Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, December 27, 2020

Filsafat Sejarah 6 : Penulisan Sejarah Ilmiah Abad 19 M


Mungkin ketidak-puasan yang paling-umum terhadap pemikiran sejarah Hegelian adalah sistem-sistem-spekulatif mereka, telah mengabaikan fakta-fakta-empiris sejarah.

Sampai taraf tertentu, ini menjelaskan pembagian/pemisahan --yang baru pada abad 19 M--- antara filsuf-sejarah dengan para sejarawan-praktisi, yang mereka sendiri para sejarawan-praktisi seringkali cukup-reflektif kepada persoalan-persoalan filosofis dalam disiplin ilmu mereka.

Friedrich August Wolf (1759-1824), orang pertama yang masuk ke dalam jajaran akademisi Jerman sebagai seorang filologis-klasik, adalah contoh dalam hal ini (sejarawan-praktisi).

Meski lebih-terpusat pada sejarawan Religius dan Romantik, Wolf menolak secara umum sistem-sistem-teleologikal melaui tuntutannya bahwa interpretasi didasarkan pada sebuah-kombinasi antara pengertian-yang-komprehensif dalam konteks-keseluruhan terhadap suatu era-sejarah-partikular dan juga perhatian-yang-ketat terhadap detail-detail bukti tekstual.

Karya Wolf Prolegomena zu Homer 1795, adalah sebuah landmark dalam kritisisme-sumber-sejarah dan upaya-modern yang pertama untuk memperlakukan sejarah sebagai suatu pengetahuan-ilmiah-murni/asli.

Sementara para sejarawan Romantik berusaha mengambil aspek holistik-dan-intuitif dari Wolf, pengaruh dari metodologi-ketatnya dimiliki pula oleh dua-aliran-pemikiran pesaingnya mengenai kemungkinan pengetahuan terhadap masa-kuno yaitu aliran sprachphilologen dan sachphilologen

J.G.J. Hermann (1772-1848), memimpin aliran sprachphilologen di Leipzig bersama dengan pengikutnya Karl Lachmann (1793-1851) dan Moritz Haupt (1808-1874).

Bagi mereka, pengetahuan tentang masa-kuno secara prinsip menyangkut kepada kondisi-kemampuan-nya untuk dapat diverifikasi (dibuktikan secara faktual).

Karena pendapat apapun mengenai apa yang 'dimaksud' oleh Plato, Euripides, atau Caesar mensyaratkan suatu demonstrasi-pembuktian terhadap ucapan-ucapan (kata-kata) mereka yang aktual, tugas para-filologis secara prinsip harus memperhatikan dengan pelekatan suatu edisi/bagian dari teks/tulisan mereka yang sesempurna-mungkin.

Pada abad 21, warisan sprachphilologie dapat dilihat pada sebuah tradisi 'edisi-kritis' dalam suatu karya dari para pengarangnya. Sachphilologen menerima tuntutan kritis-yang-ketat tetapi menolak bahwa pengetahuan kita tentang masa-kuno harus dibatasi dengan teks-teks tertulis.

August Boeckh (1785-1867), F.G. Welcker (1784-1868), dan Karl Otfried Müller (1797-1840) menerima secara serius metode-kritis Wolf, tetapi melemparkan sebuah jaring yang lebih-luas untuk menggabungkan/memasukan artefak, seni dan kebudayaan.

Jika bukti-bukti kuat/ketat dikorbankan, dengan demikian maka itu dibalas/diganti kembali dengan pengertian yang lebih-komprehensif terhadap kehidupan-asli masa-kuno.

Meskipun kadang-kala diremehkan oleh para-sejarawan yang menggeluti penulisan-sejarah, perdebatan ini membangkitkan dua-kelompok penyebaran bidang-bidang yang berpengaruh luas :

Tuntutan sprachphilologie terhadap bukti-bukti-ketat adalah suatu tanda-tanda penulisan-sejarah 'ilmiah' pada pertengahan abad 19 dan 20 M

Holisme dari sachphilologie meletakan landasan pada karya-karya serius dalam arkeologi, anthropologi, epigraph, numismatika dan sejumlah disiplin sejarah lainnya.

Apa yang telah dilakukan Wolf untuk filologi, dilakukan oleh Leopold von Ranke (1795-18860) pada penulisan-sejarah secara umum.

Meski memunculkan perdebatan, pendapatnya yang terkenal bahwa para sejarawan tidak-harus menginterpretasikan masa-lalu secara subjektif tetapi merepresentasikan-nya 'seperti apa adanya', menjadi lomba-teriakan bagi para sejarawan-praktisi untuk menolak bangunan sistem Hegelian dan narasi-narasi Romantik.

Dan dimana Wolf mencari karakter 'ilmiah' sejarah melalui kemampuan dapat-didemonstrasikan bukti-bukti-nya, Ranke dan para propaganda seperti Heinrich von Sybel (1817-1895) mencari-nya pada karakter yang tidak-disukai oleh para peneliti-nya.

Seorang sejarawan, seharusnya menjadi sebuah cermin-yang-bening bagi masa-lalu, tanpa bias-bias, tujuan-tujuan politik dan antusiasme religius yang mendistorsi gambaran masa-lalu yang nyata dan asli.

Dalam menentang masa-masa Hegelian dan Marxist menurut sejumlah kriteria-apriori, Ranke berpihak pada Herder dalam mempercayai 'setiap masa adalah semakin dekat dengan Tuhan'

Untuk mencegah generalisasi kecurigaan dan reaksi tergesa-gesa, para sejarawan harus merasa tidak-nyaman terhadap kabar-kabar burung namun bekerja secara intensif dengan dokumen-dokumen dan catatan-catatan arsip yang resmi.

Namun demikian, dalam abad 20 dan dengan tokoh-tokoh yang beragam seperti .H. Carr (1892-1982) dan Walter Benjamin (1892-1940), harapan Ranke terhadap objektivitas-empiris telah dikarakterisasikan sebagai realis-naif atau lain-nya sebagai contoh-ironis bagaimana dunia Barat, Kristen, keistimewaan secara ekonomis dan sudut-pandang-lelaki menyamar sebagai objektivitas.

Aliran pemikiran Annales dari Perancis (The French Annales School) dipimpin oleh Fernand Braudel (1902-1985), mencari jawaban untuk menghadapi/melayani tantangan ini ketika melakukan restorasi terhadap pandangan Rankean tentang penulisan-sejarah yang objektif.

Pertengahan tahun 1800-an menunjukan kemunculan kelompok lain teoritis-teoritis-sejarah yang perhatian-nya secara prinsip untuk menunjukan bahwa karakter-ilmiah pada penulisan-sejarah menggunakan pemakaian logika yang sama dengan penjelasan yang digunakan oleh para ilmuwan pengetahuan-alam.

Auguste Comte (1798-1857), pendiri positivisme, menimbang sejarah menjadi semacam 'fisika-sosial', yang membatasi penjelasan kepada relasi-relasi antara fenomena yang dapat diamati.

Pendapat apapun yang merangkul 'hakekat esensi' dibalik data-empiris dilarang sebagai suatu keterlibatan metafisika-spekulatif.

Melalui penelitian empiris saja kita dapat menemukan hukum-alam yang mengatur perubahan sejarah.

Karya Henry Thomas Buckle (1821-1862 History of Civilization in England (1857) membuat jadi-jelas bahwa hukum-hukum ini tidak-dapat ditentukan secara filosofis atau dengan gagasan-teologis tentang kehendak sang-ilahi yang sudah ada sebelumnya, namun dapat dideskripsikan secara statistik sesuai dengan metode-metode empiris ilmu pengatahuan-alam.

Kemajuan yang paling komprehenif dalam logika penelitian sejarah muncul pada saat itu dari John Stuart Mill (1806-1873).

Bahkan ketika dia menolak hipotesa-reduktif-yang-berlebihan bahwa semua manusia dituntun hanya oleh kesenangan-dan-penderitaan, John Stuart Mill tetap mempertahankan kemungkinan penemuan hukum-hukum-perilaku yang akan membuat kita dapat untuk menyimpulkan/memperoleh makna tindakan-tindakan partikular dan memperkirakan masa-depan setidaknya dengan tingkat kepastian tertentu:

" Kesamaan-kesamaan pada eksistensi-bersama yang ditemukan/diperoleh diantara fenomena yang merupakan efek-efek dari penyebab-penyebab, pasti merupakan konsekuensi dari hukum-hukum sebab-akibat dengan-nya fenomena sesungguhnya ditentukan. […] Oleh karena itu, masalah dasar bagi sosial-sain adalah untuk menemukan hukum-hukum yang menurutnya apapun keadaan suatu masyarakat memproduksi keadaan yang terus melanjutkan-nya dan menggantikan-nya. " (Mill 1843, 631)

Disamping membatasi penjelasan-penjelasan mereka kepada hal-empiris, banyak para positivis memegang keyakinan bahwa sejarah adalah bergerak-maju sebagai suatu aturan-hukum yang pasti dalam terma-terma perkembangan moral dan intelektualnya.

"Hukum tiga-tahap" dari Comte, sebagai contoh, berpegangan bahwa pikiran-manusia dan melalui ekstensi institusi-institusi kebudayaan yang dihasilkan dari-nya mengikuti suatu perkembangan-ketat dari suatu pandangan-teologis terhadap berbagai-hal menuju pandangan-metafisis dan pada akhirnya kepada pandangan-ilmiah (saintifik).

Banyak para kritikus dipenuhi-emosi bahwa dalam cara-ini Comte sedikit lebih baik dari Hegel dalam meletakan suatu struktur yang melingkupi-seluruh peristiwa dan semangat tertentu mengenai kemajuan manusia.

Namun demikian, penegasan Comte bahwa hukum-hukum empiris dapat dideduksikan/disimpulkan dari dan dapat memperkirakan perilaku manusia mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan sosiologi dan psikologi-sosial, khususnya dalam tulisan Émile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920), begitu juga terhadap penjelasan-positivisme abad ke 20.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H5
Pemahaman Pribadi



Sunday, December 6, 2020

Filsafat Sejarah 5 : Sistem Teleologikal Abad 19 M


Nama G.W.F. Hegel (1770-1831 M) nyaris sinonim dengan filsafat-sejarah dalam dua-pengertian, kedua-pengertian itu tertangkap dalam sebuah frase yang dinyatakan olehnya:

" Terkait dengan sejarah, satu-satunya pemikiran yang turut dibawa serta filsafat adalah pemikiran-sederhana tentang akal-budi. Pemikiran bahwa akal-budi mengatur dunia dan bahwa oleh karenanya sejarah-dunia menjadi rasional dalam jalur yang dilaluinya ." (Hegel 1988, 12f).

Sejarah mengungkapkan dirinya mengikuti suatu rencana-rasional dan kita dapat mengetahui rencana-ini secara tepat karena pikiran (akal) yang memeriksanya mengungkapkan diri dari kepastian-pengetahuan-langsung-indrawi (pengertian pertama melalui indra) menuju pengetahuan-absolut dalam suatu pola-teleologikal yang teratur.

Proses yang sama yang mengatur gerak-sejarah, juga mengatur karakter spekulasi-filosofis yang terkandung (inheren) di dalam momen-momen sejarah-itu.

Dan pada era spekulasi-filosofis, kita dapat memahami gerak-keseluruhan dari sejarah sebagai sebuah proses-rasional pengungkapan-kesadaran akan sebuah kebebasan-rasional yang selalu makin-besar.

Suatu hakekat penjelasan terhadap keseluruhan-realitas, yang dengan sendirinya hanya sebuah upaya filsafat, harus menimbang segala yang nyata adalah nyata sejauh itu dapat dipahami dengan akal-budi ketika ia mengungkapkan dirinya melalui perjalanan-sejarah yang pasti. Akal-budi bagi Hegel adalah kenyataan itu sendiri dan keduanya akal-budi dan kenyataan dipahami sebagai kesejarahan.

Rangkaian kuliah Hegel dalam karyanya the Introduction to the Philosophy of History (dipublikasikan secara anumerta pada tahun 1837) adalah semacam eskatologi-sekuler, didalamnya perjalanan-realitas dipikirkan/dipandang sebagai sebuah era-evolusi-tunggal menuju terjadinya suatu keadaan-akhir yang sudah ada dan pasti.

Ini dikenali melalui suatu pengungkapan-kesadaran yang makin meningkat sesuai dengan rencana-rasional yang sama itu.

Ketika Hegel menurunkan agama menjadi suatu tempat-pelayanan menuju pengetahuan-absolut dalam karyanya Phenomenology of Spirit (1807), dengan demikian Hegel juga mengganti konsepsi sejarah-sakral dengan pengungkapan-fenomenologis dari akal-budi.

Pandangan Hegel terhadap struktur-umum pengungkapan akal-budi dan sejarah mengarah kepada konsekuensi-konsekuensi yang spesifik dalam penulisan-sejarah teleologikal-nya.

Akal-budi terdiri dari kesadaran-akan-kontradiksi dan peng-ekspresian-nya melalui tindakan-tindakan sintesis spekulatif yang menghasilkan sebuah pengakuan-diri yang makin besar.

Secara analogi, perkembangan sejarah tersusun dalam suatu struktur pertentangan-pertentangan yang bergerak-maju dan ekspresi-ekspresi sintesa-nya yang pasti, yang selalu menuju kepada semakin meningkatnya kesadaran-diri akan kebebasan.

Gerak-pasti itu diilustrasikan dalam penjelasannya terhadap tiga rangkaian-peristiwa sejarah-dunia

Dalam masa-kuno, hanya para penguasa-lalim yang bebas, kebebasan-nya hanya terdiri dari kebiadaban yang sewenang-wenang dari kehendak-nya. Masyarakat terkungkung dalam batasan identitas negara-dan-agama.

Perlawanan terhadap penguasa-lalim dan subjek-subjeknya sampai taraf tertentu muncul dari pengakuan bangsa Roma dan Yunani terhadap kewarga-negaraan, yang dibawahnya kebebasan-individual memahami dirinya dibatasi oleh kehormatan yang melampaui dan berada di atas hukum-hukum negara.

Tetap saja, dalam dunia-kuno sebagian besar orang tidak-bebas. Hanya dalam ikatan pengakuan seorang Kristian terhadap kesucian-hidup dan definisi liberal-modern tentang moralitas yang terkandung (inheren) dalam hubungan antar-manusia (inter-subjek) dan rasionalitas yang menjamin kebebasan bagi semua-manusia.

" Melalui kristianitas, orang-orang Jerman adalah yang pertama mencapai kesadaran bahwa setiap manusia adalah bebas karena keberadaan-nya sebagai manusia dan bahwa kebebasan-roh menyusun sifat kemanusiaan kita. " (Hegel 1988, 21).

Pemikiran-pemikiran Hegel telah dan terus menarik, begitu juga pemikiran-pemikiran dari banyak pengikutnya. Para pengikut-awal kita dapat menyebut Thomas Carlyle (1795-1881) dan aliran sejarah dari Basel seperti J.J. Bachofen (1815-1887), Jacob Burckhardt (1818-1897), dan Friedrich Nietzsche (1844-1900) muda.

Apa yang menyatukan mereka adalah sebuah keyakinan yang sama bahwa penulisan-sejarah harus menyoroti daripada menyembunyikan/mengaburkan capaian-capaian individual dibawah slogan kepastian gerak-maju-rasional, suatu cemoohan yang umum kepada proses-sejarah apapun yang mengangkat tentang keberuntungan tujuan-tujuan akhir dihadapan penderitaan global yang berlebihan, suatu pendirian politik anti-state dan suatu penolakan kepada gerak-maju sebagai kelanjutan dari perkembangan kesejahteraan sosial, intelektualisme dan kemanfaatan.

Rangkaian peristiwa masa-lalu bukanlah sekedar landasan persiapan dalam perjalanan menuju kemapanan-modern negara Hegelian atau Marxis, namun secara inheren berdiri sendiri sebagai kebudayaan-superior dan model-model yang lebih sehat dari kebudayaan dalam kehidupan manusia.

Bagi Bachofen dan Nietzsche, ini berarti orang-orang Yunani kuno, bagi Burckhardt adalah para aristokrat Renesaince dari Italia.

Begitu juga seharusnya para individu yang menonjol pada era ini dilihat sebagai pahlawan-pahlawan yang penuh-kehendak daripada sebagai individu-individu dalam dunia sejarah Hegelian yang muncul hanya ketika proses dunia membutuhkan suatu dorongan ke arah tujuan yang telah tersedia dan terpilih yang terpisahkan dari mereka.

Pada kelompok berikutnya, kita dapat memasukan pengikutnya baik yang aliran-pemikiran kiri maupun kanan dan ahli-ahli teori sejarah terkemuka seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872), David Friedrich Strauss (1808-1874), Eduard von Hartmann (1842-1906), Max Stirner (1806-1856), Georg Lukács (1885-1971), Arnold Toynbee (1889-1975), Herbert Marcuse (1898-1979), Alexandre Kojève (1902-1968), and Theodor Adorno (1903-1969).

Baru-baru ini garis besar filosofi sejarah Hegel telah diadopsi dalam karya Francis Fukuyama (1952—) yang kontroversial The End of History (1992).

Namun tanpa perlu pertanyaan lagi, keterkaitan-filosofis yang paling penting dalam penulisan-sejarah Hegelian adalah bahwa dari Karl Marx (1818-1883), yang memiliki penjelasan terhadap masa-lalu seringkali ditimbang semacam versi 'terbalik' dari sebuah contoh revolusi-dunia Hegelian.

Meskipun Marx mempertahankan keyakinan Hegel terhadap gerak-maju-dialektis dan tak-terelakan dari sejarah, ia menggantikan metode-spekulatif-nya dengan suatu materialisme-sejarah yang memandang perubahan rangkaian-peristiwa sejarah dalam terma-terma hubungan antara produksi dan kepemilikan.

Penjelasan Marx mengenai masa-lalu jelas dipenuhi pengaruh-pengaruh politik dan ekonomi namun filsafat-sejarahnya juga memperoleh daya tarik diantara praktisi-sejarah modern dan kontemporer yang menimbang kondisi-kondisi material dipertentangkan dengan kondisi-kondisi motivasi adalah memadai bagi penjelasan-sejarah.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H4
Pemahaman Pribadi



Saturday, November 14, 2020

Filsafat Sejarah 4 : Era Pencerahan Dan Romantisisme


Berlawanan dengan pesimisme Vico, filsafat-sejarah pada abad 18 M berlanjut dengan gagasan-gagasan (ideal-ideal) 'pencerahan' tentang perubahan-moral dan kekuatan-akal.

Karya Voltaire (1694-1778) Essay on the Customs and the Spirit of the Nations (1756), dalam pengertian frase 'filsafat-sejarah' adalah yang pertama dimaksud, karya itu telah dianggap usaha pertama kali sejak Herodotus untuk menulis sebuah sejarah kebudayaan-dunia secara komprehensif dalam sebuah kerangka non-kristianitas dan non-teleologikal.

Sejarah sosial-dan-kebudayaan digantikan oleh 'sejarah-militer-dan-politik' yang secara umum melewati batas-batas relijius-dan-pengaruh-Eropa, dimaksudkan untuk menunjukan tatanan kondisi kemajuan spiritual-dan-moralitas kemanusiaan.

Untuk menyingkirkan lebih jauh pengaruh-Eropa yang dipandang bias-kristianitas ---yang secara khusus ditampilkan dalam eskatologi-modern dari Jacques Bénigne Bossuet (1627-1704)--- Voltaire adalah pemikir utama modern yang menekankan kontribusi-kontribusi Arab kepada kebudayaan dunia.

Sesuai dengan nafas-pencerahan, Voltaire meyakini bahwa obat terbaik bagi intoleransi-dan-kecurigaan cukup hanya dengan kebenaran, yaitu merupakan temuan terbaik yang dicapai melalui kerja-objektif para-sejarawan dengan dokumen-dokumen asli, tidak pernah menggunakan ideologi yang mengulang ketetapan-ketetapan dari otoritas/penguasa.

Namun permohonan maaf Voltaire karena penulisan-sejarah yang 'tidak-bias', menunjukan sikap Voltaire lebih mengkhianati daripada membuat jelas gagasan-gagasan pada era-nya.

Perbedaan-perbedaan antara pandangan-pandangan dunia eskatologi-kristianitas dengan pandangan pengetahuan-ilmiah-rasional pada masa hidupnya secara ringkas dinilai sebagai perkembangan maju sedang kerusakan-kerusakan abad-pertengahan mengenai era-kuno (sejarah) jelas merepresentasikan sebuah penurunan.

Bagi Voltaire, era-akal merupakan standar untuk menilai era-lain dan masyarakat/bangsa-lain, meskipun dapat dikatakan sedikit yang dapat dicapai.

Antoine-Nicolas de Condorcet (1743-1794) secara terbuka mempermalukan gerakan progresivisme-pencerahan. Seperti Voltaire pada karyanya Sketch for a Historical Picture of the Progress of the Human Mind (diterbitkan secara anumerta pada tahun 1795) memandang masa-lalu sebagai suatu gerak-maju-akal, namun yang lebih optimistik yaitu tentang gerak-maju yang tak terelakan dari gagasan-gagasan liberal seperti kebebasan-berbicara, pemerintahan-demokratis, persamaan hak-memilih-dipilih, pendidikan dan kesejahteraan.

Inti dari sejarah bukan hanya deskripsi tentang gerak-maju ini. Karena gerak-maju sepenuhnya mengikuti hukum dan bersifat universal, sejarah juga bersifat prediktif, dan apa yang lebih, mengartikulasikan suatu tugas bagi institusi-institusi politik untuk bekerja menuju semacam kualitas-kesetaraan, yang bagaimanapun gerak-teratur sejarah akan mengantarkan ke sana.

Para-sejarawan tidak hanya memberi kritik terhadap era-nya, tetapi juga memberi suatu tanda-tanda era akan datang. Berpengaruh luas terhadap revolusi perancis Condorcet, juga menciptakan suatu kesan penting pada sistemisasi filosofi-sejarah dari Saint-Simon, Hegel, dan Marx, begitu juga meletakan cetak-biru pertama untuk studi sistematik mengenai 'sejarah-sosial' yang dipopulerkan oleh Comte, Weber, and Durkheim.

Yang kurang revolusioner adalah karya dari Immanuel Kant (1724-1804) Idea of a Universal History from a Cosmopolitan Point of View (1784).

Kant memulai dari pandangan-pencerahan tentang sejarah sebagai suatu derap langkah-teratur dari gerak-maju-akal-dan-kebebasan yang progresif. Namun dengan dasar epistemologi-nya, Kant tidak-dapat berasumsi ---seperti yang dilakukan Voltaire dan Condorcet--- bahwa gerak-maju-teleologikal dari sejarah secara empiris dapat dibuktikan keberadaanya di masa-lalu.

Gerak-maju-teleologikal bukanlah suatu fakta yang dapat di-demonstrasi-kan (ditunjukan-kebenarannya secara faktual), tetapi suatu kondisi yang diperlukan bagi makna-masa-lalu untuk menempatkan gerak-maju-teleologikal sebagai suatu gagasan-pengatur yang membuat kita dapat men-justifikasi kemunculan 'setan-setan ' yang telah bersemi dalam sejarah disamping karakter umum penciptaan yang baik dan penuh kasih secara keseluruhan.

Peperangan, kelaparan-dan-kematian serta bencana-alam yang dapat dikenali dalam sejarah harus dilihat sebagai perangkat-alam, yang membimbing masyarakat menuju hubungan-hubungan peradaban yang baik, yang pada akhirnya memaksimalkan kebebasan-dan-keadilan.

Sejarah mengungkap kebudayaan-manusia sebagai suatu alat yang digunakan alam mencapai keadaan-damai terus menerus di dalam semua pengejaran spiritual dari umat manusia.

Johann Gottfried Herder (1744-1803) adalah kunci dalam perubahan secara umum dari penulisan-sejarah-pencerahan menuju penulisan-sejarah-romantik.

Gagasan-gagasannya dituangkan dalam Philosophy of History of Humanity (1784-91) menggemakan pendapat yang telah dinyatakan oleh Vico bahwa tidak-ada fakultas-mental-tunggal dalam akal-manusia bagi semua-orang pada semua-waktu, melainkan bentuk-rasionalitas yang berbeda bagi beragam-kebudayaan yang ditentukan oleh waktu dan tempat tertentu di dunia.

Meski Herder menerima pemahaman Vico tentang perkembangan yang pasti, ia menolak penekanan-pencerahan kepada rasionalitas-dan-kebebasan sebagai alat-ukurnya.

Herder juga membuang kecenderungan-pencerahan untuk menilai masa-lalu dengan menggunakan sorotan masa-kini, yang tidak menimbang betapa rasional-nya kita memandang-diri kita saat ini.

Ini merupakan hasil dari keyakinan-dasar yang dimilikinya bahwa setiap kebudayaan suatu bangsa memiliki nilai-historis yang sama.

Daya-hidup-rohani dari alam menuntun semua mahluk-hidup dalam pola-teratur semenjak kelahiran hingga kematiannya.

Persis seperti masa kanak-kanak dan masa-tua adalah sama-pentingnya terhadap perkembangan pribadi seorang manusia, memiliki nilai tepat dalam dirinya dan oleh karenanya tidak seharusnya dinilai lebih-rendah dari sudut pandang masa-dewasa, begitu juga pada suatu karakter-bangsa adalah memiliki manfaat dan penting terhadap perkembangan bangsa secara keseluruhan.

Herder tidak hanya menolak universalisme-pencerahan dari Kant, tetapi juga alat-alat epistemologis yang digunakan untuk mencapai suatu pemahaman tentang masyarakat/bangsa kuno.

Sangatlah jelas, Herder menemukan bahwa pada rasionalitas-pencerahan tidak ada bukti empiris atau demonstrasi-rasionalis terhadap pola-perkembangan-organik.

Meskipun demikian, kita tidak juga harus meletakan gerak-maju-teleologikal hanya sebagai suatu prinsip-prinsip pengatur dari akal.

Pemahaman terhadap masyarakat masa-lalu dan beragam-kebudayaan dengan sendirinya tidak dikomunikasikan secara penuh-dan-menyeluruh melalui dokumen-dokumen mereka sedemikian hingga akan terbuka terhadap analisis-historis atau kritisisme sumber-sumber sejarah.

Para sejarawan hanya menangkap hakekat-roh dalam suatu masyarakat/bangsa melalui suatu pemahaman simpatetik ---yang disebut oleh Herder Einfühlen--- terhadap kehidupan-batin mereka dengan analogi kehidupan-batin dirinya.

Para sejarawan 'merasa caranya masuk ke dalam' suatu masyarakat/bangsa dan masanya, untuk berupaya menangkap secara simpatik mengapa mereka mengambil pilihan-pilihan yang mereka telah lakukan.

Para penulis-sejarah Romantik sangat kuat dipandu oleh gagasan Herder bahwa definisi suatu masyarakat/bangsa lebih terletak dalam roh-kehidupan-batin daripada batasan-batasan formal/legal-nya.

Legenda-legenda masyhur karya Grims bersaudara, juga Sejarah nasionalistik dari Macaulay (1800-1859) dengan karyanya the Wilhelm Tell (1804), penjelasan panjang rangkaian peristiwa sejarah karya dari Friedrich Schiller (1759-1805), J.W.v. Goethe’s (1749-1832) Goetz von Berlichingen (1773), epik-epik terjemahan the Beowulf (1818), dan loncatan dari sejarah yang menegaskan betapa pentingnya kebudayaan-kebudayaan minoritas Russio-slavic seperti the Estonian Kalevipoeg (1853) atau the Armenian Sasuntzi Davit (1873) masing-masing berupaya menghidupkan kembali dan menyatukan kebudayaan masa-kini di bawah bendera sebuah masa-lalu yang sama.

Para sejarawan Romantik juga mengikuti Herder dalam keyakinan mereka bahwa karakter-bangsa ini, tidak dapat dikenali keberadaan-nya hanya melalui analisis yang hati-hati dan detail terhadap catatan-catatan dokumen dan arsip.

Para-sejarawan harus mempunyai pemahaman yang menyeluruh terhadap perjalanan sejarah dari suatu masyarakat/bangsa persis seperti seorang pemain-drama mengungkapkan kesatuan-karakter melalui setiap episode-episode individual.

Hampir tanpa fakta-fakta rangkaian-peristiwa yang terputus, narasi para-sejarawan yang menceritakan masa-lalu harus mengkomunikasikan sebuah pemahaman tentang roh daripada informasi-objektif.

Dan hanya mereka yang 'menghirup udara suatu masyarakat atau jaman' memiliki semacam pemahaman-simpatik yang memadai untuk melakukan interpretasi dengan benar.

Potensi penyimpangan-penyimpangan penulisan-sejarah Romantisisme-nasionalistik ---dengan sendirinya penulisan-sejarah Romantisisme-nasionalistik cenderung mengarah ke sana--- memiliki suatu pengaruh yang menentukan kepada tiga arus utama filsafat-sejarah dalam abad 19 M.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H3
Pemahaman Pribadi



Monday, November 9, 2020

Filsafat Sejarah 3 : Humanisme Dalam Era Renaissance


Karya Petrarch (1304-1374 M) berjudul 'De secreto conflict curarum mearum' (1347-1353) berpendapat bahwa para intelektual-sekuler yang mengejar pengetahuan, ---diantaranya sejarah--- tidak-perlu membahayakan/merusak spiritualitas.

Lingkaran para pengikutnya mengungkap dan merestorasi kumpulan teks-teks-kuno dalam jumlah-besar, banyak diantaranya tidak-pernah terbayangkan selama milenium sebelumnya, diantaranya sejarah tentang Cicero, Livy, Tacitus, dan Varro.

Pada awal abad 15 M, bidang-bidang pengetahuan yang digeluti universitas-universitas humanis telah meluas dari inti-skolastik-nya menjadi melingkupi retorika, puisi dan di atas semuanya sejarah.

Dan dengan perhatian lebih-besar mereka kepada hal-hal dan bangsa/masyarakat dalam dunia-alam meningkatkan fokus perhatian kepada 'sejarah-politik' daripada kepada narasi-narasi besar religius. Selaras dengan itu, tidak lagi memusatkan-perhatian kepada kebangkitan-Kristus, tetapi keruntuhan-Roma.

Dan di sini, pelajaran sejarah bukanlah tentang suatu penurunan-moral yang terus terjadi, melainkan suatu harapan yang memahami model-model kehidupan sosial-politik-kuno akan menciptakan ruang semacam masa-kejayaan-sekuler.

Dengan fokus baru kepada urusan-manusia terjadi peningkatan perhatian kepada catatan-catatan dan bukti-bukti alami yang tertulis.

Dipersenjatai dengan harta-karun artefak-sastra-sekular yang baru diungkap, karya-karya Leonardo Bruni (1370-1444) dan Flavio Biondo (1392-1463) berisi serangan pertama menuju kritisisme-modern terhadap sumber-sumber penjelasan sejarah dan tuntutan mengenai dokumentasi bukti-bukti sejarah.

Dan bagi Bruni, karyanya 'History of the Florentine People' (1415-1439) (Sejarah Masyarakat/Bangsa Florentina), cerita yang disampaikan bukanlah suatu pandangan spiritual-atau-moral, namun suatu sejarah tentang perkembangan kebebasan-politik yang alamiah di Floren.

Namun pandangan di atas masih kurang nasionalis daripada pandangan Desiderius Erasmus yang juga menuntut agar para-sejarawan menelusuri kembali sumber-sumber mereka ke asli-nya, tidak hanya terkait dengan dokumen-dokumen resmi pemerintahan namun juga dengan artefak-artefak kebudayaan.

Dan itu berarti penyelidikan 'semangat-religius' yang terkandung dalam 'sejarah-sakral' dengan perangkat 'humanisme-renaisance'. Penerjemahan kedalam bahasa Latin dan Yunani terhadap Perjanjian-Baru olehnya adalah monumen-monumen penulisan-sejarah-akademis dan menjadi alat untuk gerakan-Reformasi.

Bagi Erasmus, sejarah menjadi suatu alat kritik terhadap kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan interpretasi-modern mengenai kemuliaan-masa-lalu dan suatu perangkat untuk menyingkap kebenaran terhadap kesalah-pahaman-yang-panjang mengenai bangsa/masyarakat, gagasan dan peristiwa-peristiwa.

Namun meski para penulis sejarah sebelumnya merenungkan secara mendalam usaha-usahanya, orang-pertama yang mendapat gelar filsuf-sejarah adalah Giambattista Vico (1668-1744 M).

Dialah yang pertama berpendapat tentang suatu 'proses-sejarah-umum' yang memandu perjalanan bangsa-bangsa dan berbagai masyarakat. Dalam karyanya 'Scienza Nuova', ia menulis :

" Ilmu-pengetahuan kita oleh karenanya datang untuk mendeskripsikan secara bersamaan suatu 'sejarah-kekal-yang-ideal' yang melewati semua-jaman dengan 'sejarah-setiap-bangsa/masyarakat' dalam kebangkitan, perkembangan, kedewasaan, penurunan dan keruntuhan-nya. Memang kita melangkah terlalu-jauh, seperti untuk menyatakan bahwa siapapun yang me-mediasi ilmu-pengetahuan-ilmiah ini mengatakan pada dirinya, bahwa 'sejarah-kekal-yang-ideal' ini sejauh ia membuatnya dengan bukti-bukti itu 'telah, harus dan akan ada'. Prinsip yang tidak-diragukan di atas, pertama meletakan bahwa dunia bangsa/masyarakat ini pastilah diciptakan oleh manusia dan karena itu cara-representasi-nya dapat ditemukan di dalam modifikasi-modifikasi-pikiran kita sebagai manusia. Dan sejarah tidak dapat lebih-pasti daripada ketika manusia yang menciptakan hal-hal itu juga mendeskripsikan-nya. " (Vico 1948, 104)

Filsafat-sejarah Vico mengikuti postulat-epistemologi-nya bahwa untuk mengetahui sesuatu/hal secara penuh mensyaratkan pemahaman bagaimana sesuatu/hal itu menjadi ada (proses bagaimana diciptakan).

Kebenaran adalah persis dengan apa yang telah dicipta, diekspresikan dalam bahasa latin olehnya sebagai 'Verum esse ipsum factum' (seseorang dapat mengetahui kebenaran tentang suatu/hal yang diciptakan olehnya).

Karena objek-objek alam tidak diciptakan oleh ilmuwan yang mempelajarinya, maka hingga tingkatan tertentu sifatnya harus tetap misterius (tidak-diketahui).

Tetapi sejarah umat-manusia, karena objek-objeknya dan penelitinya adalah satu-dan-sama yaitu manusia-sendiri, mempunyai suatu keuntungan metodologis dalam prinsip-prinsipnya.

Pemisahan antara ilmu-pengetahuan-alam dan ilmu-tentang-manusia berada dalam kesadaran yang bertentangan dengan 'universalitas-metodologis' yang dikemukakan oleh Descartes dan pemisahan-itu menjadi penting bagi para filsuf Post-Kantian abad 19 M dan kemudian bagi para Idealis-Inggris.

Vico juga mengajukan pendapat bahwa pikiran-pikiran kebudayaan pada era-nya berbeda dengan pikiran-pikiran primitiv nenek-moyang mereka.

Sementara para pemikir abad 18 M termasuk dirinya membentuk 'konsep-abstrak' dan 'proposisi-universal', bagi para nenek-moyang primitiv 'gambaran-gambaran dan suara-suara individual' menunjuk langsung kepada acuan hal/benda-nyata.

Sementara bagi para filsuf Post-Kantian 'petir' adalah sebuah simbol atau metafor bagi Zeus, bagi Vico imajiner-puitis 'petir' sesungguhnya adalah Zeus yang sebenarnya. Untuk merekonstruksi dengan sempurna baik mental/batin maupun sejarah dengan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas-pengetahuan-ilmiah atau penulisan-sejarah-pencerahan adalah tidak-mungkin. Sebuah pengetahuan-ilmiah-baru mengenai imajinasi diperlukan, sesuatu yang dapat menangkap-kembali secara simbolis bentuk-bentuk mental/batin bangsa/masyarakat masa-lalu dan menyatukan kembali emosi-emosi mereka.

Karena pandangan-pandangan epistemologis ini, Vico adalah orang pertama yang meletakkan perbedaan-era didalamnya terjadi rangkaian peristiwa-besar sejarah yang dilalui oleh semua bangsa/masyarakat yang berkembang, yang disebabkan oleh 'skema/pola-logis yang menyeluruh' (universal).

Setiap tahapan dari perkembangan suatu bangsa/masyarakat menghasilkan sebuah kepercayaan-baru terhadap sistem hukum-alamiah, pemakaian-bahasa dan lembaga-lembaga-pengatur.

Adalah 'suatu-kekuatan' yang menyebabkan transisi pada setiap bangsa/masyarakat dari suatu 'Era-Dewa/Tuhan', yaitu ketika bangsa/masyarakat mempercayai diri-mereka diatur secara langsung melalui pesan-pesan Sang-Dewa/Ilahi dan berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh objek-langsung penerima, kepada 'Era-Kepahlawanan' ketika para aristokrat menguasai rakyat-biasa sebagai hamba melalui suatu 'superioritas-kekuatan-kodrati' mereka dan berbicara dengan gambaran-gambaran metaforis dan kemudian ke 'Era-Manusia' ketika masyarakat berkomunikasi dengan 'generalitas-abstrak' dan mengasumsikan keduanya sebuah 'persamaan-umum' dalam ikatan-ikatan sosial mereka dan sebuah 'pemahaman-abstrak-tentang-keadilan' dengannya mereka diatur.

Adalah takdir kita sebagai umat-manusia dalam setiap bangsa/masyarakat untuk melewati 'jalan-utama-parade' sejarah, ini merupakan gerak-maju kapasitas-mental/batin dari suatu dengan kualitas-tidak-nyata (fantasia) menjadi suatu perenungan/pemikiran yang dalam (refleksi) terhadap realitas.

Pada akhirnya 'Era-Akal-dan-Peradaban' yang ideal tidak pernah dicapai. Pada kondisi kita yang paling-beradab, sejarah memutar diri kembali dalam suatu ‘keberulangan’ menuju ‘barbarisme-kedua’. Di sini, di dalam 'barbarisme-refleksi', dibantu oleh birokrasi-sipil, bahasa-tipu-daya, dan akal-licik, hasrat kita tidak-dibatasi oleh cara-cara dan adat-kebiasaan menonjol dalam 'Era-Dewa/Tuhan' atau 'Era-Kepahlawanan' hingga satu-titik dimana masyarakat-sipil meruntuhkan dirinya sebelum kembali ke siklus-kedua sejarah.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H2
Pemahaman Pribadi



Friday, November 6, 2020

Filsafat Sejarah 2 : Era Yunani-Kuno Hingga Abad-Pertengahan


Upaya untuk menurunkan/menarik/mengambil/memperoleh makna dari masa-lalu berumur sama-tuanya dengan kebudayaan itu sendiri. Pemahaman yang sesungguhnya tentang suatu kebudayaan bergantung pada sebuah keyakinan kepada kesamaan-sejarah bahwa anggota-anggota dalam suatu kebudayaan mengakui diri mereka berbagi/memiliki makna-yang-sama. Apakah makna-itu merupakan suatu interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sebagai hasil-campur-tangan (intervensi) 'sang-ilahi' atau apakah makna-itu merupakan 'makna-sekuler' yang menyatukan sejumlah keluarga atau bangsa/masyarakat, sejarah selalu merupakan semacam lem-perekat bagi sebuah struktur-dasar kebudayaan.

Filsafat-sejarah 'ilmiah' pertama yang dapat diperdebatkan ---filsafat-sejarah yang dicirikan dengan suatu usaha untuk menjadi tidak-bias, didasarkan pada kesaksian, komprehensif, dan tidak-dibebani strukur-prediktif yang besar--- dilakukan oleh 'Bapak-Sejarah' yaitu Herodotus (484-425 BC).

Kata 'History' (sejarah) berasal dari pemakaian kata 'Historia' untuk mendefinisikan 'penyelidikan' atau 'penelitian' yang dilakukan olehnya :

" Herodotus dari Helicarnassus, disini penyelidikan-nya dilakukan untuk melestarikan ingatan tentang masa-lalu dengan meletakan pada catatan mengenai capaian-capaian menakjubkan baik bangsa/masyarakat Yunani maupun non-Yunani dan lebih khusus, untuk menunjukan bagaimana dua-ras bangsa/masyarakat menjadi terlibat dalam konflik. " (Herodotus, Histories I.1,1)

Untuk mencapai karakterisasi-komprehensif tentang dunia Yunani dan non-Yunani, penelitian Herodotus bergantung pada tradisi-tradisi lisan (oral) dari para pendahulunya yang seringkali luar-biasa. Namun sesuatu ia korbankan terhadap fakta-fakta yang dapat dikonfirmasi, ia menyusun-nya dengan penjelasan-deskripsi kehidupan sehari-hari. Semua cerita betapapun tidak-masuk-akal dicatat tanpa penilaian-moral karena masing-masing cerita itu merefleksikan keyakinan-keyakinan pada saat itu dalam sebuah bangsa/masyarakat, semuanya patut untuk diketahui.

