Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, March 29, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 3 : Ajaran Pemikiran Politik > Liberalisme


Setelah menyoroti beberapa-ekstrem yang mencirikan filsafat-politik dengan memperhatikan metode dan terminologi, ajaran-pemikiran-utama kemudian dapat diperkenalkan. Apa yang akan diperhatikan/dicatat tidak-hanya kemana arah-kecenderungan spektrum-metodologi-ajaran-pemikiran itu akan berakhir, tetapi juga implikasi-implikasinya berhubungan dengan etika.

Juga, aspek lain perlu untuk dijelaskan yaitu apakah ajaran-pemikiran menekankan keunggulan akal-budi dalam urusan-urusan-sosial, atau apakah ajaran-pemikiran itu kurang-memperhatikan atau mengabaikan peran akal-budi dalam urusan-politik, dan lebih tertarik pada kecenderungan dorongan-sejarah, warisan-sejarah, emosional atau kesukuan ?

Istilah liberalisme mengantar kepada dua-posisi berbeda dalam filsafat-politik. yang pertama, teori-pro-individualis tentang masyarakat dan pemerintahan, sedang yang kedua merupakan teori-pro-statis atau yang lebih-baik disebut sebagai konsep sosial-demokratik. Para siswa yang mempelajari filsafat-politik harus menyadari/memahami dua-ajaran-pemikiran yang berada di bawah bendera-yang-sama untuk menghindari kerancuan-filosofis. Hal yang dapat diatasi dengan melakukan penjelasan-istilah tersebut.

Peralihan-besar (great-dwitch), seperti yang dicatat oleh sejarawan-budaya Jacques Barzun, terjadi pada akhir abad ke-19, sebuah-peralihan hasil dari perubahan dasar-dasar-politik menuju kepada kebijakan-kebijakan-sosialis atau sosial-demokratik di bawah bendera partai-partai-liberal dan politik-liberal.

Secara etimologi, teori-pro-individualis adalah yang menyuarakan deskripsi liberalisme karena liberalisme berasal dari kata 'liberty' yang berarti kebebasan/kemerdekaan, dan lebih dipahami dalam makna kebebasan/kemerdekaan dan toleransi daripada gagasan tentang keadilan dan gagasan-gagasan-intervensi yang kemudian menumpanginya pada abad ke-20.

Namun, konotasi pro-statis mencakup begitu-banyak pemikiran-modern sehingga sulit untuk memisahkan gagasannya dari makna-asli-sebelumnya dengan tanpa melakukan klasifikasi-ulang terhadap gagasan-yang-satu atau yang-lainnya.

Pro-individualis sering disebut sebagai liberalisme-klasik, memisah dari pro-statis yang tidak-berubah atau disesuaikan dengan istilah liberalisme-sosial-demokratik --sebuah kata-kompleks yang susah untuk diucapkan-- liberalisme-modern merupakan istilah-lain yang lebih-mudah untuk dipegang dan seharusnya digunakan kecuali penekanannya terletak pada kecenderungan-sosialis seperti yang dijumpai pada kaum-liberal-modern.

Istilah yang paling-luas dan sekarang diterima populer adalah liberal-modern menerima hak-hak yang dimiliki seseorang dan hak-hak yang melekat padanya karena suatu kondisi seperti hak mendapat layanan-kesehatan dan pendidikan.

Namun secara filosofis, kedua-pendirian tersebut tidak-begitu-kokoh, karena menghasilkan banyak inkonsistensi dan kontradiksi yang potensial dan berulang, yang hanya dapat diselesaikan dengan memperluas definisi-kebebasan dengan memasukan kebebasan untuk mencapai-kesuksesan-hidup atau kebebasan terhadap akses-mendapatkan-sumber-daya daripada sekedar kebebasan untuk berusaha.

Hal itu terkadang menimbulkan masalah-sulit dan mungkin tidak-dapat-diatasi bagi mereka yang berusaha menggabungkan doktrin-klasik dan modern. Meskipun demikian, proyek liberal-modern secara aktif dikejar oleh para pemikir-modern seperti J.S. Mill, John Rawls, Will Kymlicka, Ronald Dworkin dan lainnya. Bagi para penulis ini, penekanan-historis pada toleransi, pluralitas dan keadilan menggarisbawahi karya-karya mereka.

Mereka berbeda dalam interpretasi tentang toleransi, peran-publik dan privat, dan kebutuhan untuk menciptakan atau tidak-menciptakan kesempatan. Namun, beberapa kaum-liberal-modern mencoba melepaskan-diri dari liberalisme-klasik misalnya Kymlicka, dan karena itu menjadi lebih seperti kaum-sosial-demokrat, yaitu cenderung berpandangan sosialis-berperikemanusiaan yang menegaskan keunggulan-minoritas dan bahkan individu untuk ikut serta secara-bebas dalam proses-demokrasi dan dialog-politik atau yang nenekankan pada tuntutan-kesetaraan, mendukung sebuah negara yang aktif dan intervensionis, sebuah gagasan yang justru ditolak oleh kaum-liberal-klasik.

Dworkin, misalnya berpendapat bahwa keadilan adalah motif-esensial dari liberalisme dan bahwa tugas/kewajiban-negara adalah memastikan kesempatan-adil-dan-fair bagi semua-orang untuk bersaing-dan-berkembang dalam sebuah masyarakat-sipil. Hal yang mungkin memerlukan intervensi-aktif-negara dalam beberapa wilayah, wilayah-wilayah yang ditolak oleh kaum-liberal-klasik karena tidak-dapat-diterima dalam sebuah ekonomi-bebas.

Pendirian Dworkin memancar dari argumen-etik-Aristoteles bahwa, untuk mengejar kehidupan-yang-baik seseorang membutuhkan standar-kehidupan tertentu. Kemiskinan tidak-kondusif untuk mengejar kehidupan-kontemplatif, oleh karena itu banyak kaum-liberal-modern tertarik kepada kebijakan-kebijakan-redistributif atau kesejahteraan. Seperti keadilan-dalam-kesempatan untuk menciptakan kesempatan-yang-sama mendasari liberalisme dari John Stuart Mill.

Meskipun demikian, penekanan kaum-liberal-modern terhadap kesetaraan dikritik oleh kaum-liberal-klasik yang berpendapat bahwa orang tidak-terlahir-setara dan tidak-dapat-dibuat-sama. Bakat-dan-motivasi didistribusikan-alami secara tidak-adil ke seluruh populasi, yang berarti upaya mereduksi laki-laki dan perempuan kedalam status-yang-sama membawa implikasi reduksi kemampuan atau kebebasan dari orang-yang-lebih-berbakat untuk bertindak-dan-berjuang demi kemajuan mereka. Serupa dengan itu, kritik kaum-liberal-modern terhadap warisan-kekayaan, dihukum/dinilai berada-di-tempat yang salah --meskipun kebijakan itu menghubungkan-dengan-baik kepada keinginan untuk memastikan dimulainya permulaan-yang-sama bagi semua-orang-- karena tidak semua pemberian orang tua kepada anak-anak mereka bernilai-uang. Bahkan beberapa orang berpendapat --dengan mengikuti self-help filosofi dari Andrew Carnegie-- bahwa warisan-yang-bernilai-uang bisa menjadi kontra-produktif dan mendorong kebiasaan-ketergantungan.

Liberal-modern dan klasik keduanya dapat mengacu pada teori-kontrak-sosial untuk mengambil putusan penekanan mereka pada realitas-kebebasan-individu atau pembinaan/pemeliharaan kondisi-kondisi-kebebasan yang secara umum dianggap perlu oleh manusia untuk berkembang. Pada awalnya liberal-klasik mendapatkan teori-kontrak-sosial mereka dari model Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan, di mana individu-individu dalam keadaan-alamiah akan berkumpul untuk membentuk sebuah masyarakat.

Kedua variasi-liberal tersebut tidak-pernah-percaya terjadi kontrak semacam itu, namun menggunakan model-ini untuk menilai status/keadaan masyarakat saat ini sesuai dengan kriteria yang mereka yakini yang harus mengikut-sertakan kontrak-sosial. Hobbes bersandar pada versi-kontrak yang lebih otoritarian di mana individu melepaskan semua-hak-politik kecuali hak-pelestarian-diri yang dia anggap sebagai hak-alami dan tidak-dapat-dicabut/dilepaskan kepada badan/lembaga-politik-yang-sangat-berkuasa yang tugas-utamanya adalah menjamin-perdamaian. John Locke cenderung bersandar kepada sebuah pemerintahan-dengan-kekuasaan-yang-lebih-terbatas. Rousseau mencari visi kontrak-sosial yang benar-benar-demokratis dan baru-baru ini Rawls memberi perhatian kepada hak-hak apa saja yang diberi komite-kontrak-sosial pada dirinya jika tidak memiliki pengetahuan dan karenanya saling curiga satu sama lain.

Baik liberal-klasik maupun modern, keduanya sepakat bahwa pemerintah memiliki kewajiban-ketat terhadap ketidak-berpihakan (imparsialitas) dan oleh karena itu memperlakukan masyarakat dengan setara, serta harus netral dalam melakukan evaluasi tentang kehidupan-yang-baik. Netralitas ini dikritik oleh kaum non-liberal yang berpendapat bahwa netralitas-yang-diasumsikan itu sebenarnya merupakan cerminan dari visi-spesifik tentang sifat-kemanusiaan atau kehendak-manusia akan kemajuan, dan walaupun para kritikus tidak-setuju mengenai apa yang mungkin-mengikuti visi-tersebut, pendapat-pendapat mereka mendorong kaum-liberal untuk membenarkan asumsi-dasar, yang mendorong mereka untuk menerima isu-isu seperti : perlakuan-yang-sama oleh-hukum dan oleh-negara, kebebasan-seseorang untuk mengejar-kehidupan-yang-menurutnya-layak, hak-milik-pribadi, dan sebagainya.

Meskipun demikian, liberalisme yang luas menerima dan menekankan bahwa seseorang harus bersikap-toleran terhadap sesama-saudara pria-dan-wanita. Pentingnya toleransi-modern ini besumber dari reaksi-reaksi Renaisans dan Pasca-Reformasi terhadap perpecahan di dalam gereja dan penganiayaan/persekusi yang terjadi setelahnya terhadap heterodoksi. kebebasan dalam keyakinan-agama menjadi meluas ke realitas-aktivitas manusia lain yang tidak berdampak-negatif terhadap orang-lain yang berdekatan, misalnya dalam aktivitas-seksual atau romantis, konsumsi-narkotika, dan pembacaan-pornografi.

Akan tetapi yang lebih-penting secara filosofis adalah doktrin toleransi-liberal memungkinkan penerimaan-kesalahan bahwa dalam mengejar-kehidupan-yang-baik secara etik dan karenanya kehidupan-politik-yang-memadai, orang dapat melakukan kesalahan dan harus diizinkan untuk belajar dan beradaptasi sesuai dengan yang mereka pikir-baik. Atau, secara alternatif orang memiliki-hak untuk memilih hidup dalam kebodohan atau mengejar pengetahuan-yang-terbaik menurut mereka. Hal yang mempunyai kesamaan dengan pandangan politik-konservatif, yang dalam beberapa hal pesimis-dan-skeptis terhadap kemampuan-diri-kita daripada kaum-liberal pada umumnya. Liberal-klasik dan modern bersatu dalam mengekspresikan-skeptisisme terhadap para-ahli yang mengetahui apa yang menjadi kepentingan-terbaik-bagi-orang-lain, dan karena itu kaum-liberal cenderung menolak-campur-tangan apapun dalam kehidupan-seseorang sebagai tidak-dapat-dibenarkan dan dari sudut pandang utilitarian adalah kontra-produktif. Hidup, bagi orang-liberal harus dipimpin-dari-dalam atau berorientasi-pada-diri-sendiri daripada dari-luar atau yang-dipaksakan, namun kaum-liberal-modern menambahkan bahwa individu harus diberi sumber-daya untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalani-kehidupan-yang-baik menurut mereka. Balasan liberal-klasik terhadap pandangan itu adalah Siapa yang akan menyediakan sumber-daya ? Dan pada usia berapa orang harus dianggap tidak-mampu belajar atau berjuang sendiri ?

Disamping perbedaan-perbedaan mengenai kebijakan, kaum-liberal --baik sosial-demokratik maupun klasik-- sebagian besar memegang pandangan-optimis mengenai kemanusiaan. Dalam filsafat-modern, posisi tersebut berasal dari teori-psikologis Locke dalam karyanya An Essay on Human Understanding bahwa seseorang dilahirkan tanpa-gagasan-bawaan dan karenanya lingkungan, asuhan, dan pengalaman membiasakannya : bagi kaum liberal-klasik, ini menyiratkan penolakan menyeluruh terhadap warisan-elitisme dan karenanya penolakan terhadap sifat-hierarki-politik di mana kekuasaan berada ditangan dinasti. Bagi kaum-liberal-modern ini menyiratkan potensi untuk menempa kondisi-yang-sesuai bagi setiap individu untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang memadai.

Kaum-liberal memuji institusi-institusi yang menurutnya mendukung-kebebasan-manusia. Liberal-klasik menekankan institusi-institusi yang melindungi dari kebebasan-negatif (hak melawan-serangan dan pencurian) dan liberal-sosial-demokratik mendukung terhadap kebebasan-positif (hak atas standar-kehidupan-tertentu). Jika menurut analisis kritis dan rasional sebuah institusi tidak-menunjukan-perlindungan --gagal memenuhi kewajibannya untuk menegakkan nilai-nilai-liberal tertentu-- maka institusi-itu harus ditata-ulang/re-organisasi demi pemberdayaan umat-manusia.

Pada persimpangan ini, kaum-liberal juga terbagi antara penganut deontologis (Rawls) dan teoretikus utilitarian (Mill). Sebagian besar kaum-liberal-klasik memiliki bentuk-umun utilitarianisme di mana institusi-sosial harus ditata-ulang/re-organisasi sesuai garis untuk mendapat manfaat-dalam-jumlah-terbesar. Ini menarik kritik dari kalangan konservatif dan deontologis. Mengacu pada tujuan-tujuan apa ? Mengacu pada analisis siapa ? terdiri dari masyarakat apa ? dan seterusnya.

Penganut deontologis tidak-dilarang mendukung liberalisme, Immanuel Kant adalah pemikir yang paling berpengaruh dalam hal itu, karena mereka berpendapat bahwa masyarakat-yang-tepat dan oleh karenanya institusi-politik harus menghasilkan peraturan-dan-institusi-institusi-yang-benar-dalam-dirinya-sendiri, terlepas dari tujuan-tertentu yang kita cari misalnya, kebahagiaan.

Kaum-liberal-modern bersandar pada pemerintahan yang lebih intervensionis, dan karena itu mereka lebih menekankan pada kemampuan-negara untuk menghasilkan-lingkungan-politik-yang-tepat bagi kemanusiaan dan dengan demikian menekankan-proyek-reformasi lebih dari kaum-liberal-klasik atau konservatif. Mengambil satu contoh, perdamaian dapat dibawa menuju peperangan-antar-masyarakat atau melawan-penduduk-asli jika mereka hanya mengakui pandangan kredo-liberal yang jelas-dan-rasional yaitu harus melepaskan-diri dari prasangka-picik dan takhayul serta tunduk pada kosmopolitanisme-liberal yaitu toleransi dan kedamaian.

Varian di sini beragam seperti dalam banyak mata-pelajaran terapan : beberapa kaum-liberal mendukung kebutuhan akan jaminan-perdamaian melalui penyediaan-standar-hidup-yang-sehat (dipengaruhi oleh kebijakan-redistribusi yang memadai dari negara-kaya kepada negara-miskin), yang lain mempromosikan-pasar-bebas sebagai kondisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, apa yang disebut moral-lunak dalam perdagangan. Sementara yang lain menekankan perlunya dialog-dan-saling-pengertian melalui program-pendidikan-multi-budaya. Program semacam ini, menurut kaum-liberal-modern, idealnya harus diimplementasikan oleh masyarakat-dunia melalui badan-internasional seperti PBB dan bukan secara sepihak yang dapat menimbulkan keluhan terhadap motif-imperialisme.

Namun, begitu kerangka liberal-klasik atau liberal yang menguntungkan telah tercipta, institusi-negara-dan-politik harus tetap bersikap netral-secara-etik dan tidak-memihak : negara harus memisahkan/menghindarkan dirinya untuk menekan atau memberi-subsidi pada sistem-kepercayaan, ritus-budaya, bentuk perilaku atau konsumsi sejauh tidak mengganggu kehidupan orang lain/masyarakat.

Kaum-liberal mencari bentuk pemerintahan-terbaik yang akan memungkinkan-individu untuk mengejar-kehidupan yang menurutnya sesuai dalam sebuah kerangka-netral, dan adalah kritik terhadap kemungkinan kerangka-netral yang menantang ideal-liberal.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi



Friday, March 16, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 2 : Persoalan Metodologi


Dalam menjalankan kajiaan filosofis terhadap aktivitas-politik, para-filsuf juga terbagi, antara mereka yang melakukan kajian dengan metodologi-individualis dan mereka yang menggunakan metodologi-holistis.

Metodologi-individualis berusaha untuk menjelaskan perilaku-sosial dalam pengertian tindakan-individual dan secara politis dikenal sebagai individualis, sementara metodologi-holistis berusaha untuk menjelaskan perilaku-sosial dengan menimbang sifat-kelompok. Ini merupakan hasil percabangan dari pembagian secara metafisik berdasar studi-unit-politik yang sesuai.

Berbeda dengan metodologi-individualis, yang berpendapat bahwa sebuah masyarakat atau budaya, kumpulan-manusia, atau bangsa tidak lebih dari sekedar penjumlahan setiap sosok anggotanya yang hidup, metodologi-holistis berpendapat bahwa keseluruhan/totalitas lebih-besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya, yang dalam realitas-politik diterjemahkan sebagai : negara menjadi lebih-besar daripada warga-negara/suku/rakyat atau masyarakat lebih-besar daripada individu.

Secara politik, holisme dipahami ke dalam teori-umum yang dikenal sebagai kolektivisme, dan semua teori-kolektivis menyangkal atau mengurangi nilai-dan-otoritas-individual dalam hubungan dengan tingkatan-yang-lebih-tinggi sesuai dengan entitas-kolektif-nya.

Sedangkan metodologi-individualisme bergerak ke dalam politik-individualisme, di mana budaya-dari-individu atau keanggotaan-dalam-kelompok ditolak sepenuhnya karena tidak-layak untuk dipelajari atau karena hubungan kausal dan ilmiahnya dianggap terlalu amorf-atau-pluralistik dan selalu memberi sesuatu yang berubah dalam pengkajian-kualitatif mengenai urusan-sosial.

Samar-samar di latar belakang, juga harus dicatat, filsafat-politik-teologis yang menolak setiap keutamaan apapun pada individu atau kelompok dari segi keterikatannya pada status-tertinggi-realitas-ilahi.

Namun, hal ini juga harus dipisah terhadap konsep di dalam individu/jiwa antara individualis dan holistis dan demi tujuan kita di sini dapat dikatakan mengikuti dialog yang sama dengan para-filsuf-politik-sekuler.

Begitu para-teologian mengakui harus memiliki semacam pemerintahan-atau-peraturan untuk menjalani hidup di bumi ini, perdebatan umum filsafat-politik dapat diterima dan diuraikan untuk mendefinisikan kehidupan-yang-baik bagi seseorang di antara banyak-orang.

Persoalan metodologis penting kedua yang terkait baik dengan epistemologi maupun etika adalah peran yang dimainkan akal-budi dalam urusan-urusan-sosial.

Posisi ekstrem dapat dicirikan sebagai rasionalisme dan irasionalisme, namun deskripsi tersebut tidak selalu bertentangan secara-logis.

Seorang rasionalis dapat menyatakan keyakinannya dengan rasionalisme pada akhirnya menjadi tidak-rasional misalnya Karl Popper, dan seorang irasionalis dapat bertindak secara-rasional.

Rasionalisme-politik menekankan penggunaan akal-budi dalam urusan-urusan-sosial yaitu :

Individu harus tunduk pada logika dan universalitas dari akal-budi daripada terhadap prasangka/prakonsepsi subjektif atau budaya mereka sendiri.

Rasionalis berpendapat bahwa akal-budi menyatukan umat-manusia secara-politik dan karenanya merupakan kendaraan yang kondusif bagi perdamaian.

Di sisi-lain, orang-orang irasionalis, meremehkan kemanjuran/keampuhan akal-budi dalam urusan-urusan-kemanusiaan atau terutama dalam urusan-urusan-sosial kita. Selanjutnya, berbagai alternatif yang luas diajukan sebagai gantinya seperti emosi, budaya, agama, atau harapan-kelas, simbol-atavistik, atau institusi bentuk mistik-atau-pengetahuan.

Para-irasionalis dari semua warna juga dapat melakukan kritik kepada kaum-rasionalis karena mengabaikan kecerdikan-kebijaksanaan-intelektual dan warisan-sosial yang sering tidak diangkat oleh masyarakat kontemporer atau karena mengabaikan sesuatu yang dianggap perlu bagi penalaran-pikiran.

Secara-politis, mereka lebih mempertimbangkan tuntutan-akal-budi menjadi sebuah rasionalisasi-budaya tertentu (biasanya kritikan ini diajukan terhadap Barat) daripada tuntutan-yang-universal atau membuat-pendapat-universal bahwa solusi-politik yang tampak-rasional terhadap satu-kelompok tidak-dapat selalu diterjemahkan sebagai solusi-politik untuk kelompok-lain

Beberapa irasionalis menjunjung-tinggi polilogisme, yaitu teori yang menyatakan ada atau seharusnya-ada lebih dari satu bentuk-logika, yang akhirnya runtuh kedalam sebuah subjektivisme-epistemologi. Yaitu, logika-kesukuan yang didasarkan pada keterpisahan atau kekhasan logika atau metode-wacana dan pemikiran dari kelompok-tertentu.

Namun, para irasionalis-lainnya menyangkal bahwa pikiran-manusia mengembangkan logika-logika-alternatif di seluruh-dunia, tetapi tindakan-manusia yang sesungguhnya mengembangkan metode-metode-alternatif-untuk-menjalani-hidup di tempat yang berbeda dan dari lingkungan-sejarah yang berbeda.

Secara-politik pendirian ini bergerak menuju ke konservativisme, sebuah sikap-filosofis-yang-skeptis terhadap desain-rasionalis dalam skala-besar (katakanlah untuk merobohkan semua institusi politik agar dimulai 'kesegaran-baru' sesuai dengan beberapa cetak-biru-utopis) dan yang menekankan kontinuitas-kebijaksanaan (sebagaimana terdapat dalam institusi dan bahasa-politik) dari generasi ke generasi dan di dalam lokalitas-spesifik.

Kembali ke masalah epistemologis yang dihadapi holisme, adanya loyalitas yang tumpang-tindih yang seringkali mencirikan sebuah-kelompok, menyajikan kritik kuat terhadap doktrin-kolektivis dalam pertanyaan :

Kelompok mana yang harus menjadi subjek-analisis ketika seseorang memiliki lebih-dari-satu entitas-sosiologis ?

Marx, misalnya, mendasarkan filsafatnya pada analisis-kelas tetapi dia tidak memberi ketepatan-pengertian pada istilah 'kelas' itu sendiri.

Jika sebuah relativisme-epistemologi diizinkan/diakui, katakanlah di bidang-logika, maka : " Logika-Eropa berbeda dari logika-Amerika " (benua), analisis lebih lanjut lagi harus mengizinkan gradasi yang lebih khusus : " Logika-Jerman berbeda dengan logika-Prancis " (negara/bangsa), dan " Logika-bavaria berbeda dengan logika-Schleswig-Holstein " (suku), hingga seseorang mencapai agen-berpikir-terakhir yaitu seorang-individu : " Logika-Franz berbeda dari logika-Katja " (individual).

Kaum-rasionalis bercita-cita untuk menghindari implikasi pecahan polilogisme seperti itu dengan mempertahankan kesatuan-logika-manusia.

Namun, jika seorang rasionalis juga individualis, paradoks akan muncul : bahwa individu-individu dipersatukan ke dalam kolektivitas-keseluruhan-makhluk-rasional (semua-individu memiliki akal-budi), sedangkan irasionalisme runtuh ke dalam sebuah pluralitas-epistemologi-individualistik (semua-kelompok pada akhirnya tersusun dari seorang-subjektivis).

Meskipun demikian, di antara individualis yang menekankan 'status-sakral' terhadap individu dan kolektivis yang menekankan 'status-sakral' pada kelompok, terdapat banyak aliran pemikiran yang mendapatkan dorongan dari bayang-bayang-filosofis yaitu wilayah tumpang-tindih abu-abu, yang sekarang juga ditemukan dalam perselisihan-abadi antara individualis dan komunitarian.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H2
Pemahaman Pribadi




Wednesday, March 14, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 1 : Dasar-Dasar Etika


Filsafat-politik dimulai dengan pertanyaan :

Apakah yang seharusnya menjadi prinsip hubungan antara seorang-individu dengan masyarakat ?

Sebuah subjek yang mencari penerapan konsep-etika ke dalam ranah-sosial dan karenanya berkaitan dengan beragam bentuk-pemerintahan dan eksistensi-sosial yang di dalamnya seseorang menjalani hidup dan melakukan aktivitas.

Filsafat-politik memberikan standar untuk menganalisis dan menilai institusi-institusi yang ada serta hubungan-hubungannya.

Meski keduanya terkait erat melalui sejumlah persoalan dan metode filosofis, filsafat-politik dapat dibedakan dari ilmu-politik.

Ilmu-politik terutama membahas urusan-urusan sebuah negara, dan sejauh mungkin tidak-bersifat-moral dalam deskripsinya. Ilmu-politik mencari sebuah analisis-positivistik mengenai urusan-sosial misalnya masalah-masalah konstitusional, perilaku voting, keseimbangan-kekuasaan, efek-judisial-review, dan sebagainya.

Filsafat-politik menghasilkan pandangan tentang kehidupan-sosial-yang-baik : mengenai apa yang menjadi seperangkat-nilai-dan-institusi-pengatur yang menggabungkan kehidupan pria dan wanita bersama-sama dalam lingkungan-sosial.

Materi bahasannya luas dan mudah terhubung dengan berbagai cabang dan sub-disiplin filsafat lainnya termasuk filsafat-hukum dan ekonomi.

Pengantar di atas menjernihkan teori yang paling relevan yang mungkin ditemui oleh para siswa yang belajar filsafat-politik.

Artikel ini akan membahas Liberalisme, Konservativisme, Sosialisme, Anarkisme, dan Environmentalisme.


Filsafat-politik berawal dari etika, seperti dalam pertanyaan :

Kehidupan seperti apakah yang merupakan kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia ?

Karena manusia secara alami bersifat-sosial dan bergaul, bukankah hanya ada sedikit pertapa yang berpaling dari masyarakat untuk menjalani hidup sendiri ? Maka pertanyaan selanjutnya yang mengikuti adalah :

Kehidupan seperti apakah yang layak bagi seseorang untuk menjalani hidup di antara banyak orang atau di dalam masyarakat ?

Wacana filsafat tentang politik mengembangkan, memperluas, dan mengalir dari dasar etika yang mendukungnya.

Untuk mengambil beberapa contoh :

Pendapat etika-utilitarianisme bahwa kebaikan dicirikan dengan mencari atau mencoba menghasilkan jumlah-terbesar-kebahagiaan bagi jumlah-orang-terbanyak (lihat : konsekuensialisme). Dengan demikian, dalam realitas-politik, penganut utilitarianisme akan mendukung pendirian institusi-institusi yang bertujuan untuk mendapat/menjamin kebahagiaan-terbesar untuk jumlah-orang-terbanyak.

Sebaliknya, seorang ahli etika-deontologi yang berpendapat bahwa kebaikan-tertinggi diperoleh dengan melaksanakan/menunaikan kewajiban kita terhadap hak atau orang-lain, akan mengakui justifikasi institusi-institusi yang paling baik dalam menjalankan kewajiban-nya. Ini sebuah sikap yang dapat dikenali, yang menyatu dengan teori-hak-asasi-manusia, yang menekankan pada peran hak (terhadap atau dari tindakan-tindakan dan/atau sesuatu hal).

Selanjutnya, seorang relativis-etik akan menganjurkan sejumlah institusi yang mendukung pluralitas di dalam suatu negara atau di seluruh dunia.

Sedang penganut objektivis-etik akan mengutuk hal-hal yang dianggap kurang/tidak memiliki tujuan-moral-secara-universal misal, mereka yang mendukung hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut/dipindahkan dari pemiliknya.

Karena etika juga didukung oleh dasar teori-metafisik dan teori-epistemologi, filsafat-politik juga dapat dikaitkan dengan teori dasar semacam itu yaitu berteori berdasar atas sifat-sifat-realitas dan bagaimana kita mengetahui hal-hal secara-logis berkaitan dengan bagaimana-kita-melakukan-sesuatu dan bagaimana-kita-berinteraksi-dengan-orang-lain.

Persoalan etika-politik yang terbesar dan paling kokoh, yang membagi filsuf ke dalam sejumlah aliran pemikiran adalah mengenai status-individu : status etika-seseorang.

Meskipun keragaman dan seluk-beluk area pemikiran ini tidak dapat dikaji di sini, cukuplah untuk mengatakan bahwa para filsuf terbagi, antara mereka yang berpendapat seorang-individu memiliki 'status-sakral' (yaitu, secara-etis dan karenanya secara-politis) dan mereka yang berpandangan seorang-individu sebagai sosok anggota-kelompok dan karenanya kelompok mengambil 'status-sakral' dari seorang-individu.

Sementara yang lain berpendapat bahwa institusi-politik memililiki 'status-sakral' dalam dirinya-sendiri namun ini bukanlah posisi/pendirian yang dapat dipertahankan dengan alasan jika umat-manusia tidak ada maka institusi-institusi semacam itu akan menjadi tidak berarti dan oleh karena itu institusi hanya dapat memperoleh makna dari keberadaan kita.

Pertanyaan kunci yang membedakan para filsuf-politik adalah :

Apakah kelompok atau individu yang menjadi unit-politik dalam melakukan analisis ?

Bahasa yang digunakan oleh para pemikir yang berseberangan untuk menggambarkan keunggulan entitas-politik mereka (individu atau kelompok) berubah sepanjang sejarah tergantung pada konsep-konsep lain yang bersaing atau saling melengkapi/komplementer.

Tetapi hari ini pembagian paling baik dicirikan dengan hak-individu versus hak-kelompok. Istilah lain yang layak, termasuk juga : martabat-individu, tugas dan kewajiban yang dimiliki sebuah kelompok, otonomi atau penentuan nasib sendiri kelompok atau individu dan ini kemudian menjadi soal khusus dan terapan mengenai peran kebudayaan, ras, agama, dan orientasi-seksual.

Dalam wacana teori-politik, perdebatan berlanjut hingga hari ini antara komunitarian dan liberal yang memperdebatkan jalan-tengah-hak-dan-kewajiban yang membentang di antara dua pandangan-ekstrem : kelompok dan individu.

Karikatur ekstrem ini memungkinkan kita untuk menimbang perbedaan dan titik-kesepakatan antara beberapa ajaran filsafat-politik dalam terang cahaya yang lebih baik. Tetapi dengan generalisasi yang dibuat dari peristiwa-peristiwa sejarah, rinciannya jauh lebih rumit dan pelik. Ini karena penerapan filsafat dalam realitas-politik pasti berhubungan dengan institusi-sosial, dan karena manusia bersifat sosial --memang nyaris tidak dapat dikatakan sebagai manusia bila kita tidak memiliki masyarakat atau kebudayaan-- kedua cara pandang ekstrem itu harus memeriksa dan mengevaluasi realitas-etika-sosial dari kedirian, persahabatan, keluarga, kepemilikan-benda, pertukaran uang (yaitu pertukaran tidak langsung), komunitas, suku, ras, asosiasi, dan negara (dan berbagai cabangnya) dan sesuai dengan itu juga hubungan antara masing-masing individu.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H1
Pemahaman Pribadi



Sunday, March 11, 2018

Moralitas Modern Dan Etika Kuno 4 : Persoalan Khusus Kant Dan Aristoteles - Kewajiban Moral Dan Demi Kemuliaan


Ada kesepakatan bersama diantara Para-Filsuf bahwa Etika-Deontologis-Kant dan Etika-Kebajikan-Aristoteles dapat dengan mudah dibedakan dengan-cara mengetahui/mengakui fakta-sederhana bahwa Kant memperhatikan Tindakan-Berdasar-Atas-Kewajiban atau Berdasar-Prinsip-Moral atau karena Seseorang-Berpikir bahwa Tindakan-Itu adalah Benar-Secara-Moral. Sementara pendekatan Aristoteles sama sekali tidak-memiliki gagasan khusus tentang Motivasi-Moral ini, oleh karena itu Aristoteles tidak terdengar berpendapat bahwa Orang-Bijak-Diwajibkan-Secara-Moral untuk Melakukan-Tindakan dengan cara yang serupa dengan Agen-Kantian. Dengan kata lain, dalam Etika-Kebajikan tidak-ada pengertian seperti Melakukan-Tindakan-Baik-Berdasar-Atas-Kewajiban.

Pandangan umum ini telah ditentang, misalnya oleh para penganut Neo-Aristotelian seperti Hursthouse 2010 yang berpendapat bahwa tidak hanya ada-gagasan Motivasi-Moral yang kuat dalam Pendekatan-Aristoteles, tetapi juga Orang-Yang-Bijak diperlengkapi lebih-baik untuk memenuhi tuntutan Bertindak-Berdasar-Atas-Pengertian-Kewajiban daripada Agen-Moral-Kantian. Berikut sketsa dari garis-utama penalaran itu ( lihat juga Engstrom dan Whiting 1998; Jost dan Wuerth 2011 ).

Hursthouse berpendapat dalam bukunya On Virtue Ethics bahwa :

" Ada antusiasme yang berkembang terhadap gagasan, bahwa Agen-Kantian-Yang-Ideal yaitu seseorang dengan Niat-Baik yang Melakukan-Tindakan berdasar Pengertian-Kewajiban/Tanggung-jawab dan Agen-Neo-Aristotelian-Yang-Ideal yang Melakukan-Tindakan berdasar Kebajikan dari Keadaan-Karakter-Yang-Mapan/Stabil, tidaklah berbeda seperti yang diperkirakan. " ( 2010:140 )

Pandangan ini didukung oleh beberapa karya penting Hudson ( 1990 ), Audi ( 1995 ), dan Baron ( 1995 ). Meskipun demikian, fakta ini juga telah diakui oleh filsuf Neo-Kantian seperti Korsgaard ( 1998 ) dan Herman ( 1998 ). Apabila seseorang masih memegang pendapat Adanya-Perbedaan-Yang-Jelas antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern, khususnya mengenai Aristoteles dan Kant yang telah diajukan selama ratusan tahun --dalam hal ini-- itu mencerminkan kurangnya kesadaran seseorang terhadap perkembangan Etika-Moral dan Neo-Kantianisme saat ini.

Isu terkait mengenai pertanyaan : " Apakah ada perbedaan mendasar antara istilah Aretaik/Keutamaan/Kebajikan dan Deontik/Kewajiban " telah dibahas secara kritis oleh Gryz ( 2011 ) yang melawan Stocker (1973) yang berpendapat bahwa Baik dan Benar adalah berarti hal yang sama.

Gryz meyakinkan bahwa meskipun kedua-kelompok istilah itu bertemu, tetap saja ada-celah yang tidak dapat dijembatani atau jika seseorang mencoba mendefinisikan satu-kelompok istilah dengan kelompok istilah lainnya, maka ada sesuatu yang tertinggal, yang tidak bisa dijelaskan oleh kelompok istilah kedua. Perdebatan kontemporer ini menunjukkan bahwa masih belum-ada-pandangan-umum tentang hubungan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern.

Kant berpendapat dalam karyanya Groundwork bahwa Agen yang dimotivasi secara moral bertindak berdasar atas Niat-Baik. Secara lebih rinci, Melakukan-Tindakan-Berdasar-Atas-Kewajiban atau Melakukan-Tindakan karena Sesorang-Berpikir bahwa Secara-Moral-Tindakan-Itu-Benar adalah melakukan Tindakan-Itu karena seseorang berpikir bahwa Maxim dari Tindakan-Itu memiliki sebuah Bentuk-Hukum ( Korsgaard 1998: 218 ). Misalnya, jika seseorang memenuhi syarat sebagai Agen-Kantian Melakukan-Tindakan-Yang-Benar bukan karena tujuannya hanya menunaikan Kewajiban-nya, tetapi karena orang tersebut Memilih-Tindakan itu karena Kemuliaan-Tindakan-Itu-Sendiri ( Korsgaard 1998: 207 ).

Bahkan jika orang-orang Yunani-Kuno tidak memiliki gagasan tertentu yang dapat diterjemahkan sebagai Keharusan-Moral, Kewajiban, Hak, dan Prinsip ( misalnya Gryz 2011, Hursthouse 2010 ), nampaknya tetap-benar untuk berpendapat bahwa gagasan Melakukan-Hal-Yang-Benar karena Hal-Itu-Memang-Benar atau karena Seseorang-Diharuskan-Melakukannya juga merupakan fenomena yang dikenal-baik dalam Etika-Kebajikan klasik secara umum dan berkaitan dengan Aristoteles dan Stoikisme pada khususnya. Ada beberapa bagian dalam Etika-Nicomachean dimana Aristoteles dengan jelas berpendapat bahwa Tindakan-Baik-Secara-Moral dilakukan karena Kemuliaan-Tindakan-Itu-Sendiri atau karena Tindakan-Itu adalah Tindakan-Yang-Benar-Secara-Moral :

" Tindakan-tindakan yang istimewa adalah Tindakan-Mulia dan dilakukan karena Kemuliaan-Tindakan-Itu-Sendiri. " ( EN IV, 2, 1120a23-24 )

" Pria-Pemberani itu sama hebatnya dengan Pria-Yang-Mungkin-Pemberani. Oleh karena itu, ketika dia merasa takut terhadap sesuatu, bahkan terhadap hal-menakutkan yang tidak-melampaui kekuatan manusia, dia akan merasa takut terhadapnya seperti seharusnya dan sekaligus menjadi alasan-langsung untuk menghadapinya demi apa yang disebut Mulia, dan demi akhir dari suatu Kebaikan yang luar biasa. " ( EN III, 10 1115b10-13 )

" Standar segala sesuatu adalah Kebaikan dan Orang-Baik. Dia berjuang mencapai Kebaikan dengan segenap jiwanya dan melakukan Kebaikan karena unsur intelektual/akal-budi di dalam dirinya. " ( EN IX, 4, 1166a10-20 )

Orang-Baik melakukan Tindakan-Mulia karena Kemuliaan-Tindakan-Itu-Sendiri. ( EN IX, 8, 1168a33-35 )

" Pada Orang-Jahat, apa yang dia lakukan bertabrakan dengan apa yang harus dia lakukan, tetapi apa yang harus dilakukan Orang-Baik dilakukan olehnya, karena intelek/akal-budi selalu memilih apa yang terbaik menurutnya, dan Orang-Baik mematuhi intelek/akal-budi. " ( EN IX, 8, 1169a15-18 )

Jika Orang-Bijak bertindak karena dia berpikir bahwa Tindakan-Itu adalah Tindakan-Yang-Benar untuk dilakukan, karena dia bertindak demi Kemuliaan tanpa kecenderungan selain Berbuat-Kebaikan demi Kemuliaan-Itu-Sendiri, maka dia sebanding dengan Agen-Moral-Kantian. Misalnya, menurut Aristoteles yang disebut Mulia adalah :

" Tindakan yang dikehendaki karena Kemuliaan-Dalam-Dirinya dan juga patut mendapat pujian. " ( Retorika I, 9, 1366a33 )

Dan pada 1366b38-67a5 dia berpandangan bahwa Kemuliaan ditunjukkan melalui :

" Tindakan yang lebih menguntungkan/bermanfaat bagi orang-lain daripada untuk Pelakunya, dan Tindakan yang keuntungannya/manfaatnya hanya akan muncul setelah Kematian-Pelaku-Tersebut, karena dalam hal ini kita dapat memastikan Pelaku-Itu tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Tindakan-Itu. " ( Korsgaard 1998: 217 )

