Betapapun beragamnya filsafat kontinental, bukanlah suatu generalisasi yang tidak-beralasan untuk mengatakan bahwa semua-pemikir dan aliran-pemikiran melalui suatu-cara atau cara-lain telah memusatkan perhatian kepada sejarah. Dan mereka nyaris semuanya juga memusatkan perhatian pada sejarah dalam terma dua-konsep yang berbeda yaitu kesejarahan dan narasitas
Adalah karya Nietzsche berjudul On the Uses and Disadvantages of History for Life (1874) yang pertama-kali mengingatkan kepada pertanyaan, tidak-hanya bagaimana kita dapat pemperoleh pengetahuan tentang masa-lalu, namun juga pertanyaan apakah dan hingga-taraf seberapa upaya-upaya kita untuk mengetahui masa-lalu, merupakan suatu perkembangan aktivitas kehidupan atau melemahnya aktivitas kehidupan itu sendiri.
Sebagai manusia, kita adalah unik dalam dunia-binatang sejauh kita terus-menerus terbebani dengan masa-lalu dan juga masa-depan, pada satu-sisi kita tidak-mampu untuk melupakan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang sebaliknya justru lebih-baik untuk menguburnya (dilupakan) dan di sisi-lain kita tidak-mampu mengabaikan (menghindari) apa yang harus terjadi pada kita.
Sejarah bukanlah sekedar sesuatu yang kita pelajari secara objektif, namun sebuah pengalaman yang melaluinya, kita menjalani hidup dan dengan-nya kita seolah tanpa-sadar mengontrol (mengatur sesuai kehendak) beban-kita-sendiri karena berbagai alasan-psikologis.
Karya Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time (1927) berupaya untuk memberikan suatu analisis-komprehensif terhadap pengalaman ini.
Proyek-menyeluruh Heidegger adalah untuk menjawab pertanyaan : 'Apa itu Ada ?‘ (What is Being ?). Namun ketika mengerjakan proyek itu, ia menemukan (mengetahui) bahwa hakikat tentang Ada, yaitu keterbukaan-kita sendiri terhadap pertanyaan Ada ---secara gradual--- telah dan sedang ditutupi dalam sejarah-filsafat.
Dari masa Pra-Sokrates, ketika pertanyaan terhadap makna-ada adalah yang paling-terbuka, hingga masa Nihilistik akademis pada abad 20 M filosofi-sejarah menjadi suatu sejarah mengenai makna-Ada.
Akhir dari filsafat, ketika di dalam filsafat, spesialisasi ilmu-pengetahuan-ilmiah (science) telah menyibukkan diri sepenuhnya dengan ada-ada-partikular namun justru mengabaikan Ada itu sendiri secara keseluruhan, kondisi yang membawa suatu yang baru dan instrinsik yaitu keterlibatan sejarah .
Sesuai dengan itu, penulisan-sejarah tentang filsafat oleh Heidegger merupakan sebuah karya yang bergerak mundur (melihat kebelakang) dari masa-modern-yang-mati ini di dalam harapan-harapan untuk membuka-kembali pertanyaan terhadap Ada itu sendiri.
Meski demikian, penulisan-sejarah oleh Heidegger lebih dari sekedar suatu-pembacaan-kembali (resitasi) secara akademis terhadap apa yang telah dikatakan/disampaikan/ditulis oleh berbagai filsuf-filsuf lain.
Manusia, dengan istilah Heidegger yang terkenal 'Dasein' dikarakterisasikan diatas segalanya dengan keberadaan mereka 'ada di sana' di dalam dunia, 'keterlemparan' mereka di dalam eksistensi, yang tidak-dapat dielakkan mengikuti pendapat Nietzsche tentang relasi-mereka (Dasein) dengan Ada itu-sendiri dalam terma masa-lalu dan sifat eksistensial mereka berbaris menuju horison masa-depan yang sama yaitu 'kematian'.