Meski Yunani dan Roma menghasilkan sejumlah sejarawan dan pencatat-peristiwa tidak ada seorangpun yang lebih komprehensif dan lebih berpengaruh daripada Thucydides (460-395 BC).

Seperti Herodotus, Thucydides memandang sejarah sebagai suatu sumber-pelajaran mengenai bagaimana bangsa/masyarakat cenderung bertingkah-laku. Dan seperti Herodotus, Thucydides juga memperhatikan bagaimana pertimbangan-pertimbangan-metodologis membentuk pandangan-pandangan kita terhadap masa-lalu.

Namun demikian, Thucydides bersikap kritis terhadap Herodotus karena gagal untuk mengangkat penjelasan yang cukup objektif.

" Mendengar sejarah ini diceritakan, sejauh itu tanpa hal-hal yang menakjubkan, mungkin memang tidak sepenuhnya menyenangkan. Tetapi siapapun yang berkeinginan untuk menyelidiki kebenaran (hakikat) hal-hal yang telah-terjadi dan yang mengacu pada karakter-manusia mungkin dapat terjadi-lagi atau setidaknya mendekati, akan cukup untuk membuat penyelidikan itu bermanfaat. " (Thucydides, The Peloponnesian War I, 22).

Untuk memperbaiki catatan Herodotus yang tidak-kritis (kurang-objektif), pertama Thucydides membatasi penyelidikannya kepada pelaku-pelaku-utama perang Peloponnesia yaitu para jendral-dan-gubernur yang memutuskan apa yang harus dilakukan daripada masyarakat-biasa yang hanya mampu berspekulasi tentang suatu peristiwa.

Pelajaran yang bisa dipetik bukanlah sekedar keberagaman-perilaku-kebudayaan belaka tetapi tipologi-karakter dari para-pelaku dan tindakan-tindakan mereka, yang akan berperan sebagai semacam pedoman untuk memandu-perilaku di masa-depan karena tindakan-tindakan sepertinya berulang dengan sendirinya.

Kedua, Thucydides memperlakukan bukti-bukti yang dimiliki dengan penuh-keraguan (skeptisisme). Dia mengaku tidak menerima desas-desus atau dugaan, dan hanya mengakui bukti-bukti yang secara personal dilihatnya atau bukti-lain yang sudah terkonfirmasi oleh banyak sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Thucydides adalah orang pertama yang menggunakan sikap-kritis terhadap sumber-sumber dalam dokumentasi pengumpulan bukti-bukti sejarah. Perkataan-panjang dan mengekspresikan dengan baik yang bersumber dari berbagai-pihak hanya dipertahankan dibawah sumpah bahwa mereka mengikuti sedekat-mungkin sesuai dengan maksud dari pembicara yang mereka duga.

Dengan memudarnya era klasik Yunani-kuno terjadi penurunan paradigma-ilmiah pada sejarah.

Praktek-praktek religius dari 'sejarah-sakral' (sejarah diceritakan kembali dengan tujuan untuk menanamkan suatu keyakinan yang dapat didasarkan pada fakta atau tidak) dalam dunia Yahudi-Kristen dan Islam, meski seringkali menafsirkan peristiwa-peristiwa-kunci yang sama dengan cara yang sangat berbeda, memiliki prinsip-prinsip 'meta-historis' yang sama.

Masa-lalu tidak dipelajari demi kebenaran yang bebas-kepentingan semata, tetapi dalam harapan tentang pencapaian sebuah ikatan antara 'rencana-ilahi' dan suatu perjalanan bangsa/masyarakat terpilih di dunia.

Dalam pengertian itu, sejumlah sejarawan non-fundamentalis dari masing-masing kepercayaan menghargai teks-teks-sakral mereka sebagai dokumen penuh-makna yang dimaksudkan untuk pertimbangan dalam sorotan masa-sekarang dan apa yang diyakini oleh penulisnya menjadi masa-depan bersama.

Di bawah permukaan rangkaian peristiwa seperti banjir, wabah, panen yang baik dan penguasa yang baik-hati terlihat suatu pelajaran moral-dan-spiritual yang diberikan Tuhan kepada suatu bangsa/masyarakat, yang merupakan tugas para-sejarawan untuk menghubungkan keduanya. Seperti dinyatakan dengan jelas dalam Al-Quran :

" Dalam sejarah mereka, terdapat suatu pelajaran bagi mereka yang berakal. "(Qu’ran 12:111).

Diantara para penulis sejarah pada awal abad pertengahan yang paling mendalam, tidak diragukan lagi adalah Augustine (354 C-430 C).

Berlawanan dengan Thucydides yang bermaksud menunjukan keberulangan elemen-elemen-tipikal dari masa-lalu, Augustine menekankan kepada 'linearitas' dari sejarah sebagai suatu bagian dari ajaran Kristianitas mengenai hari-akhir, pengungkapan kepastian rencana-abadi-Tuhan dalam suatu keteraturan-waktu perjalanan sejarah.

Karyanya 'Kota-Tuhan' (City of God, 413-26 C) mencirikan kehidupan dan bangsa-bangsa sebagai suatu penebusan-panjang terhadap dosa-asal yang mencapai puncaknya pada kebangkitan-Kristus.

Sejak itu dan seterusnya, sejarah menjadi suatu catatan tentang perjuangan yang melibatkan antara orang-yang-terpilih dalam 'Kota-Tuhan' (City of God) dan para pemberontak yang mencintai-diri yang hidup di dalam 'Kota-Manusia' (City of Men).

Karena waktu adalah linear, peristiwa-peristiwa kunci didalamnya adalah unik dan tidak bisa diganggu gugat :

Jatuhnya Adam ke dunia, kelahiran-dan-kematian Yesus dan kebangkitan-nya semua menggerakan sejarah bersama-sama menuju pengadilan-akhir dengan keteraturan yang sempurna.

'Sejarah-sakral' oleh karenanya cenderung memberi suatu narasi yang melingkupi segalanya mengenai makna-eksistensi-manusia, baik sebagai sebuah tragedi maupun sebuah pernyataan tentang harapan dalam penebusan kelak di masa-depan.

Di samping status-resmi ajaran gereja hampir di sepanjang dunia abad pertengahan, manifestasi pengaruhnya membentang sepanjang tradisi hermeneutis, begitu pula kepada para filsuf sejarah-teologis pada abad 19.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H1
Pemahaman Pribadi



Thursday, November 5, 2020

Filsafat Sejarah 1 : Pengantar


Pengantar

Sejarah adalah studi mengenai masa-lalu dalam segala-bentuknya. Filsafat-sejarah mengkaji dasar-dasar-teoritis terhadap praktek, penerapan dan konsekuensi-konsekuensi sosial dari sejarah dan penulisan-sejarah. Filsafat-sejarah mirip/sama dengan wilayah studi-studi yang lain ---seperti filsafat ilmu-pengetahuan atau filsafat agama--- terutama dalam dua-hal.

Pertama, filsafat-sejarah menggunakan teori-teori terbaik dalam wilayah-wilayah inti filsafat seperti metafisika, epistemologi, dan etika yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat masa-lalu dan bagaimana kita bisa mengetahui/memahami-nya.

Apakah masa-lalu berjalan dengan cara yang acak atau dipandu oleh beberapa prinsip-aturan, bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan atau menggambarkan peristiwa-peristiwa dan objek-objek masa-lalu, bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah dapat dipandang sesuai hubungan sebab-akibat dari peristiwa yang satu ke yang lain dan bagaimana menilai kesaksian dan bukti-bukti sejarah.

Kedua, seperti halnya wilayah studi-studi yang lain, filsafat-sejarah meneliti persoalan-persoalan yang unik pada subjek bahasan-nya. Sejarah tidak menelisik tentang hal-hal-apa melainkan bagaimana-hal-hal itu menjadi seperti adanya. Sejarah memusatkan perhatian pada suatu keunikan daripada suatu yang umum. Penggeraknya paling sering adalah orang yang bertindak karena sebuah jenis dorongan-batin daripada dorongan murni-kekuatan-kekuatan fisik. Objek-objeknya tidak dapat diteliti secara langsung, dan harus dimediasi dengan (menggunakan-perantara) bukti-bukti. Persoalan ini dan banyak lagi persoalan yang spesisifik dengan masa-lalu telah dan terus dipelajari serta diperdebatkan sepanjang filsafat itu sendiri ada.

Artikel ini menyajikan sejarah mengenai filsafat-sejarah dari masa Yunani-kuno hingga sekarang ini, dengan menekankan secara khusus pada beragam filsafat-sejarah pada abad 19 dan pada pemisahan antara Kontinental dan Anglophone atau filsafat-sejarah Analitik pada abad 20.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/
Pemahaman Pribadi




Tuesday, July 14, 2020

Filsafat Analitik 6c : 1960-an Dan Setelahnya ( Era Ekletisme ) : Renaisance dalam Sejarah


Karena filsafat-analitik pada awalnya menunjukan diri sebagai pengganti filsafat-tradisional, sehingga kecenderungan-nya sepanjang abad 20 adalah untuk mengesampingkan/mengabaikan sejarah-filsafat.

Bahkan dilaporkan bahwa sebuah tanda-tulisan "katakan tidak pada sejarah-gagasan-gagasan" pernah tergantung pada sebuah pintu dalam gedung Filsafat Universitas Princeton (Garfton 2004,2).

Meski para filsuf-analitik awal seringkali menunjuk kepada pandangan-pandangan para filsuf dari abad-abad sebelumnya, namun mereka seringkali gagal untuk menggabungkan kecerdasan-filosofis dengan perhatian-historis, oleh karenanya jatuh kedalam kesalahan, interpretasi-anakronitis terhadap para filsuf sebelumnya.

Diawali pada tahun 1970-an, sejumlah filsuf mulai memberontak dalam konteks analitik melawan sikap anti-historis ini.

Pengingat berikut ini oleh Daniel Garber menggambarkan dengan baik bangkitnya kesadaran-historis dalam konteks analitik (meski ini kemudian dan sekarang tidak begitu menyebar untuk menjelaskan karakteristik dari filsafat-analitik itu sendiri) :

" Apa saja reaksi yang melawan sikap anti-historis dari para sejarawan-filsafat pada generasi saya adalah 'sekumpulan-praktek-praktek' yang telah memberi karakterisasi pada penulisan tentang sejarah-filsafat dalam periode tersebut, 'sekumpulan-praktek-praktek' itu diantaranya :

Kecenderungan mengganti rekonstruksi-rekonstruksi rasional dalam suatu pandangan-pandangan seorang filsuf dengan pandangan-pandangan mereka sendiri.

Kecenderungan untuk fokus kepada sebuah-kelompok-tokoh yang sangat sempit (Descartes, Spinoza, dan Leibniz, Locke, Berkeley dan Hume dalam periode saya).

Dalam daftar-karya yang sempit itu, kecenderungan untuk fokus hanya pada sedikit karya itu dengan membuang yang lain, itulah yang paling sesuai dengan konsepsi kita sekarang ini tentang subjek dari filsafat.

Kecenderungan untuk berkarya secara eksklusif melalui penerjemahan dan untuk mengabaikan karya-sekunder yang aslinya tidak ditulis dalam bahasa Inggris.

Kecenderungan untuk memperlakukan posisi-posisi pendirian-filosofis seolah-olah karya-karya-itu disajikan pada masa-kini terus dan seterusnya dan seterusnya. "
(Garber 2004, 2)

Dengan perlawanan melalui 'sekumpulan-prektek-praktek' ini, gerakan sejarah mulai melakukan interpretasi terhadap persoalan-persoalan dan pandangan-pandangan tokoh-tokoh sejarah yang 'telah-dikenal-baik' dalam konteks : pertama, seluruh tubuh-karya mereka masing-masing, kedua konteks intelektual masing-masing tidak ada sesuatu bagaimana karya-karya mereka terkait dengan para pemikir sebelumnya, dan ketiga lingkungan sosial yang lebih luas didalamnya mereka hidup, berpikir dan menulis.

Pada akhirnya, pendekatan baru sejarah ini diadopsi oleh para filsuf-akademis yang tertarik pada sejarah filsafat-analitik itu sendiri. Sebagai hasilnya, dua dekade terakhir terlihat kemunculan sejarah (atau penulisan-sejarah) filsafat-analitik sebagai sebuah gerakan sub-disiplin yang semakin penting di dalam filsafat-analitik itu sendiri. Tokoh-tokoh utama diantara yang baik dari banyak yang lain dalam wilayah ini termasuk Tom Baldwin, Hans Sluga, Nicholas Griffin, Peter Hacker, Ray Monk, Peter Hylton, Hans-Johann Glock and Michael Beaney. Lonjakan ketertarikan kepada sejarah filsafat-analitik bahkan telah menarik upaya-upaya dari para filsuf yang karya-karyanya lebih dikenal dalam wilayah 'inti' filsafat-analitik seperti Michael Dummett dan Scott Soames.

Beberapa dari para pengarang ini bertanggung jawab untuk menemukan atau menemukan-kembali fakta bahwa baik Moore maupun Russell telah mengkonsepsikan diri mereka bukan sebagai filsuf-bahasa Yang lain telah terlibat dalam perdebatan tentang hal yang telah dinyatakakan Frege dalam Bagian-2c. Semua ini telah bertindak untuk melemahkan pandangan-pandangan yang diterima dan untuk membuka sebuah perdebatan tentang sifat-sesungguhnya dari filsafat-analitik dan cakupan-keseluruhan dari sejarah-nya (penjelasan lebih jauh lagi, baca Preston 2004, 2005a-b).



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Saturday, July 4, 2020

Filsafat Analitik 6b : 1960-an Dan Setelahnya ( Era Ekletisme ) : Kebangkitan Metafisika


Metafisika mengalami semacam kebangkitan dalam filsafat-analitik post-bahasa.

Meskipun filsafat-analitik kontemporer tidak-mudah mendukung bangunan-sistem-metafisika-tradisional (setidaknya sebagai sebuah penghargaan aktivitas profesional), filsafat-analitik telah merangkul sepenuh hati terhadap pengejaran secara berangsur kepada pertanyaan-pertanyaan metafisika sehingga metafisika sekarang ini menjadi salah satu diantara tiga sub-disiplin yang paling penting dalam filsafat-analitik. (Dua yang lain adalah epistemologi dan filsafat-bahasa, ketiganya seringkali disebut sebagai 'inti' wilayah-wilayah analitik atau sub-disiplin). Ini memiliki arti penting mengingat orientasi anti-metafisika dalam filsafat-analitik-tradisional.

Pada tahun 1960-an filsuf bahasa-biasa Peter Strawson mulai mengangkat apa yang ia sebut 'metafisika-deskriptif', sebuah persoalan tentang melihat kepada struktur-dan-isi dari bahasa-natural untuk menyoroti kontur pandangan-pandangan metafisis yang berbeda atau 'skema-skema konseptual'.

Pada saat yang sama, dan disamping naturalisme dan saintisisme-nya yang menutup dia dari metafisika-spekulatif, pandangan-holistik dari Quine tentang makna dan verifikasi membuka pintu terhadap metafisika-spekulatif dengan menunjukan bahwa teori tidak dapat direduksi menjadi pengamatan-peristiwa dalam sain.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, upaya-upaya dari Donald Davidson dan yang lainnya untuk membangun sebuah teori-formal-makna berdasar definisi-formal tentang kebenaran yang dikemukakan Alfred Tarski pada akhirnya mengarah kepada pengembangan tentang dunia-dunia-makna-yang-mungkin oleh David Lewis.

Konsisten dengan pandangan Quinean bahwa makna terhubung dengan pandangan-pandangan-dunia-holistik, atau dalam terma yang lebih metafisis, keadaan-keadaan-dunia, dunia-dunia-makna-yang-mungkin menentukan pentingnya konsep-konsep-logis seperti validitas, kesan dan kesempurnaan begitu juga dengan konsep-konsep yang tidak mampu ditangani oleh logika-sebelumnya ---seperti kemungkinan dan kepastian--- dalam terma-terma mengenai deskripsi-total dari suatu cara bahwa beberapa-dunia atau semua-dunia mungkin ada. Sebagai contoh, proposisi P adalah pasti, jika P adalah benar dalam semua-dunia-yang-mungkin. Sehingga, disamping formalisme-nya, dunia-dunia-makna-yang-mungkin mendekati beberapa aspek dari metafisika-tradisional yang dihindari filsafat-analitik sebelumnya.

Dengan dunia-dunia-makna-yang-mungkin, perhatian telah meningkat dari pemahaman tentang makna menjadi referensi-nya. Yang terakhir berkaitan secara eksplisit terkait dengan hubungan dunia-bahasa dan juga memiliki sebuah aspek metafisika yang terbuka.

Pada tahun 1970, teori-teori-referensi-langsung menjadi mendominasi filsafat-bahasa.

Dikembangkan secara terpisah oleh Saul Kripke dan Ruth Barcan Marcus, teori-referensi-langsung berpendapat bahwa sejumlah kata ---khususnya nama kepemilikan--- tidak memiliki makna, namun hanya bertindak sebagai 'penanda-label (tags)' dalam istilah Marcus atau 'penanda-tetap (rigid)' dalam istilah Kripke bagi benda-benda yang diberi nama.

Penanda-label atau penanda-tetap biasa diucapkan dalam terma-terma dunia-dunia-yang-mungkin : Itu adalah sebuah relasi antara nama dan benda sedemikian hingga itu tetap-berlaku dalam semua dunia-dunia-yang-mungkin.

Ini kemudian menyediakan sebuah analogi linguistik terhadap sebuah teori-metafisika tentang identitas sesuatu yang mirip dengan salah satu yang ditemukan dalam 'substansi' metafisika-tradisional seperti yang dikemukakan Aristoteles.

Dengan dibuangnya batasan-batasan karakteristik pada filsafat-analitik awal, posisi ini dalam filsafat-bahasa diciptakan untuk suatu kemudahan transisi menuju metafisika yang memadai.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Sunday, June 28, 2020

Filsafat Analitik 6a : 1960-an Dan Setelahnya ( Era Ekletisme ) : Kematian Filsafat Bahasa


Lewat pertengahan tahun 1960-an era filsafat-bahasa mendekati akhirnya. Penyebab dari
kematiannya bervariasi. Salah satunya, adalah pada saat itu tampak terdapat perpecahan yang tajam di dalam gerakan-analitik khususnya antara para pendukung bahasa-biasa dengan bahasa-ideal mengenai sifat bahasa-dan-makna disatu sisi dan mengenai bagaimana bersikap terhadap filsafat disisi lain.

Hingga titik ini, inti dari filsafat-analitik memiliki pandangan bahwa persoalan-persoalan filsafat adalah ilusi-bahasa yang dihasilkan oleh pelanggaran batas-batas makna dan persoalan itu telah diselesaikan dengan membuat penanda yang jelas batas-batas itu dan kemudian bertahan didalamnya.

Namun, sekarang menjadi jelas hal itu bukanlah tugas mudah. Jauh dari fenomena-transparan ( mudah-dilihat ) yang telah diterima oleh para analis-awal, makna-bahasa berubah menjadi fenomena teka-teki yang rumit, maka dengan sendirinya memerlukan perlakuan filosofis yang dalam.

Bahkan, menjadi jelas bahwa banyak yang memegang pandangan-pandangan inti-analitik terhadap sifat dari filsafat bersandar pada teori-makna yang berbeda-beda, terkadang tersirat, tidak pernah cukup jelas dan seringkali tidak masuk-akal

Kegagalan internal dari logika-posivisme dikombinasikan dengan kritik-kritik dari luar oleh Wittgenstein dan Quine memberi kontribusi pada kematian pendekatan bahasa-ideal.

Disisi lain, banyak, termasuk Bertrand Russel melihat pendekatan bahasa-biasa jauh dari jenis karya filosofis yang serius.

Karena alasan ini dan alasan lainnya, pendekatan bahasa-biasa juga mematik api dari luar gerakan-analitik, dalam bentuk karya Ernest Gellner berjudul Words and Things (1959) dan karya dari W.C.K. Mundles berjudul Critique of Linguistic Philosophy (1970)

Khusus yang pertama memiliki dampak internasional yang luas, sehingga memberi kontribusi kepada apa yang disebut oleh T.P. Uschanov " Kematian aneh dari filsafat bahasa-biasa. "

Melemahnya filsafat-bahasa juga memberi tanda melemahnya usaha-usaha untuk menentukan metode filsafat yang layak, atau bahkan sekedar metode-pembeda untuk filsafat-analitik.

Pandangan Quine mengangkat persoalan itu ----bahwa filsafat berlanjut dengan pengetahuan-ilmiah dalam tujuan-tujuannya dan metode-metodenya, hanya berbeda dalam sifat-generalitas pertanyaan-pertanyaannya---- telah terbukti berpengaruh dan mencapai tingkatan dominasi tertentu untuk beberapa lama, tetapi tidak sampai pada derajat yang dimiliki konsepi-bahasa tentang filsafat yang telah berjalan selama enam puluh tahun.