Oleh karena itu, Orang-Bijak tidak akan dapat bertindak dengan cara yang tidak berbudi luhur karena dia Bertindak-Berdasar-Kewajiban-Moral yang kuat dari dalam dirinya untuk bertindak sesuai dengan Tindakan-Yang-Benar-Secara-Moral, karena inilah hakikat orang yang berbudi luhur untuk bertindak dengan baik. Sebaliknya, Agen-Kantian seringkali bertindak sesuai dengan Hukum-Universal dan karenanya ia melakukan tindakan yang benar secara moral, dan pada kesempatan lain ia gagal melakukannya. Ini karena dia tidak memiliki sikap stabil dan teguh untuk selalu bertindak sesuai dengan Hukum-Universal. Itulah alasan mengapa Orang-Bijak-Aristotelian dapat dilihat sebagai Agen yang tidak hanya bertindak atas dasar Kewajiban dalam arti melakukan hal yang benar karena itu benar, tetapi juga karena Orang-Yang-Bijak terus-menerus menangkap dan melekat kepada Kewajiban-Moral, yaitu melakukan Tindakan-Yang-Bajik.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/anci-mod/#H4
Pemahaman Pribadi



Saturday, March 3, 2018

Moralitas Modern Dan Etika Kuno 3 : Perbedaan Utama



a. Kehidupan Yang Baik Dan Tindakan Yang Baik

Stereotip yang paling umum berkaitan dengan Etika-Kuno dan Moralitas-Modern adalah menyangkut permasalahan penting bahwa Etika-Kuno hanya membahas pertanyaan Apa-itu-kehidupan-yang-baik sedangkan teori Moralitas-Modern hanya menangani pertanyaan Apa-yang-seharusnya-dilakukan atau Bagaimana-seharusnya-seseorang-bertindak.

Tentu banyak stereotip menggambarkan sejumlah kebenaran, namun hampir selalu ada banyak ruang untuk pemahaman yang lebih baik mengenai Perbedaan-Dan-Kesamaan dalam permasalahan tertentu.

Menjadi lebih tepat terhadap masalah ini dapat dinyatakan, memang benar bahwa Etika-Kuno menyangkut pertanyaan penting tentang Bagaimana-menjalani-kehidupan-yang-baik dan Bagaimana-menjadi-orang-bijak dengan bertindak sesuai dengan Etika-Kebajikan.

Namun, gagasan bahwa Etika-Kebajikan tidak membahas Tindakan dan karenanya tidak mampu memberikan jawaban konkret atas Masalah-Etika adalah prematur. Karena, bukan hanya teori Moralitas-Modern yang membahas mengenai Tindakan ( lihat, Hursthouse 1999, bab 1-3; Slote 2001, bab 1; Swanton 2003, bab 11 ).

Menurut Aristoteles, suatu Etika-Kebajikan harus diinternalisasi-sepenuhnya oleh seseorang dengan cara melakukan banyak Tindakan-dengan-jenis-yang-sama sehingga orang tersebut mampu mencapai disposisi yang kuat. Dengan kata lain, Seorang-Pemberani yang memiliki Keutamaan-Keberanian harus melakukan banyak Tindakan-Berani di dalam wilayah-yang-menakutkkan dan percaya-diri untuk mencapai disposisi sebagai Seorang-Yang-Berani. Melakukan Tindakan-yang-memadai adalah satu-satunya cara seseorang mampu mencapai itu.

Memang, teori Moralitas-Modern lebih memfokuskan pada pertanyaan tentang Apa-yang-seharusnya-dilakukan seseorang dalam situasi-tertentu, dan biasanya para Ahli-Etika tidak terlalu memperhatikan pertanyaan tentang Bagaimana-menjalani-kehidupan-yang-baik. Sebaliknya, ahli Etika-Kuno percaya bahwa seseorang tidak dapat memisahkan kedua masalah tersebut.

Masalah terkait yang tampak sangat mendukung gagasan awal di atas adalah menyangkut pendapat bahwa, di satu sisi Etika-Kuno berpusat pada Diri-Sendiri karena hanya berpusat pada Kepentingan-Diri untuk Menjalani-kehidupan-yang-baik dan Menjadi-orang-bijak, sedang di sisi yang lain Moralitas-Modern memperhatikan Orang-Lain dengan hanya memusatkan perhatiannya pada Kepentingan-Orang-Lain. Secara garis besar, Etika-Kuno adalah Moralitas-Egois dan Moralitas-Modern bersifat Altruistik.

Kepentingan-Orang-Lain dalam Etika-Kebajikan memasuki tingkatan dengan bergabung ke dalam Kepentingan-Diri-Seseorang untuk Menjadi-Bijak serta Menjalani-kehidupan-yang-baik. Dalam artikelnya, Ancient Ethics and Modern Morality, Annas meneliti titik ini secara lebih rinci dan berpendapat :

 " Kerancuan berasal dari pemikiran bahwa jika Kebaikan-terhadap-orang-lain dimasukkan ke dalam Kebaikan-akhir-diri-sendiri, Kebaikan itu tidak benar-benar menjadi Kebaikan-bagi-orang-lain, tetapi melalui beberapa cara harus direduksi dari apa yang penting bagi dirinya. "

Dia menunjukkan bahwa kerancuan itu mungkin adalah :

 " Kebaikan-terhadap-orang-lain harus penting bagi saya karena itu adalah Kebaikan-bagi-orang-lain itu, bukan karena itu adalah bagian dari Kebaikan-bagi-diri-saya. " ( Hanas 1992: 131 ).

Annas berpikir bahwa ini sesuai dengan Keseluruhan-Kebaikan-Akhir dari Orang-Bijak karena Kebaikan-terhadap-orang-lain penting bagi Orang-Bijak bukan karena Kebaikan-Itu adalah Bagian-dari-kebaikan-bagi-diri-sendiri, tetapi karena itu adalah memang Kebaikan-bagi-orang-lain.

Meskipun demikian, dengan menggunakan perbedaan Kantian, orang mungkin berpendapat bahwa perbedaan itu adalah dalam pengertian antara 'Moralitas' dan 'Legalitas'. Dalam konteks ini, 'Legalitas' berarti hanya untuk memenuhi Klaim-Moral yang dimiliki orang lain sedang 'Moralitas' berarti memenuhi Klaim-Moral yang dimiliki orang lain, tetapi juga memiliki Motif-Yang-Tepat dalam melakukan tindakan tersebut, yaitu dilakukan berdasar Niat-Baik yaitu bertindak karena Kewajiban-Moral.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Etika-Kuno, Orang-Bijak harus menimbang Kepentingan-Orang-Lain bukan karena dia merasa tidak mempunyai kepentingan apapun pada mereka atau karena kepentingan mereka hanya berguna sebagai alat untuk memenuhi kepentingan dirinya, tetapi karena Orang-Bijak dengan sepenuh-hati percaya, merasakan, mengetahui dan mengakui fakta bahwa Kepentingan-Orang-Lain adalah penting dalam dirinya-sendiri.

Contoh lain adalah Aristoteles percaya bahwa Orang-Baik menjalani-kehidupan-yang-baik jika dan hanya jika pertama, dia mencurahkan hidupnya untuk Berfilsafat/Berfikir dan yang kedua, Menjalani-Kehidupan-Sosial-Yang-Baik di antara orang lain. Yang terakhir ini mensyaratkan penggunaan Kebajikan-Etik, yang secara kodrati berkenaan dengan  Orang-Lain. Sedangkan yang pertama tidak memerlukan penggunaan Kebajikan-Etik ( lihat, Aristoteles EN X, 6-9 ). Meskipun demikian menurut Aristoteles, seseorang tidak dapat menjadi Bijaksana-Secara-Praktis tanpa Menjadi-Bijak, dan sebaliknya. Kedua konsep tersebut saling tergantung ( EN VI ).

