Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, November 14, 2020

Filsafat Sejarah 4 : Era Pencerahan Dan Romantisisme


Berlawanan dengan pesimisme Vico, filsafat-sejarah pada abad 18 M berlanjut dengan gagasan-gagasan (ideal-ideal) 'pencerahan' tentang perubahan-moral dan kekuatan-akal.

Karya Voltaire (1694-1778) Essay on the Customs and the Spirit of the Nations (1756), dalam pengertian frase 'filsafat-sejarah' adalah yang pertama dimaksud, karya itu telah dianggap usaha pertama kali sejak Herodotus untuk menulis sebuah sejarah kebudayaan-dunia secara komprehensif dalam sebuah kerangka non-kristianitas dan non-teleologikal.

Sejarah sosial-dan-kebudayaan digantikan oleh 'sejarah-militer-dan-politik' yang secara umum melewati batas-batas relijius-dan-pengaruh-Eropa, dimaksudkan untuk menunjukan tatanan kondisi kemajuan spiritual-dan-moralitas kemanusiaan.

Untuk menyingkirkan lebih jauh pengaruh-Eropa yang dipandang bias-kristianitas ---yang secara khusus ditampilkan dalam eskatologi-modern dari Jacques Bénigne Bossuet (1627-1704)--- Voltaire adalah pemikir utama modern yang menekankan kontribusi-kontribusi Arab kepada kebudayaan dunia.

Sesuai dengan nafas-pencerahan, Voltaire meyakini bahwa obat terbaik bagi intoleransi-dan-kecurigaan cukup hanya dengan kebenaran, yaitu merupakan temuan terbaik yang dicapai melalui kerja-objektif para-sejarawan dengan dokumen-dokumen asli, tidak pernah menggunakan ideologi yang mengulang ketetapan-ketetapan dari otoritas/penguasa.

Namun permohonan maaf Voltaire karena penulisan-sejarah yang 'tidak-bias', menunjukan sikap Voltaire lebih mengkhianati daripada membuat jelas gagasan-gagasan pada era-nya.

Perbedaan-perbedaan antara pandangan-pandangan dunia eskatologi-kristianitas dengan pandangan pengetahuan-ilmiah-rasional pada masa hidupnya secara ringkas dinilai sebagai perkembangan maju sedang kerusakan-kerusakan abad-pertengahan mengenai era-kuno (sejarah) jelas merepresentasikan sebuah penurunan.

Bagi Voltaire, era-akal merupakan standar untuk menilai era-lain dan masyarakat/bangsa-lain, meskipun dapat dikatakan sedikit yang dapat dicapai.

Antoine-Nicolas de Condorcet (1743-1794) secara terbuka mempermalukan gerakan progresivisme-pencerahan. Seperti Voltaire pada karyanya Sketch for a Historical Picture of the Progress of the Human Mind (diterbitkan secara anumerta pada tahun 1795) memandang masa-lalu sebagai suatu gerak-maju-akal, namun yang lebih optimistik yaitu tentang gerak-maju yang tak terelakan dari gagasan-gagasan liberal seperti kebebasan-berbicara, pemerintahan-demokratis, persamaan hak-memilih-dipilih, pendidikan dan kesejahteraan.

Inti dari sejarah bukan hanya deskripsi tentang gerak-maju ini. Karena gerak-maju sepenuhnya mengikuti hukum dan bersifat universal, sejarah juga bersifat prediktif, dan apa yang lebih, mengartikulasikan suatu tugas bagi institusi-institusi politik untuk bekerja menuju semacam kualitas-kesetaraan, yang bagaimanapun gerak-teratur sejarah akan mengantarkan ke sana.

Para-sejarawan tidak hanya memberi kritik terhadap era-nya, tetapi juga memberi suatu tanda-tanda era akan datang. Berpengaruh luas terhadap revolusi perancis Condorcet, juga menciptakan suatu kesan penting pada sistemisasi filosofi-sejarah dari Saint-Simon, Hegel, dan Marx, begitu juga meletakan cetak-biru pertama untuk studi sistematik mengenai 'sejarah-sosial' yang dipopulerkan oleh Comte, Weber, and Durkheim.

Yang kurang revolusioner adalah karya dari Immanuel Kant (1724-1804) Idea of a Universal History from a Cosmopolitan Point of View (1784).

Kant memulai dari pandangan-pencerahan tentang sejarah sebagai suatu derap langkah-teratur dari gerak-maju-akal-dan-kebebasan yang progresif. Namun dengan dasar epistemologi-nya, Kant tidak-dapat berasumsi ---seperti yang dilakukan Voltaire dan Condorcet--- bahwa gerak-maju-teleologikal dari sejarah secara empiris dapat dibuktikan keberadaanya di masa-lalu.

Gerak-maju-teleologikal bukanlah suatu fakta yang dapat di-demonstrasi-kan (ditunjukan-kebenarannya secara faktual), tetapi suatu kondisi yang diperlukan bagi makna-masa-lalu untuk menempatkan gerak-maju-teleologikal sebagai suatu gagasan-pengatur yang membuat kita dapat men-justifikasi kemunculan 'setan-setan ' yang telah bersemi dalam sejarah disamping karakter umum penciptaan yang baik dan penuh kasih secara keseluruhan.

Peperangan, kelaparan-dan-kematian serta bencana-alam yang dapat dikenali dalam sejarah harus dilihat sebagai perangkat-alam, yang membimbing masyarakat menuju hubungan-hubungan peradaban yang baik, yang pada akhirnya memaksimalkan kebebasan-dan-keadilan.

Sejarah mengungkap kebudayaan-manusia sebagai suatu alat yang digunakan alam mencapai keadaan-damai terus menerus di dalam semua pengejaran spiritual dari umat manusia.

Johann Gottfried Herder (1744-1803) adalah kunci dalam perubahan secara umum dari penulisan-sejarah-pencerahan menuju penulisan-sejarah-romantik.

Gagasan-gagasannya dituangkan dalam Philosophy of History of Humanity (1784-91) menggemakan pendapat yang telah dinyatakan oleh Vico bahwa tidak-ada fakultas-mental-tunggal dalam akal-manusia bagi semua-orang pada semua-waktu, melainkan bentuk-rasionalitas yang berbeda bagi beragam-kebudayaan yang ditentukan oleh waktu dan tempat tertentu di dunia.

Meski Herder menerima pemahaman Vico tentang perkembangan yang pasti, ia menolak penekanan-pencerahan kepada rasionalitas-dan-kebebasan sebagai alat-ukurnya.

Herder juga membuang kecenderungan-pencerahan untuk menilai masa-lalu dengan menggunakan sorotan masa-kini, yang tidak menimbang betapa rasional-nya kita memandang-diri kita saat ini.

Ini merupakan hasil dari keyakinan-dasar yang dimilikinya bahwa setiap kebudayaan suatu bangsa memiliki nilai-historis yang sama.

Daya-hidup-rohani dari alam menuntun semua mahluk-hidup dalam pola-teratur semenjak kelahiran hingga kematiannya.

Persis seperti masa kanak-kanak dan masa-tua adalah sama-pentingnya terhadap perkembangan pribadi seorang manusia, memiliki nilai tepat dalam dirinya dan oleh karenanya tidak seharusnya dinilai lebih-rendah dari sudut pandang masa-dewasa, begitu juga pada suatu karakter-bangsa adalah memiliki manfaat dan penting terhadap perkembangan bangsa secara keseluruhan.

Herder tidak hanya menolak universalisme-pencerahan dari Kant, tetapi juga alat-alat epistemologis yang digunakan untuk mencapai suatu pemahaman tentang masyarakat/bangsa kuno.

Sangatlah jelas, Herder menemukan bahwa pada rasionalitas-pencerahan tidak ada bukti empiris atau demonstrasi-rasionalis terhadap pola-perkembangan-organik.

Meskipun demikian, kita tidak juga harus meletakan gerak-maju-teleologikal hanya sebagai suatu prinsip-prinsip pengatur dari akal.

Pemahaman terhadap masyarakat masa-lalu dan beragam-kebudayaan dengan sendirinya tidak dikomunikasikan secara penuh-dan-menyeluruh melalui dokumen-dokumen mereka sedemikian hingga akan terbuka terhadap analisis-historis atau kritisisme sumber-sumber sejarah.

Para sejarawan hanya menangkap hakekat-roh dalam suatu masyarakat/bangsa melalui suatu pemahaman simpatetik ---yang disebut oleh Herder Einfühlen--- terhadap kehidupan-batin mereka dengan analogi kehidupan-batin dirinya.

Para sejarawan 'merasa caranya masuk ke dalam' suatu masyarakat/bangsa dan masanya, untuk berupaya menangkap secara simpatik mengapa mereka mengambil pilihan-pilihan yang mereka telah lakukan.

Para penulis-sejarah Romantik sangat kuat dipandu oleh gagasan Herder bahwa definisi suatu masyarakat/bangsa lebih terletak dalam roh-kehidupan-batin daripada batasan-batasan formal/legal-nya.

Legenda-legenda masyhur karya Grims bersaudara, juga Sejarah nasionalistik dari Macaulay (1800-1859) dengan karyanya the Wilhelm Tell (1804), penjelasan panjang rangkaian peristiwa sejarah karya dari Friedrich Schiller (1759-1805), J.W.v. Goethe’s (1749-1832) Goetz von Berlichingen (1773), epik-epik terjemahan the Beowulf (1818), dan loncatan dari sejarah yang menegaskan betapa pentingnya kebudayaan-kebudayaan minoritas Russio-slavic seperti the Estonian Kalevipoeg (1853) atau the Armenian Sasuntzi Davit (1873) masing-masing berupaya menghidupkan kembali dan menyatukan kebudayaan masa-kini di bawah bendera sebuah masa-lalu yang sama.

Para sejarawan Romantik juga mengikuti Herder dalam keyakinan mereka bahwa karakter-bangsa ini, tidak dapat dikenali keberadaan-nya hanya melalui analisis yang hati-hati dan detail terhadap catatan-catatan dokumen dan arsip.

Para-sejarawan harus mempunyai pemahaman yang menyeluruh terhadap perjalanan sejarah dari suatu masyarakat/bangsa persis seperti seorang pemain-drama mengungkapkan kesatuan-karakter melalui setiap episode-episode individual.

Hampir tanpa fakta-fakta rangkaian-peristiwa yang terputus, narasi para-sejarawan yang menceritakan masa-lalu harus mengkomunikasikan sebuah pemahaman tentang roh daripada informasi-objektif.

Dan hanya mereka yang 'menghirup udara suatu masyarakat atau jaman' memiliki semacam pemahaman-simpatik yang memadai untuk melakukan interpretasi dengan benar.

Potensi penyimpangan-penyimpangan penulisan-sejarah Romantisisme-nasionalistik ---dengan sendirinya penulisan-sejarah Romantisisme-nasionalistik cenderung mengarah ke sana--- memiliki suatu pengaruh yang menentukan kepada tiga arus utama filsafat-sejarah dalam abad 19 M.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H3
Pemahaman Pribadi



Monday, November 9, 2020

Filsafat Sejarah 3 : Humanisme Dalam Era Renaissance


Karya Petrarch (1304-1374 M) berjudul 'De secreto conflict curarum mearum' (1347-1353) berpendapat bahwa para intelektual-sekuler yang mengejar pengetahuan, ---diantaranya sejarah--- tidak-perlu membahayakan/merusak spiritualitas.

Lingkaran para pengikutnya mengungkap dan merestorasi kumpulan teks-teks-kuno dalam jumlah-besar, banyak diantaranya tidak-pernah terbayangkan selama milenium sebelumnya, diantaranya sejarah tentang Cicero, Livy, Tacitus, dan Varro.

Pada awal abad 15 M, bidang-bidang pengetahuan yang digeluti universitas-universitas humanis telah meluas dari inti-skolastik-nya menjadi melingkupi retorika, puisi dan di atas semuanya sejarah.

Dan dengan perhatian lebih-besar mereka kepada hal-hal dan bangsa/masyarakat dalam dunia-alam meningkatkan fokus perhatian kepada 'sejarah-politik' daripada kepada narasi-narasi besar religius. Selaras dengan itu, tidak lagi memusatkan-perhatian kepada kebangkitan-Kristus, tetapi keruntuhan-Roma.

Dan di sini, pelajaran sejarah bukanlah tentang suatu penurunan-moral yang terus terjadi, melainkan suatu harapan yang memahami model-model kehidupan sosial-politik-kuno akan menciptakan ruang semacam masa-kejayaan-sekuler.

Dengan fokus baru kepada urusan-manusia terjadi peningkatan perhatian kepada catatan-catatan dan bukti-bukti alami yang tertulis.

Dipersenjatai dengan harta-karun artefak-sastra-sekular yang baru diungkap, karya-karya Leonardo Bruni (1370-1444) dan Flavio Biondo (1392-1463) berisi serangan pertama menuju kritisisme-modern terhadap sumber-sumber penjelasan sejarah dan tuntutan mengenai dokumentasi bukti-bukti sejarah.

Dan bagi Bruni, karyanya 'History of the Florentine People' (1415-1439) (Sejarah Masyarakat/Bangsa Florentina), cerita yang disampaikan bukanlah suatu pandangan spiritual-atau-moral, namun suatu sejarah tentang perkembangan kebebasan-politik yang alamiah di Floren.

Namun pandangan di atas masih kurang nasionalis daripada pandangan Desiderius Erasmus yang juga menuntut agar para-sejarawan menelusuri kembali sumber-sumber mereka ke asli-nya, tidak hanya terkait dengan dokumen-dokumen resmi pemerintahan namun juga dengan artefak-artefak kebudayaan.

Dan itu berarti penyelidikan 'semangat-religius' yang terkandung dalam 'sejarah-sakral' dengan perangkat 'humanisme-renaisance'. Penerjemahan kedalam bahasa Latin dan Yunani terhadap Perjanjian-Baru olehnya adalah monumen-monumen penulisan-sejarah-akademis dan menjadi alat untuk gerakan-Reformasi.

Bagi Erasmus, sejarah menjadi suatu alat kritik terhadap kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan interpretasi-modern mengenai kemuliaan-masa-lalu dan suatu perangkat untuk menyingkap kebenaran terhadap kesalah-pahaman-yang-panjang mengenai bangsa/masyarakat, gagasan dan peristiwa-peristiwa.

Namun meski para penulis sejarah sebelumnya merenungkan secara mendalam usaha-usahanya, orang-pertama yang mendapat gelar filsuf-sejarah adalah Giambattista Vico (1668-1744 M).

Dialah yang pertama berpendapat tentang suatu 'proses-sejarah-umum' yang memandu perjalanan bangsa-bangsa dan berbagai masyarakat. Dalam karyanya 'Scienza Nuova', ia menulis :

" Ilmu-pengetahuan kita oleh karenanya datang untuk mendeskripsikan secara bersamaan suatu 'sejarah-kekal-yang-ideal' yang melewati semua-jaman dengan 'sejarah-setiap-bangsa/masyarakat' dalam kebangkitan, perkembangan, kedewasaan, penurunan dan keruntuhan-nya. Memang kita melangkah terlalu-jauh, seperti untuk menyatakan bahwa siapapun yang me-mediasi ilmu-pengetahuan-ilmiah ini mengatakan pada dirinya, bahwa 'sejarah-kekal-yang-ideal' ini sejauh ia membuatnya dengan bukti-bukti itu 'telah, harus dan akan ada'. Prinsip yang tidak-diragukan di atas, pertama meletakan bahwa dunia bangsa/masyarakat ini pastilah diciptakan oleh manusia dan karena itu cara-representasi-nya dapat ditemukan di dalam modifikasi-modifikasi-pikiran kita sebagai manusia. Dan sejarah tidak dapat lebih-pasti daripada ketika manusia yang menciptakan hal-hal itu juga mendeskripsikan-nya. " (Vico 1948, 104)

Filsafat-sejarah Vico mengikuti postulat-epistemologi-nya bahwa untuk mengetahui sesuatu/hal secara penuh mensyaratkan pemahaman bagaimana sesuatu/hal itu menjadi ada (proses bagaimana diciptakan).

Kebenaran adalah persis dengan apa yang telah dicipta, diekspresikan dalam bahasa latin olehnya sebagai 'Verum esse ipsum factum' (seseorang dapat mengetahui kebenaran tentang suatu/hal yang diciptakan olehnya).

Karena objek-objek alam tidak diciptakan oleh ilmuwan yang mempelajarinya, maka hingga tingkatan tertentu sifatnya harus tetap misterius (tidak-diketahui).

Tetapi sejarah umat-manusia, karena objek-objeknya dan penelitinya adalah satu-dan-sama yaitu manusia-sendiri, mempunyai suatu keuntungan metodologis dalam prinsip-prinsipnya.

Pemisahan antara ilmu-pengetahuan-alam dan ilmu-tentang-manusia berada dalam kesadaran yang bertentangan dengan 'universalitas-metodologis' yang dikemukakan oleh Descartes dan pemisahan-itu menjadi penting bagi para filsuf Post-Kantian abad 19 M dan kemudian bagi para Idealis-Inggris.

Vico juga mengajukan pendapat bahwa pikiran-pikiran kebudayaan pada era-nya berbeda dengan pikiran-pikiran primitiv nenek-moyang mereka.

Sementara para pemikir abad 18 M termasuk dirinya membentuk 'konsep-abstrak' dan 'proposisi-universal', bagi para nenek-moyang primitiv 'gambaran-gambaran dan suara-suara individual' menunjuk langsung kepada acuan hal/benda-nyata.

Sementara bagi para filsuf Post-Kantian 'petir' adalah sebuah simbol atau metafor bagi Zeus, bagi Vico imajiner-puitis 'petir' sesungguhnya adalah Zeus yang sebenarnya. Untuk merekonstruksi dengan sempurna baik mental/batin maupun sejarah dengan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas-pengetahuan-ilmiah atau penulisan-sejarah-pencerahan adalah tidak-mungkin. Sebuah pengetahuan-ilmiah-baru mengenai imajinasi diperlukan, sesuatu yang dapat menangkap-kembali secara simbolis bentuk-bentuk mental/batin bangsa/masyarakat masa-lalu dan menyatukan kembali emosi-emosi mereka.

Karena pandangan-pandangan epistemologis ini, Vico adalah orang pertama yang meletakkan perbedaan-era didalamnya terjadi rangkaian peristiwa-besar sejarah yang dilalui oleh semua bangsa/masyarakat yang berkembang, yang disebabkan oleh 'skema/pola-logis yang menyeluruh' (universal).

Setiap tahapan dari perkembangan suatu bangsa/masyarakat menghasilkan sebuah kepercayaan-baru terhadap sistem hukum-alamiah, pemakaian-bahasa dan lembaga-lembaga-pengatur.

Adalah 'suatu-kekuatan' yang menyebabkan transisi pada setiap bangsa/masyarakat dari suatu 'Era-Dewa/Tuhan', yaitu ketika bangsa/masyarakat mempercayai diri-mereka diatur secara langsung melalui pesan-pesan Sang-Dewa/Ilahi dan berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh objek-langsung penerima, kepada 'Era-Kepahlawanan' ketika para aristokrat menguasai rakyat-biasa sebagai hamba melalui suatu 'superioritas-kekuatan-kodrati' mereka dan berbicara dengan gambaran-gambaran metaforis dan kemudian ke 'Era-Manusia' ketika masyarakat berkomunikasi dengan 'generalitas-abstrak' dan mengasumsikan keduanya sebuah 'persamaan-umum' dalam ikatan-ikatan sosial mereka dan sebuah 'pemahaman-abstrak-tentang-keadilan' dengannya mereka diatur.

Adalah takdir kita sebagai umat-manusia dalam setiap bangsa/masyarakat untuk melewati 'jalan-utama-parade' sejarah, ini merupakan gerak-maju kapasitas-mental/batin dari suatu dengan kualitas-tidak-nyata (fantasia) menjadi suatu perenungan/pemikiran yang dalam (refleksi) terhadap realitas.

Pada akhirnya 'Era-Akal-dan-Peradaban' yang ideal tidak pernah dicapai. Pada kondisi kita yang paling-beradab, sejarah memutar diri kembali dalam suatu ‘keberulangan’ menuju ‘barbarisme-kedua’. Di sini, di dalam 'barbarisme-refleksi', dibantu oleh birokrasi-sipil, bahasa-tipu-daya, dan akal-licik, hasrat kita tidak-dibatasi oleh cara-cara dan adat-kebiasaan menonjol dalam 'Era-Dewa/Tuhan' atau 'Era-Kepahlawanan' hingga satu-titik dimana masyarakat-sipil meruntuhkan dirinya sebelum kembali ke siklus-kedua sejarah.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H2
Pemahaman Pribadi



Friday, November 6, 2020

Filsafat Sejarah 2 : Era Yunani-Kuno Hingga Abad-Pertengahan


Upaya untuk menurunkan/menarik/mengambil/memperoleh makna dari masa-lalu berumur sama-tuanya dengan kebudayaan itu sendiri. Pemahaman yang sesungguhnya tentang suatu kebudayaan bergantung pada sebuah keyakinan kepada kesamaan-sejarah bahwa anggota-anggota dalam suatu kebudayaan mengakui diri mereka berbagi/memiliki makna-yang-sama. Apakah makna-itu merupakan suatu interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sebagai hasil-campur-tangan (intervensi) 'sang-ilahi' atau apakah makna-itu merupakan 'makna-sekuler' yang menyatukan sejumlah keluarga atau bangsa/masyarakat, sejarah selalu merupakan semacam lem-perekat bagi sebuah struktur-dasar kebudayaan.

Filsafat-sejarah 'ilmiah' pertama yang dapat diperdebatkan ---filsafat-sejarah yang dicirikan dengan suatu usaha untuk menjadi tidak-bias, didasarkan pada kesaksian, komprehensif, dan tidak-dibebani strukur-prediktif yang besar--- dilakukan oleh 'Bapak-Sejarah' yaitu Herodotus (484-425 BC).

Kata 'History' (sejarah) berasal dari pemakaian kata 'Historia' untuk mendefinisikan 'penyelidikan' atau 'penelitian' yang dilakukan olehnya :

" Herodotus dari Helicarnassus, disini penyelidikan-nya dilakukan untuk melestarikan ingatan tentang masa-lalu dengan meletakan pada catatan mengenai capaian-capaian menakjubkan baik bangsa/masyarakat Yunani maupun non-Yunani dan lebih khusus, untuk menunjukan bagaimana dua-ras bangsa/masyarakat menjadi terlibat dalam konflik. " (Herodotus, Histories I.1,1)

Untuk mencapai karakterisasi-komprehensif tentang dunia Yunani dan non-Yunani, penelitian Herodotus bergantung pada tradisi-tradisi lisan (oral) dari para pendahulunya yang seringkali luar-biasa. Namun sesuatu ia korbankan terhadap fakta-fakta yang dapat dikonfirmasi, ia menyusun-nya dengan penjelasan-deskripsi kehidupan sehari-hari. Semua cerita betapapun tidak-masuk-akal dicatat tanpa penilaian-moral karena masing-masing cerita itu merefleksikan keyakinan-keyakinan pada saat itu dalam sebuah bangsa/masyarakat, semuanya patut untuk diketahui.

Meski Yunani dan Roma menghasilkan sejumlah sejarawan dan pencatat-peristiwa tidak ada seorangpun yang lebih komprehensif dan lebih berpengaruh daripada Thucydides (460-395 BC).

Seperti Herodotus, Thucydides memandang sejarah sebagai suatu sumber-pelajaran mengenai bagaimana bangsa/masyarakat cenderung bertingkah-laku. Dan seperti Herodotus, Thucydides juga memperhatikan bagaimana pertimbangan-pertimbangan-metodologis membentuk pandangan-pandangan kita terhadap masa-lalu.

Namun demikian, Thucydides bersikap kritis terhadap Herodotus karena gagal untuk mengangkat penjelasan yang cukup objektif.

" Mendengar sejarah ini diceritakan, sejauh itu tanpa hal-hal yang menakjubkan, mungkin memang tidak sepenuhnya menyenangkan. Tetapi siapapun yang berkeinginan untuk menyelidiki kebenaran (hakikat) hal-hal yang telah-terjadi dan yang mengacu pada karakter-manusia mungkin dapat terjadi-lagi atau setidaknya mendekati, akan cukup untuk membuat penyelidikan itu bermanfaat. " (Thucydides, The Peloponnesian War I, 22).

Untuk memperbaiki catatan Herodotus yang tidak-kritis (kurang-objektif), pertama Thucydides membatasi penyelidikannya kepada pelaku-pelaku-utama perang Peloponnesia yaitu para jendral-dan-gubernur yang memutuskan apa yang harus dilakukan daripada masyarakat-biasa yang hanya mampu berspekulasi tentang suatu peristiwa.

Pelajaran yang bisa dipetik bukanlah sekedar keberagaman-perilaku-kebudayaan belaka tetapi tipologi-karakter dari para-pelaku dan tindakan-tindakan mereka, yang akan berperan sebagai semacam pedoman untuk memandu-perilaku di masa-depan karena tindakan-tindakan sepertinya berulang dengan sendirinya.

Kedua, Thucydides memperlakukan bukti-bukti yang dimiliki dengan penuh-keraguan (skeptisisme). Dia mengaku tidak menerima desas-desus atau dugaan, dan hanya mengakui bukti-bukti yang secara personal dilihatnya atau bukti-lain yang sudah terkonfirmasi oleh banyak sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Thucydides adalah orang pertama yang menggunakan sikap-kritis terhadap sumber-sumber dalam dokumentasi pengumpulan bukti-bukti sejarah. Perkataan-panjang dan mengekspresikan dengan baik yang bersumber dari berbagai-pihak hanya dipertahankan dibawah sumpah bahwa mereka mengikuti sedekat-mungkin sesuai dengan maksud dari pembicara yang mereka duga.

Dengan memudarnya era klasik Yunani-kuno terjadi penurunan paradigma-ilmiah pada sejarah.

Praktek-praktek religius dari 'sejarah-sakral' (sejarah diceritakan kembali dengan tujuan untuk menanamkan suatu keyakinan yang dapat didasarkan pada fakta atau tidak) dalam dunia Yahudi-Kristen dan Islam, meski seringkali menafsirkan peristiwa-peristiwa-kunci yang sama dengan cara yang sangat berbeda, memiliki prinsip-prinsip 'meta-historis' yang sama.

Masa-lalu tidak dipelajari demi kebenaran yang bebas-kepentingan semata, tetapi dalam harapan tentang pencapaian sebuah ikatan antara 'rencana-ilahi' dan suatu perjalanan bangsa/masyarakat terpilih di dunia.

Dalam pengertian itu, sejumlah sejarawan non-fundamentalis dari masing-masing kepercayaan menghargai teks-teks-sakral mereka sebagai dokumen penuh-makna yang dimaksudkan untuk pertimbangan dalam sorotan masa-sekarang dan apa yang diyakini oleh penulisnya menjadi masa-depan bersama.

Di bawah permukaan rangkaian peristiwa seperti banjir, wabah, panen yang baik dan penguasa yang baik-hati terlihat suatu pelajaran moral-dan-spiritual yang diberikan Tuhan kepada suatu bangsa/masyarakat, yang merupakan tugas para-sejarawan untuk menghubungkan keduanya. Seperti dinyatakan dengan jelas dalam Al-Quran :

" Dalam sejarah mereka, terdapat suatu pelajaran bagi mereka yang berakal. "(Qu’ran 12:111).

Diantara para penulis sejarah pada awal abad pertengahan yang paling mendalam, tidak diragukan lagi adalah Augustine (354 C-430 C).

Berlawanan dengan Thucydides yang bermaksud menunjukan keberulangan elemen-elemen-tipikal dari masa-lalu, Augustine menekankan kepada 'linearitas' dari sejarah sebagai suatu bagian dari ajaran Kristianitas mengenai hari-akhir, pengungkapan kepastian rencana-abadi-Tuhan dalam suatu keteraturan-waktu perjalanan sejarah.

Karyanya 'Kota-Tuhan' (City of God, 413-26 C) mencirikan kehidupan dan bangsa-bangsa sebagai suatu penebusan-panjang terhadap dosa-asal yang mencapai puncaknya pada kebangkitan-Kristus.

Sejak itu dan seterusnya, sejarah menjadi suatu catatan tentang perjuangan yang melibatkan antara orang-yang-terpilih dalam 'Kota-Tuhan' (City of God) dan para pemberontak yang mencintai-diri yang hidup di dalam 'Kota-Manusia' (City of Men).

Karena waktu adalah linear, peristiwa-peristiwa kunci didalamnya adalah unik dan tidak bisa diganggu gugat :

Jatuhnya Adam ke dunia, kelahiran-dan-kematian Yesus dan kebangkitan-nya semua menggerakan sejarah bersama-sama menuju pengadilan-akhir dengan keteraturan yang sempurna.

'Sejarah-sakral' oleh karenanya cenderung memberi suatu narasi yang melingkupi segalanya mengenai makna-eksistensi-manusia, baik sebagai sebuah tragedi maupun sebuah pernyataan tentang harapan dalam penebusan kelak di masa-depan.

Di samping status-resmi ajaran gereja hampir di sepanjang dunia abad pertengahan, manifestasi pengaruhnya membentang sepanjang tradisi hermeneutis, begitu pula kepada para filsuf sejarah-teologis pada abad 19.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H1
Pemahaman Pribadi



Thursday, November 5, 2020

Filsafat Sejarah 1 : Pengantar


Pengantar

Sejarah adalah studi mengenai masa-lalu dalam segala-bentuknya. Filsafat-sejarah mengkaji dasar-dasar-teoritis terhadap praktek, penerapan dan konsekuensi-konsekuensi sosial dari sejarah dan penulisan-sejarah. Filsafat-sejarah mirip/sama dengan wilayah studi-studi yang lain ---seperti filsafat ilmu-pengetahuan atau filsafat agama--- terutama dalam dua-hal.

Pertama, filsafat-sejarah menggunakan teori-teori terbaik dalam wilayah-wilayah inti filsafat seperti metafisika, epistemologi, dan etika yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat masa-lalu dan bagaimana kita bisa mengetahui/memahami-nya.

Apakah masa-lalu berjalan dengan cara yang acak atau dipandu oleh beberapa prinsip-aturan, bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dan objek-objek masa-lalu, bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah dapat dipandang sesuai hubungan sebab-akibat dari peristiwa yang satu ke yang lain dan bagaimana menilai kesaksian dan bukti-bukti sejarah.

Kedua, seperti halnya wilayah studi-studi yang lain, filsafat-sejarah meneliti persoalan-persoalan yang unik pada subjek bahasan-nya. Sejarah tidak menelisik tentang hal-hal-apa melainkan bagaimana-hal-hal itu menjadi seperti adanya. Sejarah memusatkan perhatian pada suatu keunikan daripada suatu yang umum. Penggeraknya paling sering adalah orang yang bertindak karena sebuah jenis dorongan-batin daripada dorongan murni-kekuatan-kekuatan fisik. Objek-objeknya tidak dapat diteliti secara langsung, dan harus dimediasi dengan (menggunakan-perantara) bukti-bukti. Persoalan ini dan banyak lagi persoalan yang spesisifik dengan masa-lalu telah dan terus dipelajari serta diperdebatkan sepanjang filsafat itu sendiri ada.

Artikel ini menyajikan sejarah mengenai filsafat-sejarah dari masa Yunani-kuno hingga sekarang ini, dengan menekankan secara khusus pada beragam filsafat-sejarah pada abad 19 dan pada pemisahan antara Kontinental dan Anglophone atau filsafat-sejarah Analitik pada abad 20.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/
Pemahaman Pribadi