Alternatif yang tidak terikat dengan pengetahuan-ilmiah empiris segera muncul, dengan hasil bahwa praktek filsafat dalam filsafat-analitik kontemporer sekarang menjadi cukup ekletik.

Dalam beberapa lingkaran-kelompok, penerapan terhadap teknik-formal tetap dipandang sebagai pusat dari praktek filsafat, meski sekarang ini lebih dipandang seperti sebuah alat untuk mencapai kejelasan tentang konsep-konsep kita daripada sebuah cara untuk menganalisis bahasa.

Dalam lingkaran yang lain, ekspresi yang cermat dalam bahasa-biasa terlihat menyediakan kejelasan dengan tingkat yang memadai.

Sebagian karena pandangan Quine terhadap filsafat sebagai berkelanjutan dengan pengetahuan-ilmiah ( yang tentu saja terbagi dalam spesialisasi ), dan sebagian karena filsafat-analitik selalu disajikan untuk membahas pertanyaan-pertanyaan dengan definisi yang sempit dalam isolasi dari yang lain, filsafat-analitik post-bahasa terbagi dengan sendirinya ke dalam sejumlah sub-bidang yang terspesialisasi.

Metamorfosa yang tengah berlangsung pada filsafat-bahasa menjadi apa yang sekarang kita ketahui sebagai filsafat-bahasa.

Epistemologi, filsafat-kesadaran, filsafat pengatahuan-ilmiah, etika dan meta-etika dan bahkan metafisika bangkit atau muncul kembali sebagai wilayah penyelidikan yang tidak-acuh kepada perhatian-perhatian terhadap bahasa namun tidak dalam dirinya bersifat bahasa secara intrinsik.

Selama waktu berjalan, daftar telah berkembang dengan memasukan bidang estetika, filsafat sosial dan politik, filsafat feminis, filsafat agama, filsafat hukum, filsafat kognitif pengetahuan-ilmiah dan filsafat sejarah.

Terhadap penjelasan mengenai sifat ekletisme-nya, filsafat-analitik kontemporer menentang ringkasan atau gambaran umum. Dengan tanda yang sama, hal itu mencakup terlalu banyak untuk dibahas secara detail disini.

Namun, dua perkembangan dalam filsafat-analitik post-bahasa secara khusus perlu dibahas.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH5a
Pemahaman Pribadi

Friday, June 26, 2020

Filsafat Analitik 5b : Pandangan Akhir Wittgenstein


Ketika logika-positivisme sibuk merayap dibawah beban inkoherensi (ketidak-konsistenan) dalam dirinya, permasalahan yang lebih besar menciptakan situasi buruk bagi filsafat bahasa-ideal secara umum.

Setelah menerbitkan Tractatus, Wittgenstein pensiun dari filsafsat dan beralih mengajar pada Sekolah-Dasar di pedesaan pinggiran Austria.

Mengapa ia tidak meninggalkan dunia akademis ----sedang ia meyakini, telah mengistirahatkan persoalan-persoalan filsafat-tradisional !

Selama waktu meninggalkan sekolah-tinggi, Wittgenstein telah seringkali memikirkan kembali pandangan-pandangannya tentang bahasa.

Dia menyimpulkan bahwa, jauh dari menjadi sebuah fungsi-kebenaran-kalkulus, bahasa tidak memiliki struktur-universal-yang-benar ----yang berarti tidak terdapat suatu semacam bahasa-ideal.

Sebaliknya, setiap sistem-bahasa ----baik itu bahasa-lengkap-resmi, suatu dialek, atau bahasa teknik khusus yang digunakan oleh seorang ahli---- adalah seperti sebuah permainan yang berjalan sesuai aturan-aturannya sendiri.

Aturan-aturan bahasa yang dimaksud bukanlah jenis yang ditemukan dalam buku-buku tata-bahasa ----aturan-aturan itu hanya suatu upaya mendeskripsikan aturan-aturan yang telah ditemukan dalam praktek-praktek suatu komunitas-bahasa.

Aturan-aturan bahasa yang sesungguhnya, menurut pandangan-akhir Wittgenstein, tidak dapat ditetapkan/dinyatakan, melainkan dapat ditunjukan dalam jalinan-kompleks dalam praktek-praktek bahasa dan non-bahasa yang menyusun 'bentuk-kehidupan' suatu komunitas-bahasa apapun.

Menurut pandangan-akhir Wittgenstein, bahasa merupakan suatu fenomena-sosial-intrinsik, dan cara-cara-berbahasa-yang-benar bervariasi sebanyak cara-berbahasa yang telah berhasil dalam kehidupan bersama manusia.

Konsekuensinya, cara-berbahasa-yang-benar tidak dapat dipelajari secara abstrak, terpisah dari banyak perwujudan yang khusus dalam banyak komunitas manusia.

Berlawanan dengan pandangan-pandangannya dalam karya Tractatus, pandangan-akhir Wittgenstein tidak lagi meyakini bahwa 'makna' adalah suatu gambaran-relasi yang didasarkan pada hubungan-korespondensi antara atom-atom bahasa dengan atom-atom metafisika.

Melainkan, 'makna' merupakan sistem-bahasa atau permainan-bahasa, yang tidak-dapat dianalisis secara keseluruhan, yang bagian-bagian-nya ( ucapan / ungkapan yang disetujui dengan aturan-aturan bahasa ) mempunyai 'makna' oleh sebab mempunyai suatu peranan untuk bermain ----suatu pemakaian---- di dalam bentuk-kehidupan-secara-keseluruhan dari suatu komunitas-bahasa..

Sehingga, sering dikatakan bahwa bagi pandangan-akhir Wittgenstein 'makna' berarti pemakaian. Menurut pandangan ini, bagian-bagian suatu bahasa sama-sekali tidak perlu mengacu atau sesuai dengan apapun, mereka hanya harus memainkan suatu peranan dalam sebuah bentuk-kehidupan.

Adalah penting untuk mencatat, bahwa bahkan dalam pemikiran akhirnya, Wittgenstein tetap mempertahankan pandangan persoalan-persoalan filsafat-tradisional muncul dari kesalahan bahasa, dan hakekat filsafat-yang-sesungguhnya adalah tentang melakukan analisis terhadap bahasa sehingga menggenggam batas-batas 'makna' dan melihat kesalahan secara jernih apa adanya ----jatuh kedalam kebingungan atau tanpa-makna.

Namun, pemahaman barunya terhadap bahasa membutuhkan suatu pemahaman baru terhadap analisis.

Analisis-bahasa tidak lagi berupa transformasi dari sebuah pernyataan bahasa-biasa kedalam notasi-simbolik dari logika-formal yang dipandang menunjukan bentuk sebenarnya.

Sebaliknya, analisis-bahasa adalah sebuah persoalan tentang melihat bagaimana bahasa dalam 'pemakaian-biasa' dan melihat bahwa persoalan-persoalan filsafat-tradisional muncul hanya ketika kita meninggalkan 'pemakaian-biasa' itu.

" Suatu persoalan filsafat ", kata Wittgenstein, " mempunyai bentuk : saya tidak-tahu cara menanganinya ", (Wittgenstein,123)

Ini berarti, saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan memadai tentang persoalan-itu, untuk bertanya persoalan-itu, dan untuk menjawab suatu pertanyaan persoalan-itu.

Jika seandainya saya melampaui aturan-aturan bahasa-saya dan mengatakan sesuatu entah-bagaimana caranya, apa yang saya katakan akan menjadi tidak-bermakna dan tidak-bisa-dimengerti. Sebagai contoh adalah ucapan-ucapan / ungkapan-ungkapan dalam filsafat-metafisika tradisional.

Konsekuensi selanjutnya, persoalan-persoalan filsafat diselesaikan atau lebih tepat dileburkan dengan melihat kepada kerja-kerja dalam bahasa-kita dan dengan suatu cara sehingga membuat kita mengenali kerja-kerjanya : ....Persoalan-persoalan filsafat diselesaikan, tidak dengan pemberian informasi-baru, tetapi melalui penyusunan apa-yang-selalu-sudah-kita-ketahui. (Wittgenstein 1953,109)

Dan 'apa-yang-selalu-sudah-kita-ketahui' adalah aturan-aturan dari bahasa-kita. " Kerja seorang filsuf ", ia berkata, " terdiri dari perakitan pengingat-pengingat untuk tujuan tertentu " (Wittgenstein 1953,127)

Pengingat-pengingat ini mengambil bentuk salinan dari bagaimana bagian-bagian bahasa biasa dipakai dalam permainan-bahasa, keluar dari apa yang oleh para filsuf telah diupayakan untuk dilangkahi.

Tujuan mereka adalah untuk membujuk para filsuf menjauh dari kesalahan-penggunaan bahasa yang penting untuk mengejar / menjawab pertanyaan-pertanyaan filsafat tradisional.

Sehingga, filsafat-yang-sesungguhnya menjadi suatu jenis terapi-bantuan pada penyembuhan sebuah penyakit bahasa yang melumpuhkan kemampuan seseorang agar terikat penuh kepada bentuk-kehidupan dalam komunitas-bahasa-nya.

Hakekat filsafat-yang-sesunguhnya, Wittgenstein berkata, " adalah suatu pertempuran melawan pengaruh-sihir terhadap kecerdasan kita melalui alat bahasa " (Wittgenstein 1953,109)

Senjata para filsuf-sejati dalam pertempuran ini adalah " untuk membawa kata-kata dari pemakaian metafisis kembali kepada pemakaian-biasa keseharian " (Wittgenstein,1953,116), sehingga " hasil-hasil dari filsafat merupakan pengungkapan terhadap suatu bagian dari bidang yang tidak-bisa-dimengerti dan pengungkapan mengenai pukulan-keras bahwa pemahaman telah diperoleh dengan pikiran yang terarah melawan batas-batas bahasa. " (Wittgenstein,1953,119)

Meski Wittgenstein telah mengembangkan pandangan-pandangan baru ini jauh lebih awal (terutama dalam tahun 1920-an dan 1930-an), pandangan-pandangan itu tidak dipublikasikan secara resmi hingga tahun 1953, dalam karyanya Philosophical Investigations yang terbit setelah kematiannya. Sebelumnya, pandangan-pandangan baru Wittgenstein telah menyebar luas dari mulut ke mulut diantara para muridnya dan orang-orang yang tertarik.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Wednesday, June 24, 2020

Filsafat Analitik 5a : Filsafat Bahasa-Biasa


Terima kasih untuk G.E. Moore, analisis bahasa-biasa telah mendapat tempatnya sejak awal dalam gerakan-analitik.

