Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, October 6, 2019

Objektivitas 5 : Objektivitas dalam Etika


a. Seorang-Manusia Berbeda dengan Objek-Benda

Pertama, sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia baik sebagai subjek (yang memiliki pengalaman-subjektif) juga sebagai objek di dalam realitas-objektif berhubungan dengan salah satu teori-etika tertinggi dalam sejarah filsafat.

Etika Immanuel Kant memberi tempat yang sangat-penting untuk menghormati seorang-manusia. Salah satu rumusan yang sangat berpengaruh dari Kant disebut Imperatif-Kategoris terkait dengan sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia.

Versi etika Kant menuntut bahwa seorang-manusia harus/wajib memperlakukan kemanusiaan, dalam dirinya-sendiri dan orang lain, tidak-pernah hanya sebagai sebuah alat, tetapi pada-saat-yang-sama sekaligus menjadi sebuah tujuan. (Groundwork, p.96)

Terhadap benda-benda yang 'hanya-objek-semata' (tidak mempunyai subjektivitas dalam dirinya), seseorang dapat memperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan, sebagai contoh seseorang dapat menggunakan sepotong-kayu, hanya sebagai alat untuk memperbaiki atau membuat suatu pagar.

Sebaliknya menurut Kant, seorang-manusia bukanlah 'hanya-objek-semata'. Seorang-manusia ditandai oleh subjektivitas, sebagai sesuatu yang memiliki sudut-pandang-subjektif dan mempunyai status-moral-khusus. Setiap seorang-manusia harus dihargai sebagai sebuah tujuan, yaitu sebagai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai-intrisik. Tampaklah bahwa nilai-nilai-inheren pada diri seorang-manusia secara mendasar bergantung pada fakta bahwa seseorang memiliki suatu kehidupan kesadaran-subjektif disamping keberadaan-objektif-nya.

Perbedaan etis ini memunculkan sebuah aspek terhadap istilah 'objek' sebagai 'hanya-objek-semata', yang dilawankan dengan aspek 'subjektivitas' pada diri seorang-manusia. Istilah objektivitas dalam kontek ini hanya menandai sifat 'keobjekan' yang melekat pada status-moral-nya.

Disamping kesepakatan-yang-diterima-luas bahwa menjadi seorang-manusia dengan sudut-pandang-subjektif memiliki status-moral-khusus, terdapat sebuah kesulitan umum untuk menjelaskan apakah dugaan-fakta ini, seperti juga semua dugaan-fakta-fakta-moral, adalah sebuah fakta-objektif dari sudut pandang pengertian apapun. Juga adalah sulit, bagaimana untuk menjelaskan seseorang dapat mengetahui kebenaran-kebenaran-moral, jika moralitas itu benar-benar bersifat objektif.


b. Objektivisme, Subjektivisme dan Non-Kognitivisme

Teori-teori filosofis tentang sifat-moralitas secara umum dibagi kedalam pernyataan bahwa kebenaran-moral mengekspresikan kondisi-kondisi-subjektif dan kebenaran-moral mengekspresikan fakta-fakta-objektif yang dianalogikan dengan fakta, misalnya fakta bahwa matahari memiliki massa yang kebih besar daripada bumi.

Sehingga disebut teori-subjektivis ketika memandang pernyataan-moral sebagai sebuah deklarasi bahwa telah menggenggam/menemukan fakta-fakta tertentu, tetapi fakta-fakta yang diekspresikan adalah fakta-fakta tentang suatu kondisi-subjektif yang dimiliki seorang-manusia.

Sebagai contoh, pernyataan moral :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu memberikan bantuan."

Bagi para penganut teori-subjektivis hanyalah berarti sesuatu seperti :

"Saya menilai itu adalah tindakan-serangan karena ada rasa permusuhan/kebencian dalam diri seseorang ketika seseorang mengabaikan orang-lain yang sedang menderita."

Itu adalah sebuah pernyataan terkait dengan persepsi-persepsi pada subjek terhadap sebuah objek (orang yang bertindak), bukan mengenai objek itu sendiri (yaitu tindakan-pengabaian terhadap seseorang yang menderita)

Sebaliknya teori-objektivis, terhadap pernyataan diatas akan dinyatakan dengan :

"Adalah salah melakukan tindakan-pengabaian..."

Sebagai sebuah pernyataan suatu fakta mengenai tindakan-pengabaian itu sendiri.

Teori-teori-subjektivis juga tidak memandang pernyataan-moral sebagai pernyataan-pernyataan mengenai suatu persepsi-persepsi atau perasaan-perasaan pada subjek-tunggal.

Sebagai contoh, seorang subjektivis dapat memandang pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral)."

Semata-mata hanya menyatakan perasaan-kebencian (ketidak-sukaan) dari sejumlah anggota dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya tertentu, atau diantara sejumlah orang-orang secara umum.

Selain objektivisme dan subjektivisme teori besar ketiga tentang moralitas disebut non-kognitivisme menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral tidaklah memuat pendapat apapun tentang realitas apapun baik subjektif atau objektif.

Pendekatan ini menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral hanyalah ekspresi-ekspresi dari perasaan-perasaan-subjektif yang tidak melaporkan (memberi informasi) mengenai adanya perasaan-perasaan semacam itu.

Sehingga pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral) ekivalen dengan mengeluh atau berkata "uuggh.." pada saat memikirkan penyiksaan daripada menggambarkan perasaan-perasaan kebencian yang ada dalam diri-anda kepada tindakan-penyiksaan.


c. Teori-Teori Objektivis

Diantara banyak teori-teori objektivis tentang moralitas, versi yang paling-langsung menunjuk pada pokok persoalan menyatakan bahwa moralitas adalah fakta-objektif, sebagai contoh pernyataan moral berikut :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu membantunya."

Jenis teori-objektivis akan menyatakan bahwa kesalahan-perilaku semacam itu merupakan bagian dari realitas-objektif yang sama dengan "Matahari mempunyai massa yang lebih-besar dari pada bumi." adalah bagian dari realitas-objektif.

Kedua fakta tersebut dipegang dengan mengabaikan apakah ada-suatu-kesadaran yang pernah/dapat mengetahui masing-masing fakta itu.

Teori-teori objektivis yang lain tentang moralitas berusaha untuk menjelaskan bermacam perasaan (yang sangat luas) bahwa terdapat suatu perbedaan penting antara pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan deskriptif faktual sambil mempertahankan bahwa kedua jenis pernyataan itu adalah berkenaan dengan sesuatu selain hanya kondisi-kondisi subjektif semata.

Teori-teori semacam itu membandingkan pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan mengenai kualitas-sekunder pada benda.

Menyatakan bahwa sebuah objek tertentu berwarna hijau bukanlah pernyataan yang hanya berkenaan dengan suatu kondisi-kondisi subjektif yang dimiliki seseorang.

Pernyataan tersebut membuat suatu penegasan tentang bagaimana suatu-objek ada di dunia, tetapi pernyataan itu merupakan suatu pernyataan yang hanya-dapat dirumuskan dengan kondisi subjek-yang-mempersepsi berada pada kondisi-yang-tepat (mata yang normal).

Oleh karenanya, penentuan apakah suatu-objek adalah berwarna hijau secara mendasar bergantung pada kesesuaian penilaian-penilaian yang dipertimbangkan dengan kondisi-kondisi subjek yang memadai (memenuhi syarat tertentu).

Berwarna hijau, sesuai definisi di atas, berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara tertentu.

Dengan analogi, pernyataan-pernyataan moral dapat menjadi pernyataan-pernyataan mengenai bagaimana suatu-benda ada secara objektif ketika secara esensial bergantung pada kesesuaian kondisi subjek.

Pada pandangan ini, menjadi salah secara moral berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepsi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara-cara tertentu.


d. Bisakah kita mengetahui Fakta-Fakta Moral ?

Pada masing-masing jenis-pendekatan-objektivis terhadap moralitas, adalah sulit untuk menjelaskan bagaimana seseorang dapat mengetahui sifat-moral pada suatu-objek.

Sepertinya kita tidak mampu untuk mengetahui kualitas-kualitas moral suatu-objek melalui pengalaman indra-biasa, sebagai contoh, karena kelima indra tampak hanya mengatakan/menginformasikan kepada kita bagaimana suatu-objek 'ada' di dunia ini, bukan bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' seperti adanya.

Kita juga tidak-dapat menalar dari bagaimana cara suatu-objek 'ada' di dunia hingga bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' karena seperti yang disampaikan David Hume, 'ada' di dunia secara logis tidak berarti 'ada-yang-seharusnya' seperti adanya.

Sejumlah filsuf, termasuk Hume telah membuat postulat bahwa kita mempunyai cara-khusus berkaitan dengan persepsi-moral, yang dapat dianalogikan dengan kelima-indra kita namun lebih dari itu (melampauinya), yang mampu memberikan kepada kita pengetahuan tentang fakta-fakta moral.

Gagasan yang diajukan ini kontroversial karena gagasan itu menghadirkan persoalan bagaimana melakukan verifikasi persepsi-persepsi moral dan penyelesaian perselisihan-moral. Gagasan itu juga problematis sepanjang tidak menyediakan penjelasan terhadap bagaimana persepsi-moral bekerja.

Sebaliknya, kita memiliki sebuah pemahaman yang baik tentang mekanisme-mekanisme yang bekerja sebagai dasar persepsi-persepsi kita terhadap kualitas-sekunder suatu-objek seperti sifat-warna (kehijauan).

Banyak orang menegaskan bahwa penilaian-penilaian moral lebih-jarang memperoleh/mencapai kesepakatan-yang-diterima-luas daripada penilaian-penilaian kepada objek-materi yang dapat diamati atau fakta-fakta yang dapat diukur.

Pernyataan seperti itu, tampak merupakan usaha untuk mengajukan pendapat bahwa penilaian-penilaian moral adalah tidak-objektif dengan alasan berdasar pada tidak-adanya kesepakatan-antar-subjek terhadapnya.

Namun ketidak-sepakatan-yang-luas tidaklah menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-objektif. Terdapat banyak contoh tentang ketidak-sepakatan terkait dengan fakta-fakta yang sangat-jelas-objektif. Sebagai contoh, pernah terdapat ketidak-sepakatan-yang-luas mengenai apakah alam semesta ini mengembang atau dalam suatu keadaan-ajeg. Ketidak-sepakatan itu tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada-fakta-objektif yang berkaitan dengan keadaan/kondisi alam semesta. Oleh karenanya, ketidak-sepakatan-yang-luas terhadap penilaian-penilaian moral dengan sendirinya, tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-fakta moral objektif.

Pernyataan ini tampak seperti sebuah upaya untuk melakukan modifikasi penarikan kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek-yang-diterima-luas menjadi sebuah kebenaran-objektif. Jika demikian, adalah sebuah kesalahan. Anggapan bahwa kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan kebenaran-objektif adalah kuat, tetapi selanjutnya itu tidak berarti bahwa seseorang dapat menyimpulkan dari tidak-adanya-kesepepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan-subjektif.

Seperti yang telah ditunjukan sebelumnya, ketidak-sepakatan-antar-subjek secara logis mendukung pernyataan bahwa terdapat sebuah kesalahan paling-tidak pada salah-satu penilaian-penilaian yang bertentangan, tetapi tidak mendukung sebuah pernyataan tentang subjektivitas-semata dari objek-material yang dinilai.

Lebih jauh lagi, kesepakatan-yang-nyaris-universal, yang diterima-sangat-luas dalam penilaian-moral biasanya menerima perhatian terlalu kecil dalam pembahasan-pembahasan sifat-moralitas.

Tampak terdapat penilaian-penilaian moral yang tak terhitung banyaknya (sebagai contoh pernyataan : "Adalah salah untuk menyakiti bayi yang baru lahir)" yang nyaris merupakan kesepakatan-universal yang disepakati dan disukai sepanjang kebudayaan dan periode waktu.

Kesepakatan ini seharusnya, paling tidak menjadi kebenaran-utama, yang mendukung sebuah pernyataan kepada objekivitas, seperti yang dilakukan pada katakanlah penilaian-penilaian mengenai temperatur di luar ruangan.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H4
Pemahaman Pribadi




No comments:

Post a Comment