Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, August 22, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (5)

e. Simone de Beauvoir ( 1908-1986 )

Simone de Beauvoir adalah murid termuda yang pernah lolos melewati ujian-resmi penerimaan siswa pada lembaga-pendidikan-tinggi yang prestisius : Ecole Normale Superieure. Selanjutnya ia menjadi seorang siswa yang cemerlang di sana. Ia adalah seorang penulis, filsuf, feminis, teman-hidup dari Jean Paul Sartre, ia terkenal kurang-baik karena cara hidup yang anti borjuis dan hubungan sex bebasnya, diantaranya sebuah hubungan penuh gairah dengan penulis Amerika Nelson Algren.

Banyak tinta telah ditumpahkan untuk memperdebatkan apakah karya de Beauvoir dibangun dari kerangka-karya-filosofis yang independen atau merupakan sebuah rumusan ulang dari karya Sartre.

Debat tersebut tentu bersandar pada kekeliruan konsep-dasar yang menghendaki sebuah kerangka-karya agar ada dan berkembang secara independen (tidak dipengaruhi oleh) lingkungan intelektual-nya. Objektivitas semacam itu tidak hanya mustahil tetapi juga tidak-dapat dikehendaki : kerangka-karya semacam itu pada akhirnya tidak akan relevan karena tidak-dapat dikomunikasikan.

Sehingga pertanyaan tentang independensi terhadap de Beauvoir dapat diabaikan disini karena tidak-relevan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang muncul dari karya-karyanya.

Pada tahun 1943 Being and Nothingness, karya yang merupakan landasan-dasar dari gerakan Eksistensialis di Perancis dipublikasikan.

Dalam karya itu Sartre memberikan sebuah penjelasan terhadap Kebebasan sebagai elemen-pembentuk-yang-penting secara ontologis kepada subjek. Seseorang tidak-dapat menjadi-yang-lain kecuali menjadi-bebas : ini adalah inti dari konsepsi Kebebasan Sartrean.

Pada tahun 1945 karya Marleau Ponty, Phenomenologi of Perception diterbitkan. Di sana begitu juga dalam esai yang terbit pada tahun yang sama berjudul 'The war has taken place', Marleau Ponty melakukan kritik-keras terhadap pendirian Sartrean, ia memberi kritik sebagai sebuah rumusan ulang dari pokok-pokok ajaran-dasar Stoikisme.

Seseorang tidak dapat menerima Kebebasan dalam isolasi dari Kebebasan yang-lain. Tindakan adalah melibatkan partisipasi (bersifat partisipatif):

"...kebebasan saya adalah terjalin-erat dengan kebebasan oran-lain melalui jalan dunia"
(Marleau Ponty dalam Stewart 1995:315)

Lebih jauh lagi tindakan terjadi dalam suatu konteks-historis tertentu. Bagi Marleau Ponty kehendak-bebas subjektif selalu dalam hubungan dialektis dengan konteks-historis-nya

Pada tahun 1947 karya Simone de Beauvoir Ethics of Ambiguity diterbitkan.

Buku itu adalah sebuah pengantar kepada Eksistensialisme tetapi juga suatu bagian kritik kepada pendirian-pendapat Sartre terhadap Kebebasan dan merupakan bagian pengembangan-parsial dari Eksistensialisme menuju bersifat sosial.

Walau de Beauvoir menggaungkan kritisisme dari Marleau Ponty terkait dengan hubungan antar-subjek yang esensial, namun ia tetap tidak meninggalkan tekanan pentingnya konteks-sosial memainkan peranan dalam proses-analisa masalah-masalah moral. Seperti Sartre hanya pada akhir kehidupannya hal tersebut kemudian diakui oleh-nya.

Dari segi apapun, buku karya de Beauvoir mengendapkan lebih-lanjut sebagian besar pemikiran-ulang dari gagasan Sartre dan hasilnya adalah Notebooks for an Ethics

Dalam Ethics of Ambigiuty de Beauvoir menawarkan sebuah gambar tentang subjek-manusia sebagai osilasi yang terus-menerus antara faktisitas dan transendensi

Meski manusia selalu dibatasi oleh fakta-fakta-yang-tidak-dapat-dijelaskan (brute-fact) mengenai eksistensi-nya, namun demikian kondisi-tersebut selalu memberi inspirasi untuk mengatasi/melampaui situasi itu, demi memilih Kebebasan-nya dan oleh karenanya untuk menciptakan dirinya-sendiri. Tegangan ini harus dipertimbangkan positif dan tidak membatasi tindakan.

