Inti dalam konsep dialektika-hegelian adalah gagasan bahwa setiap-yang-ada (every-being) atau segala-suatu-yang-ada (everything that exists) bersifat kontradiktif pada dirinya-sendiri (mengandung pertentangan/kontradiksi dalam dirinya).
Dengan kata lain, pada segala-suatu-yang-ada terkandung negasi-dirinya (suatu-yang-bukan-dirinya) dan merupakan benih pemusnahan dan perubahan atau kehancuran dan transformasi dirinya yang tidak-dapat dielakkan.
Sehingga bagi Hegel, dialektika adalah struktur-formal dari realitas, oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa dialektika merupakan esensi dari segala-suatu-yang-ada, baik material ataupun immaterial.
Secara khusus gagasan-esensi merupakan hal penting untuk memahami dialektika-hegelian, ini karena esensi menunjukkan kesatuan/identitas yang tetap di dalam seluruh proses-perubahan yang aktual.
Bagi Hegel ini berarti, suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) di awal-proses itu. Sehingga suatu-ada (being) pada akhir-proses hanyalah aktualisasi dari suatu-ada-yang-sama (being-yang-sama), yang berada di awal-proses dialektis itu namun ada di sana berupa ide/gagasan.
Sebagai contoh, perhatikan bagaimana seorang arsitek melakukan tekstualisasi ide/gagasan sebuah ‘rumah’ (menuangkan ide/gagasan sebuah ‘rumah’ menjadi bentuk gambar pada secarik kertas).
Dapat kita lihat, bahwa sebelum ‘rumah’ menjadi sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah), ‘rumah’ itu sudah-ada di dalam benak arsitek sebagai sebuah ide/gagasan yaitu rencana sebuah 'rumah', maka suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan sebuah ‘rumah’ adalah sudah-ada sebelum rumah-itu diaktualisasikan, oleh karenanya sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah) yaitu suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan ‘rumah’ yang berada di awal-proses dialektis.
Meski demikian perlu ditekankan bahwa konsep Hegel tentang kesatuan/identitas bukanlah dalam pengertian suatu dasar-yang-permanen (sesuatu yang tetap), yang menetapkan suatu-ada (being) melainkan suatu proses yang didalamnya berhasil mengatasi/menyelesaikan segala-pertentangan (kontradiksi) yang terkandung di dalam dirinya (inheren) dan mengungkapkan diri menjadi sebuah hasil.
Dengan alasan ini gagasan esensi dalam dialektika-hegelian tidak seharusnya dipandang dari sudut esensialisme, bagi Hegel --tentu saja-- tidak-ada suatu esensi semacam itu yang menentukan suatu-ada (being) menjadi seperti apa-adanya.
Sebagai contoh, karena bagi Hegel segala-yang-ada adalah dalam proses-perubahan yang terus-menerus, oleh sebab itu kita tidak-dapat membahas mengenai esensi seorang manusia. Bagi Hegel tidak-ada suatu esensi semacam itu sebagai hakekat manusia.
Konsep kesatuan/identitas oleh karenanya tidak lain hanyalah suatu proses-negasi-diri pada setiap-yang-ada atau negativitas.
Sehingga --sekali lagi-- konsep esensi Hegel secara khusus mengacu kepada proses-perubahan yang terus-menerus, proses-penegasian-diri yang konstan dan bukan sesuatu yang membuat suatu-benda menjadi benda sesuai hakekatnya.
Pengertian negativitas yang terkandung pada segala-yang-ada tidak berarti selalu hanya melibatkan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) saja. Negativitas yang merupakan karakter esensial pada setiap-yang-ada, mensiratkan pengertian suatu-ada (being) selalu di dalam proses-kemenjadian (becoming), yang dapat dikatakan adalah proses-perkembangan semua-relasi-pertentangan (kontradiksi) dengan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dan merupakan sebuah proses suatu-ada (being) mengaktualisasi potensinya dengan mengubah diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu dengan menegasikan dirinya-sendiri.
Menurut Hegel, dalam proses-penegasian diri yang terjadi (aktif), suatu-ada (being) musnah namun pada saat yang sama, mengembangkan hakekat potensinya dengan bergerak ke tingkatan yang lebih tinggi, gerak ini terkenal disebut oleh Hegel sebagai ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu kemusnahan ada-yang-lama sekaligus kelahiran ada-yang-baru, dimana ada-yang-baru bagaimanapun merupakan aktualisasi dari potensialitas yang terkandung di dalam ada-yang-lama (inheren).
Seperti yang ditulis oleh Marcuse suatu bentuk-eksistensi tertentu tidak-dapat mengungkapkan kandungannya/potensialitasnya tanpa pemusnahan diri. Ada-yang-baru harus merupakan penegasian secara aktual dari ada-yang-lama dan tidak hanya sekedar koreksi atau revisi. Adalah pasti bahwa ada-yang-baru bagaimanapun haruslah sudah-ada sebagai bagian dari ada-yang-lama (terkandung di dalamnya) dan berada di sana hanya sebagai sebuah potensialitas dan realisasi materialnya dikeluarkan oleh bentuk aktual adanya (being) pada saat itu.
Proses-kemenjadian (becoming) menjelaskan apa yang disebut oleh Hegel sebagai proses-perubahan (transisi) dari hanya sekedar potensialitas berubah menjadi aktualitas.
Seperti ditulis oleh Marcuse :
“ Ketika sesuatu berubah menjadi suatu-yang-bukan-dirinya --Hegel mengatakan-- ketika sesuatu melawan dirinya-sendiri, sesuatu itu menyatakan esensinya. “
Bagi Marcuse ini adalah momen realisasi diri suatu-ada (being) menjadi aktual, memang ini merupakan momen suatu-ada (being) dan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) menyatu, oleh karena itu juga dikatakan ketika pertentangan (kontradiksi antara being dan non-being) berhasil diatasi/diselesaikan dan menghasilkan suatu-ada-tertentu dengan bentuk-lain yang memiliki tingkatan lebih tinggi.
Adalah penting untuk diketahui pada titik ini bahwa dalam tulisannya, Hegel tidak pernah menggunakan istilah triadik-momen tentang suatu-ada (being) yang disebut being, non-being, dan becoming atau tesis, antitesis dan sintesis. Tentu saja pengungkapan suatu-ada (being) melibatkan tiga-momen ini tetapi semua-terjadi-sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama), sehingga suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) tidaklah datang/berasal dari luar, menurut Hegel negativitas adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri.
Gagasan ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu realisasi suatu-ada (being) menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) juga bersifat internal sehingga Hegel berpendapat bahwa proses-penghancuran diri suatu-ada (being) yang tidak-dapat dielakkan, dan merupakan akhir-proses transformasi atau proses-kemenjadian (becoming), adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri (internal).
Kita ambil contoh proses-transformasi biji atau suatu-ada (being) menjadi bibit-siap-tanam atau suatu-yang-bukan-dirinya (non-being), jika biji belum siap untuk menghancurkan dan mentransformasi diri menjadi bibit-siap-tanam, maka biji akan tetap berupa biji. Sinar matahari, tanah, air dan faktor-faktor lain yang diperlukan untuk transformasi dari biji menjadi bibit-siap-tanam menjadi tidak-berguna, apabila --sekali lagi-- biji tidak siap untuk menghancurkan diri dalam proses transformasi dirinya.
Dengan demikian suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam biji itu sendiri, memang adalah biji yang melawan dirinya-sendiri. Sinar matahari, tanah dan air tidak menempati posisi diri sebagai suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semacam itu, mereka hanyalah faktor yang dapat membantu biji dalam proses-melawan dirinya dan pada akhirnya merubah biji menjadi bibit-siap-tanam.
Sehingga --sekali lagi-- suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu bibit-siap-tanam pada akhir-proses transformasi biji (becoming) semuanya terkandung dan terjadi sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama) yaitu biji.
Dalam gagasan terkenal penghancuran diri masyarakat-kapitalis (being), lawan-masyarakat-kapitalis yaitu suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam masyarakat-kapitalis itu sendiri (internal) --sebutlah proletarian yang merupakan kelas-masyarakat yang hidup di dalam masyarakat-kapitalis, yang mempunyai ide/gagasan/rencana mewujudkan ‘masyarakat-komunis'. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa suatu-yang-bukan-dirinya yaitu ‘masyarakat-komunis’ sudah-ada di dalam benak proletarian tetapi berupa ide/gagasan. Karena secara aktual proletarian masih hidup di dalam masyarakat-kapitalis maka 'masyarakat-komunis' terkandung di dalam masyarakat-kapitalis sebagai pontensialitas.
Proletarian --yang memberontak melawan masyarakat-kapitalis-- tidak dengan sendirinya menempati posisi sebagai lawan-masyarakat-kapitalis (non-being) --karena secara aktual ‘masyarakat-komunis’ belum terwujud nyata.
Proletarian hanyalah agen transformasi-sosial yang berperan menangkap situasi yaitu mengambil keuntungan situasi ketika kondisi pertentangan-pertentangan (kontradiksi) di dalam struktur masyarakat-kapitalis telah siap untuk menghancurkan dirinya-sendiri --pada akhir-proses transformasi terwujudlah masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan realisasi atau aktualisasi gagasan/ide 'masyarakat-komunis’. Secara aktual masyarakat-kapitalis sendiri musnah menegasikan diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan lawan dari masyarakat-kapitalis itu sendiri. Proletarian secara aktual juga musnah tercakup ke dalam masyarakat-komunis-yang-nyata menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dengan tingkatan yang lebih tinggi sekaligus meniadakan dirinya secara aktual sebagai proletarian.
Pastilah satu-juta semut tidak mungkin menjatuhkan ular yang kuat dan sehat, namun hanya ketika ular lemah dan sekarat yang merupakan realisasi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semut dapat mengambil keuntungan situasi itu dan memakan ular.
Sumber :
https://youtu.be/BaRUZ81K8bk
Pemahaman pribadi
No comments:
Post a Comment