Teori moral Kant disusun disekitar gagasan bahwa untuk bertindak secara moral dan untuk bertindak sesuai dengan rasio adalah satu-dan-sama. Menurut Kant, manusia merupakan agen-rasional yaitu entitas yang memiliki substansi-rasional dan mampu menggunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan-nya. Di dalam kebajikan manusia sebagai agen-rasional (yang berarti dalam kebajikan yang mengandung prinsip-rasional-praktis, dimana rasio ditarik dan diarahkan kepada tujuan-tertentu), seseorang wajib mengikuti aturan-aturan hukum-moral yang telah ditetapkan berdasar prinsip-rasional-praktis. Melakukan sebaliknya berarti bertindak tidak-rasional. Karena Kant menempatkan penekanannya pada kewajiban yang menyertai tindakan-tindakan manusia sebagai agen-rasional yang memiliki kesadaran-pengetahuan tentang hukum-moral, maka teori Kant dianggap sebagai bentuk deontologi. Kata 'deon' berasal dari bahasa Yunani yang berarti tugas atau kewajiban.
Seperti filsafat teoritisnya, filsafat praktis Kant adalah apriori, formal, dan universal. Hukum-moral diturunkan secara non-empiris dari bentuk struktur-rasional-praktis itu sendiri, dan karena semua agen-rasional termasuk manusia memiliki struktur-rasional-praktis yang sama maka hukum-moral mengikat dan mewajibkan dengan sama kepada semua-orang. Lalu, hukum-moral apakah yang mewajibkan secara universal dan apriori kepada semua-manusia sebagai agen-rasional ? Kant berpendapat hukum-moral ditentukan oleh apa yang disebut imperatif-kategoris, yaitu prinsip-umum yang menuntut seseorang untuk menghormati-kemanusiaan-dalam-dirinya-sendiri-dan-orang-lain, dimana seseorang tidak-membuat pengecualian untuk dirinya-sendiri ketika memutuskan bagaimana harus bertindak, dan secara umum seseorang hanya bertindak sesuai pada aturan yang setiap-orang mampu melakukan dan seharusnya mematuhinya.
Meskipun Kant menegaskan bahwa hukum-moral mengikat dengan sama kepada semua agen-rasional termasuk manusia, ia juga menegaskan bahwa keterikatan terhadap hukum-moral adalah melekat dengan sendirinya. Kita otomatis terikat aturan-aturan hukum-moral kepada diri kita sendiri. Karena Kant berpikir jenis otonomi yang dimaksud hanya mungkin terwujud di bawah pengandaian berdasar pilihan-moral yang bebas transendental, maka batasan hukum-moral yang diterapkan pada manusia sebagai agen-rasional tidak hanya konsisten dengan kehendak-bebas tetapi mensyaratkan adanya itu. Oleh karena itu, salah satu aspek yang paling penting dari proyek Kant adalah menunjukkan bahwa kita dibenarkan dalam mengandaikan bahwa pilihan-moral kita yang signifikan didasarkan pada kebebasan-transendental (kebebasan yang menurut pendapat Kant, kita tidak bisa membuktikan hanya secara teoritis belaka atau menggunakan alasan spekulatif (lihat 2gii di atas).
Meskipun Kant menegaskan bahwa hukum-moral mengikat dengan sama kepada semua agen-rasional termasuk manusia, ia juga menegaskan bahwa keterikatan terhadap hukum-moral adalah melekat dengan sendirinya. Kita otomatis terikat aturan-aturan hukum-moral kepada diri kita sendiri. Karena Kant berpikir jenis otonomi yang dimaksud hanya mungkin terwujud di bawah pengandaian berdasar pilihan-moral yang bebas transendental, maka batasan hukum-moral yang diterapkan pada manusia sebagai agen-rasional tidak hanya konsisten dengan kehendak-bebas tetapi mensyaratkan adanya itu. Oleh karena itu, salah satu aspek yang paling penting dari proyek Kant adalah menunjukkan bahwa kita dibenarkan dalam mengandaikan bahwa pilihan-moral kita yang signifikan didasarkan pada kebebasan-transendental (kebebasan yang menurut pendapat Kant, kita tidak bisa membuktikan hanya secara teoritis belaka atau menggunakan alasan spekulatif (lihat 2gii di atas).
Bagian ini bertujuan untuk menjelaskan struktur-dan-isi dari teori-moral Kant (5a-b), dan juga pendapat Kant terhadap keyakinan bahwa kehendak-bebas, Tuhan, dan keabadian-jiwa adalah kepastian dari postulat-rasional-praktis (5c). (Pada hubungan antara teori-moral Kant dan teori estetika-nya, lihat 7c bawah.)
a. Niat Baik dan Kewajiban
Kant menjabarkan kasus mengenai teori-moral-nya dalam karyanya Groundwork for the Metaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason yang juga dikenal sebagai Second Critique (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Argumen-nya yang diambil dari Groundwork for the Metaphysics of Morals adalah yang paling terkenal dan berpengaruh, sehingga uraian berikut ini berfokus terutama pada hal itu.
Kant memulai argumen-nya dari premis bahwa teori-moral harus didasarkan pada penjelasan mengenai pertanyaan 'Apa pengertian dari baik-tanpa-syarat'. Jika suatu hal disebut baik karena adanya-syarat tertentu (selanjutnya disebut baik-dengan-syarat), yaitu jika kebaikan-nya tergantung kepada hal-yang-lain, maka hal-yang-lain itu juga bisa merupakan hal yang baik-dengan-syarat (dalam kasus ini kebaikan-nya kembali tergantung pada hal-yang-lain lagi), atau hal-yang-lain itu merupakan hal yang baik-tanpa-syarat. Sehingga, semua kebaikan pada akhirnya harus dapat dilacak sampai kepada satu-hal yang baik-tanpa-syarat. Ada banyak hal yang biasa kita pikir sebagai sesuatu yang baik tetapi sesungguhnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baik-tanpa-syarat. Sumber-sumber yang menguntungkan seperti uang-atau-kekuasaan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang baik, tetapi karena dapat digunakan untuk tujuan-kejahatan, kebaikan-nya tergantung pada penggunaan-nya. Kekuatan-karakter umumnya merupakan hal yang baik, tetapi sekali lagi, jika seseorang menggunakan karakternya yang kuat agar berhasil melaksanakan rencana jahat-nya, maka karakter yang kuat menjadi hal yang tidak-baik juga. Bahkan menurut Kant, kebahagiaan bukanlah hal yang baik-tanpa-syarat. Walaupun semua manusia secara umum menginginkan untuk bahagia, jika seseorang bahagia tetapi tidak-layak menerima kebahagiaan itu, misalnya karena kebahagiaan itu berasal dari uang hasil curian milik seorang tua, maka adalah tidak-baik bagi seseorang untuk bahagia. Kebahagiaan hanya baik pada kondisi bahwa kebahagiaan itu layak-diterima.
Kant berpendapat bahwa hanya ada satu-hal yang bisa dianggap baik-tanpa-syarat yaitu niat-baik. Seseorang memiliki niat-baik sejauh membentuk tujuan-nya atas dasar kesadaran-diri untuk menghormati hukum-moral, yaitu menghormati aturan-aturan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai agen-rasional. Ini yang kita kenal sebagai kewajiban seorang manusia. Nilai-kebaikan dari niat-baik terletak pada prinsip-prinsip-dasar yang membentuk tujuan-tindakan. Nilai-kebaikan tidak terletak pada konsekuensi-hasil-tindakan. Hal ini benar bahkan jika niat-baik tidak mengarah kepada konsekuensi-hasil-tindakan yang diinginkan 'bahkan jika niat-baik tidak memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-nya, ia seperti permata, tetap bersinar dengan sendirinya. Sama seperti sesuatu yang memiliki-nilai-manfaat penuh dalam dirinya-sendiri.' (4: 393). Hal ini sejalan dengan penekanan Kant pada kebaikan-tanpa-syarat dalam niat-baik. Jika suatu niat dievaluasi berdasar konsekuensi-hasil-tindakan, maka kebaikan dari niat itu akan tergantung pada konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan. Hal ini berarti niat akan dikondisikan sesuai dengan konsekuensi-hasil-perbuatan yaitu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, deontologi Kant bertentangan sekali dengan teori-moral-konsekuensialis, yang mendasarkan evaluasi-moral mereka pada konsekuensi-dari-tindakan daripada niat yang ada di belakangnya.
b. Kategori-Imperatif
Jika niat-baik adalah salah-satu yang membentuk tujuan berdasar prinsip-prinsip tindakan yang benar, maka kita ingin mengetahui seperti apa prinsip-prinsip ini sesungguhnya. Sebuah prinsip yang memerintahkan untuk melakukan suatu tindakan disebut imperatif (keharusan). Kebanyakan imperatif adalah imperatif-hipotetis, yaitu perintah-perintah yang hanya dipatuhi ketika kondisi/syarat tertentu terpenuhi. Misalnya: 'jika anda ingin menjadi seorang pemilik-toko yang sukses, maka anda harus menumbuhkan reputasi-kejujuran'. Ini berarti anda bertindak jujur agar menjadi pemilik-toko yang sukses. Karena imperatif-hipotetis dikondisikan pada keinginan dan konsekuensi-hasil-tindakan, maka imperatif-hipotesis tidak-dapat berfungsi sebagai prinsip-prinsip untuk menentukan tujuan-dan-tindakan dari niat-baik yang baik-tanpa-syarat. Sebaliknya, kita membutuhkan apa yang disebut Kant imperatif-kategoris. Di mana imperatif-hipotetis mengambil bentuk, 'jika Y yang diinginkan/dimaksudkan/dicari, lakukan X', maka imperatif-kategoris hanya mengambil bentuk, 'lakukan X'. Karena imperatif-kategoris dilucuti dari semua hal yang mengacu pada konsekuensi-dari-tindakan, dengan demikian dibebaskan dari semua yang menjadi syarat dan oleh karena itu adalah murni-formal. Dan karena itu tanpa-syarat, maka berlaku universal. Oleh karena itu imperatif-kategoris menyatakan bentuk hukum yang mengikat secara universal. Kant mengatakan dalam kalimat 'Tidak ada yang tersisa kecuali kesesuaian tindakan dengan hukum-universal' (4: 402). Maka untuk bertindak secara moral, adalah untuk membentuk tujuan seseorang berdasar pada gagasan prinsip-prinsip universal dari tindakan.
Konsepsi imperatif-kategoris ini mengarahkan Kant kepada rumusan resmi pertama imperatif-kategoris itu sendiri 'Hanya bertindak sesuai dengan maxim yang dengan-nya pada saat yang sama tindakan sesuai dengan hukum-universal' (4: 421).
Dalam pengertian umum maxim adalah sebuah perangkat-bahasa berupa kalimat sederhana dan mudah diingat, kutipan atau aturan untuk mengambil tindakan dan menjalani hidup yang baik. Sederhananya, maxim merupakan pemikiran dengan nilai-nilai-moral yang bermaksud untuk memotivasi individu menjadi manusia bermoral. Maxim pada kenyataannya merupakan jenis perkataan, atau pernyataan singkat dari pikiran besar tentang kehidupan, terutama dengan singkat dan tegas.
Menurut Kant, sebuah maxim adalah aturan umum yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan melakukan serangkaian tindakan tertentu dalam kondisi/syarat yang tertentu. Misal, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Maxim itu dapat digunakan oleh seseorang untuk mengambil keputusan berkata-bohong berkaitan dengan hubungan perselingkuhan yang dilakukannya. imperatif-kategoris menawarkan prosedur untuk menentukan apakah serangkaian tindakan tertentu sesuai dengan hukum-moral atau tidak.
Setelah seseorang menentukan maxim apa yang menjadi dasar untuk tindakan yang sedang diuji kebenarannya, seseorang selanjutnya harus bertanya : apakah mungkin, bahwa semua-orang akan memilih tindakan yang sesuai dengan maxim itu. Jika jawabannya adalah mungkin, maka tindakan yang diuji secara moral dibenarkan. Sebaliknya jika jawabannya adalah tidak-mungkin maka tindakan itu secara moral tidak dibenarkan. Tindakan berbohong untuk menutupi perselingkuhan dengan demikian tidak-bermoral karena seseorang tidak-dapat berharap bahwa semua-orang akan bertindak sesuai dengan maxim, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Perhatikan bahwa itu tidak hanya berarti semua-orang tidak akan memilih tindakan sesuai dengan maxim itu. Bahkan, adalah tidak-mungkin karena pasti ada yang memilih bertindak-jujur. Karena setiap orang mengetahui jika semua orang bertindak sesuai dengan maxim itu, maka tidak akan pernah ada pengandaian bahwa 'setiap orang harus bertindak-jujur'. Tindakan berbohong pada bagian kalimat 'Seseorang boleh berbohong', tentu saja memerlukan pengandaian seperti itu. Oleh karena itu, keadaan selingkuh di mana semua orang berbohong untuk keluar dari masalah tidak pernah bisa tercipta, sehingga maxim itu tidak-dapat dikehendaki menjadi hukum-universal dan gagal dalam ujian imperatif-kategoris.
Secara sederhana langkah-langkah yang dilakukan, digambarkan sebagai berikut :
1. Peristiwa
Saya berbohong dengan menutupi perselingkuhan agar saya keluar dari masalah.
2. Tindakan yang diuji
Apakah tindakan-berbohong yang saya lakukan dibenarkan berdasar hukum-moral ?
3. Menentukan maxim yang mejadi dasar tindakan-berbohong saya. Maxim itu adalah :
'Seseorang boleh-berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'
4. Bertanya untuk menguji maxim sebagai hukum-universal
Apakah mungkin semua-orang memilih berbohong agar keluar dari masalah itu ?
5. Evaluasi jawaban
Jika jawabannya mungkin berarti tindakan-berbohong saya dibenarkan secara moral.
Jika jawabannya tidak-mungkin berarti tindakan-berbohong saya tidak dibenarkan secara moral.
Dalam pengertian umum maxim adalah sebuah perangkat-bahasa berupa kalimat sederhana dan mudah diingat, kutipan atau aturan untuk mengambil tindakan dan menjalani hidup yang baik. Sederhananya, maxim merupakan pemikiran dengan nilai-nilai-moral yang bermaksud untuk memotivasi individu menjadi manusia bermoral. Maxim pada kenyataannya merupakan jenis perkataan, atau pernyataan singkat dari pikiran besar tentang kehidupan, terutama dengan singkat dan tegas.
Menurut Kant, sebuah maxim adalah aturan umum yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan melakukan serangkaian tindakan tertentu dalam kondisi/syarat yang tertentu. Misal, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Maxim itu dapat digunakan oleh seseorang untuk mengambil keputusan berkata-bohong berkaitan dengan hubungan perselingkuhan yang dilakukannya. imperatif-kategoris menawarkan prosedur untuk menentukan apakah serangkaian tindakan tertentu sesuai dengan hukum-moral atau tidak.
Setelah seseorang menentukan maxim apa yang menjadi dasar untuk tindakan yang sedang diuji kebenarannya, seseorang selanjutnya harus bertanya : apakah mungkin, bahwa semua-orang akan memilih tindakan yang sesuai dengan maxim itu. Jika jawabannya adalah mungkin, maka tindakan yang diuji secara moral dibenarkan. Sebaliknya jika jawabannya adalah tidak-mungkin maka tindakan itu secara moral tidak dibenarkan. Tindakan berbohong untuk menutupi perselingkuhan dengan demikian tidak-bermoral karena seseorang tidak-dapat berharap bahwa semua-orang akan bertindak sesuai dengan maxim, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Perhatikan bahwa itu tidak hanya berarti semua-orang tidak akan memilih tindakan sesuai dengan maxim itu. Bahkan, adalah tidak-mungkin karena pasti ada yang memilih bertindak-jujur. Karena setiap orang mengetahui jika semua orang bertindak sesuai dengan maxim itu, maka tidak akan pernah ada pengandaian bahwa 'setiap orang harus bertindak-jujur'. Tindakan berbohong pada bagian kalimat 'Seseorang boleh berbohong', tentu saja memerlukan pengandaian seperti itu. Oleh karena itu, keadaan selingkuh di mana semua orang berbohong untuk keluar dari masalah tidak pernah bisa tercipta, sehingga maxim itu tidak-dapat dikehendaki menjadi hukum-universal dan gagal dalam ujian imperatif-kategoris.
Secara sederhana langkah-langkah yang dilakukan, digambarkan sebagai berikut :
1. Peristiwa
Saya berbohong dengan menutupi perselingkuhan agar saya keluar dari masalah.
2. Tindakan yang diuji
Apakah tindakan-berbohong yang saya lakukan dibenarkan berdasar hukum-moral ?
3. Menentukan maxim yang mejadi dasar tindakan-berbohong saya. Maxim itu adalah :
'Seseorang boleh-berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'
4. Bertanya untuk menguji maxim sebagai hukum-universal
Apakah mungkin semua-orang memilih berbohong agar keluar dari masalah itu ?
5. Evaluasi jawaban
Jika jawabannya mungkin berarti tindakan-berbohong saya dibenarkan secara moral.
Jika jawabannya tidak-mungkin berarti tindakan-berbohong saya tidak dibenarkan secara moral.
Dalam contoh kasus ini, jawaban yang terakhir adalah yang benar.
Tujuan Kant selanjutnya meningkatkan rumusan hukum-universal imperatif-kategoris adalah untuk menunjukkan bahwa suatu tindakan secara moral dibenarkan, hanya jika maxim yang menjadi dasar-tindakan bisa diterima sebagai hukum-universal yang setiap orang mematuhinya tanpa kecuali. Maka tanda a-moralitas adalah seseorang membuat pengecualian-untuk-dirinya-sendiri. Artinya, seseorang bertindak dengan cara dimana tidak semua orang menghendakinya. Ketika seseorang memilih berbohong untuk menutupi hubungan perselingkuhannya, seseorang itu secara implisit sesungguhnya berpikir, 'aturan-moral secara umum menyatakan setiap-orang harus bertindak-jujur, tetapi dalam hal ini saya adalah pengecualian dari aturan itu".
Rumusan imperatif-kategoris pertama Kant menjelaskan dalam hal bentuk hukum-universal itu sendiri. Penjelasan resmi ini memisahkan dari konten bahwa hukum-moral dapat dimiliki manusia untuk bernafas, bertahan hidup dan menjalani hidupnya. Kant menawarkan rumusan kedua untuk mengatasi sisi-materi hukum-moral. Karena hukum-moral harus berkaitan dengan tindakan, dan semua-tindakan secara definisi adalah teleologis (yaitu, diarahkan pada tujuan), rumusan-materi imperatif-kategoris mensyaratkan untuk naik mencapai tujuan-akhir dari setiap aktivitas manusia. Beberapa tujuan hanyalah instrumental, yaitu mereka dicari hanya karena mereka berfungsi sebagai 'sarana/alat' untuk mencapai puncak-tujuan selanjutnya. Kant berpendapat bahwa hukum-noral harus ditujukan pada puncak yang tidak hanya instrumental, tetapi merupakan tujuan-dalam-dirinya-sendiri. Hanya agen-rasional, yang menurut Kant, merupakan tujuan-dalam-dirinya-sendiri. Bertindak secara moral berarti untuk menghormati agen-rasional sebagai tujuan itu sendiri. Dengan demikian, imperatif-kategoris dapat dirumuskan sebagai berikut 'Jadi bertindak yang menggunakan kemanusiaan, apakah di dalam pribadi sendiri atau di dalam orang lain, pada-saat-yang-sama selalu sebagai tujuan-akhir dan tidak-pernah hanya sebagai sarana/alat' (4: 429). Ide dasar di sini adalah bahwa tidaklah-bermoral untuk memperlakukan seseorang sebagai sesuatu yang hanya bernilai-sebagai-alat. Seseorang memiliki nilai-intrinsik (non-instrumental) yaitu nilai-kemanusiaan, dan hukum-moral menuntut kita menghormati nilai-intrinsik ini. Kembali ke contoh paragraf sebelumnya, adalah tidak dibenarkan untuk berbohong menutupi hubungan perselingkuhan karena dengan menahan kebenaran, seseorang memanipulasi-orang-lain dengan maksud segalanya lebih-mudah bagi dirinya-sendiri. Manipulasi semacam ini, bagaimanapun, adalah memperlakukan orang-lain sebagai sebuah benda-mati (sebagai sarana/alat semata untuk memperoleh kenyamanan agar tidak mendapatkan kesulitan), dan bukan sebagai pribadi yang layak-dihormati dan berhak akan kebenaran.
Gagasan hukum-universal memberikan bentuk imperatif-kategoris dan agen-rasional sebagai tujuan-akhir dalam dirinya-sendiri, hal ini kemudian memunculkan masalah. Kedua sisi imperatif-kategoris ini selanjutnya digabungkan menjadi rumusan-ketiga, yang meningkat menjadi gagasan tentang kerajaan-akhir. Sebuah kerajaan-akhir dapat dianggap sebagai sekumpulan gagasan-utopia yang sempurna di mana semua warga kerajaan ini dengan bebas menghormati nilai-intrinsik-kemanusiaan kepada semua yang lainnya karena otomatis melekat kepada dirinya-sendiri pengetahuan tentang keterikatan hukum-moral universal kepada semua agen-rasional. Formulasi yang ketiga dari imperatif-kategoris hanyalah gagasan bahwa seseorang bagaimanapun harus bertindak sebagai anggota dalam masyarakat-sempurna yang hanya bertindak dengan cara 'Bertindak sesuai dengan maxim yang merupakan anggota hukum-universal demi mencapai kerajaan-akhir' ( 4: 439). Gagasan tentang kerajaan-skhir adalah ideal (maka 'hanya-mungkin'). Meskipun manusia mungkin tidak akan pernah bisa mencapai keadaan-sempurna ini, setidaknya kita bisa berusaha untuk mendekati keadaan ini ke tingkatan yang lebih-tinggi lagi.
c. Postulat Rasional-Praktis
Postulat adalah pernyataan yang diterima sebagai benar tanpa-sendiri memiliki bukti-logis bagi kebenarannya (tanpa perlu membuktikan kebenarannya) dan digunakan untuk menurunkan pernyataan lain yang membentuk sistem analisis-logis atau logika empiris yang koheren.
Dalam karyanya Critique of Pure Reason, Kant berpendapat bahwa meskipun kita dengan telanjang dapat mengakui kemungkinan-logis, bahwa manusia memiliki kehendak-bebas, bahwa ada jiwa-yang-abadi, dan bahwa ada Tuhan, tetapi ia juga berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan yang positif mengenai hal-hal tersebut (lihat 2g di atas). Meskipun demikian, dalam tulisannya tentang etika, Kant kian mempersulit cerita ini. Dia berpendapat disamping ketidak-mungkinan teoritis pengetahuan mengenai hal-hal tersebut, kepercayaan terhadap hal-hal tersebut tetap merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan-moral (dan untuk pengetahuan praktis pada umumnya). Dengan demikian, kebebasan, keabadian-jiwa dan Tuhan adalah postulat rasional-praktis. Pembahasan berikut terutama diambil dari karya Critique of Practical Reason.
Kita mulai dengan kebebasan. Kant berpendapat bahwa moralitas dan kewajiban yang menyertai-nya hanyalah mungkin jika manusia memiliki kehendak-bebas. Hal ini karena aturan-aturan hukum-universal yang ditetapkan dengan imperatif-kategoris mensyaratkan otonomi (autos=diri ; nomos=hukum). Untuk menjadi otonom adalah menjadi-bebas dari prinsip-prinsip dasar yang dimiliki dalam diri seseorang, atau bebas dari hukum-tindakan. Kant berpendapat bahwa jika kita mengandaikan bahwa manusia adalah rasional dan memiliki kehendak-bebas, maka seluruh teori-moral akan mengikuti secara langsung. Meskipun demikian, masalahnya terletak pada penilaian kebenaran terhadap 'keyakinan bahwa kita benar-benar bebas'. Dalam karyanya Analogies Of Experience, Kant berpendapat bahwa setiap peristiwa di dunia alam ini memiliki 'dasar-yang-pasti', yaitu penyebabnya sehingga semua perbuatan manusia sebagai peristiwa yang terjadi di dunia alam, dengan sendirinya memiliki penyebab yang pasti (lihat 2f di atas). Oleh karena itu, satu-satunya ruang untuk kehendak-bebas terletak dalam ranah dunia benda-dalam-dirinya-sendiri, yang berisi korelasi antara nomenal dengan fenomena diri saya. Karena benda-dalam-dirinya-sendiri tidak dapat diketahui, maka saya tidak pernah mencarinya untuk memperoleh bukti bahwa saya memiliki kebebasan-transendental. Kant memberikan setidaknya dua argumen untuk membenarkan 'keyakinan-akan-kebebasan' sebagai prasyarat teori-moralnya. (Ada banyak kontroversi diantara para pengamat mengenai bentuk yang tepat dari argumen Kant, serta keberhasilan-nya. Tetapi tidak akan mungkin untuk mengadili sengketa mereka secara rinci di sini. Lihat Bagian 10 (Referensi dan Bacaan lebih lanjut) untuk referensi beberapa komentar-komentar ini.)
Dalam karyanya Groundwork for the Metaphysics of Moral, Kant menunjukkan bahwa prasyarat kita bebas merupakan konsekuensi yang mengikuti kenyataan bahwa kita memiliki prinsip-rasional-praktis dan kita menganggap diri kita sendiri sebagai agen-praktis. Setiap kali saya menghadapi pilihan yang memerlukan pengambilan-keputusan, saya harus meninjau pilihan-pilihan yang ada dihadapan saya sebagai sesuatu yang benar-benar terbuka. Jika saya berpikir rangkaian-tindakan-saya telah ditentukan sebelumnya, maka sesungguhnya tidak-akan-ada-pilihan yang benar-benar dibuat oleh saya. Selanjutnya, untuk membawa keputusan saya menjadi nyata, saya juga berpikir hasil dari tindakan yang saya lakukan sebagai 'sesuatu yang disebabkan oleh saya'. Gagasan kausalitas yang berasal diri-sendiri adalah gagasan tentang kehendak-bebas. Jadi fakta saya mengambil keputusan terhadap 'tindakan-apa' yang saya lakukan berarti saya mengandaikan bahwa pilihan-saya adalah nyata dan karenanya saya-bebas. Seperti Kant menyatakan, dalam kalimat 'Semua agen praktis bertindak di bawah ide-kebebasan' (4: 448). Adalah tidak jelas bahwa argumen ini cukup kuat untuk tujuan Kant. Karena posisinya menjadi tampak seperti saya harus bertindak seolah-olah saya-bebas, tetapi bertindak seolah-olah saya-bebas sama sekali tidak-berarti bahwa saya benar-benar bebas. Pengertian paling-baik adalah karena saya-bertindak seolah-olah saya bebas, maka saya harus-bertindak seolah-olah moralitas benar-benar mewajibkan-saya untuk melakukan suatu tindakan. Ini berarti tidak menyatakan bahwa hukum-moral benar-benar menyebabkan saya melakukan suatu tindakan tetapi tindakan yang saya lakukan adalah satu-pilihan-bebas dari beberapa tindakan yang mungkin dilakukan.
Dalam Critique of Practical Reason, Kant menawarkan argumen yang berbeda untuk realitas-kebebasan. Dia berpendapat bahwa itu adalah sebuah fakta-rasional yang kasar (5:31) bahwa imperatif-kategoris (dan juga moralitas secara umum) mewajibkan kita sebagai agen-rasional (manusia). Dengan kata lain, semua agen-rasional termasuk manusia setidaknya menyadari secara implisit adanya keterikatan hukum-moral pada kita. Karena moralitas mensyaratkan kebebasan, maka selanjutnya jika moralitas adalah nyata, maka kebebasan juga harus nyata. Jadi fakta-rasional ini mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan terhadap adanya realitas-kebebasan. Meskipun kesimpulan argumen ini lebih kuat dari argumen sebelumnya, tetapi merupakan premis yang lebih kontroversial. Misalnya, sangat jelas bahwa semua agen-rasional menyadari hukum-moral. Jika memang begitu, mengapa tidak-ada seorang pun yang menemukan hukum-moral yang pasti sebelum 1785 ketika Kant menulis Groundwork for the Metaphysics of Moral ? Sama bermasalahnya adalah tidak jelas mengapa fakta-rasional harus dijelaskan sebagai pengetahuan tentang keterikatan pada hukum-moral. Mungkin saja bahwa kita, tidak bisa tidak-percaya bahwa hukum-moral mewajibkan kita, dalam hal ini, kita sekali lagi hanya bertindak seolah-olah kita-bebas dan seolah-olah hukum-moral adalah nyata.
Sekali lagi, ada banyak perdebatan dalam literatur tentang struktur dan keberhasilan argumen Kant. Bagaimanapun adalah jelas, bahwa keberhasilan proyek moral Kant berdiri atau jatuh bergantung pada argumen untuk menjelaskan kehendak-bebas, dan bahwa kekuatan keseluruhan-teori ini ditentukan oleh tingginya tingkat status-epistemik dari keyakinan kita terhadap kebebasan-kita-sendiri .
Argumen Kant untuk keabadian-jiwa dan Tuhan sebagai postulat-rasional-praktis mensyaratkan bahwa realitas hukum-moral dan kehendak-bebas telah ditetapkan, dan keduanya juga bergantung pada prinsip bahwa 'harus berarti-juga dapat'. Seseorang tidak bisa diwajibkan untuk melakukan sesuatu kecuali hal tersebut dapat/bisa/mampu dilakukan. Misalnya, tidak masuk-akal di mana saya diwajibkan untuk memecahkan masalah kemiskinan-global sendirian, karena hal itu di luar kemampuan saya untuk melakukannya. Menurut Kant, tujuan-akhir dari rasional-moral agen seharusnya menjadi moral-yang-sempurna. Kita wajib berusaha untuk menjadi lebih-bermoral. Sesuai prinsip 'harus berarti-juga dapat', jika kita harus berusaha mencapai kesempurnaan-moral, maka tujuan kesempurnaan-moral harus mungkin dapat dicapai dan kita bisa/mampu menjadi sempurna. Namun, Kant menyatakan bahwa kesempurnaan-moral adalah sesuatu yang membatasi agen-rasional seperti manusia yang hanya dapat bergerak (berkembang) ke arah kesempurnaan-moral, karena manusia tidak benar-benar mencapai kesempurnaan dalam rentang waktu yang terbatas, dan tentu saja tidak dalam satu masa hidup manusia. Dengan demikian hukum-moral menuntut manusia 'terus bergerak maju tanpa henti (endless progress)' menuju 'kesesuaian yang sempurna antara kehendak dengan hukum-moral' (5: 122). 'terus bergerak maju tanpa-henti' menuju kesempurnaan hanya dapat dituntut dari manusia jika keberadaan (eksistensi) manusia sendiri tak-terbatas (tak-ada-habisnya). Singkatnya, keyakinan bahwa seseorang harus berjuang menuju kesempurnaan-moral mensyaratkan kepercayaan pada keabadian-jiwa.
Selain prinsip 'harus berarti-juga dapat', argumen Kant tentang kepercayaan pada Tuhan juga melibatkan elaborasi dengan gagasan 'kebaikan-tertinggi' yang semua tindakan-moral menuju kepada-Nya (setidaknya secara tidak-langsung). Menurut Kant, kebaikan-tertinggi adalah keadaan-sempurna yang paling mungkin bagi sebuah komunitas agen-rasional, di dalamnya tidak hanya semua agen-rasional bertindak-sempurna sesuai dengan hukum-moral. Tetapi juga keadaan di mana semua agen-rasional bahagia. Kant berpendapat bahwa meskipun semua orang secara alami mempunyai keinginan untuk menjadi-bahagia, kebahagiaan hanya baik ketika seseorang layak untuk menerima kebahagiaan itu. Dalam skenario yang ideal dalam komunitas moral yang sempurna dari agen-rasional, setiap orang layak menjadi bahagia. Karena kebahagiaan yang layak adalah hal yang baik, niat-baik-tertinggi terlibat dalam situasi di mana setiap orang bertindak sempurna sesuai dengan hukum-moral dan semua orang benar-benar bahagia karena mereka layak menerimanya. Sekarang karena kita diwajibkan berusaha untuk mencapai kebaikan-tertinggi, suatu hal yang sempurna-dan-universal, dibenarkan secara moral bahwa kebahagiaan harus mungkin (sekali lagi, karena 'harus-berarti-bisa'). Di sinilah sebuah teka-teki muncul. Meskipun kebahagiaan terhubung dengan moralitas pada tingkat konseptual ketika seseorang layak untuk bahagia, disana tidak ada hubungan alami antara moralitas dan kebahagiaan. Kebahagiaan kita tergantung pada dunia-alam (misalnya, apakah kita sehat, apakah bencana alam mempengaruhi kita), dan dunia alam beroperasi sesuai dengan hukum-alam yang benar-benar terpisah dari hukum-moralitas. Dengan demikian, bertindak secara moral secara umum tidak menjamin bahwa dunia-alam akan memungkinkan seseorang untuk menjadi bahagia. Jika ada, berperilaku moral yang seringkali mengurangi kebahagiaan seseorang (untuk melakukan hal yang benar seringkali melibatkan hal-hal yang tidak-nyaman atau sulit dilakukan). Dan kita semua memiliki banyak bukti empiris dalam dunia-alam dimana kita hidup, bahwa hal-hal yang buruk sering terjadi pada orang baik dan hal-hal baik terjadi pada orang jahat. Jadi jika kebaikan-tertinggi (di mana kebahagiaan proporsional dengan kebajikan) adalah mungkin, maka kemudian entah bagaimana caranya harus ada jalan bagi hukum-alam untuk akhirnya mengarah kepada situasi dimana kebahagiaan proporsional dengan kebajikan. (Perhatikan bahwa karena pada titik ini dalam argumen, Kant membawa dirinya untuk menetapkan keabadian sebagai postulat rasional-praktis, ini 'pada-akhirnya' sangat baik ketika berada jauh di masa-depan). Karena hukum-alam dan hukum-moralitas benar-benar saling terpisah, satu-satunya cara keduanya bisa menjadi bersama-sama sebagai kebahagiaan yang berakhir proporsional dengan kebajikan akan terwujud jika penyebab utama-dan-dasar alam mengatur sedemikian rupa sehingga hukum-alam pada akhirnya mengarah pada keadaan-sempurna. Oleh karena itu, kemungkinan kebaikan-tertinggi memerlukan prasyarat bahwa penyebab dunia adalah rasional dan cukup-kuat demi mengatur alam dengan cara yang benar, dan juga itu menghendaki sesuai dengan prinsip keadilan agar pada akhirnya hukum-alam akan menyebabkan terwujudnya keadaan dimana kebahagiaan agen-rasional proporsional dengan kebajikan mereka. Penyebab yang rasional, kuat, dan penyebab satu-satunya alam ini adalah apa yang secara tradisional berjalan dengan nama Tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah postulat rasional-praktis.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/kantview/#H2
Pemahaman Pribadi
Kelapa Gading , 8 Maret 2017
No comments:
Post a Comment