Tegangan itu tepatnya disebabkan oleh ontologi manusia adalah sebuah medan-perang dari gerakan-gerakan antitese (sebuah pandangan dari de Beauvoir yang konsisten dengan Hegelianisme) bahwa subjek harus menghasilkan suatu Etika yang akan terus-meneerus bersama inti-ontologis-nya. Istilah untuk menyebut tegangan ini adalah Ambiguitas. Ambiguitas bukanlah suatu kualitas dari manusia sebagai substansi, tetapi karakterisasi dari eksistensi-manusia. Kita adalah 'ada-yang-ambigu', yang ditakdirkan melempar diri-kita ke masa-depan sementara secara bersamaan, adalah hakekat-eksistensi kita-sendiri yang melemparkan kita kembali ke dalam faktisitas.

Dengan kata lain, kembali ke fakta-fakta-yang-tidak-bisa-dijelaskan bahwa kita dalam pengertian telah ditakdirkan untuk gagal --bukan dalam proyek rencana-masa-depan tertentu ini atau itu, tetapi untuk gagal sebagai transendensi murni dan berkelanjutan.

Tepatnya melalui atau disebabkan oleh kegagalan-fundamental ini sehingga kita menyadari bahwa relasi-etis kita dengan dunia tidak dapat berpusat-pada-diri (self-referensial) tetapi juga harus melewati perwujudan takdir-bersama pada manusia sebagai suatu-ada yang-gagal dan memiliki-interrelasi.

Tidak seperti Sartre de Beauvoir adalah seorang pembaca-terdidik ajaran-ajaran Hegel. Pendirian-nya terhadap suatu etika-eksistensial oleh karenanya lebih berat dipengaruhi oleh pandangan Hegel mengenai 'momen-pengenalan' dalam karyanya Phenomenology of Spirit (Hegel 1977:111)

Dalam karya itu Hegel menjelaskan 'momen-pengenalan' sebagai gerakan yang melaluinya kesadaran-diri memproduksi dirinya-sendiri dengan menempatkan yang-lain sebagai kesadaran-diri, bukan sebagai sebuah objek-diam (bisu) tetapi sebagai diri-dengan-kesadaran-diri.

Gerakan 'momen-pengenalan' Hegelian bertahan sebagai salah satu momen yang paling mengesankan dalam sejarah filsafat karena gerakan itu untuk pertama kalinya menyatakan bahwa pembentukan terhadap diri tidak-terjadi dari dalam-diri tetapi dari-luar (tidak seperti yang dijelaskan oleh Descartes, dalam pengertian satu-satunya hakekat-kebenaran adalah kebenaran tentang keberadaan-saya, atau pada Leibniz untuk pengertian monads adalah 'windowless' atau Fichte, untuk pengertian 'Saya' adalah unsur-pembentuk-diri yang absolut).

Hegel mengatakan kepada kita, hanya karena disebabkan orang-lain mengakui-saya sebagai satu-subjek sehingga Saya dapat dikonstruksikan seperti-itu. Di luar dari 'momen-pengenalan' tidak ada kesadaran-diri. De Beauvoir mengambil jantung ajaran Hegelian dan berupaya merumuskan suatu etika darinya.

Akan menjadi seperti apakah etika ini ?

Seperti pada Nietzsche, etika yang dihasilkan mengacu pada suatu cara-menjalani-hidup (a βίος), yang dipertentangkan terhadap moralitas yang berkaitan dengan persetujuan atau pengutukan terhadap perilaku. Sehingga tidak ada resep untuk etika. Ditarik dari ajaran 'momen-pengenalan' Hegel, de Beauvoir menerima pendapat bahwa kemungkinan-perkembangan-manusia adalah didasarkan terutama pada pengakuan-eksistensi-nya oleh yang-lain.

"Manusia dapat menemukan satu justifikasi terhadap eksistensi-dirinya hanya dalam eksistensi pada orang-lain"
(Beauvoir 1976:72)

dan yang kedua pada pengakuan bahwa perkembangan-diri-saya-sendiri (atau dalam bahasa para eksistensialis, kemampuan-saya untuk memiliki proyek-masa-depan) melampaui kemungkinan suatu perkembangan-yang dimiliki oleh setiap manusia.

"Hanya Kebebasan dari yang-lain menjaga masing-masing kita dari pengerasan/pembekuan dalam absurditas dari faktisitas."
(Beauvoir, 1976:73)

de Beauvoir kembali menulis:

"Untuk menghendaki diri-seorang Bebas juga adalah untuk menghendaki yang-lain Bebas"
(1976:71)

The Ethics of Ambiguity berakhir dengan menyatakan keharusan menerima Kebebasan-seseorang dan penegasan bahwa hanya melalui tindakan yang membuat Kebebasan mungkin menciptakan diri.

Ini bukanlah satu inti-pendapat yang mudah diterima. Pendapat itu membangun sebuah gerakan perlawanan terhadap sebuah tradisi panjang dari filsafat yang memahami diri sebagai 'teori' : ketidak-tertarikan kontemplasi kepada sifat-kodrat alam dan dunia

de Beauvoir memiliki persamaan dengan banyak para Eksistensialis, ia memahami filsafat sebagai praksis : keterlibatan tindakan dalam dunia dan partisipasi dalam wacana sejarah. The Second Sex dilahirkan di luar pemahaman tersebut.

Pada tahun 1949 Le Deuxieme Sexe dipublikasikan di Perancis. Di Inggris karya itu muncul sebagai The Second Sex dalam sebuah translasi pendek yang tidak lengkap.

Buku itu dengan segera mencapai best-seller dan kemudian menjadi suatu teks/wacana pendirian Second Wave Feminism (Gelombang Kedua Feminisme) gerakan feminis dari awal 60 hingga 70 yang diinspirasikan oleh gerakan-hak-hak-sipil dan memusatkan pada pengujian teoritis terhadap konsep persamaan, ketidak-samaan, peranan-keluarga, keadilan dan lain sebagainya).

Lebih dari segalanya, The Second Sex membangun sebuah studi dalam eksistensialisme-terapan dimana konsep abstrak 'Wanita' dipasrahkan untuk pengujian terhadap kehidupan sehari-hari seseorang yang berjuang melawan penindasan dan penghinaan kemanusiaan.

Ketika de Beauvoir mengatakan bahwa tidak-ada sesuatu semacam 'Wanita' kita harus mendengar gaung dari pernyataan Kierkegaardian mengenai individu-tunggal melawan abstraksi-abstraksi dari filsafat Hegelian atau mirip dengan peneguhan Sartre pada pentingnya mengutamakan kehidupan-personal terhadap penciptaan-diri seseorang (apa yang disebut Sartre 'eksistensi') sebagai yang-dilawankan dengan suatu pemahaman pra-penetapan-ideal terhadap sesuatu-seharusnya-seperti-apa (apa yang disebut Sartre sebagai 'esensi')

The Second Sex adalah sebuah contoh teks (wacana) yang menunjukan bagaimana sebuah gerakan-filsafat dapat menjadi nyata, efek-efek nyata yang benar-benar dilihat, dirasakan pada kehidupan banyak orang dan latihan yang luar biasa dalam hal filsafat mewujud menjadi apa.

"Saya telah lama ragu (menunda) sebelum menulis sebuah buku tentang wanita. Subjek bahasan yang membuat perih khususnya bagi para-wanita..."
(Beauvoir 2009:3)

The Second Sex memulai dengan pertanyaan yang paling jelas ( tetapi jarang dipertanyakan ) : Apa itu wanita ?

De Beauvoir menemukan bahwa saat ini, tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Alasannya adalah bahwa tradisi selalu berpikir tentang Wanita sebagai 'selain-laki-laki'

Hanya seorang-lelaki yang membentuk-dirinya sebagai sebuah-subjek (de Beauvoir berkata sebagai sang-Absolut) dan Wanita menentukan dirinya hanya melalui-nya.

"Dia (seorang-wanita) menentukan dan membedakan dirinya dalam hubungan dengan seorang-lelaki dan lelaki-itu tidak berhubungan dengan-nya. Wanita-itu tidak-esensial dihadapan yang-esensial..."
(Beauvoir, 2009:6)

Tetapi mengapa demikian, Wanita menerima atau mentolerir sejak awal proses ini yang dengannya ia menjadi 'selain-laki-laki' ?

De Beauvoir tidak memberi jawaban menyeluruh, sebaliknya dengan beralih kepada pemahaman Sartre tentang keyakinan-buruk (yang mengacu pada kecemasan keberadaan-manusia dihadapan tanggung-jawab yang menyertai perwujudan dari kebebasan-radikal-nya), dia berpikir bahwa wanita berada dalam waktu, terlibat dalam situasi mereka.

Sesungguhnya adalah lebih mudah bagi seseorang --siapapun-- untuk menerima peranan sebuah objek (sebagai contoh seorang ibu rumah-tangga yang dijaga oleh suaminya) daripada mengambil tanggung-jawab untuk menciptakan dia atau dirinya dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kebebasan bagi yang-lain.

Secara alamiah kondisi keyakinan-buruk bukan selalu persoalannya. Sering kali para-wanita menemukan diri-mereka dalam lingkungan sosial-budaya yang menolak kemungkinan mereka terhadap pengembangan-personal (seperti yang terjadi pada hampir-semua mayoritas komunitas keagamaan)

Sebuah masalah lebih-jauh yang dihadapi para-wanita adalah pemahaman terhadap diri-mereka sebagai sebuah kesatuan yang akan membuat mereka mampu untuk menerima peranan dari pilihan-pilihan mereka.

"Proletariat berkata 'kita'. Begitu juga orang kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:8)

Dengan berkata 'kita', mereka mengambil peranan subjek dan merubah orang-lain menjadi 'yang-lain'. Para wanita tidak-mampu untuk menyempurnakan 'kita' ini.

"Mereka hidup terpencar-pencar diantara lelaki, terikat oleh rumah, pekerjaan, kepentingan ekonomi, dan kondisi-kondisi sosial pada lelaki-tertentu --ayah, suami-- lebih dekat daripada pada wanita-wanita lain."

"Sebagai wanita-wanita borjuis, mereka dalam solidaritas dengan para lelaki borjuis dan bukan dengan para wanita proletariat, sebagai wanita kulit putih mereka dalam solidaritas dengan lelaki kulit putih dan tidak dengan wanita kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:9)

"Para wanita menggabungkan diri terutama dengan kelas atau ras mereka dan bukan dengan wanita lain. Identitas perempuan adalah sangat terikat dengan identitas lelaki disekitar mereka..."
(Reynolds, 2006:145)

Salah satu yang paling menarik perhatian dalam momen-momen The Second Sex adalah petikan frase:

"Seseorang tidaklah dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi wanita."
(Beauvoir 2009:293)

Ia menjelaskan :

"Tidak ada takdir biologis, fisik, ekonomi menentukan sosok seorang manusia-perempuan yang diemban ke dalam masyarakat. Adalah peradaban sebagai sebuah keseluruhan yang membuat lebih-rinci produk-tengah antara laki-laki dan lelaki-yang-dikebiri yang disebut feminin."
(Beauvoir, 2008:293)

Bagi sejumlah feminis, ini jelas penasbihan terhadap persoalan perbedaan sex-gender (dimana jenis-kelamin menandai identitas biologis dari seseorang dan gender merupakan pelekatan sifat-sifat oleh kebudayaan terhadap tubuh dengan jenis-kelamin tertentu)

Secara sederhana, mutlak tidak-ada yang menetapkan/menentukan feminitas yang melekat pada seorang wanita (bagaimana seorang wanita bertindak, merasakan, bertingkah-laku), segalanya yang datang ke dalam pikiran kita sebagai feminin adalah suatu konstruksi-sosial bukan suatu pemberian alamiah.

Para feminis yang muncul kemudian seperti Monique Wittig dan Judith Butler akan berpendapat bahwa 'jenis-kelamin' adalah 'gender' dalam pengertian sebuah tubuh dengan jenis-kelamin selalu sudah ada dalam sebuah jalinan hubungan kebudayaan yang menentukan-nya.

Oleh karena itu pemberian tanda jenis-kelamin (seorang dokter yang menyatakan jenis-kelamin pada sorang bayi) adalah pendapat normatif yang di-naturalisasi-kan (tetapi sama sekali tidak-natural) yang mengirimkan manusia ke dalam relasi-relasi kekuasaan.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2e
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment