Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, June 28, 2020

Filsafat Analitik 6a : 1960-an Dan Setelahnya ( Era Ekletisme ) : Kematian Filsafat Bahasa


Lewat pertengahan tahun 1960-an era filsafat-bahasa mendekati akhirnya. Penyebab dari
kematiannya bervariasi. Salah satunya, adalah pada saat itu tampak terdapat perpecahan yang tajam di dalam gerakan-analitik khususnya antara para pendukung bahasa-biasa dengan bahasa-ideal mengenai sifat bahasa-dan-makna disatu sisi dan mengenai bagaimana bersikap terhadap filsafat disisi lain.

Hingga titik ini, inti dari filsafat-analitik memiliki pandangan bahwa persoalan-persoalan filsafat adalah ilusi-bahasa yang dihasilkan oleh pelanggaran batas-batas makna dan persoalan itu telah diselesaikan dengan membuat penanda yang jelas batas-batas itu dan kemudian bertahan didalamnya.

Namun, sekarang menjadi jelas hal itu bukanlah tugas mudah. Jauh dari fenomena-transparan ( mudah-dilihat ) yang telah diterima oleh para analis-awal, makna-bahasa berubah menjadi fenomena teka-teki yang rumit, maka dengan sendirinya memerlukan perlakuan filosofis yang dalam.

Bahkan, menjadi jelas bahwa banyak yang memegang pandangan-pandangan inti-analitik terhadap sifat dari filsafat bersandar pada teori-makna yang berbeda-beda, terkadang tersirat, tidak pernah cukup jelas dan seringkali tidak masuk-akal

Kegagalan internal dari logika-posivisme dikombinasikan dengan kritik-kritik dari luar oleh Wittgenstein dan Quine memberi kontribusi pada kematian pendekatan bahasa-ideal.

Disisi lain, banyak, termasuk Bertrand Russel melihat pendekatan bahasa-biasa jauh dari jenis karya filosofis yang serius.

Karena alasan ini dan alasan lainnya, pendekatan bahasa-biasa juga mematik api dari luar gerakan-analitik, dalam bentuk karya Ernest Gellner berjudul Words and Things (1959) dan karya dari W.C.K. Mundles berjudul Critique of Linguistic Philosophy (1970)

Khusus yang pertama memiliki dampak internasional yang luas, sehingga memberi kontribusi kepada apa yang disebut oleh T.P. Uschanov " Kematian aneh dari filsafat bahasa-biasa. "

Melemahnya filsafat-bahasa juga memberi tanda melemahnya usaha-usaha untuk menentukan metode filsafat yang layak, atau bahkan sekedar metode-pembeda untuk filsafat-analitik.

Pandangan Quine mengangkat persoalan itu ----bahwa filsafat berlanjut dengan pengetahuan-ilmiah dalam tujuan-tujuannya dan metode-metodenya, hanya berbeda dalam sifat-generalitas pertanyaan-pertanyaannya---- telah terbukti berpengaruh dan mencapai tingkatan dominasi tertentu untuk beberapa lama, tetapi tidak sampai pada derajat yang dimiliki konsepi-bahasa tentang filsafat yang telah berjalan selama enam puluh tahun.

Alternatif yang tidak terikat dengan pengetahuan-ilmiah empiris segera muncul, dengan hasil bahwa praktek filsafat dalam filsafat-analitik kontemporer sekarang menjadi cukup ekletik.

Dalam beberapa lingkaran-kelompok, penerapan terhadap teknik-formal tetap dipandang sebagai pusat dari praktek filsafat, meski sekarang ini lebih dipandang seperti sebuah alat untuk mencapai kejelasan tentang konsep-konsep kita daripada sebuah cara untuk menganalisis bahasa.

Dalam lingkaran yang lain, ekspresi yang cermat dalam bahasa-biasa terlihat menyediakan kejelasan dengan tingkat yang memadai.

Sebagian karena pandangan Quine terhadap filsafat sebagai berkelanjutan dengan pengetahuan-ilmiah ( yang tentu saja terbagi dalam spesialisasi ), dan sebagian karena filsafat-analitik selalu disajikan untuk membahas pertanyaan-pertanyaan dengan definisi yang sempit dalam isolasi dari yang lain, filsafat-analitik post-bahasa terbagi dengan sendirinya ke dalam sejumlah sub-bidang yang terspesialisasi.

Metamorfosa yang tengah berlangsung pada filsafat-bahasa menjadi apa yang sekarang kita ketahui sebagai filsafat-bahasa.

Epistemologi, filsafat-kesadaran, filsafat pengatahuan-ilmiah, etika dan meta-etika dan bahkan metafisika bangkit atau muncul kembali sebagai wilayah penyelidikan yang tidak-acuh kepada perhatian-perhatian terhadap bahasa namun tidak dalam dirinya bersifat bahasa secara intrinsik.

Selama waktu berjalan, daftar telah berkembang dengan memasukan bidang estetika, filsafat sosial dan politik, filsafat feminis, filsafat agama, filsafat hukum, filsafat kognitif pengetahuan-ilmiah dan filsafat sejarah.

Terhadap penjelasan mengenai sifat ekletisme-nya, filsafat-analitik kontemporer menentang ringkasan atau gambaran umum. Dengan tanda yang sama, hal itu mencakup terlalu banyak untuk dibahas secara detail disini.

Namun, dua perkembangan dalam filsafat-analitik post-bahasa secara khusus perlu dibahas.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH5a
Pemahaman Pribadi

Friday, June 26, 2020

Filsafat Analitik 5b : Pandangan Akhir Wittgenstein


Ketika logika-positivisme sibuk merayap dibawah beban inkoherensi (ketidak-konsistenan) dalam dirinya, permasalahan yang lebih besar menciptakan situasi buruk bagi filsafat bahasa-ideal secara umum.

Setelah menerbitkan Tractatus, Wittgenstein pensiun dari filsafsat dan beralih mengajar pada Sekolah-Dasar di pedesaan pinggiran Austria.

Mengapa ia tidak meninggalkan dunia akademis ----sedang ia meyakini, telah mengistirahatkan persoalan-persoalan filsafat-tradisional !

Selama waktu meninggalkan sekolah-tinggi, Wittgenstein telah seringkali memikirkan kembali pandangan-pandangannya tentang bahasa.

Dia menyimpulkan bahwa, jauh dari menjadi sebuah fungsi-kebenaran-kalkulus, bahasa tidak memiliki struktur-universal-yang-benar ----yang berarti tidak terdapat suatu semacam bahasa-ideal.

Sebaliknya, setiap sistem-bahasa ----baik itu bahasa-lengkap-resmi, suatu dialek, atau bahasa teknik khusus yang digunakan oleh seorang ahli---- adalah seperti sebuah permainan yang berjalan sesuai aturan-aturannya sendiri.

Aturan-aturan bahasa yang dimaksud bukanlah jenis yang ditemukan dalam buku-buku tata-bahasa ----aturan-aturan itu hanya suatu upaya mendeskripsikan aturan-aturan yang telah ditemukan dalam praktek-praktek suatu komunitas-bahasa.

Aturan-aturan bahasa yang sesungguhnya, menurut pandangan-akhir Wittgenstein, tidak dapat ditetapkan/dinyatakan, melainkan dapat ditunjukan dalam jalinan-kompleks dalam praktek-praktek bahasa dan non-bahasa yang menyusun 'bentuk-kehidupan' suatu komunitas-bahasa apapun.

Menurut pandangan-akhir Wittgenstein, bahasa merupakan suatu fenomena-sosial-intrinsik, dan cara-cara-berbahasa-yang-benar bervariasi sebanyak cara-berbahasa yang telah berhasil dalam kehidupan bersama manusia.

Konsekuensinya, cara-berbahasa-yang-benar tidak dapat dipelajari secara abstrak, terpisah dari banyak perwujudan yang khusus dalam banyak komunitas manusia.

Berlawanan dengan pandangan-pandangannya dalam karya Tractatus, pandangan-akhir Wittgenstein tidak lagi meyakini bahwa 'makna' adalah suatu gambaran-relasi yang didasarkan pada hubungan-korespondensi antara atom-atom bahasa dengan atom-atom metafisika.

Melainkan, 'makna' merupakan sistem-bahasa atau permainan-bahasa, yang tidak-dapat dianalisis secara keseluruhan, yang bagian-bagian-nya ( ucapan / ungkapan yang disetujui dengan aturan-aturan bahasa ) mempunyai 'makna' oleh sebab mempunyai suatu peranan untuk bermain ----suatu pemakaian---- di dalam bentuk-kehidupan-secara-keseluruhan dari suatu komunitas-bahasa..

Sehingga, sering dikatakan bahwa bagi pandangan-akhir Wittgenstein 'makna' berarti pemakaian. Menurut pandangan ini, bagian-bagian suatu bahasa sama-sekali tidak perlu mengacu atau sesuai dengan apapun, mereka hanya harus memainkan suatu peranan dalam sebuah bentuk-kehidupan.

Adalah penting untuk mencatat, bahwa bahkan dalam pemikiran akhirnya, Wittgenstein tetap mempertahankan pandangan persoalan-persoalan filsafat-tradisional muncul dari kesalahan bahasa, dan hakekat filsafat-yang-sesungguhnya adalah tentang melakukan analisis terhadap bahasa sehingga menggenggam batas-batas 'makna' dan melihat kesalahan secara jernih apa adanya ----jatuh kedalam kebingungan atau tanpa-makna.

Namun, pemahaman barunya terhadap bahasa membutuhkan suatu pemahaman baru terhadap analisis.

Analisis-bahasa tidak lagi berupa transformasi dari sebuah pernyataan bahasa-biasa kedalam notasi-simbolik dari logika-formal yang dipandang menunjukan bentuk sebenarnya.

Sebaliknya, analisis-bahasa adalah sebuah persoalan tentang melihat bagaimana bahasa dalam 'pemakaian-biasa' dan melihat bahwa persoalan-persoalan filsafat-tradisional muncul hanya ketika kita meninggalkan 'pemakaian-biasa' itu.

" Suatu persoalan filsafat ", kata Wittgenstein, " mempunyai bentuk : saya tidak-tahu cara menanganinya ", (Wittgenstein,123)

Ini berarti, saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan memadai tentang persoalan-itu, untuk bertanya persoalan-itu, dan untuk menjawab suatu pertanyaan persoalan-itu.

Jika seandainya saya melampaui aturan-aturan bahasa-saya dan mengatakan sesuatu entah-bagaimana caranya, apa yang saya katakan akan menjadi tidak-bermakna dan tidak-bisa-dimengerti. Sebagai contoh adalah ucapan-ucapan / ungkapan-ungkapan dalam filsafat-metafisika tradisional.

Konsekuensi selanjutnya, persoalan-persoalan filsafat diselesaikan atau lebih tepat dileburkan dengan melihat kepada kerja-kerja dalam bahasa-kita dan dengan suatu cara sehingga membuat kita mengenali kerja-kerjanya : ....Persoalan-persoalan filsafat diselesaikan, tidak dengan pemberian informasi-baru, tetapi melalui penyusunan apa-yang-selalu-sudah-kita-ketahui. (Wittgenstein 1953,109)

Dan 'apa-yang-selalu-sudah-kita-ketahui' adalah aturan-aturan dari bahasa-kita. " Kerja seorang filsuf ", ia berkata, " terdiri dari perakitan pengingat-pengingat untuk tujuan tertentu " (Wittgenstein 1953,127)

Pengingat-pengingat ini mengambil bentuk salinan dari bagaimana bagian-bagian bahasa biasa dipakai dalam permainan-bahasa, keluar dari apa yang oleh para filsuf telah diupayakan untuk dilangkahi.

Tujuan mereka adalah untuk membujuk para filsuf menjauh dari kesalahan-penggunaan bahasa yang penting untuk mengejar / menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafat tradisional.

Sehingga, filsafat-yang-sesungguhnya menjadi suatu jenis terapi-bantuan pada penyembuhan sebuah penyakit bahasa yang melumpuhkan kemampuan seseorang agar terikat penuh kepada bentuk-kehidupan dalam komunitas-bahasa-nya.

Hakekat filsafat-yang-sesunguhnya, Wittgenstein berkata, " adalah suatu pertempuran melawan pengaruh-sihir terhadap kecerdasan kita melalui alat bahasa " (Wittgenstein 1953,109)

Senjata para filsuf-sejati dalam pertempuran ini adalah " untuk membawa kata-kata dari pemakaian metafisis kembali kepada pemakaian-biasa keseharian " (Wittgenstein,1953,116), sehingga " hasil-hasil dari filsafat merupakan pengungkapan terhadap suatu bagian dari bidang yang tidak-bisa-dimengerti dan pengungkapan mengenai pukulan-keras bahwa pemahaman telah diperoleh dengan pikiran yang terarah melawan batas-batas bahasa. " (Wittgenstein,1953,119)

Meski Wittgenstein telah mengembangkan pandangan-pandangan baru ini jauh lebih awal (terutama dalam tahun 1920-an dan 1930-an), pandangan-pandangan itu tidak dipublikasikan secara resmi hingga tahun 1953, dalam karyanya Philosophical Investigations yang terbit setelah kematiannya. Sebelumnya, pandangan-pandangan baru Wittgenstein telah menyebar luas dari mulut ke mulut diantara para muridnya dan orang-orang yang tertarik.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Wednesday, June 24, 2020

Filsafat Analitik 5a : Filsafat Bahasa-Biasa


Terima kasih untuk G.E. Moore, analisis bahasa-biasa telah mendapat tempatnya sejak awal dalam gerakan-analitik.

Namun karena superioritas yang dipersepsikan kepada analisis bahasa-ideal, analisis bahasa-biasa jatuh nyaris benar-benar keluar dari tinjauan selama beberapa dekade.

Pada tahun 1930 an, analisis bahasa-biasa mulai kembali bangkit, terima kasih disampaikan terutama kepada Wittgenstein ----yang pandangan-pandanganya mengalami perubahan-radikal sepanjang tahun 1920 an---- tetapi juga kepada sejumlah filsuf berbakat lainnya termasuk John Wisdom, John Austin ( jangan dirancukan dengan John Austin abad 19 yang menemukan positivisme-legal ), Gilbert Ryle, Peter Straeson, dan Paul Grice.

Disamping perbedaan-perbedaan alasan mereka untuk mengadopsi pendekatan bahasa-biasa, begitu juga cara masing-masing menggunakan / memperlakukan-nya, persamaan sosok-sosok ini yang memusatkan perhatian pada bahasa-biasa adalah nilai-substansial pemersatu untuk melawan dominasi pendekatan bahasa-ideal sebelumnya.

Filsafat bahasa-biasa menjadi dominan dalam filsafat-analitik hanya setelah perang dunia ke dua ----sehingga era bagi bahasa-biasa yang diberikan dalam Pengantar adalah 1945-1965. Memang, dengan pengecualian terhadap beberapa artikel karya Ryle, teks yang paling penting dari para pendukung analisis bahasa-biasa dipublikasikan pada tahun 1949 dan setelahnya ----dalam beberapa kasus tidak begitu lama kemudian, ketika pendekatan bahasa pada filsafat dalam semua bentuknya  sudah keluar.

Filsafat bahasa-biasa seringkali disebut filsafat-Oxford. Hal ini karena Ryle, Austin, Strawson, dan Grice semuanya merupakan pria-pria Oxford.

Mereka representasi yang paling penting dari para pendukung bahasa-biasa setelah Wittgenstein ( yang berada di Cambridge ). Setelah Wittgenstein meninggal dunia pada masa-masa awal era bahasa-biasa, mereka terus mempromosikannya hingga mencapai kejayaaan.

Disamping, koneksi yang kuat dengan Oxford, Wittgenstein biasa diterima sebagai filsuf bahasa-biasa yang paling penting. Karena alasan ini, kita akan memusatkan perhatian hanya kepada pandangan-pandangan terakhirnya dalam memberikan contoh yang lebih detail mengenai filsafat bahasa-biasa.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Tuesday, June 23, 2020

Filsafat Analitik 4b : W. V. Quine


Willard Van Orman Quine adalah filsuf Amerika pertama diantara filsuf-filsuf lain yang sangat penting dalam tradisi analitik.

Meski pandangan-pandangannya memberi pengaruh terbesar hanya selama masa filsafat-bahasa datang dan berakhir, adalah mudah dan relevan untuk mengangkat pandangan-pandangan itu berlawanan dengan logika-positivisme.

Suatu bagian penting dari program logika-positivisme adalah upaya untuk menganalisis atau mereduksi pernyataan-pernyataan pengetahuan-ilmiah kedalam protokol-pernyataan ( sistem-aturan / prosedur-formal membuat pernyataan ) yang terkait dengan pengamatan-pengamatan empiris.

Proyek pereduksian ini diangkat oleh beberapa anggota Lingkaran-Vienna, tetapi tak seorangpun mengangkat cukup jauh seperti yang dilakukan oleh Rudolph Carnap, dalam karyanya The Logical Structure of the World ( 1928 ) dan dalam karya-karya selanjutnya.

Persoalan dasar bagi proyek-reduksi adalah banyak konsep-konsep dan pendapat-pendapat pengetahuan-ilmiah yang penting tampak melampaui apa-yang-dapat-dibuktikan secara empiris.

Menyatakan pendapat bahwa matahari akan terbit esok hari adalah sebuah pendapat yang melampaui pengamatan-pengamatan hari ini.

Pendapat-pendapat tentang entitas-teoritis seperti atom-atom misalnya juga memberi persoalan yang jelas mengenai melampaui batas-batas apa-yang-dapat-dibuktikan melalui pengamatan-pengamatan yang spesifik, namun secara esensial pernyataan-pernyataan hukum pengetahuan-ilmiah juga bergerak menuju kepada persoalan yang sama.

Empirisme beranggapan, apa yang diperlukan untuk meletakan pendapat-pendapat pengetahuan-ilmiah pada suatu dasar epistemik yang kokoh-dan-aman adalah untuk membuang jurang-pemisah antara pengamatan dan teori tanpa lebih jauh memasukan entitas atau pandangan yang tidak bisa diverifikasi secara empiris.

Inilah tujuan dari proyek-reduksi. Dengan menunjukan bahwa setiap pendapat yang tampaknya tidak-bisa-dibuktikan dalam pengetahuan-ilmiah dapat dianalisis kedalam suatu unit-unit pengamatan yang lebih-kecil terhadap kalimat-kalimat, logika-positivisme berharap untuk menunjukan bahwa jurang-pemisah antara pengamatan dan teori sesungguhnya tidak-ada.

Disamping adanya pengertian ( terma-terma ) yang sangat dekat dengan Carnap dan dengan anggota lain Lingkaran Vienna ( yang dikunjunginya pada awal 1930 an ) dan disamping didedikasikan ---memang begitulah adanya---- kepada saintisme dan empirisme. Quine berpendapat bahwa proyek-reduksi tidak memilki harapan.

" Empirisme Modern ", dia berpendapat :

" telah dikondisikan dalam kelompok-besar oleh dua dogma. Salah satu kelompok merupakan sebuah keyakinan kepada suatu pembelahan mendasar antara kebenaran-kebenaran yang analitik atau didasarkan pada makna-makna yang terlepas dari persoalan fakta dan kebenaran-kebenaran yang sintetik atau didasarkan pada fakta. Dogma yang lain adalah reduksionisme yaitu keyakinan bahwa setiap pernyataan yang penuh-makna adalah ekivalen dengan suatu konstruksi-logis diatas pengertian ( terma-terma ) yang mengacu pada pengalaman-langsung. " ( Quine 1951, 20 ).

 " Kedua dogma itu ", kata Quine, " adalah dasar yang tidak-sehat. "

Dogma pertama yang menjadi pusat perhatian Quine adalah keharusan membuat suatu perbedaan penting antara pendapat-pendapat analitik dan sintetik.

Secara tradisional, paham tentang kebenaran-analitik, kebenaran-a-priori, dan kebenaran-yang-pasti saling terkait sangat erat satu sama lain, membentuk suatu jejaring konseptual yang berdiri tegak melawan jejaring yang ----secara umum---- bertentangan dengan kebenaran-kebenaran a-postteriori, kontingen dan sintetik.

Masing-masing kategori ini akan dijelaskan secara singkat sebelum menunjukan kritik Quine terhadap 'dogma' ini ( untuk pembahasan yang lebih luas lihat artikel A-Priori dan A-Posteriori ).

Suatu kebenaran-a-priori adalah sebuah proposisi yang dapat diketahui sebagai kebenaran melalui intuisi atau akal-murni, tanpa melakukan pengamatan-pengamatan empiris.

Sebagai contoh, baik kebenaran-matematika seperti 2+2=4, atau kebenaran-logika seperti jika ( (a=b) dan (b=c) ) maka (a=c), atau kebenaran-semantik seperti ' Semua bujangan adalah lelaki yang tidak menikah ', tidak bergantung pada perwujudan realitas apapun yang merujuk suatu kondisi dunia yang membuat proposisi benar atau diketahui ( benar atau salah ).

Kebenaran-a-posteriori, disisi lain adalah kebenaran-kebenaran yang didasarkan pada atau-paling-tidak diketahui hanya melalui pengalaman, termasuk kebenaran duniawi-biasa ( keseharian ) seperti ' Seekor kucing ada di atas tikar. ' dan kebenaran pengetahuan-ilmiah seperti ' Benda jatuh bebas pada percepatan 9,8 m/s2. '

Banyak ( jika tidak-semua ) kebenaran-a-priori tampak pasti ----yaitu tidak-dapat-ada kemungkinan-lain yang berlawanan.

Disisi lain, banyak ( jika tidak-semua ) kebenaran-a-posteriori tampak kontingen ----yaitu ada-kemungkinan-lain yang berlawanan seperti ' Kucing itu mungkin tidak di atas tikar. ' dan bagi kita yang tahu, perubahan kecepatan pada benda yang jatuh bebas mungkin berbeda dengan yang sekarang diketahui.

Pada akhirnya, sifat kepastian dan ke-a-priori-an pada kebenaran-kebenaran semacam itu tampak dikaitkan kepadanya secara analitik.

Sebuah proposisi adalah benar secara analitik jika setiap makna pada masing-masing istilah yang menyusunnya adalah benar.
Sebagai contoh, ' Semua bujangan adalah lelaki. ' secara analitik adalah benar, karena istilah 'lelaki' dihubungkan dengan istilah 'bujangan' dikarenakan makna masing-masing istilah itu ----sebuah fakta yang diketahui dengan menganalisis istilah 'bujangan' sehingga melihat bahwa istilah-itu berarti ' seorang lelaki yang tidak-menikah. '

Sementara disisi  lain, ' Semua bujangan telah meninggalkan ruangan. ' secara analitik adalah tidak-benar.

Itu disebut suatu proposisi atau kebenaran-sintetik, karena melibatkan istilah-istilah atau konsep-konsep yang tidak terhubung secara analitik oleh makna individual mereka, tetapi hanya sejauh ketika mereka disintesiskan ( digabungkan-bersama ) dalam proposisi itu sendiri.

Kebenaran-kebenaran seperti itu biasanya dan mungkin-selalu, a-posteriori dan kontingen.

Secara historis, para filsuf cenderung untuk berusaha menjelaskan sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan dengan melekatkan pada objek-objek abstrak seperti 'forma-forma' yang dikemukakan Plato atau 'esensi-esensi' dari Aristoteles.

Entitas-entitas seperti itu diduga melampaui ranah waktu, ruang dan/atau nalar dan oleh karena itu melampaui ranah 'alam' seperti yang didefinisikan oleh pengetahuan-ilmiah ----setidaknya ini dipahami oleh pengetahuan-ilmiah naturalisme pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Sebagai konsekuensinya, para pengabdi ilmu-pengetahuan naturalisme membutuhkan penjelasan alternatif mengenai sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan. Dan disinilah filsafat-analitik dalam pengertian titik-balik-perubahan kearah filsafat-bahasa tampak menawarkan suatu cara yang mengarah ke sana.

Demi alasan-alasan yang jelas, dan seperti petunjuk kutipan dari Quine di atas, kebenaran-analitik secara tradisional telah dikarekterisasikan sebagai " kebenaran oleh-sebab makna "

Meski secara historis, 'makna' dituangkan dalam beberapa cara berbeda : dalam pengertian abstrak, entitas-ideal ( Plato, Aristoteles, Husserl ) dan dalam pengertian konsep ( Locke, Hume ) dan dalam pengertian bahasa ( ditafsirkan sebagai sebuah sistem-simbol yang kongkret dan dapat dimengerti dengan penggunaan yang disetujui melalui kesepakatan).

Dalam konteks filsafat-analitik sebagai titik-balik-perubahan kearah filsafat-bahasa, semuanya menjadi mudah dengan mengambil pendekatan-yang-terakhir ( dalam pengertian bahasa ), dan oleh karena itu memperlakukan ke-analitik-kan sebagai turunan dari suatu fenomen-bahasa seperti ke-sinonim-man dan sifat-dapat-saling-menggantikan pada istilah-istilah.

Pandangan semacam itu sangat mudah diterima oleh kecenderungan-kecenderungan ilmiah, alamiah, dan empiris dari banyak para analis awal dan khususnya oleh penganut logika-positivisme.

Dengan asumsi-asumsi bahwa secara mendasar makna adalah sifat-bahasa dan bahwa bahasa adalah suatu kesepakatan sistem-simbol didalamnya simbol-simbol diberi-tanda dengan makna-makna oleh suatu otoritas, seseorang dapat menjelaskan ke-sinonim-man tanpa mengacu kepada apapun melampaui ranah waktu, ruang dan nalar.

Jika seseorang kemudian dapat menjelaskan sifat ke-analitik-kan dalam pengertian ke-sinonim-man dan menjelaskan sifat kepastian serta ke-a-priori-an keduanya dalam pengertian ke-analitik-kan, maka seseorang kemudian akan memiliki teori tentang kebenaran-analitik, kebenaran-yang-pasti dan kebenaran-a-priori yang konsisten dengan pengetahuan-ilmiah naturalisme.

Mengingat komitmen Quine sendiri pada ilmu-pengetahuan naturalisme, seseorang mungkin mengharapnya untuk bergabung dalam logika-positivisme dan yang lainnya berharap Quine menerima dan mendukung model-ini dan kemudian berjuang keras mengejar suatu versi yang dapat diterapkan terhadapnya.

Namun, Quine mengajukan suatu solusi yang lebih radikal terhadap persoalan sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan pada pengetahuan-ilmiah naturalisme. Dengan menyebut salah satunya adalah, dia mengajukan pendapat untuk menolak perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, serta kepastian dan kontingen.

Dia mulai melemahkan paham yang berpendapat relasi-relasi ke-sinonim-man adalah ditetapkan oleh suatu otoritas atau 'definisi-stipulatif ' ( pemberian makna / definisi baru yang ditetapkan dalam konteks tertentu )

Dalam pandangan secara alamiah (  naturalistik ) terhadap bahasa dan makna, semua-makna dan relasi-relasi ke-sinonim--man menjadi harus dan sudah ditetapkan oleh sejumlah orang atau masyarakat yang membuat definisi-stipulatif dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Sebagai contoh, entah-siapa telah mengatakan / menetapkan, pada titik tertentu dalam sejarah, " mulai sekarang dan seterusnya simbol 'bujangan' harus dapat saling menggantikan dengan 'lelaki-yang-tidak-menikah'. "

Meski demikian, Quine bertanya secara retoris, " Lalu, siapa yang menentukan itu, atau kapan ? " (Quine 1951,24).
Intinya adalah kita tidak mempunyai bukti tentang penetapan definisi-stipulatif itu pernah terjadi.

Sehingga, pada akhirnya penjelasan  secara alamiah ( naturalistik ) tentang makna / ke-sinonim-man adalah sebuah teori yang tidak-dapat-dibuktikan secara empiris, sebuah jenis yang ingin dihindari oleh para positivis.

Bahkan, bukti empiris apapun yang kita miliki mengajukan pendapat bahwa teori-naturalistik tampak salah, seperti Quine melihatnya, " Definisi -----kecuali pada persoalan ekstrim dalam pengantar kesepakatan secara eksplisit terhadap notasi-baru---- bergantung pada relasi-relasi ke-sinonim-man sebelumnya. " (Quine, 1951, 27).

Dalam persoalan dimana definisi-stipulatif terjadi / muncul yaitu ketika seseorang membuat suatu definisi-stipulatif ----seperti dalam sebuah kamus, sebagai contoh---- Quine menjelaskan bahwa, hal itu jauh dari pengertian menetapkan ke-sinonim-man, karena 'stipulator' yang-menetapkan-definisi hanya memberi gambaran atau menggunakan relasi-relasi ke-sinonim-man yang sudah ada dalam bahasa.

Setelah melakukan eksplorasi beberapa jenis kasus didalamnya definisi-stipulatif tampak menetapkan relasi-relasi ke-sinonim-man, dia menyimpulkan bahwa semuanya kecuali satu ----tindakan banal menciptakan singkatan-baru---- bersandar pada relasi-relasi ke-sinonim-man yang sudah ada sebelumnya.

Hasil akhirnya adalah bahwa definisi-stipulatif tidak mampu menjelaskan kasus yang luas didalamnya ke-sinonim-man terjadi dan oleh karenanya definisi-stipulatif tidak bisa menjadi dasar-umum baik bagi ke-sinonim-man atau ke-analitik-kan

Sehingga dengan landasannya yang dilemahkan pandangan-alamiah ( naturalistik ) tentang sifat ke-analitik-kan, kepastian dan ke-a-priori-an runtuh.

Namun demikian, Quine tidak melakukan penolakan terhadap penjelasan teori-naturalistik tentang ketidak-mampuannya untuk menjelaskan fenomena ini, Quine justru menolak pemahaman bahwa teori-naturalistik harus menjelaskan perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, kepastian dan kontingen berdasar pendapat bahwa masing-masing kategori itu adalah kategori-palsu.

Tentu saja, pada pandangan pertama tampak ada suatu perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, dan kepastian dan kontingen. Namun, ketika kita berupaya untuk memperoleh pemahaman lebih dalam terhadap fenomena ini dengan mendefinisikannya, kita tidak dapat melakukan.

Quine mengeksplorasi beberapa cara lain yang berbeda bagaimana menentukan sifat ke-analitik-kan untuk melengkapi ke-sinonim-man dan definisi-stipulatif, kesimpulan akhirnya semua itu tidak berhasil.

Sebaliknya, sifat ke-analtik-kan, kepastian, ke-sinonim-man dan konsep-konsep yang terkait tampak saling memberi kontribusi makna / definisi satu sama lain melalui cara yang dinyatakan Quine dengan " tidak melingkar datar, tetapi sesuatu semacam itu. Dalam ungkapan secara figuratif, memiliki bentuk kurva tertutup dalam ruangan. " (Quine 1951,29)

Karena tak-ada satupun diantaranya dapat didefinisikan tanpa melibatkan satu sama lain, tak-ada satupun dapat dihilangkan dengan mereduksi satu kedalam yang lainnya.

Daripada menarik kesimpulan bahwa ke-analitik-kan, kepastian dan ke-a-priori-an dan lain sebagainya adalah fenomena-primitif, Quine justru membawa sifat tidak-dapat-didefinisikan mereka untuk menunjukan tidak-ada perbedaan-murni yang dapat ditarik antara semua sifat-itu dengan lawan-lawan tradisionalnya.

Ini membawa kita kepada dogma kedua. Ketika Quine mengkritisi 'reduksionisme', secara prinsip, dalam pikirannya terdapat kecenderungan logika para-positivis untuk mengejar proyek-reduksi seolah-olah setiap-pernyataan dan apapun-pernyataan pengetahuan-ilmiah,  ditinjau dalam isolasi, dapat direduksi menjadi / dianalisa ke dalam unit-unit-kecil-pernyataan yang dapat diamati dan dikaitkan dengannya sedemikian rupa sehingga masing-masing unit dijelaskan secara unik sebagai verifikasi-dan-makna pernyataan itu.

Sebaliknya terhadap konsepsi yang bersifat 'atomistik', 'isolasi' atau 'lokal' dalam analisis verifikasi / reduktif ini, Quine berpendapat bahwa pernyataan pengetahuan-ilmiah memiliki kekuatan-prediktif dan oleh karenanya dapat ----dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya dan begitu juga dengan makna----, hanya sebagai bagian dari jejaring-besar pernyataan-pernyataan yang secara bersama membentuk teori-teori yang sulit-dijangkau yang dapat disebut 'pandangan-dunia'.

Dengan alasan ini, seseorang tidak pernah membuktikan kebenaran atau kesalahan sebuah pernyataan pengetahuan-ilmiah yang ter-isolasi. Sebaliknya pembuktian kebenaran atau kesalahan ( verfikasi atau falsifikasi ) ----dan juga makna---- adalah bersifat 'holistik'.

Pengamatan-pengamatan ( dan pengamatan pada kalimat-kalimat ) yang tampak membuktikan kebenaran sebuah unit-kecil-pernyataan tersendiri sesungguhnya memberi kontribusi parsial kepada verifikasi total-jaringan-teori secara keseluruhan dimana bagian-itu ada didalamnya.

Seperti bahasa menyarankan disini, dipandang secara holistik, verifikasi tidak pernah absolut. Disana tidak terdapat sejumlah pengamatan yang dapat dikelola, yang akan membuktikan kebenaran sebuah teori sebagai totalitas atau membuktikan sebuah unsur-konstitutif pernyataan apapun untuk semuanya.

Dengan tanda yang sama, pengamatan-pengamatan ( dan pengamatan pada kalimat-kalimat ) yang  tampak membuktikan kesalahan satu-unit-pernyataan tersendiri tidak membuktikan kesalahan teori secara totalitas dimana bagian-itu ada didalamnya.

Sebaliknya, pengamatan-pengamatan seperti itu hanya menuntut sejumlah penyesuaian yang perlu dilakukan pada teori itu. Mungkin salah-satu pernyataan konstituif-nya harus ditolak, tetapi tidak selalu satu-pernyataan yang pada awalnya tampak dapat dibuktikan kesalahannya. Menurut pandangan Quine, pernyataan-konstitutif apapun dapat diselamatkan dengan membuat penyesuaian dimana saja dalam jejaring-teori.

Pandangan holistik terhadap makna-dan-verfikasi ini menekankan kembali penolakan Quine terhadap perbedaan analitik / sintetik dan yang sejenisnya.

Holisme dalam ranah ini berimplikasi bahwa tidak-ada pernyataan dalam teori-teori yang imun dari revisi atau penolakan dalam sorotan bukti-bukti yang dapat diamati.

Ini berarti bahwa bahkan pernyataan-pernyataan yang secara tradisional dipikirkan merupakan kepastian dan atau analitik, seperti pernyataan pada matematika dan logika, dapat direvisi atau ditolak guna mempertahankan pernyataan-lain yang terikat lebih dalam kepadanya.

Serangan Quine kepada perbedaan analitik/sintetik tidak hanya mengikis dasar proyek-reduksi para positivis, tetapi juga praktek-umum analisis yang sejak dari awalnya telah dipahami untuk melibatkan transformasi kalimat kedalam kalimat lain yang secara semantik ekivalen ( sinonim ) tetapi secara gramatikal berbeda

Pada saat yang sama, holisme Quine tentang makna pada pernyataan pengetahuan-ilmiah dan verifikasinya digeneralisir menjadi suatu teori tentang makna-holisme yang diterapkan kepada semua pernyataan yang penuh-makna apapun pernyataan itu.

Namun demikian, mengikuti praktek dari Moore, metode analitik biasa diterapkan kepada pernyataan dalam isolasi, terpisah dari pertimbangan / tinjauan hubungan mereka dengan pernyataan lain yang bersama-sama mungkin menyusun suatu 'pandangan-dunia' filosofis.

Makna holisme Quinean mengikis dasar aspek analisis ini sama besar seperti yang dilakukannya pada pandangan isolasionis verifikasi dari logika-positivisme



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH3b
Pemahaman Pribadi



Wednesday, June 17, 2020

Filsafat Analitik 4a : Logika Positivisme dan Lingkaran Vienna


Logika-positivisme merupakan hasil mengkombinasikan aspek-aspek sentral dari positivisme yang dikemukakan oleh August Comte dan Ernst Mach dengan pandangan-pandangan meta-filosofis dan metodologi dari gerakan-analitik, khususnya seperti yang dipahami oleh para pendukung bahasa-ideal.

Dalam semua bentuknya, positivisme dijiwai oleh idealisasi terhadap pengetahuan-ilmiah seperti yang biasa dipahami paling-tidak dari masa Newton hingga sepanjang awal abad 20. Konsekuensinya, logika-positivisme pada intinya merupakan sebuah pandangan yang disebut 'saintisme' yaitu pandangan bahwa semua pengetahuan adalah pengetahuan-ilmiah.

Seperti yang telah ditunjukan oleh filsafat-ilmiah abad 20, pendefinisian dan pembatasan kepada pengetahuan-ilmiah adalah sebuah tugas yang sulit. Tetap saja, untuk beberapa abad adalah biasa untuk menganggap bahwa metafisika dan cabang-cabang lain dari filsafat yang dipratekan secara tradisional ----dengan tidak menyebut keyakinan-keyakinan relijius dan akal-sehat (common-sense)---- tidak dikualifikasikan sebagai pengetahuan-ilmiah. Dari sudut pandang 'saintisme', semua itu bukanlah bidang-bidang pengetahuan, dan pendapat-pendapatmya tidak seharusnya dinilai membawa bobot keseriusan apapun.

Di jantung logika-positivisme adalah sebuah cara baru dalam menyingkirkan pandangan-pandangan non-pengetahuan-ilmiah tertentu dengan menyatakan pandangan-pandangan-itu tidak hanya benar atau salah tetapi juga tanpa-makna.

Berdasar pada teori-verifikasi-makna, kadang juga disebut teori-makna-empiris, pernyataan non-tautologi apapun mempunyai makna jika dan hanya-jika pernyataan tersebut dapat dibuktikan secara empiris. Prinsip-verifikasi-makna ini adalah sama-dengan prinsip yang dipertahankan dalam karya Wittgensteins Tractatus bahwa dunia-makna adalah koekstensif dengan dunia-alam-empiris dalam ilmu-pengetahuan-ilmiah

Sesungguhnya logika-positivisme menarik banyak pandangan-pandangan mereka langsung dari Tractatus (meski pembacaan mereka terhadapnya telah dikritisi sebagai terlalu-cenderung menekankan bagian-bagian yang dekat dengan pengetahuan-ilmiah naturalisme dengan mengorbankan pandangan yang jauh dari pengetahuan-alam-ilmiah)

Bersama Wittgenstein, logika-positivisme menyimpulkan bahwa bagian terbesar filsafat-tradisional terdiri dari persoalan-persoalan semu yang tanpa-makna, yang muncul karena pemakaian bahasa yang salah dan bahwa peranan sesungguhnya dari filsafat adalah untuk menetapkan dan memaksa batas terhadap bahasa yang penuh-makna melalui analisis-bahasa.

Logika-positivisme diciptakan dan dipromosikan terutama oleh sejumlah pemikir Austro-Jerman yang dikaitkan dengan Lingkaran-Vienna dan Lingkaran-Berlin dengan derajat tingkatan yang sedikit.

Lingkaran-Vienna diawali sebagai sebuah kelompok-diskusi para filsuf yang berpikiran secara ilmiah atau mungkin para ilmuwan yang berpikiran secara filosofis yang diorganisir oleh Moritz Schlick tahun 1922.

Keanggotaannya yang pasti sulit untuk ditentukan, karena adanya figur-figur pinggiran yang menghadiri pertemuan-pertemuan diskusi atau paling tidak memiliki hubungan substansial dengan anggota-anggota inti, tetapi seringkali dikarakterisasikan sebagai pengunjung atau rekanan daripada anggota-penuh yang resmi.

Diantara anggotanya yang paling terkenal adalah Schlick sendiri, Otto Neurath, Herbert Feigl, Freidrich Waismann dan mungkin yang paling terkenal dari semuanya adalah Rudolph Carnap.

Para anggota kedua Lingkaran itu memberi banyak kontribusi kepada sejumlah diskusi-diskusi filosofis dan ilmiah, termasuk logika dan filsafat-kesadaran/pikiran ( sebagai contoh lihat artikel tentang Behaviorisme dan Teori Identitas dalam ensiklopedia ini ). Namun, kontribusi terpenting mereka terhadap perkembangan filsafat-analitik berada di dalam wilayah filsafat-bahasa, metodologi filosofis dan meta-filosofis. Adalah pandangan-pandangan mereka dalam wilayah ini yang dikombinasikan untuk membentuk logika-positivisme.

Logika positivisme dipopulerkan di Inggris-Raya oleh A.J Ayer yang pernah mengunjungi Lingkaran-Vienna pada tahun 1933. Buku karyanya berjudul Language, Thruth and Logic ( Ayer 1936 ) sangat berpengaruh dan tetap bertahan sebagai pengantar terbaik kepada logika-positivisme seperti yang dipahami pada masa puncak kejayaannya.

Demi membebaskan dari gejolak perang dunia II, beberapa anggota Lingkaran-Vienna beremigrasi ke Amerika-Serikat disana mereka mengamankan pos-pos pengajaran dan melakukan pengaruh yang sangat besar kepada filsafat akademis.

Meski demikian, hingga saat ini logika-positivisme telah melewati masa jayanya, konsekuensinya bukan lagi menjadi logika-positivisme yang memadai, seperti yang lebih dikenal luas sebelumnya, tetapi sesuatu yang lebih mengarah pada cara berfilsafat yang memusatkan perhatian pada bahasa, logika, dan pengetahuan ilmiah ( bahasan lebih dalam pada pokok ini, lihat artikel pada American Philosophy, khususnya bagian 4 )

Ironisnya, kematian/kemunduran logika-positivisme disebabkan terutama oleh suatu cengkeraman mematikan dalam pandangan intinya sendiri, yaitu teori-verifikasi-makna.

Menurut prinsip-verifikasi, suatu pernyataan non-tautologi mempunyai makna jika dan hanya-jika dapat dibuktikan secara empiris. Namun demikian, prinsip-verifikasi itu sendiri adalah non-tautologis tetapi tidak bisa dibuktikan secara empiris.

Konsekuensinya, kondisi itu membuat teori-verifikasi menjadi tanpa-makna. Bahkan terlepas dari persoalan yang sangat menghancurkan ini terdapat kesulitan-kesulitan dalam menetapkan ruang-lingkup prinsip-verifikasi itu sehingga dapat mengabdi pada tujuan-tujuan pengetahuan-ilmiah posivistik.

Dalam bentuk kuatnya ( yang diberikan di atas ) dasar/pondasi prinsip-verifikasi dirusak bukan hanya oleh dirinya tetapi juga oleh pernyataan-pernyataan tentang entitas-teoritis, sehingga memaksa pengetahuan-ilmiah untuk membuktikan-nya ( melakukan kerjanya ).

Disisi lain, versi-versi yang lebih-lemah dari prinsip-verifikasi seperti diberikan oleh karya edisi kedua Ayer Language, Truth, Logic ( 1946 ), tidak mampu menghilangkan jangkauan-penuh dari pernyataan-pernyataan metafisika dan non-ilmiah lainnya yang hendak didiskualifikasi oleh para positivis



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH3a
Pemahaman Pribadi



Sunday, June 14, 2020

Kebebasan-Eksistensial, Kebebasan-Sosial dan Kebebasan-Berekspresi


Ada kebebasan di dalam ‘diri’ kita sebagai manusia, kebebasan yang terisolasi dan terlepas dari segala pengaruh, suatu kebebasan yang mandiri dan tidak bergantung pada apapun yang datang dari luar ‘diri’ kita. Karenanya, ‘diri’ kita dapat menentukan keputusan untuk memilih alternatif apapun yang tersedia dihadapan kita. Ini disebut kebebasan-eksistensial bahwa keberadaan kita sebagai manusia selalu disertai adanya-kebebasan dalam ‘diri’ kita untuk mengambil keputusan melakukan atau tidak-melakukan suatu tindakan dalam bersikap atau menanggapi situasi kongkret yang melingkupi ketika menjalani kehidupan di dunia ini. Sifat yang begitu saja menyertai kederadaan kita sebagai manusia di dunia.

Kebebasan-eksistensial menyertai kodrat manusia ada di dunia, suatu kebebasan yang melampaui tubuh dan dunia yang bersifat materi, kebebasan mutlak yang bersifat rohani (metafisis) dan melekat pada 'diri'-rohani setiap manusia, dalam pengertian ini pendapat yang menyatakan kebebasan adalah sifat-kemanusiaan kita cukup mudah dipahami. Sebagai manusia, kita bebas untuk menentukan diri dengan bertindak sesuai kehendak atau melawan kehendak yang ada di dalam ‘diri’ kita.

Namun kita sebagai manusia bukanlah sekedar ‘diri’ yang rohani, manusia mengada di dunia melalui tubuh, manusia memiliki tubuh yang bersifat-materi. Manusia adalah ‘diri’-rohani yang melekat pada tubuh dan tubuh yang melekat pada ‘diri’-rohani, keduanya manunggal sebagai satu-kesatuan-sepenuhnya. Ia berada di dalam dunia bersama dengan tubuh-tubuh lain, juga dengan ‘diri-diri’-rohani yang lain. Sehingga keberadaan manusia di dunia secara faktual merupakan dualisme, keberadaannya bersifat materi dan rohani, tunggal juga jamak, sebagai manusia ia bersifat individual sekaligus sosial. Di dalam dunia-bersama ini kebebasan-eksistensial menemui batasnya.

Kebebasan-eksistensial yang mutlak dalam ‘diri’ sendiri berada di antara kebebasan-eksistensial pada ‘diri-diri’ yang lain. Secara faktual kita memiliki kebebasan yang mutlak dalam ‘diri’ kita, yang sekaligus berada dalam jejaring hubungan dengan kebebasan manusia-yang-lain secara sosial. Hak kebebasan yang kita miliki juga dimiliki orang lain, hak kebebasan yang kita tuntut dari orang lain sama dengan hak kebebasan yang dituntut orang lain kepada kita. Oleh karena itu ekspresi kebebasan-eksistensial individu dalam dunia-sosial-bersama sangatlah mungkin bertabrakan yang menyebabkan konflik antara satu-sama lain. Keadaan yang membuat dunia ----didalamnya kita menjalani hidup---- menjadi tidak-stabil serta kacau, yang pada akhirnya menghadirkan penderitaan bagi umat-manusia serta mengancam eksistensi dirinya.

Dalam lingkungan seperti itu, manusia terkurung ketidak-pastian dalam menjalani hidup untuk melakukan berbagai aktivitas demi mengejar tujuan-tujuannya. Secara faktual, kita menjadi manusia yang tidak-bebas dalam dunia-sosial-keseharian kita karena berbagai potensi ancaman dari lingkungan yang siap menjadi nyata kapan saja dan mampu menimpa kita sewaktu-waktu. Ancaman-ancaman yang justru datang dari sesama dan berasal-muasal dari dalam manusia sendiri. Perwujudan kebebasan-eksistensial secara mutlak-sepenuhnya dalam kehidupan-sosial-bersama pada akhirnya menciptakan dunia yang tidak-stabil serta kacau dan ketidak-bebasan bagi manusia sehingga pembatasan ekspresi kebebasan-eksistensial di dunia-sosial-bersama adalah suatu keniscayaan.

Mengatasi kebebasan-eksistensial dalam ‘diri’-nya sekaligus bagaimana menciptakan dunia dan menjalani kehidupan-sosial-bersama yang baik, merupakan tantangan sepanjang kehidupan manusia. Manusia berusaha menyelaraskan ekspresi kebebasan-eksistensial yang bersifat mutlak dengan kebutuhan-dasar akan kondisi dunia-kehidupan yang stabil, aman dan teratur untuk menjalani kehidupan.

Dalam konteks itu, melalui kerja akal-budi manusia menemukan prinsip-keadilan ( konsep-keadilan-sosial ), bahwa setiap manusia karena sifat-kemanusiaannya mempunyai status-yang-sama yang harus dihargai dan dihormati. Seorang manusia sebagai individu wajib menghormati individu-lain karena memiliki status-yang-sama yang melekat pada dirinya juga semua orang-lain. Manusia harus menghormati dirinya dan manusia lain karena alasan-yang-sama yaitu sama-sama sebagai manusia yang secara kodrat-alamiah membawa sifat-kemanusiaan yang sama.

Setiap manusia memiliki hak-hak yang sama yang selalu menyertai keberadaannya, hak-hak bawaan kodrat-alamiah yang tidak-bisa dicabut oleh siapapun, yang selalu melekat begitu saja selama manusia hidup. Hak-hak ini termasuk didalamnya hak menjaga kelangsungan hidup ( mempertahankan hidup ) dan hak kebebasan untuk menentukan diri.

Ekspresi kebebasan-eksistensial mewujud secara positif berupa tindakan-tindakan yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan tindakan ini dan itu bersumber dari keputusan-keputusan untuk melakukan berbagai tindakan yang ditetapkan secara otonom-dan-bebas dalam 'diri' kita. Karena setiap manusia mempunyai status-yang-sama yaitu kepemilikan sifat otonom-dan-bebas dalam 'diri'-nya, berdasar prinsip-keadilan, secara logis adalah adil membebankan kewajiban-yang-sama kepadanya yaitu kewajiban yang bersifat universal menghormati dan menghargai martabat-kemanusiaan yang harus mewujud dalam segala tindakannya. Konsekuensi selanjutnya atas dasar kewajiban dan kebebasan itu manusia dituntut tanggung-jawab atas tindakan-tindakannya. Sehingga dalam kebebasannya untuk bertindak manusia dibebani kewajiban juga dituntut tanggung-jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan.

Tindakan bukanlah sesuatu di luar manusia, tindakan bukan semacam alat yang kita ambil lalu setelah kita pakai, bisa diletakkan kembali ke dalam kotak peralatan. Tindakan menyatu dengan diri kita, dalam tindakan kita sendiri yang bertindak dan terlibat langsung didalamnya. Kita menjadi diri kita melalui tindakan sehingga dapat dikatakan kita berada dalam bertindak. Kita melakukan tindakan melalui tubuh yang tidak berada di ruang-kosong, tubuh berada di dalam dunia-nyata, dunia-keseharian kita yang dihuni bersama benda-benda-lain, mahluk-mahluk-lain dan manusia-manusia lain. Kita hidup di dalam masyarakat, diantara orang-lain, bersama orang-lain di dalam dunia yang sama, menempati ruangan-bersama yang disebut ruang-sosial yaitu dunia-keseharian kita didalamnya kita melakukan berbagai aktivitas dan berinteraksi menghayati kehidupan bersama orang lain. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebebasan-eksistensial mewujud dalam ruang-sosial. Ini yang disebut kebebasan-sosial yaitu kebebasan-eksistensial yang menggunakan ruang-sosial-bersama untuk menyatakan diri. Kebebasan-sosial adalah terbatas tidak dapat disangkal, dimanapun kita berada dalam ruang-sosial kita tidak bisa melakukan segala tindakan yang kita inginkan.

Norma-norma-etis, aturan, adat, hukum dan bentuk kesepakatan-sosial lain yang beroperasi di atas prinsip-dasar-keadilan-sosial merupakan pembatas kebebasan-sosial. Kesepakatan-sosial menetapkan kewajiban dan pelarangan yang disepakati-bersama melalui mekanisme-sosial yang harus dipatuhi oleh setiap anggota komunitas. Kesepakatan-sosial bermaksud menjamin dan menjaga kondisi kehidupan-sosial-bersama berlangsung stabil, aman, teratur dan harmonis serta mengatasi bermacam konflik melalui penyelesaian yang selaras dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat-kemanusiaan dan prinsip-keadilan-sosial. Kesepakatan-sosial dijaga dan ditegakkan melalui otoritas yang diberikan kepada salah satu bagian struktur-kekuasan yang disusun oleh komunitas itu sendiri sehingga mampu memaksa setiap anggotanya untuk patuh dan bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan yang telah disepakati bersama.

Kebebasan menyatakan pendapat di ruang-publik ( kebebasan-berekspresi ) merupakan bentuk kebebasan-sosial. Hak yang melekat pada setiap anggota yang hidup sebagai bagian suatu komunitas politik atau masyarakat yang demokratis untuk menggunakan kebebasannya guna menyatakan pendapat dalam ruang-sosial-bersama. Kebebasan-berekspresi bukanlah kebebasan-mutlak seperti yang ada di dalam ‘diri’ kita. Ia berada di dalam ruang-kehidupan-sosial yang dihuni dan dimiliki-bersama oleh semua-anggota-komunitas secara keseluruhan, yang juga mempunyai kebutuhan-dasar yang sama akan lingkungan yang stabil, aman dan teratur oleh karena itu kepadanya berlaku batas norma-norma, aturan, hukum atau kesepakatan-sosial lainnya. Maka adalah hal yang normal, suatu kewajaran bahkan keharusan, apabila tindakan ----sebagai perwujudan kebebasan-berekspresi---- yang dilakukan oleh seorang-anggota komunitas dinilai melanggar kewajiban atau pelarangan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan-sosial yang berlaku maka kepadanya dituntut pertanggung-jawaban atas tindakannya.

Sikap yang bermartabat adalah dengan bersikap satria, berani bertanggung-jawab, menerima dan menghadapi resiko apapun sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh dirinya sendiri, yang diputuskan sendiri secara otonom dan bebas-sepenuhnya dalam kebebasan-eksistensial yang mutlak pada 'diri'-nya. Argumentasi bahwa tuntutan tanggung-jawab merupakan upaya pengkebirian hak kebebasan-berekspresi oleh otoritas yang berkuasa jelas tidak masuk akal dan lebih tampak sebagai upaya pembelaan diri yang konyol, atau tuduhan subjektif yang semena-mena, yang justru menurunkan martabat dan kualitas moral dirinya.



Bekasi, 11 Juni 2020
Sumber :
Pemahaman Pribadi




Wednesday, June 10, 2020

Filsafat Analitik 3d : Logika Atomisme dan Tractatus Wittgeinstein


Ludwig Wittgenstein mengunjungi Cambridge untuk mempelajari logika di bawah bimbingan Russell, tetapi kemudian dengan cepat ia menetapkan diri sebagai mitra intelektual terhadap gurunya.

Bersama-sama, mereka merancang dan menemukan sebuah sistem-metafisis yang disebut 'logika-atomisme'. Seperti yang telah dibahas pada awal bagian 3, karena terdapat sistem-keseluruhan yang melingkupi, logika-atomisme tampak merupakan buah pikiran Wittgenstein. Namun tetap saja, seharusnya ini tidak dilihat sebagai suatu cara meyingkirkan peran-penting Russell pada sistem, yang dapat dideskripsikan sebagai suatu metafisika yang didasarkan pada asumsi bahwa suatu bahasa-ideal ----seperti yang telah diberikan dalam Principia Mathematica---- adalah kunci terhadap pemahaman realitas.

Menurut logika-atomisme, proposisi-proposisi dibangun dengan menggunakan elemen-elemen yang mengacu pada unsur-unsur-dasar yang menyusun dunia, persis seperti kalimat-kalimat yang dibangun dengan menggunakan kata-kata.

Kombinasi dari kata-kata pada sebuah kalimat yang memiliki makna ( penuh-makna ) mencerminkan kombinasi dari unsur-unsur-penyusun proposisi yang dinyatakan oleh kalimat-itu dan sesuai dengan suatu-kondisi-yang-mungkin atau kondisi-aktual yang menjadi dasar proposisi bernilai-benar.

Hal itu berarti, struktur pada setiap kondisi-yang-mungkin atau kondisi-aktual yang menjadi acuan proposisi bernilai-benar adalah isomorfis ( sama bentuk dan relasi ) baik dengan struktur-proposisi yang merujuk kepadanya juga dengan struktur-kalimat yang menyatakan proposisi-itu ----sepanjang kalimat-itu dirumuskan dengan memadai dalam notasi logika-simbolik.

Jenis-kombinasi yang paling-sederhana disebut sebuah 'fakta-atomik' karena fakta-ini tidak mempunyai 'sub-fakta' sebagai bagian di dalam strukturnya. Bagi beberapa penganut logika-atomisme, sebuah fakta-atomik dapat berupa-sesuatu seperti benda-individual-nyata ( partikular ) yang mempunyai suatu-sifat ----sebagai contoh sehelai daun tertentu berwarna hijau

Secara bahasa, fakta-atomik ini direpresentasikan dengan sebuah proposisi-atomik, sebagai contoh :
" Daun ini berwarna hijau. " atau dalam logika-simbolisme 'F(a)'. Baik fakta F(a) dan proposisi 'F(a)' keduanya disebut 'atomik' bukan karena dalam dirinya-sendiri adalah atomik ( yang berarti tidak-memiliki-struktur ), tetapi karena semua-unsur-penyusunnya adalah atomik.

Fakta-fakta-atomik adalah unsur-unsur-dasar penyusun dunia dan proposisi-proposisi-atomik adalah unsur-dasar penyusun bahasa.

Proposisi yang semakin kompleks merepresentasikan fakta yang lebih kompleks disebut 'proposisi-molekular' dan 'fakta-molekular'. Proposisi-proposisi itu disusun oleh proposisi-proposisi-atomik yang berhubungan-bersama melalui penghubung-fungsi-kebenaran seperti 'dan', 'atau' dan 'tidak/bukan' ( 'and' , 'or' , 'not' ).

Suatu penghubung-fungsi-kebenaran adalah salah-satu yang melakukan kombinasi terhadap unsur-unsur proposisi sedemikian rupa sehingga nilai-kebenaran masing-masing unsur ( yaitu status benar atau salah pada masing-masing unsur ) benar-benar menentukan nilai-kebenaran dari proposisi-molekular yang dihasilkannya.

Sebagai contoh, nilai-kebenaran dari sebuah proposisi dalam bentuk 'bukan-p' dapat dicirikan melalui nilai-kebenaran dari 'p', ----dan oleh karena itu proposisi ditinjau sebagai 'ditentukan-oleh'----, karena :

jika 'p' adalah benar maka 'bukan-p' adalah salah, dan jika 'p' adalah salah maka 'bukan-p' adalah benar.

Begitu juga, sebuah proposisi dalam bentuk 'p dan q' akan benar :
jika dan hanya-jika unsur-unsur proposisi 'p' dan 'q' adalah benar pada dirinya.

Logika pada Principia Mathematica sepenuhnya merupakan fungsi-kebenaran, sehingga hanya menerima proposisi-proposisi-molekular yang memiliki nilai-kebenaran yang ditentukan oleh unsur-unsur-atomik penyusunnya.

Oleh karena itu, seperti yang telah diteliti Russell dalam pengantar edisi kedua Principia, ia menyatakan :

" pada semua proposisi-proposisi-atomik yang benar, bersama semua fakta yang direpresentasikan, secara teoritis, setiap proposisi-lain yang bernilai-benar dapat dideduksikan melalui metode-metode logika. " (Russell 1925, xv).

Asumsi yang sama ----disebut dengan tesis fungsionalitas-kebenaran atau tesis ekstensionalitas---- berada dibalik Tractatus Logico-Philosophicus dari Wittgeinstein.

Seperti disebutkan sebelumnya, Tractatus dari Wittgenstein telah terbukti sebagai ekspresi dari logika-atomisme yang paling berpengaruh. Tractatus diorganisasi disekitar tujuh-proposisi, berikut adalah tujuh-proposisi dalam Tractatus yang diambil dari translasi tahun 1922 oleh C.K. Ogden :

1. Dunia adalah segalanya, itu benar.
2. Apa yang benar adalah fakta, yaitu eksistensi dari fakta-fakta-atomik.
3. Gambar-logis dari fakta-fakta adalah pikiran (thought).
4. Suatu pikiran (thought) adalah proposisi yang memiliki makna.
5. Proposisi-proposisi merupakan fungsi-fungsi-kebenaran dari proposisi-proposisi-dasar ( sebuah proposisi-dasar adalah sebuah fungsi-kebenaran pada dirinya-sendiri ).
6. Bentuk-umum suatu fungsi-kebenaran adalah... merupakan bentuk-umum dari suatu proposisi.
7. Jika terhadap sesuatu seseorang tidak dapat mengatakan apapun, maka ia harus diam ( tidak mengatakan apapun mengenainya ).

Tractatus terdiri lapisan-lapisan bertingkat dalam penjelasan-runut yang mendalam dan rinci terhadap tujuh-proposisi di atas ( poin 1 dijelaskan secara rinci dengan poin 1.1 yang dijelaskan rinci dengan 1.11, 1.12 dan 1.13 dan seterusnya ) ----kecuali untuk poin 7 yang berdiri sendiri.

Proposisi 1 dan 2 menetapkan sisi-metafisis dari logika-atomisme :
" Dunia bukanlah apa-apa selain suatu fakta-fakta-atomik yang kompleks. "

Proposisi 3 dan 4 menetapkan isomorfisme antara bahasa dan realitas :
Suatu proposisi yang bermakna ( penuh-makna ) adalah suatu 'gambar-logis' dari fakta-fakta yang menyusun sekaligus menjadi bagian suatu kondisi-yang-mungkin atau kondisi-aktual yang menjadi acuan proposisi bernilai-benar.

Gambar-logis yang dimaksud adalah suatu gambar dalam pengertian bahwa struktur dari proposisi adalah identik dengan struktur dari fakta-fakta-atomik yang dirujuk olehnya.

Secara kebetulan,  disinilah kita mendapat pernyataan eksplisit pertama terhadap karakteristik pandangan meta-filosofis dari filsafat-analitik pada masa-masa awal perkembangannya :

" Semua filsafat adalah suatu 'kritik bahasa'... " (4.0031)

Proposisi 5 menyatakan tesis fungsionalitas-kebenaran, yaitu pandangan bahwa semua proposisi-kompleks dibangun dari proposisi-atomik yang dihubungkan oleh penghubung-penghubung fungsi-kebenaran dan bahwa proposisi-atomik adalah fungsi-kebenaran pada dirinya-sendiri.

Bahkan proposisi-proposisi yang dinyatakan dalam-ukuran secara eksistensial ( dikuantifikasikan ) dipandang sebagai penghubung-yang-panjang antara proposisi-atomik yang berbeda-beda.

Karena telah diketahui bahwa logika fungsi-kebenaran tidak memadai untuk menangkap semua fenomena dari dunia, atau paling-tidak, jika terdapat sebuah sistem fungsi-kebenaran yang memadai, kita belum menemukannya juga hingga sekarang ini. Maka fenomena tertentu tampak menolak karakterisasi fungsi-kebenaran, sebagai contoh :  fakta-fakta moral adalah problematis.

Mengetahui apakah unsur-penyusun dari proposisi 'p' adalah benar, tidak tampak memberitahu kita apakah 'memang seharusnya proposisi p' adalah benar.

Problematika yang sama terdapat pada fakta-fakta mengenai pikiran, kepercayaan dan kondisi mental lainnya ( seperti yang ditangkap dalam pernyataan ' John percaya bahwa...' ) dan fakta-fakta modal ( yang ditangkap dalam pernyataan-pernyataan tentang kepastian atau kemungkinan suatu kondisi-tertentu pada saat-tertentu yang-harus-dipenuhi agar proposisi bernilai-benar )

Dan memperlakukan penentu-ukuran eksistensial sebagai penghubung-yanh-panjang tampak tidak memadai untuk fakta-fakta dengan jumlah tak-terbatas / tak-berhingga ( infinit ) karena pasti terdapat lebih-banyak bilangan-nyata ( real ) daripada nama-nama yang tersedia untuk menyebutnya bahkan bila kita bersedia menerima penghubung-panjang yang tak-terbatas / tak-berhingga.

Harapan bahwa logika fungsi-kebenaran akan membuktikan dengan memadai untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan itu telah memberi inspirasi suatu cabang-pemikiran-yang-baik dalam tradisi analitik, khususnya selama paruh-pertama abad 20. Harapan ini terlatak pada jantung logika-atomisme.

Dalam bentuk-penuhnya, proposisi 6 memasukan sejumlah simbolisme-yang-tidak-umum, yang tidak dijelaskan disini. Namun semua itu untuk memberi sebuah rumusan-umum terhadap penciptaan proposisi-proposisi-molekuler dengan memberi bentuk-umum kepada sebuah fungsi-kebenaran. Pada dasarnya, Wittgenstein mengatakan bahwa semua proposisi-proposisi adalah merupakan fungsi-kebenaran dan pada akhirnya hanya terdapat satu-jenis fungsi-kebenaran.

Principia Mathematica telah bekerja menggunakan sejumlah penghubung-fungsi-kebenaran : 'dan' , 'atau' , 'tidak/bukan' ( 'and' , 'or' , 'not' ) dan sebagainya.

Namun, dalam tahun 1913 seorang ahli logika bernama Henry Sheffer menunjukan bahwa proposisi-proposisi yang melibatkan penghubung-penghubung-itu dapat dianalisa dan disusun-ulang ( re-frase ) sebagai proposisi yang melibatkan suatu penghubung-tunggal yang tersusun dalam sebuah negasi terhadap sebuah penghubung ( konjungsi ).

Ini disebut penghubung 'not and' atau 'nand' dan telah menjadi equivalen dengan rumusan-bahasa-biasa bukan-keduanya baik x maupun y ('not both x and y'). Penghubung itu, biasa disimbolkan dengan sebuah garis-vertikal-pendek (|) yang disebut Garis-Sheffer ( Sheffer Stroke ).

Meskipun Wittgenstein menggunakan simbolisme yang khas miliknya, ini adalah operasi yang diidentifikasi dalam proposisi 6 dan beberapa bahasan-detailnya ketika menunjukan bentuk-umum dari suatu fungsi-kebenaran.

Mengganti pluralitas-penghubung yang ada dalam Principia dengan penghubung 'nand' dilakukan untuk mencapai sistem-minimalistik-ekstrim ----semua yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menyusun sebuah gambar / deskripsi yang lengkap dari dunia adalah suatu penghubung-tunggal fungsi-kebenaran yang diterapkan secara berulang kepada satu set dari semua proposisi-proposisi atomik.

Proposisi 7, yang berdiri sendiri adalah puncak dari rangkaian pengamatan yang dilakukan sepanjang Tractatus dan khususnya dalam penjelasan yang mendalam pada Proposisi 6.

Sepanjang pembahasan dalam Tractatus terdapat perbedaan pengertian antara 'menunjukan' (showing) dan 'mengatakan' (saying).

Mengatakan (saying) adalah sebuah persoalan mengekspresikan suatu proposisi yang memiliki makna ( penuh-makna ).

Menunjukan (showing) adalah sebuah persoalan menyajikan sesuatu semacam-bentuk atau struktur. Oleh karena itu, ketika Wittgenstein mengamati pada penjelasan 4.022 ia menyatakan :

" Suatu proposisi menunjukan (shows) pengertiannya. Suatu proposisi menunjukan (showing) bagaimana sesuatu dipenuhi/dicapai jika proposisi itu adalah benar. Dan itu mengatakan (saying) bahwa sesuatu-itu benar-benar dipenuhi/dicapai. "

Dalam pengantar Tractatus Wittgenstein menunjukan bahwa tujuannya yang paling penting adalah menetapkan kriteria dan batas-batas terhadap 'mengatakan (saying) dengan penuh-makna'.

Aspek struktural dari bahasa dan dunia ----aspek-aspek itu yang 'ditunjukan (shown)'---- adalah melewati batas-batas 'mengatakan (saying) dengan penuh-makna'.

Menurut Wittgenstein, proposisi-proposisi dalam logika dan matematika adalah murni-strukural dan oleh karena itu tanpa-makna ----proposisi dalam logika dan matematika menunjukan bentuk dari semua proposisi / kondisi yang menjadi acuan proposisi bernilai-benar yang mungkin tetapi proposisi-proposisi itu bukanlah gambar kondisi pada dirinya-sendiri oleh karena itu mereka tidak mengatakan apapun.

Ini memiliki kensekuensi yang aneh bahwa proposisi-proposisi dalam Tractatus sendiri seharusnya mengenai logika adalah tanpa-makna. Sehingga diktum yang terkenal pada penjelasan 6.54:

" Proposisi-proposisi saya menjadi lebih jelas dengan cara ini : dia yang mengerti aku pada akhirnya mengenali proposisi-proposisi-itu tidak-bisa-dimengerti, ketika dia telah memanjat melalui proposisi-proposisi-itu, berada di atas, melewati proposisi-proposisi-itu. ( dia juga harus berbicara melempar tangga setelah dia memanjatnya ). Dia harus melampaui proposisi-proposisi ini dan kemudian dia akan melihat dunia dengan benar. "

Meski tanpa-makna, proposisi-proposisi dalam logika dan matematika adalah bukan tidak-bisa-dimengerti. Proposisi-proposisi itu setidaknya memiliki keutamaan dengan menunjukan sruktur-esensial pada semua-fakta-yang-mungkin.

Di sisi lain, terdapat penggabungan kata-kata, proposisi-proposisi yang tidak 'menunjukan' (showing) atau tidak 'mengatakan' (saying) apapun dan karenanya tidak terkait dengan realitas melalui cara apapun.

Proposisi-proposisi seperti itu tidak hanya tanpa-makna, mereka adalah tidak-bisa-dimengerti. Diantara proposisi-proposisi yang-tidak-bisa-dimengerti termasuk di dalamnya banyak pernyataan pernyataan filsafat-tradisional yang mengartikulasikan persoalan dan solusi filsafat-tradisional khususnya dalam metafisika dan etika.

Ini adalah konsekuensi dari anggapan Wittgenstein bahwa kepenuhan-makna bagaimanapun terhubung dan terkait dengan dunia-fenomena yang diselidiki ilmu alam ( cf. 4.11 ff ). Sehingga seperti yang diakui olehnya dalam penjelasan 6.53 :

Metode yang benar dalam filsafat akan benar-benar menjadi berikut ini :

" untuk tidak mengatakan apapun kecuali apa yang bisa dikatakan itulah proposisi-proposisi dari ilmu-alam ---sesuatu yang tidak terkait dengan filsafat--- dan kemudian, ketika seseorang bermaksud mengatakan sesuatu yang bersifat metafisis, untuk mendemonstrasikan kepadanya bahwa ia telah gagal memberikan sebuah-makna kepada tanda-tanda tertentu dalam proposisi-proposisinya. "

Dari mata penciptanya ( seperti yang diakui dalam Pengantarnya ), capaian sesungguhnya dari Tractatus adalah telah menyelesaikan bukan sekedar meleburkan, semua persoalan filsafat-tradisional dengan menunjukan bahwa di dalam filsafat-tradisional terdapat persoalan 'tanpa-makna' yang sulit dan membingungkan, yang dihasilkan oleh suatu kegagalan memahami batas-batas mengenai wacana yang penuh-makna.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH2d
Pemahaman Pribadi