Diri sebagai Dasein terus-menerus terlibat dalam proyek keluar dari masa-lalunya dan bergerak-menuju masa-depannya sebagai ruang-kemungkinan didalamnya ia sendiri dapat bertindak.
Sebagai sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang manusia adalah faktisitas-historis-nya (kualitas atau kondisi yang menjadi-sebuah-fakta-sejarah).
Dimensi eksistensial pada konsepsi-kesejarahan (historisitas) Heidegger memiliki pengaruh yang dalam pada tokoh seperti sosok Martin Buber (1878-1965), Karl Jaspers (1883-1969), Hannah Arendt (1906-1975), Emmanuel Levinas (1906-1995), Jan Patočka (1907-1977), dan Paul Ricouer (1913-2005). Secara khusus Jean Paul Sartre (1905-1980) memusatkan perhatian pada aspek-eksistensial dari masa-lalu, yang dikonsepsikan dalam terma suatu campuran antara kondisi-kondisi materialistik Marxis bagi tindakan manusia dan suatu semacam pengungkapan psiko-analitis dari diri secara fenomenologis.
Bagi Sartre, seorang manusia adalah sebuah praxis-bersifat-historis, suatu proyek yang terus-berlanjut, yang sedang diproduksi oleh masa-lalunya dan memproduksi masa-depannya melalui suatu cara yang akan menentukan kemungkinan-kemungkinan masa-depan seseorang dan batas-batas-nya.
Konsepsi 'auntensitas' Sartre yang dikenal-baik adalah bersifat-historis-secara-intrinsik sejauh konsep itu melibatkan pengakuan terhadap kebebasan-personal-kita dalam konteks kondisi-kondisi material sejarah yang memaksa kepada kita.
Meski demikian, dalam terma-terma yang kurang-eksistensial, aliran-pemikiran Frankfurt juga telah mendirikan pandangan mereka mengenai subjek dan dunia dalam suatu kombinasi penulisan-sejarah dan analisis-kesadaran materialistik-Marxis.
Pada akhir dekade abad ke 20 M, filsafat kontinental mengenai sejarah telah berubah perhatian-nya kepada pertanyaan-pertanyaan epistemologis tentang narasi-sejarah
Kembali refleksi-refleksi Nietzsche pada sejarah mempunyai pengaruh penting, khususnya gagasan-nya bahwa kebenaran bukanlah korespondensi-langsung atau korespondensi-objektif antara dunia dan proposisi, namun suatu hasil-kontingen proses mensejarah dari pergulatan terus menerus antara kepentingan-kepentingan dari para-penafsir
Dengan demikian, filsafat harus memperhatikan dirinya untuk terlibat dengan suatu penelitian-sejarah tentang bagaimana kebenaran-kebenaran ini menerapkan fungsi didalam dan melawan latar-belakang faktisitas-sejarah mereka.
Michel Foucault (1926-1984) memberi karakterisasi proyek-kerjanya sebagai penelitian-sejarah terhadap produksi makna-makna kebenaran.
Karya-karya awalnya dicirikan oleh apa yang disebut olehnya 'arkeologi'.
History of Madness (1961) memulai serangkaian karya yang menolak suatu makna-tunggal-yang-tetap bagi fenomena, namun dalam jangka-panjang untuk menunjukan bagaimana perubahan-bentuk-makna (transmogrifies) melewati waktu demi waktu melalui suatu serangkaian praktik-praktik kebudayaan.
Dalam karya In The Order of Things (1966), 'arkeologi' dicirikan sebagai suatu deskripsi tentang transisi-transisi antara wacana-kebudayaan melalui sebuah cara yang menekankan makna struktural-dan-kontekstual mereka seraya mengurangi apapun pemahaman-substantif pencipta terhadap wacana-wacana itu.
Karya terakhir Foucault, meskipun tidak pernah menunjukkan penolakan yang kuat terhadap metode arkeologi-nya, dikarakterisasikan sebagai sebuah 'geneologi'.
Sekali lagi upaya, yang tidak sepenuh-nya Nietzschean adalah untuk memahami masa-lalu dalam terma-terma masa-kini, untuk menunjukan bahwa institusi-institusi yang kita temukan hari-ini bukanlah hasil keyakinan-teleologikal dan bukan pula sebuah representasi-kongkrit dari pengambilan-keputusan yang rasional, namun berasal dari suatu permainan kekuatan-wacana yang selalu terbawa melalui masa-lalu.
Ini tidak berarti bahwa sejarah harus mempelajari asal-muasal praktik-praktik itu, sebaliknya menolak pemahaman terhadap asal-muasal sebagai sebuah abstraksi yang tidak-legitim dari apa yang merupakan suatu interaksi terus-menerus antara wacana-wacana.
Sebagai gantinya, sejarah harus memperhatikan dirinya dengan momen-momen ketika kontingensi masa-lalu muncul atau tenggelam terhadap konflik wacana-wacana-nya, bersama dengan masa-lalu mengungkap serangkaian disparitas dari pada langkah-langkah progresif.
Konsepsi mengenai sejarah sebagai suatu permainan pencarian-kekuasaan penerapan wacana direfleksikan kembali diatas praktik-praktik para sejarawan.
Barisan para filsuf postmodernisme seperti Roland Barthes (1915-1980), Paul de Man (1919-1983), Jean-François Lyotard (1924-1988), Gilles Deleuze (1925-1995), Philippe Lacoue-Labarthe (1940-2007), dan Jacques Derrida (1930-2004) sampai pada pandangan bukan hanya peristiwa-sejarah tetapi juga penulisan-sejarah pasti diwarnai oleh subjektivitas yang berdasar-kekuasaan.
Permainan kekuasaan ini mengkristal di dalam struktur-struktur meta-narasi yang dicangkokan di atas dunia oleh para filsuf-sejarah.
Bahkan, karya Lyotard The Postmodern Condition (1979) memberi ciri seluruh proyek-kerja postmodern sebagai “incredulity toward meta-narratives” (Lyotard 1984, xxiv).
Dengan menimbang filsafat-sejarah, ini tidak-dapat-dihindari merupakan penolakan kepada keduanya baik wacana-besar Hegelian ‘master-wacana’ mengenai kemajuan (progress) dan juga kategori-kategori pencerahan mengenai generalisasi yang-dari-sana pelajaran-moral diduga dapat diturunkan (berasal). Lebih dari suatu logika-dialektis yang akan mencari kesamaan (kesatuan) diantara peristiwa-peristiwa masa-lalu, kondisi postmodern mendorong kita untuk melihat ketidak-berhubungan, ketidak-samaan dan keragaman peristiwa dan masyarakat.
Penolakan Lyotard terhadap pandangan tradisional kesamaan/kesatuan menuju kepada suatu post-modernisme seperti Jean-Luc Nancy (1940-) untuk memusatkan kembali sejarah kepada komunitas-komunitas skala-yang-lebih-kecil dan secara imanen menutup-diri seperti komunitas persaudaraan (brother-hood) atau keluargaan daripada kepada masyarakat-yang-besar.
Untuk itu diperlukan, suatu cara-baru terhadap penulisan-sejarah yang merangkul suatu pelipat-gandaan perspektif-perspektif dan standar-standar penilaian dan dengan perluasan, sebuah keinginan untuk merangkul pluralitas-moral dan pelajaran-politik yang dapat ditarik tanpa-adanya keyakinan kepada suatu kebenaran narasi-tunggal.
Teori postmodern telah berpengaruh misal ---sebagai salah satu contoh--- pada post-kolonialisme dalam karya Edward Said (1935-2003) berjudul Orientalism (1978), yang menjadi penting pada upayanya dalam membuka suatu ruangan-non-wacana bagi persaingan narasi-narasi lain yang tidak dominan (disebut 'sub-altern').
Sudut pandang narasi-narasi yang dilakukan dalam ingatan-kebudayaan dan sejarah-lisan memperoleh peningkatan popularitas pada akhir-akhir ini.
Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H7
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment