Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, March 26, 2017

Alima


Konon, berdirilah sebuah kerajaan yang sedang menapaki kemasyhuran. Kerajaan itu tidak luas wilayahnya, tetapi tidak juga begitu kecil. Rakyatnya berkecukupan, mereka tak pernah khawatir memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kota-kota terlihat bergairah pada malam hari, sedang pada siang hari cukup banyak orang berlalu lalang, kereta dan kuda bergantian melintasi jalanan. Anak-anak berlarian dengan riang, tawa dan teriakan mereka menggema meramaikan setiap pagi menjelang. Pasar-pasar terlihat ramai, barang-barang memenuhi lapak dagangan yang sesak berderet, sayur mayur dan buah-buahan bertumpuk lengkap beraneka warna. Suara riuh tawar menawar mengisi hari demi hari yang berganti. Damai juga menyenangkan, begitu suasana kerajaan itu.

Sang Baginda masih berusia muda. Ia terpaksa naik tahta enam tahun yang lalu, beberapa hari setelah pemakaman Ayahanda tercinta. Sekarang Ia menginjak usia tiga puluhan tahun. Ia menjalankan pemerintahan dengan didampingi beberapa Penasehat, berada di pusat kerajaan. Istana berdiri megah dengan halaman yang luas dikelilingi oleh tembok pengaman berdinding tebal. Empat buah gerbang besi tempa bakar berdiri kekar, merupakan pintu masuk dan keluar lingkungan Istana. Di sebelah depan, alun-alun menghampar luas, dihiasi empat pohon beringin berdaun lebat, menjadi peneduh di setiap pojok tempat rakyat berkumpul mendengar pengumuman dan titah dari Sang Baginda. Sesekali juga untuk bergembira dengan memanggil bermacam hiburan tatkala Sang Baginda memperingati hari kelahirannya atau acara kerajaan yang penting lainnya.

Temaram senja nyaris menghilang, Sosok Tua menapak turun dari sebuah kereta penumpang. Dengan tenang, Ia menyeberang jalan, melangkah mendekati pintu gerbang sebelah utara. Para Penjaga yang mengamati dari kejauhan bergegas waspada menyambutnya.
"Orang Tua. Siapa gerangan dirimu ? Apa maksud kedatanganmu ?", Tepat di pintu gerbang, salah seorang Penjaga mencecarnya dengan curiga.
"Aku hendak bertemu Rajamu, wahai Penjaga.", Sosok Tua itu menjawab dengan tegas. Suaranya terdengar dalam dan berwibawa.
"Ahh, Bapak Tua. Tidak sembarang orang bisa menghadap Baginda. Pulanglah. Tulislah surat, sampaikan alasan dan maksud tujuanmu. Kirimkan ke petugas pencatat kerajaan, pastilah Dia akan mengatur pertemuanmu dengan Baginda. Percayalah, suatu saat Baginda akan memanggilmu untuk menghadapnya."
"Wahai Penjaga. Rajamu pernah berkunjung ke tempatku. Percayalah. Sampaikan padanya. Aku, Alima mohon bertemu dengan Baginda.", Sosok Tua itu menunjukkan kemuliaannya dengan membungkukkan badan untuk meyakinkan. Para penjaga saling berpandangan, beberapa menatap teliti dari kepala hingga ujung kaki. Mereka ragu sekaligus bingung, sekitar empat jengkal mereka mundur menarik diri. Tampak mereka berbisik-bisik satu sama lain, tak berapa lama salah satu dari mereka berlari bergegas menuju Istana sementara yang lain kembali bergabung menemani Sosok Tua itu menunggu di pintu gerbang.

Deru putaran roda terdengar semakin mendekat, kereta terlihat meluncur dari kejauhan. Debu mengepul mengikuti derap kaki kuda menuju pintu gerbang utara. Sedikit jauh, kereta itu berhenti di dekat Sosok Tua dan para penjaga berkumpul. Seorang Prajurit tampan, berbadan tinggi tegap turun menghampiri Sosok Tua dan para Penjaga yang sedang menunggu. Langkah dan wajahnya terlihat tegas.
"Wahai Orang Tua, Baginda berkenan Kau menghadapnya. Sang Baginda memerintahkan Aku untuk menjemputmu. Mari, Aku antar ke Istana.", Si Tampan mempersilakan Sosok Tua itu naik ke atas kereta. Ia sendiri lalu menyusul ke dalamnya. Tubuh yang tegap dan sosok yang tua kini duduk berdampingan. Sang kusir lantas menghela kuda, dengan hentakkan khasnya, Ia memutar kereta berbalik menuju Istana. Debu mengepul kembali mengikuti putaran laju roda kereta.

Didampingi beberapa Penasehat, Sang Baginda berjejer menunggu sambil bercakap-cakap di tangga teras Istana. Kereta berhenti lurus di hadapannya, Ia melangkah turun menghampiri Sosok Tua yang tersendat keluar dari pintu kereta. Baginda menyambutnya dengan membuka tangan lebar-lebar. Wajahnya bersinar riang, Ia merangkul Sosok Tua itu sambil menempelkan pipi kanan dan kirinya. Sang Baginda lalu bersalaman dan mencium tangannya, para Penasehat kemudian mengikuti bersalaman berurutan. Sang Baginda menyebut nama mereka satu persatu. Mereka lalu berjalan berdampingan masuk ke dalam Istana. Para Penasehat mengiringi dari belakang.
"Ahh, Guru Alima. Apa gerangan yang membawamu kemari ?"
"Sesungguhnya Aku sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, Muridku. Tetapi hari sepertinya tak mencukupi. Hitunganku sampai rumah dini hari dan badanku terasa lelah. Pikirku Aku perlu istirahat, besok kulanjutkan kembali perjalananku.", Sambil berjalan Sang Baginda mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tadi Aku juga dengar cerita-cerita dari rakyatmu. Mereka bicara hal-hal baik tentangmu. Aku jadi ingin menemuimu, wahai Muridku."
"Aku hendak menyaksikan sendiri keberhasilanmu. Melihatmu di singgasana adalah kepuasanku. Mendengar rakyat memujimu adalah kebanggaanku.", Mereka terus berjalan bergandengan memasuki Istana, Sang Baginda mengajaknya naik ke tahta, satu kursi di samping tahta rupanya telah disiapkan untuk guru yang dihormatinya.

Percakapanpun berlangsung panjang lebar antara murid dan guru. Sekitar lima tahun, mereka tak bertemu. Mereka mengenang kembali saat-saat dimana mereka berbagi peristiwa. Sang Alima tak lupa menceritakan pengalamannya mengajar di kerajaan-kerajaan sekitar. Bagaimana para bangsawan begitu tertarik dengan ajarannya, Ia ceritakan dengan rinci disertai peristiwa-peristiwa lucu saat menjalani hidup di kerajaan-kerajaan itu. Sementara Sang Baginda menceritakan dengan lancar bagaimana dirinya memimpin kerajaan, pengkhianatan yang dialami serta dibumbui betapa sulit dirinya mencari seorang permaisuri. Sebentar-sebentar Sang Baginda tersenyum, lalu tertawa lebar. Beberapa saat kemudian Sang Alima yang berganti terkekeh-kekeh geli. Mereka begitu menikmati pertemuan itu, hingga tak berasa malam pun tiba. Sang Alima dihantar ke ruangan tidur tamu-tamu khusus kerajaan yang dihormati. Sang Baginda berpisah menuju peraduannya sendiri.

Setelah membersihkan diri, Sang Baginda berbaring di atas peraduan. Tatapannya mengawang ke langit-langit kamar, kedua tangannya menyilang ke belakang menahan sandaran bantal di kepala. Pikirannya mengenang saat-saat dahulu dirinya menjadi murid Sang Alima. Beberapa pelajaran melintas kembali dalam benaknya, satu hal berharga tak pernah terlewati mengisi ingatannya. Sebuah pelajaran yang membuatnya mampu bertahan menjadi seorang raja hingga saat ini, tetapi memaksa dirinya untuk mengirim Pamannya ke tiang gantungan dan menjebloskan keluarganya ke dalam penjara. Setelah Ayahanda dan Ibunda meninggalkan dirinya, situasi memang rumit saat itu, namun Sang Paman memang benar-benar bermaksud keji untuk menyingkirkannya diam-diam. Peristiwa delapan tahun silam, saat Sang Baginda menerima pelajaran berputar kembali dalam ingatannya.

Malam itu, Baginda Muda terbangun di pertengahan malam. Perasaan gelisah membuatnya bangkit dari papan tidur kayu yang menahan punggungnya. Diam-diam Ia mengendap keluar kamar, berjalan sendiri menyusuri jalan setapak berbatu menuju pendopo di mana kegiatan belajar mengajar biasa dilakukan. Lampu-lampu pendopo telah lama dimatikan, suasana terasa sepi, hanya sedikit sinar bintang yang membantunya melihat bayang-bayang semak dan pepohonan. Ia memilih duduk di atas batu besar, di depan pendopo, di bawah naungan pohon yang berdaun rindang. Ia terpekur sendiri. Tatapannya kosong. Angin berhembus sepoi menggoyang-goyang helaian rambutnya.

Sang Alima yang baru selesai membaca sebuah buku di perpustakaan memergoki Baginda Muda termenung sendiri. Perasaan iba membelokkan langkah kakinya menghampiri Baginda Muda.
"Apa yang kau pikirkan, wahai Muridku ?", Suara Sang Alima mengagetkannya.
"Aku tak mampu terlelap, wahai Guru.", Baginda Muda menjawab dengan lembut. Wajahnya menekuk murung.
"Baiklah. Apa yang bisa Aku berikan padamu ?", Kata Sang Alima seraya berjongkok mengambil duduk disampingnya. Baginda Muda menggeser duduknya sedikit ke arah kanan. Mereka lalu duduk berdua berdampingan.
"Wahai Guru, selama ini Aku hidup gelisah. Hampir setiap malam Aku terbangun. Aku khawatir pada orang-orang di sekelilingku. Sepertinya mereka bukan manusia !"
"Mereka seperti menungguku lengah, wahai Guru. Untuk menerkamku !", Baginda Muda terdiam sendiri. Senyap sejenak menyusup di antara mereka.
"Lalu, apa yang bisa kubantu, wahai Muridku."
"Tunjukanlah padaku, wahai Guru."
"Siapa sebenarnya manusia paling berbahaya di sekelilingku itu ?", Baginda Muda bertanya dengan menundukkan kepala. Ia masih gelisah, tatapannya menyusur ke bawah, telapak kakinya mengusap-usap tanah dengan sendirinya.
"Dia yang paling dekat denganmu, wahai Muridku. Dia yang Engkau percaya !", Suara lirih Sang Alima menghantam dinding hati Baginda Muda. Ia tersentak, lalu menatap Gurunya heran.
"Benarkah, wahai Guru ?"
"Lalu, buat apa Kau melukai kakimu datang ke tempatku ?!"
"Mohon maaf, wahai Guru. Aku tidak paham dengan yang dikatakan."
"Kau tidak percaya, bukan !"
"Sekali lagi maaf Guru, tidak begitu adanya. Hanya belum mengerti yang Guru katakan. Dia yang Aku percaya selama ini membimbingku dengan penuh kebaikan. Ia selalu menasehati Aku. Ia menunjukkan jalan kebenaran padaku. Ia melindungi Aku. Aku sepenuhnya percaya padanya, wahai Guru. Rasanya Dia tak seperti yang lain...", Baginda Muda tak mampu melanjutkan kalimatnya, tenggorokannya tercekat, lidahnya berubah kelu. Melintas dibenaknya wajah Pamannya yang sangat disayangi.
"Yaahh. Memang begitulah caranya membunuhmu.", Sang Alima menghela nafas panjang.
"Engkau dibuatnya tidur, lalu tak terbangun lagi. Begitulah Dia membunuhmu pelan-pelan. Membuatmu mengantuk, lelap, lalu tak sadar selamanya.", Baginda Muda hanya terbengong, kata-kata Gurunya semakin jauh dari jangkauan pikirannya.
"Bagaimana bisa, wahai Guru ?"
"Yaa ! Engkau mati karena kata-katanya Kau percayai. Kehendakmu hilang. Engkau hanya bertindak mengikuti kata-katanya ! Kau tak mengujinya. Itu membuat jiwamu mati. Itu membunuhmu !", Panjang lebar Sang Alima menjelaskan semua yang dimaksudnya.
"Dengarlah, Engkau tak menentukan kebajikanmu sendiri, bukan ? Apalagi menemukan kebajikan-kebajikan baru untuk hidupmu. Begitulah Ia mengubahmu menjadi mayat.", Ujar Sang Alima melanjutkan.

Malam kian beranjak larut, suara-suara berangsur-angsur menghilang. Gambar-gambar menjadi bergerak bisu, berubah samar, menipis terus menipis lalu menyusul menghilang ditelan kegelapan. Mata Sang Baginda rupanya telah terpejam. Ia tertidur pulas dengan tangan dibawah kepalanya.

Matahari pagi menjelang, Sang Baginda dan Sang Alima duduk berhadapan di sebuah meja makan. Mereka dipisahkan berbagai macam makanan dan buah-buahan yang memenuhi di atas meja. Beberapa jenis minuman tersedia di bagian pinggir meja. Sang Alima hanya sedikit menyantap makanan yang berlimpah serta meneguk satu gelas air kelapa. Setelah merasa perutnya cukup berisi, Sang Alima berencana meneruskan perjalanan kembali ke rumah. Ia bermaksud berpamitan kepada Sang Baginda, tetapi Sang Baginda menahannya.
"Wahai Guru, sudikah kiranya engkau duduk disampingku. Mendampingiku. Membimbingku agar tak terpeleset ke jurang kenistaaan.", Sang Baginda meminta Sang Alima untuk tinggal di Istana.
"Ahh, ini bukan tempatku Baginda. Aku lebih tenang tinggal di ujung gunung sana. Itulah kerajaanku kedamaian dan ketenangan.", Dengan lembut, Sang Alima berusaha menolak  permohonan Sang Baginda.
"Pertimbangkanlah, wahai Guru. Aku membutuhkanmu di sini. Ayah dan Bundaku sudah tiada. Pamanku bahkan mengkhianatiku ! Kepada siapa lagi Aku harus bersandar ?", Sang Baginda mendekati jendela, seberkas sinar menimpa wajahnya.
"Pesan Ayahanda sungguh berat. Meskipun hingga saat ini, Aku mampu melaksanakan, tetapi seandainya Guru ada di sampingku tentu akan mengurangi beban itu."
"Bagaimana Guru, sudikah membantuku membuat maju kerajaan, bertambah wilayahnya, keilmuannya, makmur rakyatnya, kuat pasukannya ?"
"Demi kerajaan dan rakyat Guru !", Suara Sang Baginda mendesis persis di telinga kiri Sang Alima. Ia terus membujuk.

Sang Alima akhirnya, menerima tawaran Sang Baginda. Ia menempati jabatan yang khusus sebagai pendamping Sang Baginda. Banyak keputusan penting diambil karena nasehatnya. Kerajaan sedikit demi sedikit mengalami kemajuan yang membanggakan. Sang Baginda merasa puas dengan keputusan-keputusan yang diambil, kepercayaan pada Sang Alima bertumbuh semakin kuat. Satu tahun berlalu, Sang Baginda memberi penghargaan gelar kehormatan kepada Sang Alima sebagai 'Penasehat Terpercaya'. Penobatannya berlangsung meriah dalam upacara agung yang disaksikan rakyat dan dihadiri semua pejabat kerajaan. Bermacam hiburan digelar di alun-alun Istana hingga dini hari, rakyat berkumpul merayakan kegembiraan.

Waktu terus bergulir, Sang Alima menjadi semakin leluasa mengatur semua segi pemerintahan kerajaan. Para Penasehat tak lama kemudian mengundurkan diri karena nasehatnya sudah tidak didengar lagi. Kata-katanya dianggap angin lalu oleh Sang Baginda. Mereka merasa tak berguna. Sang Baginda hanya percaya penuh kepada 'Penasehat Terpercaya'. Selanjutnya, demi kemajuan yang lebih pesat untuk mencapai tujuan yang didamba Sang Baginda, Sang Alima mengambil langkah menata para pejabat pemerintahan. Satu persatu jabatan penting diganti, lalu diisi dengan saudara handai taulannya. Sekarang para menteri nyaris semuanya mempunyai hubungan darah dengan Sang Alima. Anak satu-satunya 'Putra Maha Alima' memimpin Panglima Perang Kerajaan, di bawah murid-muridnya menguasai lapisan kekuasaan di daerah-daerah sebagai bupati, demang dan bahkan kepala desa. Sang Alima menanam kekuasaan yang mengakar dalam waktu kurang dari tiga tahun, sementara Sang Baginda semakin jarang terlihat.

Hingga suatu hari, kabar berhembus kencang. Sang Baginda sedang menderita sakit. Sang Baginda tidak bisa menemui rakyatnya. Ia perlu istirahat untuk penyembuhan. Begitu kabar memenuhi udara di kerajaan. Para tabib dan ahli pengobatan terlihat mondar-mandir keluar masuk pintu gerbang sebelah selatan. Suasana di dalam Istana tenang tetapi terasa mencekam. Nyaris setiap minggu beredar kabar baru mengenai Sang Baginda. Bukan berita yang menyenangkan tetapi berita miris yang menyayat hati. Dari kuku-kuku Sang Baginda yang berubah hitam sampai wajah yang menjadi tirus dan terlihat tua. Dari kepala yang botak hingga tulang terbalut kulit. Dari mulut yang berbusa sampai lidah biru yang kaku tak bergerak. Entah penyakit apa yang menyerang Sang Baginda, tak seorang pun tahu. Istana sepertinya menutup diri.

Akhirnya hari itu pun tiba, rakyat berbondong-bondong berbaris menuju alun-alun Istana, mereka berkumpul untuk mendengar keputusan penting dari Istana. Pihak Istana telah menyampaikan pengumuman dengan menyebar ke setiap penjuru kerajaan akan adanya acara yang maha penting. Acara yang boleh dihadiri segenap rakyat tanpa terkecuali. Berita dari mulut ke mulutpun telah tersebar. Kabar yang terdengar, pengumuman akan disampaikan oleh 'Penasehat Terpercaya'.

Menjelang siang, semua pejabat sudah berkumpul, mereka bediri rapi di belakang mimbar. Pakaian lengkap kerajaan membuat mereka terlihat gagah dan terhormat. Pasukan kerajaan sudah bersiap sebelum pagi, mereka tegap mengelilingi alun-alun dengan senjata lengkap. Gerbang-gerbang lingkungan Istana juga dijaga ketat. Pasukan khusus pengawal kerajaan telah diperintah Panglima Perang Kerajaan untuk menjaga Istana. Semua terlihat sudah direncanakan rapi, cermat dan matang.

Sang Alima terlihat keluar dari lorong koridor Istana. Langkah kakinya tenang berwibawa, Ia berjalan perlahan memasuki mimbar. Kini, hampir semua mata menatap kepadanya. Para pejabat hanya terdiam sedang rakyat saling berbisik penasaran mengenai apa yang hendak disampaikan oleh 'Penasehat Terpercaya'. Sang Alima menghentikan langkahnya di tengah mimbar, semua pandangan mengarah kepadanya, suara lantang kemudian terdengar mengelilingi alun-alun.
"Wahai rakyatku. Tengah malam Sang Baginda telah mangkat, meninggalkan kita. Pemakaman sedang disiapkan. Tahta Kerajaan sekarang kosong. Perlu disampaikan, bahwa Sang Baginda telah menuliskan surat wasiat untuk menunjuk penggantinya.", Sang Alima berkata seraya mengangkat tinggi-tinggi gulungan kertas putih berikat pita merah yang berada digenggamannya. Suara gemuruh terdengar sebentar. Suasana kemudian mereda tenang. Sang Alima melanjutkan perkataannya.
"Surat wasiat ini menyatakan 'Putra Maha Alima', Sang Panglima Perang Kerajaan untuk menduduki tahta kerajaan ! Siapa yang melawan keputusan ini, surat wasiat memerintahkan dihukum dan diperangi ! Demikian surat wasiat ini menitahkan !"

Tanpa banyak berkata-kata, Sang Alima langsung membalikkan badan. Ia meninggalkan mimbar dengan langkah tetap tenang, pandangannya lurus menuju Istana. Sekali lagi, Ia melewati lorong koridor Istana, di antara tiang-tiang besar yang kokoh menjulang, Ia berhenti menyandarkan tubuhnya. Sendiri Ia terdiam, merenung, lalu menyeringai lebar. Sang Alima melanjutkan langkahnya, baru beberapa langkah, tiba-tiba Ia terbahak sambil melempar gulungan kertas kosong di tangannya ! Ia terus berjalan dengan tergelak !


Bekasi , 25 Maret 2017


No comments:

Post a Comment