Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, April 29, 2016

Pusaka Guruku


Saat ingin baik, justru tersiksa. Ketika ingin semua orang menganggapmu baik, kau terbelenggu. Biar, biarkan mereka menilaimu sebagai manusia. Engkau memang bukan dewa atau berhala ! Dipundakmu terbebani dosa, seperti yang manusia lain bawa. Jiwamu terbelah dua.

Perang, setiap saat kau berperang. Engkau berharap menjadi pahlawan dengan darah berlumuran di ujung pedang. Tapi awas nafsu licik dan licin. Saat kau khilaf, ia menikammu dari belakang. Engkaupun tersungkur bersimbah darah. Berbondong bondong mereka menangkapmu berbuat dosa. Hati berbulu ! Jiwa kotor ! Dan sejuta kata lain meluncur tajam dari lidah yang kejam.

Engkau kalah itu wajar. Karena kau dikeroyok pengecut pengecut yang berbalik menyerangmu. Manusia manusia yang menilai dirinya terlalu tinggi karena berharap dianggap mulia. Manusia yang tak mampu melihat dirinya. Manusia manusia munafik yang sudah bertekuk lutut. Budak menghamba nafsu.

Engkau kalah, harus diakui. Engkau terluka, kau rasakan. Tapi jangan lupa, masih kau genggam erat pedang itu. Kau masih sanggup berdiri. Engkaukan bangkit waspada dan berani. Asahlah pedang biar tajam. Dan sebentar lagi kemenangan pastilah menjelang. Kembali ke medan perang dengan menghunus pedang. Kau lihat samping, depan, atas dan belakang. Semua penghianat sudah terlihat. Semua musuh siap kau gasak. Gali saja liang kubur yang banyak karena korban segera berserak. Dari depan, samping, atas dan belakang musuh musuh bergelimpangan. Kini semua musuh terkapar meratap. Kau rebut kembali tahta dirimu. Nafsu menyembahmu. Bersimpuh, mengiba ramuan penyembuh luka. Sedang kau masih tertawa. Menatap kilauan pedangmu. Mengusap pedang kemenanganmu. Pedang ketulusan ! Pusaka dari guruku.


Pulo Nangka, 9 November 2003



Kau



Ada, tak ada kau
Semua biasa
Tapi sialan !
Kulirik, kau punya badan

Gemuruh dada, menyala merah
Hati mengental, meradang menanah
Sampai luka tak berasa
Kau tak juga menyapa

Ada, tak ada kau 
Semua biasa
Tapi sialan !
Aku tak bisa !


Pulo Nangka, 17 Juni 2002



Kuning


Wajah menyeruak
Sendiri menyeringai
Kuning gigi itu, menyilaukan
Memalsukan darah, kepedihan masa lalu

Dari balik kemuraman
Berpendar keserakahan
Kemenangan semu, kebanggaan maya menari nari
Bergelak tawa, lalu terbahak

Kuning kembali berkilau
Memukau
Menyilaukan
Memalsukan !

Awas ! Jangan kau dekati !
Lihatlah dengan hati
Kuning itu bukan emas
Coba kau cermati !


Pulo Nangka, 21 April 2006


Temanku


Malam diantara bintang bintang, gaung ketulusanmu menggema dari masa lalu. Kebaikanmu membuat hatiku malu. Kau pandang aku dewa, tapi aku tak peduli denganmu.Kau letakan diriku di puncak kemuliaan, tapi aku selalu merendahkanmu. Kau tak perlu diagungkan, kau tak butuh ditinggikan karena kau sudah berdiri kokoh di atas keluhuran.

Aku yang penuh kotoran berdiri angkuh dihadapanmu, tapi matamu bersinar lembut seolah aku salju tak tersentuh. Hatiku yang penuh kemunafikan, kau pandang seolah kain kafan. Lalu kapan ? Kapan ?! Kau anggap aku sebagai manusia ?

Aku rasa tidak pernah !


Pulo Nangka, 17 Agustus 2003



Thursday, April 28, 2016

Tempat Itu


Tiba tiba aku merindu tempat itu. Dengan keremangannya, bayang bayangnya atau danau yang membuatku lega. Rumput basah serta aroma yang menusuk dari kotoran yang terbuang, kembali mengundangku. Pagi yang gelap, rerimbunan pohon, debu yang tak tampak serta air yang tenang memang teman setiaku. Dengan diam mereka menampung perasaan dan semua kegelisahanku. Kesabaran yang tak terperi.

Aku harus mengunjungi tempat itu ! Esok akan kusapa mereka tapi tak kukabarkan isi hatiku. Aku hanya duduk bersama mereka. Dalam senyap sekalipun. Cukuplah membuatku nyaman daripada di tengah manusia yang selalu riuh membuat keruh. Sengaja atau tidak, tempat ini telah menyiksaku. Begitu banyak rayuan menghantu sementara batinku kian melayu. Lemah dan pasrah. Tak kuasa juga diri melawan. Diriku terseret deras arus menuju laut ketinggian hati. Ingin kurengkuh batu, berenang menepi, lalu kuraih dahan yang mengulurkan tangan.

Kembali ke daratan dengan wajah menunduk

Merebahkan diri ke tanah
Berdiri tanpa membusungkan dada
Melangkahkan kaki kerendahan hati


Pulo Nangka, 22 Januari 2004


Wednesday, April 27, 2016

Jiwa Bebas


Jiwa-Bebas pernahkah mendengar ? Merasakan ? Ketika terbebas dari ikatan, dimana tidak ada perasaan. Sakit, bahagia, derita bukan lagi kenyataan. Berdiri di atas ketinggian yang dari sana menatap segala ombak dan badai kehidupan. Dingin seolah semua telah terlewati. Hitam di sekeliling tak membuat mata gulita. Hati ! Di hati hidup cahaya yang mengubah semua menjadi terang. Gelap-pun terbakar. Semua indah berpendar. Menatap teduh ke bawah, di kejauhan dimana orang orang memburu kebahagiaan. Belenggu-Berbunga yang membuat sesak setiap waktu.

Jiwa-Bebas tak mengharap bahagia. Jiwa-Bebas mendapat setiap waktu tanpa berburu. Bagaimana derita ? Jiwa-Bebas siap meninggalkan. Tanpa kenangan. Tanpa ada luka menganga. Jiwa-Bebas tak perlu menghindar atau sembunyi. Derita diundang tapi Jiwa-Bebas tak pernah mengenal siapa yang datang. Bahagia ? Derita ? Baginya tiada berbeda. Jiwa-Bebas tak kenal keduanya. Sikapnya sama tanpa diminta. Tak perlu berusaha semua berlalu begitu saja.

Jiwa-Bebas menetap di ketinggian sana. Tersenyum dingin tanpa rasa. Maka janganlah engkau membencinya karena yang kau dapat sia sia belaka. Lepaskan saja Belenggu-Berbunga, lempar jauh ke dasar sana. Berbaliklah ! Putarlah Jiwa ! Datanglah segera ke atas sana lalu duduk di sampingnya. Tapi Ahh...sungguh sayang ! Engkau tak mampu mendaki. Ternyata kau tak punya lilin apalagi nyali. Jangan ! Jangan kau lakukan ! Kau akan tersesat di kegelapan, terhempas dalam kepedihan. Kau butuh pertolongan tapi tak ada seorangpun di dekatmu. Engkau butuh bantuan tapi semua orang menghilang darimu. Kau tenggelam lalu ditelan amat kejam. Nestapa sepanjang jalan.

Jiwa-Bebas bisa memandangmu tapi kau tak kuasa melihatnya. Jiwa-Bebas bisa menyakitimu tapi percuma kau menyiksanya. Biar. Biarlah dia menuruni lembah iba. Menghampiri yang terlunta dan buta. Bila kau bersua dengannya dekap erat tangannya. Dengar alunan nafasnya. Peluklah dia. Bersimpuhlah padanya. Dengarlah bisikannya, " Percuma kau dekati aku...!"

Sunday, April 24, 2016

The Revenant - Dendam Itu Milik Tuhan


Hugh Glass sosok yang nyaris lengkap, ia kuat secara fisik dan batin, memegang teguh nilai moral, dan memahami alam dimana ia menjalani hidup. Orang baik, yang dibekali ketrampilan berburu, penguasaan situasi dan penjelajahan wilayah. Juga ilmu bertarung dan kemampuan mempertahankan diri yang mumpuni. Namun ia hanyalah anggota biasa dalam sebuah kelompok penjelajah dan pemburu kulit binatang. Status biasa dengan kemampuan berlebih dilereng pegunungan Rocky Montain. 

Terlihat begitu jelas ketika gerombolan suku Indian tiba tiba menyerbu perkemahan mereka, sikap dan kemampuannya, berperan besar menyelamatkan kawan kawannya dengan mengarahkan mereka menuju kapal menyusuri sungai Missouri. Dialah satu satunya anggota yang memahami hutan, pohon, sungai, batu, bukit dan tebing tebing di Rocky Montain. Hingga Kapten Henry begitu percaya padanya untuk memandu kelompoknya lepas dari kejaran suku Indian Arikara, mereka menyebutnya Ree. Demikian pula ketika dengan tenang, Ia menghadapi sikap Fitzgerald yang meragukan kemampuannya serta menghina keberadaan dan masa lalunya. Alih alih meladeni, Dia justru mengajari anak satu satunya --Hawk-- bagaimana menghadapi orang seperti Fitzgerald yang sinis, tamak, pendengki, opurtunis, licik dan egois. Ia menunjukan bagaimana melalui kehidupan yang keras bersama orang semacam itu.

Glass gambaran orang baik pada umumnya, Ia setia kawan dan melindungi teman temannya. Matanya waspada sementara yang lain tertidur lelap melepas lelah. Ketika bahaya mengancam Dialah yang pertama menyadari. Di tengah malam yang buta, tiba tiba insting tajamnya menyala, dengan sigap Ia bergerak, lalu mengendap, menyusup diantara semak, menyelinap di sela dedaunan dan batang pohon yang besar menjulang, memastikan situasi aman bagi kawan kawannya. Ia khawatir Indian Ree yang sedang mencari anak perempuannya berhasil menyusul mereka. Ia cemas akan datangnya anak panah yang berterbangan membabi buta membantai teman temannya. Sial, alam yang liar dan tak terduga justru menampakan diri. Seekor beruang grizzly menerkamnya, Dia pun berduel mempertahankan diri. Hanya kelihaian yang membuatnya memenangkan pertarungan tak seimbang itu. Beruang grizzly menemui ajal diatas tubuhnya yang penuh luka, tercabik dan robek. Sementara Ia terkapar tak berdaya. Lunglai, lumpuh dan sekarat.

Kondisi Glass berbalik, kini Ia lemah. Yang biasa menjaga dan melindungi sekarang hanya mampu mengedipkan mata. Dia menjadi beban teman temannya. Medan berat, keadaan alam yang liar dan ganas ditambah badai salju serta Indian Ree yang terus memburu seakan hantu yang mengikuti sepanjang jalan. Perjalanan menuju Pos masih jauh ditempuh sedang kondisi Glass tak kunjung membaik. Tandunya dianggap memperlambat gerak, anggota yang lain merasa terancam oleh kejaran Indian Ree yang bergerak cepat. Yang lain menyimpulkan kesiasiaan menyelamatkan jiwanya. Sang Kapten akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya. Dengan bijak Kapten Henry menawarkan pada anggotanya yang bersedia menemani Hawk yang tidak mungkin meninggalkan ayahnya. Pesan terakhirnya adalah jika sudah sampai waktunya kuburlah Dia dengan layak. Mereka menyiapkan liang kubur untuk Glass.

Dalam kondisi seperti itu Fitzgerald memanfaatkan situasi, Ia menerima tawaran Sang Kapten. Sifat tamak dan liciknya mengincar imbalan yang besar dengan perhitungan ajal segera menjemput Glass. Sementara Bridge menerima dengan sukarela mengingat kebaikan Glass di masa lalu. Ia berniat menjaga hingga nafas terakhir berhembus. Hari demi hari berlalu, Glass bertahan dengan nafas satu satu. Ajal dilawan dengan semangat hidup dan batin yang kuat. Keadaan yang membuat Fitzgerald gelisah dalam ketidak pastian. Diam diam Ia menyusun rencana. Ia bermaksud menghabisi Glass agar dia segera kembali ke Pos lalu berfoya foya menikmati uang yang berlimpah. Ketika Hawk dan Bridge sibuk menyiapkan kebutuhan mereka, Ia menyelinap diam diam lalu membekap Glass untuk menghentikan nafasnya. Hawk yang memergoki perbuatan itu berusaha melindungi ayahnya. Ia berteriak kencang memanggil Bridge, Fitzgerald hilang kontrol, Dia berbalik menyerang Hawk dan menelikungnya. Terdesak di pohon Hawk terus berteriak hingga tajamnya belati menghujam ke ulu hati dan membungkam mulutnya. Glass melihat anak tersayangnya meregang nyawa oleh tusukan yang bertubi tubi. Matanya terbelalak tak berdaya. Glass tak mampu membela. Tubuhnya terikat. Ia menahan pedih menatap tubuh anaknya dibuang seenaknya. Badan dan batinnya terkoyak.

Fitzgerald selanjutnya mengatur strategi mengelabui Bridge. Ia khawatir tewasnya Hawk diketahui oleh Bridge. Sebelum Bridge menyadari yang terjadi dengan cepat Dia beraksi. Dengan nafas tersengal Ia berlari kearah Bridge yang sedang merawat Glass, Ia berteriak panik seolah melihat puluhan Indian Ree mengepung mereka. Dia memaksa Bridge untuk bergegas menyelamatkan diri dengan meninggalkan Glass, tapi Bridge menolak. Ia merasa tak bermoral meninggalkan Glass dalam keadaan hidup dan mati. Fitzgerald terus menekan dan meyakinkan bahwa nyawa mereka terancam. Dia menganggap Glass menghambat mereka untuk menyelamatkan diri. Diapun menyeret tubuh Glass yang terikat, melemparkan ke liang kubur, menimbun dengan tanah lalu berlalu seolah nyawanya diujung tanduk. Bingung dan ragu, Bridge terpaksa mengikuti. Dengan mengucap maaf berkali kali ia pun meninggalkan Glass dibawah timbunan tanah bersama sekantong minuman.

Sendiri dalam liang kubur Glass terus berjuang, orang orang yang dicintainya lalu lalang dalam ingatanya. Wajah dan petuah petuah mereka membakar semangat, kekuatan sedikit demi sedikit terhimpun. Glass akhirnya sadar. Ia bangkit dengan tubuh lemah merayap keluar dari liang kubur. Susah payah Ia mendekati mayat anaknya yang membeku terkubur salju lalu merangkulnya. Dibawah badai hatinya bersumpah membalas kematian anaknya. Dengan segenap kemampuan, ia berusaha bertahan. Badai salju ia lewati dengan berani, rasa lapar ia lalui bersama srigala, rasa sakit dan dingin ia hadapi sendiri, alam ditaklukan dengan panasnya darah dendam. Merayap, merangkak, terseok, berjalan sempoyongan hingga hanyut terbawa derasnya arus sungai ia jalani demi mengejar orang yang telah merenggut nyawa anaknya.

Setelah bermil mil menempuh perjalanan yang melelahkan dan menyiksa Glass bertemu dengan seorang Indian Pawnee. Melihat kondisi yang lemah dan terluka parah, Si Indian mencoba mengobati. Kepada Si Indian Glass mencurahkan isi hatinya tentang hidup yang dilalui dan dendam yang harus dituntaskan. Si Indian menangkap murka dibalik rautnya yang kotor penuh debu. Dendam menyala nyala dari sorot matanya yang tajam. Ia iba melihat penderitaan Glass, Ia pun mengungkapkan hidupnya yang tak kalah mengerikan, kekejaman yang jauh melebihi apa yang dirasakan Glass. Namun Ia menyampaikan seolah hal yang tak berarti. Hal yang biasa dalam hidup. Dengan membelakangi wajah Glass, Ia berkata datar.
"Mereka membunuh keluargaku."
"Membakar tempat tinggalku."
"Semua tak tersisa."
"Tapi dendam milik Tuhan !"
Ia mengakhiri ucapannya dengan penuh keyakinan. Tak peduli apakah kata katanya diperhatikan atau tidak. Glass hanya terbengong lalu menunduk mencoba mengerti. Keesok harinya, ia menemukan tubuh Si Indian tergantung disebuah pohon. Kelompok penjelajah lain membunuhnya dengan keji. Kalimat terakhirnya mengiang kembali. Tetapi dendam telah lama menjadi daging, kebencian menjadi darah yang menggumpal, murka membakar jiwanya. Petuah petuah menghilang dalam kegelapan. Glass tak bergeming. Bagaimanapun Ia harus mencapai Pos, mencari Si Bangsat dan mencincangnya. Alam tampaknya memberi jalan padanya.Setelah berkali kali lolos ditelan maut, Kini Dia berdiri dipinggir perbatasan. Gerbang Pos segera dibuka beberapa orang berlari tergesa menjemputnya. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah  "Dimana Dia ?! Dimana Fitzgerald !",  Glass ingin segera menuntaskan dendamnya. Tapi tubuhnya terjatuh karena lelah.

Seperti para pengecut, Fitzgerald lari tunggang langgang. Ia menghindari hukuman gantung karena melakukan pengkhianatan. Glass yang setengah pulih mengejarnya, Ia tahu kemana Fitzgerald hendak bersembunyi. Kembali ke tempat gelap dimana ketakutan berasal, demikian menurutnya. Glass kembali menuju hutan memburunya. Diatas ketinggian, diantara dinginnya salju dan hembusan angin mereka berhadap hadapan. Saling hantam, saling tikam, berguling guling saling cekik dan menyakiti. Hingga akhirnya Fitgerald terkapar tak berdaya, Fitzgerald menyeringai, suaranya yang berat meluapkan kebencian. Dengan menatap tajam Dia menantang Glass untuk menyelesaikan urusannya.
 "Ayo puaskan dendammu, bunuhlah aku !"
"Itu juga tak membuat anakmu kembali bukan ?!"
Glass terhenyak sesaat, sejenak Ia tertegun, Petuah Si Indian Pawnee bergaung keras dalam dadanya. Serta merta Ia melempar tubuh Fitzgerald yang penuh luka ke sungai. Glass menyerahkan pembalasan dendamnya pada aliran sungai, pada alam, pada Tuhan !

Dari tepi dia menatap tubuh itu mengarah pada sekelompok Indian yang sedang menyeberang. Teriakan "Manusia Jahat !" berulang kali bersahutan ke angkasa. Lalu bertubi tubi para Indian itu, melemparkan tombak ke arah tubuh Fitzgerald yang mengapung. Sungaipun bersimbah darah. Fitzgerald tewas melalui 'dendam' yang dipilih Tuhan.



Kelapa Gading, 25 April 2016