Seseorang mungkin berpendapat bahwa Kepentingan-Pribadi dan Kepentingan-Orang-Lain tidak bertentangan satu sama lain dalam Etika-Kuno namun bertemu dengan melekat pada sebuah gagasan objektif tentang Kebaikan ( lihat, Bayertz 2005 ). Garis antara Pertanyaan-Moral yang menyangkut Kepentingan-Orang-Lain dan Pertanyaan-Etik yang menyangkut diri-seseorang untuk Menjadi-Bijak telah kabur untuk dikenali.

Namun, dalam Moralitas-Modern terdapat perbedaan yang jelas karena pertanyaan tentang Kehidupan-Baik itu sekunder, dan secara sistematis tidak penting dalam menjelaskan pertanyaan Bagaimana-seseorang-harus-bertindak dalam situasi-tertentu.

Teori Moralitas-Modern lebih subjektif dalam Karakter dan karenanya tidak memiliki komitmen kuat terhadap teori Etika-Kebajikan menyangkut dasar objektifnya, juga pendapat mereka mengenai Elitisme dan Devaluasi terhadap moralitas umum sesuai akal-sehat.

Meskipun demikian, kesimpulannya adalah ada perbedaan sistematis antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern mengenai bagaimana masalah Moral dipecahkan, namun gagasan bahwa Etika-Kuno bersifat Egois dan tidak terikat pada Tindakan terlalu dini dan benar-benar salah.

b. Keharusan Moral

Anscombe menunjukkan dalam makalah klasiknya berjudul Modern Moral Philosophy ( 1958 ) bahwa Moralitas-Modern ditakdirkan untuk gagal karena hanya berpusat pada analisis bahasa dan gagasan, dan secara khusus keterikatannya pada gagasan-keliru mengenai Kewajiban-Moral.

Ia berpendapat bahwa gagasan tentang Kewajiban-Moral dan Keharusan-Moral yang digunakan dalam Etika-Deontologis awalnya berasal dari Penalaran-Religius dan Etika-Teologis, di mana Tuhan adalah Sumber-Paling-Utama-Moralitas dan di mana orang harus mematuhi perintah Tuhan. Di sini, sebuah gagasan tentang Kewajiban-Moral dan Keharusan-Moral menemukan kesesuaian.

Namun, dalam Etika-Sekuler, tidak ada persetujuan umum atas gagasan Kewajiban-Moral yang mengikat secara Universal kepada semua-mahluk-rasional. Gagasan tentang Kewajiban-Moral, menurut Anscombe, harus diganti dengan gagasan tentang Kebajikan.

Lebih jauh lagi, Schopenhauer secara meyakinkan berpendapat dalam bukunya On the Basis of Morality bahwa bahkan dalam kasus Etika-Agama tidak ada Kewajiban-Moral-Kategoris, karena orang mematuhi Aturan-Moral-Tuhan hanya karena mereka tidak ingin dihukum, jika mereka memutuskan untuk tidak bertindak sesuai dengan Aturan-Tuhan. Ini berarti bahwa Kewajiban-Moral itu bersifat Hipotetis dan bukan Kategoris.

Adalah umum dikatakan bahwa dalam Etika-Kuno tidak ada Kewajiban-Moral dan tidak ada Keharusan-Moral hanya dengan alasan bahwa orang Yunani dan Romawi tidak memiliki gagasan semacam itu. Namun, dari fakta bahwa mereka tidak memiliki pengertian tentang Kewajiban-Moral dan Keharusan-Moral, seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa mereka juga tidak memiliki gejala khusus tentangnya ( Bayertz 2005: 122 ).

Sebagai tambahan, seseorang mungkin berpendapat bahwa pandangan intinya masih merindukan gagasan umum untuk menggunakan gagasan serupa sebagai Istilah-Kunci-Etika yang utama, yang mencerminkan sebuah cara tertentu Penalaran-Etik dan Pengambilan-Keputusan.

Apakah ada sesuatu seperti Keharusan-Moral dalam Etika-Kebajikan-Kuno yang dapat dibandingkan dengan Etika-Deontologis akan diperiksa secara singkat di bawah ini dengan memusatkan perhatian pada Etika-Aristoteles.

c. Dapatkah Orang Bijak Bertindak Dengan Cara Tidak Baik ?

Menurut Etika-Kuno, Orang-Yang-Bijak-Sepenuhnya, merupakan pembawa Semua-Kebajikan-Etik tidak dapat melakukan tindakan dengan cara yang Tidak-Bajik. Jika seseorang membawa/menanggung sebuah Kebajikan maka dia juga membawa/menanggung Semua-Kebajikan-Lainnya ( tesis Kesatuan-Kebajikan ).

Orang yang memiliki Kebijaksanaan-Praktis, menurut ahli Etika-Kuno akan selalu bertindak sesuai dengan Nilai-Etik. Dengan kata lain, Orang-Bijak selalu menguasai emosinya dan secara umum tidak akan pernah tenggelam oleh emosinya, yang mungkin akan mendorongnya untuk bertindak dengan cara yang Tidak-Bajik.

Secara umum, ini adalah batas tuntutan yang memadai dari sebuah argumentasi karena dapat terjadi, setidaknya menurut cara berpikir modern kita, bahwa Seorang-Pemberani yang memiliki Kebajikan-Keberanian mungkin tidak dapat menunjukkan Kebajikannya secara bebas.

Namun, bahkan jika seseorang mengakui/mengetahui bahwa seseorang adalah Orang-Bijak, seseorang mungkin tidak yakin bahwa Orang-Bijak-Ini tidak akan pernah dapat bertindak dengan cara yang Tidak-Bajik.

Masalah khusus ini berkaitan dengan hipotesis Kesatuan-Kebajikan yang terkenal ( untuk kontribusi baru-baru ini terhadap masalah ini, lihat Russell, 2009 ).

Dalam Moralitas-Modern, Utilitarianisme misalnya, secara meyakinkan membedakan antara evaluasi Karakter seseorang dan Tindakannya. Menurut Utilitarianisme, dengan mudah dapat terjadi bahwa Orang-yang-secara-moral-buruk melakukan Tindakan-yang-benar-secara-moral atau sebaliknya Orang-yang-baik-secara-moral melakukan Tindakan-yang-salah-secara-moral.

Perbedaan ini tidak mungkin menarik para pendukung Etika-Kebajikan ( klasik ) karena menurutnya Tindakan-Etik-Yang-Benar selalu mengandaikan orang tersebut memiliki Karakter-Yang-Baik-Secara-Etik.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/anci-mod/#H3
Pemahaman Pribadi