebagai berikut :

“Si-Budak memulai dengan memohon keadilan dan berakhir dengan ingin memakai mahkota. Si-Budak juga ingin/bermaksud mendominasi.”
(Camus 2000b: 31)

Masalahnya adalah bahwa meski manusia memberontak secara-otentik melawan keduanya, baik kondisi-kondisi sosial yang tidak adil, juga seperti yang dikatakan Camus melawan seluruh-penciptaan, namun demikian dalam administrasi secara praktis terhadap revolusi semacam itu, manusia menjadi menolak kemanusiaan dari yang-lain melalui usaha memaksakan individualitas diri-nya.

Ambillah contoh kasus Marquis de Sade yang terkenal, yang dieksplorasi oleh Camus. Dalam Sade, kekuatan-kekuatan kontradiktif sedang bekerja (lihat The 120 Days of Sodom). Di satu sisi, Sade berharap pembentukan suatu komunitas (yang pasti gila) disertai nafsu menjadi Tuan-Tertinggi, dan di sisi lain nafsu-ini memakan dirinya-sendiri dan semua subjek yang menggantikanya dengan cara-itu.

Camus melanjutkan untuk memeriksa perwujudan-perwujudan pemberontakan dalam sejarah, kasus yang paling menonjol adalah yang terjadi pada Revolusi Perancis.

Camus berpendapat bahwa revolusi berakhir dengan menggantikan nilai-nilai-transenden yang diburu untuk dihapuskan. Semua gagasan tentang keadilan yang sangat-kuat sekarang mengambil-tempat yang sebelumnya dihuni oleh Tuhan.

Saran terkenal yang diajukan oleh Rousseau bahwa di bawah pemerintahan 'kehendak-umum' setiap orang akan 'dipaksa untuk menjadi bebas' (Rousseau dalam Foley 2008: 61) membuka jalan bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah revolusi.

Camus merasa takut bahwa semua revolusi berakhir dengan pembentukan-kembali Negara.

"...Tujuh belas delapan puluh sembilan membawa Napoleon, 1848 Napoleon III, 1917 Stalin, gangguan Italia tahun dua puluhan, Mussolini, Republik Weimar, Hitler”
(Camus 2000b:146).

Camus kemudian beralih memeriksa pandangan para Marxis tentang sejarah sebagai respon terhadap upaya-upaya gagal untuk pembentukan sebuah rezim revolusioner yang hakiki.

Camus meneliti kesamaan antara konsepsi Kristen dan Marxis tentang sejarah. Keduanya menunjukkan sebuah pemikiran borjuis yang hanya memusatkan pada kemajuan. Atas nama masa-depan semuanya dapat dibenarkan :

"masa-depan adalah satu-satunya jenis-kepemilikan yang rela diberikan oleh Tuan kepada para budak."
(Camus 2000b: 162).

Menurut kedua pandangan itu, sejarah adalah kemajuan-linier dari satu permulaan menuju akhir yang pasti (keselamatan metafisik manusia atau keselamatan materialistis-nya dalam masyarakat komunis masa-depan). Dipengaruhi oleh pembacaan karya Kojève tentang Hegel, Camus menafsirkan masa-depan masyarakat-tanpa-kelas ini sebagai 'akhir-sejarah'. 'Akhir-sejarah' menunjukkan bahwa ketika semua kontradiksi berhenti, maka sejarah itu sendiri menjadi berakhir. Camus berpendapat, secara esensial nihilistik : sejarah, dalam akibat, menerima bahwa penciptaan-makna tidaklah mungkin lagi dan ia melakukan bunuh diri.

Karena revolusi-revolusi sejarah sebagian besar merupakan gerakan nihilistik, Camus berpendapat bahwa adalah membuat-mutlak terhadap nilai-nilai-revolusi yang pasti mengarah kepada negasi/penolakan/penghancuran nilai-nilai itu sendiri.
Sebaliknya, suatu konsepsi relatif terhadap nilai-nilai ini akan mampu menopang/mempertahankan suatu komunitas individual-bebas yang tidak lupa bahwa setiap pemberontakan-sejarah telah dimulai dengan menegaskan/menyatakan/menetapkan satu nilai-proto (yaitu solidaritas manusia) yang terhadap-nya setiap-nilai-nilai-lain dapat didasarkan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2f
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment