Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, March 8, 2017

Immanuel Kant 2 : Metafisika dan Epistemologi


Metafisika dan Epistemologi


Unsur paling penting dalam filosofi metafisika dan epistemologi Kant adalah doktrin idealisme-transendental, yang dibahas secara penuh dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781-1787).

Idealisme-transendental adalah tesis bahwa dunia-empiris yang kita alami (dunia fenomena/penampakan) harus dibedakan dengan dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri (dunia-nomena).

Aspek yang paling signifikan dari perbedaan ini adalah bahwa sementara dunia-empiris ada di dalam ruang-dan-waktu, dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri tidak spasial maupun temporal.

Idealisme-transendental memiliki konsekuensi yang luas. Di sisi positif, teori idealisme-tansendental Kant mengikuti realisme-empiris yang memandang manusia memiliki akses pengetahuan secara langsung terhadap alam-fisik, dan bahkan dapat memiliki pengetahuan-apriori mengenai sifat/fitur dasar benda-benda yang dapat dialami. Di sisi negatif, Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan tentang benda-dalam-dirinya-sendiri.

Lebih jauh lagi, karena metafisika-tradisional membahas tentang benda-dalam-dirinya-sendiri, jawaban atas pertanyaan metafisika-tradisional misalnya, mengenai Tuhan atau kehendak-bebas, tidak pernah bisa dijawab oleh pikiran manusia.

Bagian ini membahas perkembangan metafisika dan epistemologi Kant dan kemudian merangkum argumen yang paling penting dan kesimpulan dari teori Kant.

a. Pemikiran Periode Pra-Kritis

Critique of Pure Reason, karya yang mengubah arah filsafat barat, ditulis oleh seorang pria yang sudah berada jauh dari puncak karirnya. Berbeda dengan periode berikutnya masa-kritis Kant, output filosofis periode-awal Kant sepenuhnya terperangkap dalam tradisi-rasionalis Jerman, yang pada saat itu didominasi oleh tulisan-tulisan Gottfried Leibniz (1646-1716) dan Christian Wolff (1679-1754). Namun demikian, banyak dari perhatian Kant selama periode era-kritis menyiapkan aspek penting dari pemikiran matang Kant.
Karya filosofis murni Kant pertama adalah New Elucidation of the First Principles of Metaphysical Cognition (1755).

Bagian pertama dari esai panjang ini, menyajikan kritik dan revisi terhadap pemahaman Wolffian terhadap prinsip-prinsip dasar metafisika, terutama prinsip-identitas (apa-pun yang ada adalah ada, dan apa-pun yang tidak-ada, adalah tidak-ada), prinsip-kontradiksi (tidak-ada sesuatu yang sekaligus ada dan tidak-ada), dan prinsip-alasan-yang-memadai (tidak-ada yang benar tanpa alasan mengapa itu benar).

Pada bagian akhir, Kant membela dua prinsip asli metafisika. Menurut prinsip-suksesi semua perubahan pada benda mensyaratkan interaksi-timbal-balik antara substansi yang berbeda. Prinsip ini adalah analog metafisik dari prinsip Newton aksi-dan-reaksi, dan hal itu menyiapkan argumen Kant dalam Third Analogy of Experience pada karya Critique of Pure Reason (lihat 2f di bawah).

Menurut prinsip-koeksistensi beberapa substansi hanya dapat dikatakan berada bersama dalam satu dunia yang sama jika kesatuan dunia itu didasarkan pada intelek/akal Tuhan. Meskipun Kant kemudian berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki kognisi-metafisik semacam ini misal hubungan antara Tuhan dan dunia (setidaknya karena kita tidak-bisa tahu bahwa Tuhan itu ada), Kant tetap terus sibuk untuk menjawab pertanyaan bagaimana beberapa substansi yang berbeda dapat menyusun satu-dunia yang manunggal.

Dalam Physical Monadology (1756), Kant mencoba untuk memberikan penjelasan metafisik mengenai unsur dasar penyusun substansi-materi yang disebut monad.

Leibniz dan Wolff telah menyatakan bahwa monad adalah suatu yang sederhana, substansi-atom yang membentuk materi. Kant mengikuti Wolff menolak pendapat Leibniz bahwa monad adalah substansi-pikiran (mindlike) dan bahwa mereka tidak berinteraksi satu sama lain.

Aspek yang baru dalam penjelasan Kant terletak dalam pendapatnya bahwa setiap monad memiliki gaya tarik-menarik dan tolak-menolak, dan bahwa monad mengisi volume-ruang yang terbatas karena adanya interaksi antara monad ketika monad saling menekan satu sama lain dengan gaya tolak-menolak mereka yang saling berlawanan.

Tiga puluh tahun kemudian, dalam karyanya Metaphysical Foundations of Natural Science (1786), Kant akan mengembangkan teori-materi yang harus dipahami dalam interaksi gaya tarik-menarik dan tolak-menolak.

Perbedaan utama antara pandangan periode masa-kritis dan pra-kritis adalah pada periode masa-kritis, Kant sama sekali tidak lagi tertarik membahas monad, atau substansi-paling-sederhana ( idealisme-transendental mengeluarkan syarat bahwa substansi-sederhana adalah penyusun-materi, lihat 2gii bawah ).

Publikasi terakhir karya Kant pada periode pra-kritis adalah On the Form and Principles of the Sensible and the Intelligible World, juga disebut sebagai Inaugural Dissertation (1770), karena karya itu menandai penunjukkan Kant sebagai profesor logika dan metafisika di Universitas Königsberg.

Meskipun Kant belum memiliki wawasan akhir yang krusial tetapi hal itu mengarah pada pengembangan teori idealisme-transendental, banyak elemen penting dari metafisika-matang Kant mulai terbentuk di sini.

Dua aspek utama dalam karya Inaugural Dissertation yang perlu diperhatikan adalah :

Pertama, terlepas dari pendahulunya, Kant membedakan dua-fakultas-fundamental-pikiran yaitu :

Fakultas-sensibility, yang merepresentasikan dunia melalui intuisi-intuisi tunggal dan
Fakultas-understanding, yang merepresentasikan dunia melalui konsep-konsep umum.

Dalam Inaugural Dissertation, Kant berpendapat bahwa Fakultas-sensibility merupakan representasi dunia-indrawi dari fenomena sementara fakultas- understanding merupakan representasi dunia yang dimengerti dari nomena.

Periode masa-kritis Kant akan menyangkal bahwa kita dapat memiliki pengetahuan yang pasti dari nomena, dan bahwa pengetahuan tentang fenomena membutuhkan kerjasama antara fakultas-sensibility dan fakultas-understanding.

Kedua, dalam menggambarkan bentuk dunia indrawi, Kant berpendapat bahwa ruang-dan-waktu adalah bukan sesuatu yang objektif-dan-nyata tetapi subjektif-dan-ideal (2: 403). Pendapat bahwa ruang-dan-waktu hanya berkaitan dengan penampakan-benda-benda saja, dan tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, menjadi salah satu tesis sentral idealisme-transendental yang matang dari Kant.

b. Dogma Yang Menidurkan, Sintesa Pengetahuan Apriori, dan Loncatan Copernicus

Meskipun Kant pada periode awal menunjukkan kehendak sungguh-sungguh untuk tidak-sepakat dengan banyak aspek penting dari pandangan ortodoksi Wolffian tentang waktu, Kant menerima begitu saja asumsi dasar kaum-rasionalis bahwa kognisi-metafisik adalah mungkin.

Dalam pernyataan retrospektif Prolegomena to Any Future Metaphysics (1783), Kant mengatakan bahwa sikap percayanya pada asumsi-rasionalis ini diguncang oleh pendapat David Hume (1711-1776), yang bersikap skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan tentang hubungan-yang-pasti antara sebab-dan-akibat, telah menyadarkan Kant dari dogma-yang-menidurkan.

Hume berpendapat kita tidak-akan-pernah memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan-sebab-dan-akibat karena pengetahuan tersebut tidak dapat diberikan melalui indera, atau diturunkan secara apriori sebagai kebenaran-konseptual.

Kant menyadari bahwa masalah Hume adalah sesuatu yang serius karena sikap skeptis terhadap pengetahuan-yang-pasti tentang hubungan antara sebab-dan-akibat sudah digeneralisasikan kepada semua pengetahuan-metafisik yang berkaitan dengan kepastian, bukan hanya hukum sebab-akibat secara khusus. Sebagai contoh, adanya pertanyaan mengapa kebenaran matematika pasti benar di dunia fisik, atau apakah kita bisa mengetahui bahwa Tuhan pasti ada.

Solusi Kant untuk skeptisisme-Hume, yang akan membentuk dasar dari filsafat kritis, adalah dua sisi mata uang. Bagian pertama dari solusi Kant adalah setuju dengan Hume bahwa pengetahuan-metafisik (seperti pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat) tidak dapat diperoleh melalui indera, juga tidak dapat diketahui secara apriori melalui analisis-konseptual.

Meskipun demikian, Kant berpendapat, bahwa ada semacam pengetahuan ketiga yang bersifat apriori, namun tidak-hanya diketahui dengan analisis-konseptual. Dia menyebut hal ini sebagai sintesa-pengetahuan-apriori.

Di mana penilaian-analitik dibenarkan oleh hubungan-semantik antara konsep-konsep yang disebutkan (misalnya, semua bujangan tidak menikah), penilaian-sintetik dibenarkan oleh kesesuaiannya dengan objek yang dideskripsikan mereka (misalnya, bola ini di sini adalah merah).

Kesulitan yang ditimbulkan oleh gagasan sintesa-pengetahuan-apriori adalah adanya keharusan objek untuk diprensentasikan dalam pikiran, tetapi tidak diberikan melalui pengalaman indrawi.

Bagian kedua dari solusi Kant menjelaskan bagaimana sintesa-pengetahuan-apriori adalah mungkin. Dia menjelaskan wawasan-kunci masalah ini sebagai loncatan-Copernican pada pemikirannya tentang hubungan epistemik antara pikiran-dan-dunia.

Copernicus telah menyadari bahwa hanyalah penampakan semu (seolah-olah) matahari dan bintang-bintang berputar di sekitar kita, dan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan tentang bagaimana sistem-tata-surya sesungguhnya bergerak jika kita menerima penjelasan-fakta bahwa langit terlihat berjalan karena kita sebagai penerima objek-pengetahuan adalah bergerak.

Analogi, Kant menyadari bahwa kita harus menolak keyakinan bahwa benda-benda yang menampakan-diri adalah sama dengan hal-hal dalam-benda-itu-sendiri. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa objek-pengetahuan hanyalah mengenai penampakan-dari-benda-benda, dan bukan pengetahuan tentang hal-hal dalam-benda-itu-sendiri.

Membawa pendekatan baru ini ke wilayah metafisika dan epistemologi, Kant berpendapat bahwa kita harus menyelidiki struktur-paling-dasar dari pengalaman (yaitu, struktur bagaimana cara benda-benda menampakan diri kepada kita), karena struktur-dasar pengalaman akan tepat bersinggungan dengan struktur-dasar benda-benda yang dialami.

Dengan kata lain, hanya mungkin memiliki pengalaman sebuah objek jika objek tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi-pengalaman, maka mengetahui kondisi-kondisi-pengalaman akan memberikan kita pengetahuan mengenai setiap objek-pengalaman yang mungkin. Inilah yang pada kenyataannya disebut sintesa-pengetahuan-apriori.

Kant mengatasi skeptisisme-Hume dengan menunjukkan bahwa kita dapat memiliki sintesa-pengetahuan-apriori sebuah benda secara umum jika kita membawanya sebagai objek penyelidikan dalam bentuk objek-pengalaman yang mungkin. Critique of Pure Reason adalah upaya untuk bekerja melalui semua detail penting dari strategi filosofis dasar ini.

c. Fakultas Kognitif dan Representasinya

Teori Kant tentang pikiran disusun melalui penjelasannya di sekitar kemampuan-pikiran untuk mengetahui, inilah yang disebut fakultas-kognitif.

Salah satu inti pendapat Kant adalah bahwa kapasitas-kognitif-pikiran tergantung pada dua-fakultas-dasar yang secara fundamental berbeda.

Pertama adalah fakultas-sensibility, merupakan fakultas-pasif karena tugasnya adalah menerima-representasi dari objek-dunia-luar melalui indera. Melalui fakultas-sensibility, objek-dunia-luar 'diberikan' kepada pikiran.

Kedua, ada fakultas-understanding yang merupakan fakultas-aktif dengan tugasnya 'berpikir' yaitu untuk menerapkan konsep-konsep pada objek-pikiran yang telah 'diberikan' melalui fakultas-sensibility.

Jenis paling dasar dari representasi pada fakultas-sensibility adalah apa yang disebut Kant sebagai intuisi.

Sebuah intuisi adalah representasi yang mengacu langsung ke objek-individual-tunggal. Ada dua jenis intuisi.

Intuisi-murni adalah representasi apriori ruang-dan-waktu itu sendiri (lihat 2D1 bawah).

Intuisi-empiris adalah suatu representasi posteriori yang merujuk ke objek-spesifik yang dialami dalam dunia-fisik.

Selain memiliki bentuk spasio-temporal, intuisi-empiris juga melibatkan sensasi, yang disebut Kant sebagai matter (materi) dari intuisi dan pengalaman pada umumnya. (tanpa sensasi, pikiran tidak pernah bisa memiliki pemikiran tentang hal-hal yang nyata, tetapi hanya hal-hal yang mungkin saja.)

Kita memiliki baik intuisi-empiris dari objek di dunia-fisik (intuisi-luar) juga objek di dalam pikiran kita sendiri (intuisi-dalam).

Jenis representasi paling dasar dari fakultas-understanding adalah konsep.

Tidak seperti intuisi, konsep adalah representasi yang umumnya mengacu pada banyak-objek. (Misalnya, konsep 'kucing' dengan sendirinya mengacu pada semua-kucing, tetapi tidak untuk satu-ekor-kucing tertentu).

Konsep hanya merujuk ke objek secara tidak-langsung karena mereka bergantung pada intuisi untuk mereferensi ke objek tertentu. Seperti intuisi, ada dua tipe dasar konsep.

Konsep-murni adalah representasi apriori yang membangun karakter struktur-logika yang paling-dasar dari pikiran. Kant menyebut konsep-konsep ini sebagai kategori.

Konsep-empiris adalah representasi posteriori, dan mereka terbentuk atas dasar pengalaman indrawi dengan dunia-nyata.

Konsep-konsep dikombinasikan/digabungkan oleh fakultas-understanding menjadi penilaian yang merupakan unit-terkecil dari pengetahuan.

Saya hanya dapat memiliki kognisi penuh suatu obyek di dunia nyata setelah saya :

Pertama, memiliki intuisi-empiris dari objek pengetahuan tersebut.

Kedua, objek dikonseptualisasikan melalui beberapa cara.

Dan ketiga, membentuk konsep dari objek yang ber-intuisi menjadi penilaian.

Ini berarti bahwa keduanya fakultas-sensibility dan fakultas-understanding harus bekerja sama agar pengetahuan menjadi mungkin.

Seperti Kant mengungkapkan hal itu :

" Pikiran tanpa isi adalah kosong, intuisi tanpa konsep adalah buta " (A51 / B75).

Selain dua-fakultas di atas, ada dua-fakultas-kognitif penting lainnya yang harus disebutkan.

Yang pertama adalah fakultas-imajinasi-transendental, yang berfungsi memediasi/menghubungkan antara fakultas-sensibility dan fakultas-understanding. Kant menyebut fakultas ini buta karena kita tidak memiliki akses-introspektif untuk mengetahui operasinya. Tetapi Kant mengatakan bahwa setidaknya kita bisa tahu bahwa ia bertanggung jawab untuk membentuk intuisi sedemikian rupa sehingga mungkin bagi fakultas-understanding untuk menerapkan konsep-konsep pada intuisi.

Yang lain adalah fakultas-reason, yang beroperasi dengan cara yang mirip dengan fakultas-understanding, tetapi beroperasi secara independen dari indera. Sementara fakultas-understanding menggabungkan data dari indera menjadi penilaian, fakultas-reason menggabungkan penilaian-penilaian fakultas-understanding secara bersama-sama menjadi sesuatu yang koheren, terpadu, manunggal, dan seluruhnya sistematis. Fakultas-reason tidak puas hanya dengan komponen data-data pengetahuan yang terputus-putus. Fakultas-reason menghendaki semua pengetahuan membentuk suatu sistem-pengetahuan. Fakultas-reason ini juga merupakan fakultas yang bertanggung jawab untuk ilusi-metafisika-transenden (lihat 2g bawah).

d. Idealisme Transendental

Idealisme-transendental adalah teori mengenai hubungan antara pikiran dan objeknya. Tiga tesis dasar yang menyusun teori ini :

Pertama, ada perbedaan antara penampakan-benda (hal-hal yang sesuai dengan penampakan suatu benda oleh indra) dan benda-dalam-dirinya-sendiri.

Kedua, ruang-dan-waktu adalah apriori, suatu kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, dan karenanya hanya berhubungan dengan penampakan-benda, tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri.

Ketiga, kita dapat memiliki pengetahuan (kognisi) hanya pada benda-benda yang bisa kita alami, oleh karena itu pengetahuan hanya mengenai penampakan-dari-benda-benda, bukan pengetahuan tentang benda-dalam-dirinya-sendiri.

Jalan cepat memahami istilah idealisme-transendental adalah dengan memahami secara berurutan dari masing-masing istilah tersebut.

Kant biasanya menggunakan istilah transendental ketika ia menekankan bahwa sesuatu merupakan kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman. Jadi misalnya, bab berjudul Trancendental Analytic Of Conceps membahas konsep-konsep yang tanpanya kognisi dari suatu objek tidak mungkin didapat.

Kant menggunakan istilah idealisme untuk menunjukkan bahwa objek-objek-pengalaman adalah bergantung pada pikiran (meskipun arti yang tepat untuk bergantung pada pikiran adalah kontroversial lihat 2D2 bawah). Oleh karena itu, idealisme-transendental adalah teori yang menyatakan suatu kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman di mana objek-pengalaman bergantung pada pikiran.

i. Idealitas Ruang dan Waktu

Kant berpendapat bahwa ruang-dan-waktu adalah apriori, yaitu kondisi-kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, oleh karena itu adalah transendental-ideal.

Kant mendasarkan perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri pada realisasi, bahwa sebagai sebuah kondisi-kondisi-subjektif terhadap adanya pengalaman, ruang-dan-waktu hanya bisa mencirikan hal-hal sesuai dengan penampakan-benda, tidak seperti benda-dalam-dirinya-sendiri.

Selanjutnya, pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui penampakan-dari-benda (tidak benda-dalam-dirinya-sendiri) merupakan konsekuensi dari pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang sesuai dengan kondisi-kondisi adanya pengalaman, dan bahwa hanya penampakan spasio-temporal yang sesuai dengan kondisi-kondisi ini.

Untuk menyampaikan pendapat radikal yang penting dan sistematis ini, apa argumen Kant untuk itu ? Berikut adalah beberapa argumen Kant yang paling penting untuk tesisnya.

Satu argumen berkaitan dengan hubungan antara sensasi-sensasi dan ruang. Kant berpendapat bahwa sensasi pada dirinya sendiri tidak spasial, tetapi sensasi (atau bisa dibilang suatu objek yang sensasi mengacu padanya) direpresentasikan dalam ruang, 'di luar dan di dekat satu sama lain' (A23 / B34). Oleh karena itu, kemampuan untuk merasakan objek di dalam ruang mengandaikan apriori representasi ruang, yang kemudian dapat berarti ruang hanyalah ideal, oleh karena itu bukan sifat/properti benda dalam dirinya sendiri.

Argumen lain yang disampaikan Kant berulang kali selama periode kritis adalah argumen-geometri. Argumen itu terdiri dari dua premis.

Pertama, bahwa kebenaran-geometri adalah pasti-benar, dengan demikian merupakan kebenaran apriori.

Kedua, bahwa kebenaran-geometri adalah sintesa (karena kebenaran ini tidak dapat diturunkan melalui analisis makna dari konsep-konsep geometri). Jika geometri, yang merupakan studi tentang struktur ruang, adalah sintesa apriori, maka objek itu yaitu ruang hanyalah representasi apriori dan bukan representasi yang berkaitan dengan benda-dalam-dirinya-sendiri. (Teori Kant kognisi matematika dibahas lebih lanjut dalam 3b bawah)

Banyak pengamat berpendapat argumen ini kurang memuaskan karena bergantung pada asumsi yang masih dipertanyakan bahwa, jika representasi dari ruang-dan-waktu apriori maka di sana tidak ada representasi sifat benda-dalam-dirinya-sendiri.
" Mengapa tidak bisa keduanya ? "

Argumen kuat muncul dalam diskusi Kant dalam karyanya The First and Second Antinomies of Pure Reason (dibahas di bawah, 2G2). Kant berpendapat bahwa jika ruang-dan-waktu adalah hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri atau bahkan sifat dari hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri, maka kita bisa membuktikan bahwa ruang-dan-waktu adalah sangat besar tak-terbatas sekaligus terbatas, dan bahwa materi dalam ruang bisa sekaligus tidak-bisa dibagi sampai tak-berhingga. Dengan kata lain, asumsi bahwa ruang-dan-waktu bukanlah transendental-ideal tetapi transendetal-nyata mengarah pada kontradiksi, dan dengan demikian ruang-dan-waktu harus transendental-ideal.

ii. Penampakan Benda dan Benda-Dalam-Dirinya-Sendiri

Bagaimana Kant membedakan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri seharusnya dipahami sebagai salah satu topik yang paling kontroversial dalam literatur. Ini adalah pertanyaan central yang penting, karena bagaimana seseorang memahami perbedaan ini menentukan bagaimana seseorang akan memahami seluruh sifat/natur idealisme Kantian. Berikut kesimpulan ringkas dari pilihan interpretasi-utama , tetapi tidak mengambil sikap menentukan mana yang benar.

Menurut interpretasi 'Dua-Dunia', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara metafisik dan ontologis. Penampakan-benda (dan karenanya seluruh dunia fisik yang kita alami) terdiri dari satu-set-entitas, dan benda-dalam-dirinya-sendiri satu-set ontologis yang berbeda entitas. Meskipun hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri bagaimanapun dapat menyebabkan kita untuk memiliki pengalaman penampakan-benda-benda tetapi penampakan-benda yang kita alami bukanlah benda-dalam-dirinya-sendiri.

Menurut interpretasi 'Satu-Dunia' atau 'Dua-Aspek', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara epistemologis. Penampakan-benda secara ontologis adalah hal yang sama dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, dan frase 'dalam-dirinya-sendiri' hanya berarti 'tidak dianggap dalam hal hubungan epistemik dengan manusia sebagai yang menerima pengetahuan'.

Keberatan umum terhadap interpretasi 'Dua-Dunia" adalah dapat membuat teori Kant terlalu mirip dengan teori Berkeley idealisme-immaterialis (asosiasi yang dengan keras Kant mencoba untuk menjauhkan diri), dan mereka tampaknya sering mengabaikan karakterisasi Kant pada perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari segi sudut pandang epistemik yang berbeda.

Dan keberatan umum terhadap interpretasi 'Satu-Dunia' adalah meremehkan beberapa aspek yang dinyatakan revolusioner dalam teori Kant, dan tampak sering mengabaikan karakterisasi Kant perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari sudut pandang metafisik. Ada upaya interpretasi yang di antara dua pilihan ini. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa Kant hanya mengakui interpretasi 'Satu-Dunia', tapi perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri adalah tetap metafisik, bukan hanya epistemologis.

e. Deduksi Kategori

Setelah menetapkan idealitas ruang-dan-waktu serta perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri, Kant melanjutkan dengan menunjukkan bagaimana mungkin untuk memiliki pengetahuan-apriori dari fitur/sifat penampakan-benda. Pengetahuan tentang penampakan-benda tidak hanya membutuhkan pengetahuan bentuk-benda yang bisa dialami indra (ruang-dan-waktu), tetapi juga mengharuskan kita mampu menerapkan konsep-konsep tertentu (misalnya, konsep sebab-akibat) terhadap penampakan-benda. Kant melakukan identifikasi konsep-konsep paling dasar yang dapat kita gunakan untuk berpikir tentang suatu objek sebagai konsep-murni-pemahaman atau kategori.

Total ada dua belas kategori, dan dikelompokan ke dalam empat-kelompok yang berisi tiga-anggota:

1. Quantity (Kuantitas)
Unity (kesamaan)
Plurality (keberagaman-jenis)
Totality (kesatuan-keseluruhan)
2. Quality (Kualitas)
Reality (nyata/ada)
Negation (tidak-nyata/ada)
Limitation (nyata/ada dalam batasan ruang-dan-waktu)
3. Relation (Relasi)
Substance (ada-nya tidak bergantung pada ada-yang-lain)
Causality (ada-nya bergantung pada ada-yang-lain/sebab-akibat)
Community (ada-nya bersama dengan ada-yang-lain)
4. Modality (Cara)
Possibility (cara-ada-nya kontingen/mungkin/tidak-pasti dalam semua-kondisi)
Actuality (menjadi ada dalam suatu kondisi)
Necessity (cara-ada-nya pasti/selalu dalam semua-kondisi)

Tugas dari bab berjudul deduksi-kategori-transendental adalah untuk menunjukkan bahwa kategori ini dapat dan harus diterapkan melalui suatu cara kepada setiap objek-yang-mungkin-menjadi-pengalaman, bisa juga kepada objek yang termasuk objek-pengalaman.

Argumen deduksi-transendental adalah satu momen paling penting dalam Critique, tetapi juga salah satu argumen yang paling sulit, rumit, dan kontroversial dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak akan mungkin untuk merekonstruksi argumen secara rinci di sini. Sebagai gantinya, dijelaskan pendapat-pendapat paling penting dari Kant dan bergerak ke arah penjelasan deduksi-kategori-transendental..

Argumen Kant menyalakan konsepsi kesadaran-diri atau apa yang dia sebut apersepsi sebagai sebuah kondisi terhadap kemungkinan mengalami dunia sebagai kesatuan-yang-utuh. Kant membawanya menjadi tidak kontroversial yaitu bahwa kita sadar terhadap representasi kita sebagai representasi diri kita sendiri. Hal ini tidak hanya bahwa saya dapat memiliki pikiran 'P' atau 'Q'. Saya juga selalu bisa menganggap pikiran ini berasal dari diri saya sendiri: 'Saya berpikir P' dan 'Saya berpikir Q'. Lebih jauh lagi, kita juga bisa mengenali bahwa itu adalah sama dengan 'Aku' yang melakukan pemikiran pada kedua kasus 'P' dan 'Q'. Dengan demikian, kita dapat mengenali bahwa 'Saya berpikir P dan Q'.

Secara umum, semua pengalaman kita adalah kesatuan karena dapat dianggap berasal dari sesuatu yang satu-dan-sama yaitu 'Aku', dan tentu kesatuan-pengalaman ini tergantung pada kesatuan-kesadaran-diri dari 'Aku'.

Kant selanjutnya bertanya kondisi-kondisi yang harus dicapai/dipenuhi agar kesatuan-kesadaran-diri ini menjadi mungkin. Jawabannya adalah bahwa kita harus mampu membedakan antara 'Aku' yang berpikir dan objek yang kita pikirkan. Artinya, kita harus mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman kita.

Jika kita tidak bisa membuat perbedaan seperti itu, maka semua pengalaman hanya akan menjadi begitu banyak kejadian-mental yang terputus atau terpisah-pisah, semuanya akan menjadi subjektif dan tidak akan ada kesatuan-apersepsi yang berdiri meliputi dan berlawanan dengan berbagai objek yang direpresentasikan oleh 'Aku'.

Jadi berikutnya Kant harus menjelaskan bagaimana kita mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dari pengalaman. Jawabannya adalah bahwa representasi adalah objektif jika subjek selalu merepresentasikan objek dengan cara tertentu, yaitu ketika itu tidak sampai pada kekuatan asosiatif-bebas dari imajinasi saya untuk menentukan bagaimana saya merepresentasikan objek itu.

Misalnya, apakah saya berpikir suatu lukisan adalah gambar yang menarik atau apakah lukisan itu memanggil/mengingatkan ke dalam pikiran saya sebuah kenangan peristiwa dari masa kecil, tergantung pada aktivitas imajinasi-asosiatif saya sendiri. Ukuran kanvas dan komposisi kimia dari zat warna tidak tampak oleh saya jika saya merepresentasi lukisan itu sebagai gambar objektif dari lukisan itu, saya harus merepresentasi lukisan itu dengan cara tertentu. Agar kandungan representasional pasti dengan cara ini, menurut Kant, adalah untuk itu dikenakan aturan.

Aturan relevan yang dimiliki Kant dalam pikirannya adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat dipresentasikan hanya sebagai objek. Dan kondisi-kondisi ini adalah tepat dengan konsep-konsep yang terletak dalam skema-kategori, yang merupakan konsep dari sebuah objek-pada-umumnya. Oleh karena itu, jika saya hendak memiliki pengalaman apa saja, saya harus menkonseptualisasikan objek sesuai dengan kategori apriori.

Argumen Kant dalam deduksi adalah argumen-transendental : Kant memulai dengan premis yang diterima oleh semua orang, tapi kemudian bertanya kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar premis ini benar.

Kant menganggap bahwa kita memiliki pengalaman terpadu dari banyak objek yang mengisi dunia. Pengalaman terpadu ini tergantung pada kesatuan-apersepsi. Kesatuan-apersepsi memungkinkan subjek mampu untuk membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman. Kemampuan ini, pada gilirannya, tergantung pada representasi benda sesuai dengan aturan, dan aturan-aturan yang dimaksud adalah kategori-kategori.

Oleh karena itu, satu-satunya cara kita dapat menjelaskan fakta bahwa kita memiliki-pengalaman adalah dengan membandingkan fakta bahwa kategori-kategori diterapkan pada objek pengalaman.

Perlu menekankan betapa benar-benar radikal kesimpulan dari deduksi-transendental adalah Kant membawa dirinya untuk menunjukkan bahwa seluruh-alam tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh kategori-kategori.

Tapi kategori-kategori ini adalah apriori : mereka berasal dalam pikiran sendiri. Ini berarti bahwa urutan dan keteraturan yang kita jumpai di alam ini dibuat mungkin oleh konstruksi pikiran sendiri terhadap alam dan keteraturannya.

Dengan demikian kesimpulan dari deduksi-transendental sejajar dengan kesimpulan dari transendental-aesthetic . Transendental-aesthetic telah menunjukkan bahwa bentuk sensibility (ruang dan waktu) berasal dalam pikiran dan dikenakan pada dunia, sedang deduksi-transendental menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pemahaman (kategori) juga berasal dari pikiran dan dikenakan pada dunia.

f. Teori Pengalaman

Deduksi-transendental telah menunjukkan tidak hanya keharusan bagi kita untuk menggunakan kategori-kategori terhadap pengalaman, tetapi juga menggunakan kategori-kategori itu untuk melakukan penilaian.

Di seri bab berikut, yang secara bersama diberi judul Analytic of Principles, Kant mencoba untuk meningkatkan hasil-hasil deduksi-transendetal dan membuktikan adanya hukum-pasti-transendental, di mana setiap kemungkinan-objek-pengalaman harus mematuhi aturannya. Dia menyebut prinsip ini sebagai Principles of Pure Understanding. Prinsip-prinsip ini adalah sintesa-apriori dalam pengertian yang sudah didefinisikan di atas (lihat 2b), dan merupakan kondisi-kondisi-transendental terhadap kemungkinan-adanya-pengalaman.

Dua prinsip pertama berkaitan dengan Kategori Kuantitas dan Kualitas.

Pertama, Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus memiliki bentuk-dan-ukuran-spasial tertentu serta durasi-waktu tertentu kecuali untuk objek-mental yang tidak menempati ruang.

Kedua, Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus berisi matter (materi) yang mengisi besaran luas/ruang objek-pengalaman. Matter (materi-pengalaman) harus dideskripsikan sebagai besaran-intensif. Besaran luas/ruang objek direpresentasikan melalui intuisi dari objek (yaitu bentuk dari representasi) dan besaran-intensif direpresentasikan oleh sensasi yang mengisi intuisi (yaitu matter dari representasi).

Tiga prinsip berikutnya dibahas dalam bab yang penting dan panjang, yang berjudul Analogies of Experience. Prinsip-prinsip ini diturunkan dari Kategori Relasional yaitu Substance, Causality, dan Community.

Menurut analogi-pertama, pengalaman selalu melibatkan benda-benda yang harus direpresentasikan sebagai suatu substansi. Substansi ini harus dipahami sebagai objek yang selalu-ada-permanen sebagai substratum dan yang merupakan pelindung dari kecelakaan yang menyebabkan tidak-selalu-ada.

Menurut analogi-kedua, setiap peristiwa harus memiliki sebab. Satu peristiwa dikatakan sebagai penyebab peristiwa lain ketika peristiwa kedua mengikuti peristiwa pertama sesuai dengan aturan.

Dan Menurut analogi-ketiga yang mensyaratkan kedua analogi sebelumnya, semua substansi berada dalam hubungan interaksi timbal-balik satu sama lainnya. Oleh karena itu, dua buah substansi material masing-masing akan merasakan pengaruh sebab-akibat antara satu sama lain, bahkan jika berada pada posisi yang terpisah.

Prinsip-prinsip Analogies of Experience adalah prinsip-prinsip metafisik penting, dan jika argumen Kant pada prinsip-prinsip itu berhasil, prinsip-prinsip itu menandai kemajuan signifikan dalam penyelidikan alam metafisis.

Analogi-pertama adalah bentuk prinsip konservasi-materi : itu menunjukkan bahwa materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan dengan cara alami, tetapi hanya dapat diubah.

Analogi-kedua adalah versi prinsip alasan yang memadai : yang diterapkan pada pengalaman (penyebab menjadi alasan yang memadai bagi efek mereka), dan itu merupakan sanggahan Kant terhadap skeptisisme Hume mengenai hubungan sebab-akibat. Hume berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara peristiwa, tetapi kita hanya bisa menerima beberapa jenis peristiwa terus-menerus berkaitan dengan jenis peristiwa lain.

Dalam perdebatan bahwa suatu peristiwa mengikuti peristiwa lain sesuai dengan aturan yang ada, Kant telah menunjukkan bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara kejadian yang melampaui dan diatas hubungan konstan belaka.

Terakhir, Kant mungkin bermaksud analogi-ketiga untuk membangun transendental, dasar apriori untuk sesuatu seperti hukum Newton tentang gravitasi-universal, yang mengatakan bahwa tidak-peduli seberapa jauh dua benda terpisah, masing-masing akan mengerahkan beberapa tingkat pengaruh gravitasi satu sama lain.

Postulates of Empirical Thinking in General berisi satu set prinsip-prinsip terakhir dari pemahaman-murni yang diturunkan dari Kategori Modalitas yaitu Possibility, Actuality, dan Necessity. Postulat of Empirical Thinking in General menentukan cara yang berbeda untuk merepresentasikan status modalitas dari sebuah objek, yaitu apakah untuk menjadi-objek pengalaman adalah mungkin, aktual, atau pasti.

Bagian paling penting dari bab Postulates of Empirical Thinking in General adalah Refutation of Idealisme, yang merupakan sanggahan terhadap skeptisisme mengenai pengetahuan dunia-di-luar-pikiran yang ditambahkan oleh Kant dalam karyanya Critique of Pure Reason edisi tahun 1787.

Kant telah terganggu oleh review karya edisi pertama yang kurang baik terhadap idealisme-transendental yang dibandingkan dengan idealisme-immaterialis karya Berkeley. Dalam sanggahan tersebut, Kant berpendapat bahwa sistemnya membawa konsekuensi tidak hanya pengetahuan dunia-di-luar-pikiran (yaitu, yang spasial) adalah mungkin (yang ditolak Berkeley), tetapi kita tahu juga itu adalah nyata (yang ditanyakan Descartes dan lain-lain).

Strategi argumentatif Kant dalam penolakannya adalah cerdik tapi kontroversial. Pendapat skeptisisme menganggap bahwa kita hanya memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri, tetapi skeptisisme juga mengatakan bahwa kita tidak bisa memastikan bahwa dunia-di-luar-pikiran sesuai dengan keadaan itu.

Kant memutar pendapat itu dan berpendapat bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri (khususnya, urutan secara temporal yang di dalamnya ide-ide kita terjadi) jika kita tidak terus menyadari substansi-permanen yang berada di dalam ruang dan di luar pikiran.

Struktur yang tepat dari argumen Kant, juga betapa berhasilannya argumen itu, terus menjadi bahan perdebatan sengit dalam literatur-literatur.

g. Kritik Transenden Metafisika

Salah satu keberhasilan paling penting dari teori-pengalaman Kant yaitu adalah-mungkin untuk memiliki pengetahuan tentang dunia karena dunia yang kita alami sesuai dengan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman.

Oleh karena itu, Kant menyatakan hanya terdapat pengetahuan suatu objek jika ada-kemungkinan bagi objek itu untuk 'diberikan' dalam pengalaman. Aspek subjektif kondisi-kondisi epistemologis manusia sebagai subjek yang mengetahui, membawa konsekuensi adanya wilayah-wilayah penting penyelidikan di mana kita ingin memiliki pengetahuan tentang bidang itu, tetapi kita tidak bisa mendapatkannya.

Berkaitan dengan hal itu, Kant berpendapat bahwa metafisika-transenden, yaitu penyelidikan filosofi pada objek super-sensible yang bukan bagian dunia-empiris, menandai buntunya usaha-usaha filosofis (menemui kegagalan).

(Catatan: Ada perbedaan tipis namun penting antara istilah transendental dan transenden bagi Kant transendental mendeskripsikan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman, sementara transenden mendeskripsikan objek yang tidak-dapat diketahui dalam dunia nomenal dari benda-dalam-dirinya-sendiri)

Kant menyebut konsep-konsep dasar penyelidikan metafisik sebagai ide-ide. Tidak seperti konsep dalam fakultas-understanding, yang berkaitan dengan kemungkinan objek pengetahuan dapat 'diberikan' dalam pengalaman, ide-ide adalah konsep fakultas-reason dan tidak berkaitan dengan objek-objek yang mungkin bagi adanya pengalaman.

Tiga ide yang paling penting, yang dibahas Kant dalam Trancendental Dialektic adalah jiwa, dunia (dianggap sebagai suatu totalitas), dan Tuhan. Hal khusus dari ide-ide fakultas-reason adalah fakultas-reason bekerja ditentukan oleh struktur yang berfungsi meletakkan objek-objek sesuai dengan ide-ide. Meski hal itu tidak membantu, tetapi tetap dilakukan karena tugas fakultas-reason adalah untuk menyatukan pengetahuan menjadi sistematis secara keseluruhan, dan fakultas-reason menemukan perlunya ada ide-ide mengenai jiwa, dunia dan Tuhan untuk menyelesaikan penyatuan-sistematis ini. Kant menyebutnya kecenderungan tak terhindarkan dari fakultas-reason untuk meletakkan hal-hal yang tidak bisa dialami dan oleh karena itu tidak dapat diketahui, yang berkaitan dengan ide-ide sebagai ilusi-transendental.

Kant menyajikan analisis tentang ilusi-transendental dan kritiknya terhadap metafisika-transenden dalam serangkaian bab berjudul Transcendental Dialectic yang memakan sebagian besar paruh kedua karyanya Critique of Pure Reason. Bagian ini merangkum argumen Kant yang paling penting dari bab Transcendental Dialectic.

i. Jiwa (Paralogisms of Pure Reason)

Yang dimaksud metafisika-jiwa oleh Kant adalah suatu penyelidikan yang disebut sebagai psikologi-rasional yang dibahas dalam bab Paralogism of Pure Reason. Seperti yang dijelaskan Kant, psikologi-rasional adalah upaya untuk membuktikan tesis metafisik tentang sifat/natur jiwa melalui analisis proposisi sederhana, 'Saya berpikir'. Banyak dari penganut rasionalis sebelum Kant dan penganut rasionalis pada zamannya berpikir bahwa refleksi terhadap pengetahuan 'Aku' dalam proposisi 'Saya berpikir' mengungkapkan bahwa 'Aku' adalah selalu berarti suatu substansi (yang berarti bahwa 'Aku' adalah jiwa), suatu kesatuan yang tak terbagi (yang beberapa akan menggunakan untuk membuktikan keabadian jiwa), diri-yang-identik (yang relevan dengan pertanyaan mengenai identitas-pribadi), dan berbeda dengan dunia-di-luar-pikiran (yang dapat mengarah pada skeptisisme terhadap dunia-di-luar-pikiran). Kant berpendapat bahwa pikiran-pikiran tersebut merupakan hasil dari ilusi-transendental.

ilusi-transendental dalam psikologi-rasional muncul ketika 'Aku' yang hanya sebagai pikiran-saja dalam proposisi 'Saya berpikir' salah dimengerti menjadi pengetahuan tentang 'Aku' sebagai objek. Pengetahuan 'Aku' melibatkan intuisi dan konsep, sementara 'Aku' sebagai pikiran-saja hanya melibatkan konsep. Sebagai contoh, tinjaulah pertanyaan apakah kita dapat mengetahui 'Aku' sebagai suatu substansi yaitu jiwa. Padahal, sesuatu diketahui sebagai substansi ketika direpresentasikan hanya sebagai subjek dari predikat dan tidak pernah menjadi predikat untuk subjek yang lain. 'Aku' dalam proposisi 'Saya berpikir' selalu direpresentasikan sebagai subjek (berbagai pikiran adalah predikatnya). Di sisi lain, sesuatu hanya dapat diketahui sebagai substansi ketika 'diberikan' sebagai objek yang tetap dalam satu intuisi (2f di atas), dan tidak akan ada intuisi dari 'Aku' sendiri. Oleh karena itu meskipun tidak bisa membantu tetapi berpikir tentang 'Aku' sebagai jiwa, kita tidak pernah dapat memiliki kognisi dari 'Aku' sebagai substansi, dan karenanya pengetahuan tentang keberadaan dan sifat jiwa adalah mustahil.

ii. Dunia (Antinomi of Pure Reason)

Antinomies of Pure Reason membahas kosmologi-rasional, yaitu penyelidikan metafisis ke dalam sifat-kosmos yang ditinjau sebagai suatu totalitas-keseluruhan. Antinomy adalah suatu konflik fakultas-reason dengan dirinya sendiri. Antinomies muncul ketika fakultas-reason tampak dapat membuktikan dua proposisi berlawanan dan saling bertentangan dengan kepastian yang jelas. Kant membahas empat-antinomies dalam karyanya Critique of Pure Reason edisi pertama (ia juga mengungkapkan antinomies lainnya dalam tulisan-tulisannya kemudian). Antinomy-pertama menunjukkan bahwa fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa alam semesta ini terbatas sekaligus tak-terbatas dalam ruang-dan-waktu. Antinomy-kedua menunjukkan fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa materi bisa sekaligus tidak-bisa dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil terus-menerus sampai tak-berhingga. Antinomy-ketiga menunjukkan fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa kehendak-bebas tidak dapat menjadi bagian hukum-sebab-akibat yang berlaku dalam dunia (karena alam secara keseluruhan adalah deterministik) dan oleh karena itu harus ada yang menyebabkannya. Antinomy-keempat menunjukkan bahwa fakultas-reason tampak dapat membuktikan ada sekaligus tidak-ada terhadap 'Ada-yang-kekal' atau 'Ada-yang-pasti' atau 'Ada-yang-selalu-ada' (yang beberapa orang mengidentifikasikan sebagai Tuhan).

Pada semua empat kasus tersebut, Kant mencoba untuk menyelesaikan konflik fakultas-reason dengan dirinya sendiri dengan cara membawa ke idealisme-transendental. Pendapat bahwa ruang-dan-waktu bukanlah fitur/sifat dari benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan antinomy-pertama dan kedua. Karena dunia empiris dalam ruang-dan-waktu diidentifikasi dengan penampakan-benda dan karena dunia sebagai totalitas-keseluruhan tidak pernah bisa 'diberikan' sebagai penampakan-tunggal, bahwa tidak ada fakta materi tertentu berkaitan dengan ukuran alam-semesta. Hal itu bukanlah pasti-terbatas atau bukan pasti-tak-terbatas, tetapi itu adalah besar-tanpa-batas. Demikian pula, materi tidak memiliki atom yang paling sederhana yaitu monad atau materi tidak-bisa dibagi sampai tak-terbatas tetapi materi dapat dibagi sampai tanpa-batas.

Perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan antinomy-ketiga dan keempat. Meskipun setiap peristiwa empiris dalam pengalaman dunia penampakan-benda memiliki penyebab alami yang deterministik, setidaknya adalah mungkin secara logis bahwa kehendak-bebas dapat menjadi kekuatan hukum-kausalitas yang manjur di tingkat benda-dalam-dirinya-sendiri. Dan meskipun setiap objek-empiris yang dialami dalam dunia penampakan-benda adalah entitas 'Ada-yang-kontingen', secara logis adalah mungkin bahwa ada sesuatu-yang-selalu-ada yaitu 'Ada-yang-kekal' di luar dunia penampakan-benda yang menjadi dasar eksistensi 'Ada-yang-kontingen' dalam dunia penampakan-benda. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Kant tidak berpendapat untuk menunjukkan eksistensi dari kehendak-bebas yang transenden atau eksistensi 'Ada-yang-kekal' yang transenden karena Kant menolak kemungkinan pengetahuan benda-dalam-dirinya-sendiri. Tetapi, Kant hanya membawa diri untuk menunjukkan bahwa keberadaan entitas seperti itu secara logis adalah mungkin. Meskipun demikian, dalam teori moral, Kant menawarkan argumen untuk aktualitas dari kebebasan (lihat 5c bawah).

iii. Tuhan (Ideal of Pure Reason)

Ideal of Pure Reason membahas gagasan tentang Tuhan dan pendapat bahwa mustahil untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Argumentasi dalam Ideal of Pure Reason telah disiapkan Kant dalam karyanya The Only Possible Argument in Support of the Existence of God (1763), yang membuat aspek pemikiran Kant menjadi matang sebagai salah satu yang tersisa dan paling signifikan dari pemikiran Kant pada periode pra-kritis.

Kant mengidentifikasikan ide tentang Tuhan dengan ide tentang Ens Realissimum atau Ada-yang-paling nyata. Ide ini juga ditinjau dari fakultas-reason sebagai Ada-yang-pasti atau Ada-yang-kekal, yaitu sesuatu yang pasti dan selalu ada (kekal) dan tidak sekedar Ada-yang-kontingen. Fakultas-reason cenderung meletakkan ide seperti itu ketika fakultas-reason merefleksikan ide seperti itu pada konsepsi Ada-yang-terbatas dalam realitas-terbatas dan menyimpulkan bahwa realitas Ada-yang-terbatas harus berasal dari dan tergantung pada realitas Ada-yang-tak-terbatas dan sempurna. Tentu saja, faktanya fakultas-reason pasti berpikir dari yang paling nyata, Ada-yang-kekal bukanlah konsekuensi dari eksistensi ada yang seperti itu. Kant berpendapat bahwa hanya ada tiga kemungkinan argumen bagi keberadaan Ada-yang-kekal dan semua argumen tersebut tidak ada yang berhasil.

Menurut argumen-ontologis tentang eksistensi Tuhan antara lain menurut versi yang diusulkan oleh St. Anselmus (1033-1109) dan Descartes (1596-1650), Tuhan adalah satu-satunya ada yang esensi-nya membawa konsekuensi eksistensi-nya (ada dengan sendirinya). Kant terkenal keberatan dengan argumen ini. Menurut Kant, argumen ini keliru karena memperlakukan eksistensi sebagai predikat-nyata. Menurut Kant, ketika saya membuat pernyataan dalam bentuk 'X adalah pasti F', sesungguhnya yang bisa saya maksud hanyalah bahwa 'Jika X ada, maka X pasti F'. Jadi ketika para pendukung argumen-ontologis berpendapat bahwa adanya-ide tentang Tuhan membawa konsekuensi bahwa Tuhan-tentu-ada semua yang mereka maksud adalah bahwa 'jika Tuhan ada, maka Tuhan ada' yang merupakan tautologi kosong belaka.

Kant juga menawarkan kritik panjang terhadap argumen-kosmologis bahwa eksistensi Ada-yang-kontingen mensyaratkan adanya eksistensi Ada-yang-kekal dan terhadap argumen-fisiko-teologis, yang juga disebut sebagai argumen-rancangan bahwa keteraturan dan maksud tujuan dari dunia-empiris hanya dapat dijelaskan oleh sang pencipta Ilahi. Kant berpendapat bahwa keduanya merupakan implikasi yang bergantung pada argumentasi-ontologis yang berkaitan dengan eksistensi Ada-yang-kekal, dan karena argumen itu gagal dibuktikan maka kedua argumen itu gagal juga.

Meskipun Kant dalam Trancendental Dialektic berpendapat kita tidak dapat memiliki pengetahuan mengenai jiwa, kehendak-bebas atau Tuhan, dalam tulisan-tulisannya tentang etika, ia akan semakin mempersulit cerita ini dan berpendapat bahwa kita dibenarkan untuk percaya pada hal-hal itu (lihat 5c bawah).



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/kantview/#H2
Pemahaman Pribadi




Kelapa Gading , 8 Maret 2017


No comments:

Post a Comment