Namun karena superioritas yang dipersepsikan kepada analisis bahasa-ideal, analisis bahasa-biasa jatuh nyaris benar-benar keluar dari tinjauan selama beberapa dekade.

Pada tahun 1930 an, analisis bahasa-biasa mulai kembali bangkit, terima kasih disampaikan terutama kepada Wittgenstein ----yang pandangan-pandanganya mengalami perubahan-radikal sepanjang tahun 1920 an---- tetapi juga kepada sejumlah filsuf berbakat lainnya termasuk John Wisdom, John Austin ( jangan dirancukan dengan John Austin abad 19 yang menemukan positivisme-legal ), Gilbert Ryle, Peter Straeson, dan Paul Grice.

Disamping perbedaan-perbedaan alasan mereka untuk mengadopsi pendekatan bahasa-biasa, begitu juga cara masing-masing menggunakan / memperlakukan-nya, persamaan sosok-sosok ini yang memusatkan perhatian pada bahasa-biasa adalah nilai-substansial pemersatu untuk melawan dominasi pendekatan bahasa-ideal sebelumnya.

Filsafat bahasa-biasa menjadi dominan dalam filsafat-analitik hanya setelah perang dunia ke dua ----sehingga era bagi bahasa-biasa yang diberikan dalam Pengantar adalah 1945-1965. Memang, dengan pengecualian terhadap beberapa artikel karya Ryle, teks yang paling penting dari para pendukung analisis bahasa-biasa dipublikasikan pada tahun 1949 dan setelahnya ----dalam beberapa kasus tidak begitu lama kemudian, ketika pendekatan bahasa pada filsafat dalam semua bentuknya  sudah keluar.

Filsafat bahasa-biasa seringkali disebut filsafat-Oxford. Hal ini karena Ryle, Austin, Strawson, dan Grice semuanya merupakan pria-pria Oxford.

Mereka representasi yang paling penting dari para pendukung bahasa-biasa setelah Wittgenstein ( yang berada di Cambridge ). Setelah Wittgenstein meninggal dunia pada masa-masa awal era bahasa-biasa, mereka terus mempromosikannya hingga mencapai kejayaaan.

Disamping, koneksi yang kuat dengan Oxford, Wittgenstein biasa diterima sebagai filsuf bahasa-biasa yang paling penting. Karena alasan ini, kita akan memusatkan perhatian hanya kepada pandangan-pandangan terakhirnya dalam memberikan contoh yang lebih detail mengenai filsafat bahasa-biasa.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH4a
Pemahaman Pribadi



Tuesday, June 23, 2020

Filsafat Analitik 4b : W. V. Quine


Willard Van Orman Quine adalah filsuf Amerika pertama diantara filsuf-filsuf lain yang sangat penting dalam tradisi analitik.

Meski pandangan-pandangannya memberi pengaruh terbesar hanya selama masa filsafat-bahasa datang dan berakhir, adalah mudah dan relevan untuk mengangkat pandangan-pandangan itu berlawanan dengan logika-positivisme.

Suatu bagian penting dari program logika-positivisme adalah upaya untuk menganalisis atau mereduksi pernyataan-pernyataan pengetahuan-ilmiah kedalam protokol-pernyataan ( sistem-aturan / prosedur-formal membuat pernyataan ) yang terkait dengan pengamatan-pengamatan empiris.

Proyek pereduksian ini diangkat oleh beberapa anggota Lingkaran-Vienna, tetapi tak seorangpun mengangkat cukup jauh seperti yang dilakukan oleh Rudolph Carnap, dalam karyanya The Logical Structure of the World ( 1928 ) dan dalam karya-karya selanjutnya.

Persoalan dasar bagi proyek-reduksi adalah banyak konsep-konsep dan pendapat-pendapat pengetahuan-ilmiah yang penting tampak melampaui apa-yang-dapat-dibuktikan secara empiris.

Menyatakan pendapat bahwa matahari akan terbit esok hari adalah sebuah pendapat yang melampaui pengamatan-pengamatan hari ini.

Pendapat-pendapat tentang entitas-teoritis seperti atom-atom misalnya juga memberi persoalan yang jelas mengenai melampaui batas-batas apa-yang-dapat-dibuktikan melalui pengamatan-pengamatan yang spesifik, namun secara esensial pernyataan-pernyataan hukum pengetahuan-ilmiah juga bergerak menuju kepada persoalan yang sama.

Empirisme beranggapan, apa yang diperlukan untuk meletakan pendapat-pendapat pengetahuan-ilmiah pada suatu dasar epistemik yang kokoh-dan-aman adalah untuk membuang jurang-pemisah antara pengamatan dan teori tanpa lebih jauh memasukan entitas atau pandangan yang tidak bisa diverifikasi secara empiris.

Inilah tujuan dari proyek-reduksi. Dengan menunjukan bahwa setiap pendapat yang tampaknya tidak-bisa-dibuktikan dalam pengetahuan-ilmiah dapat dianalisis kedalam suatu unit-unit pengamatan yang lebih-kecil terhadap kalimat-kalimat, logika-positivisme berharap untuk menunjukan bahwa jurang-pemisah antara pengamatan dan teori sesungguhnya tidak-ada.

Disamping adanya pengertian ( terma-terma ) yang sangat dekat dengan Carnap dan dengan anggota lain Lingkaran Vienna ( yang dikunjunginya pada awal 1930 an ) dan disamping didedikasikan ---memang begitulah adanya---- kepada saintisme dan empirisme. Quine berpendapat bahwa proyek-reduksi tidak memilki harapan.

" Empirisme Modern ", dia berpendapat :

" telah dikondisikan dalam kelompok-besar oleh dua dogma. Salah satu kelompok merupakan sebuah keyakinan kepada suatu pembelahan mendasar antara kebenaran-kebenaran yang analitik atau didasarkan pada makna-makna yang terlepas dari persoalan fakta dan kebenaran-kebenaran yang sintetik atau didasarkan pada fakta. Dogma yang lain adalah reduksionisme yaitu keyakinan bahwa setiap pernyataan yang penuh-makna adalah ekivalen dengan suatu konstruksi-logis diatas pengertian ( terma-terma ) yang mengacu pada pengalaman-langsung. " ( Quine 1951, 20 ).

 " Kedua dogma itu ", kata Quine, " adalah dasar yang tidak-sehat. "

Dogma pertama yang menjadi pusat perhatian Quine adalah keharusan membuat suatu perbedaan penting antara pendapat-pendapat analitik dan sintetik.

Secara tradisional, paham tentang kebenaran-analitik, kebenaran-a-priori, dan kebenaran-yang-pasti saling terkait sangat erat satu sama lain, membentuk suatu jejaring konseptual yang berdiri tegak melawan jejaring yang ----secara umum---- bertentangan dengan kebenaran-kebenaran a-postteriori, kontingen dan sintetik.

Masing-masing kategori ini akan dijelaskan secara singkat sebelum menunjukan kritik Quine terhadap 'dogma' ini ( untuk pembahasan yang lebih luas lihat artikel A-Priori dan A-Posteriori ).

Suatu kebenaran-a-priori adalah sebuah proposisi yang dapat diketahui sebagai kebenaran melalui intuisi atau akal-murni, tanpa melakukan pengamatan-pengamatan empiris.

Sebagai contoh, baik kebenaran-matematika seperti 2+2=4, atau kebenaran-logika seperti jika ( (a=b) dan (b=c) ) maka (a=c), atau kebenaran-semantik seperti ' Semua bujangan adalah lelaki yang tidak menikah ', tidak bergantung pada perwujudan realitas apapun yang merujuk suatu kondisi dunia yang membuat proposisi benar atau diketahui ( benar atau salah ).

Kebenaran-a-posteriori, disisi lain adalah kebenaran-kebenaran yang didasarkan pada atau-paling-tidak diketahui hanya melalui pengalaman, termasuk kebenaran duniawi-biasa ( keseharian ) seperti ' Seekor kucing ada di atas tikar. ' dan kebenaran pengetahuan-ilmiah seperti ' Benda jatuh bebas pada percepatan 9,8 m/s2. '

Banyak ( jika tidak-semua ) kebenaran-a-priori tampak pasti ----yaitu tidak-dapat-ada kemungkinan-lain yang berlawanan.

Disisi lain, banyak ( jika tidak-semua ) kebenaran-a-posteriori tampak kontingen ----yaitu ada-kemungkinan-lain yang berlawanan seperti ' Kucing itu mungkin tidak di atas tikar. ' dan bagi kita yang tahu, perubahan kecepatan pada benda yang jatuh bebas mungkin berbeda dengan yang sekarang diketahui.

Pada akhirnya, sifat kepastian dan ke-a-priori-an pada kebenaran-kebenaran semacam itu tampak dikaitkan kepadanya secara analitik.

Sebuah proposisi adalah benar secara analitik jika setiap makna pada masing-masing istilah yang menyusunnya adalah benar.
Sebagai contoh, ' Semua bujangan adalah lelaki. ' secara analitik adalah benar, karena istilah 'lelaki' dihubungkan dengan istilah 'bujangan' dikarenakan makna masing-masing istilah itu ----sebuah fakta yang diketahui dengan menganalisis istilah 'bujangan' sehingga melihat bahwa istilah-itu berarti ' seorang lelaki yang tidak-menikah. '

Sementara disisi  lain, ' Semua bujangan telah meninggalkan ruangan. ' secara analitik adalah tidak-benar.

Itu disebut suatu proposisi atau kebenaran-sintetik, karena melibatkan istilah-istilah atau konsep-konsep yang tidak terhubung secara analitik oleh makna individual mereka, tetapi hanya sejauh ketika mereka disintesiskan ( digabungkan-bersama ) dalam proposisi itu sendiri.

Kebenaran-kebenaran seperti itu biasanya dan mungkin-selalu, a-posteriori dan kontingen.

Secara historis, para filsuf cenderung untuk berusaha menjelaskan sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan dengan melekatkan pada objek-objek abstrak seperti 'forma-forma' yang dikemukakan Plato atau 'esensi-esensi' dari Aristoteles.

Entitas-entitas seperti itu diduga melampaui ranah waktu, ruang dan/atau nalar dan oleh karena itu melampaui ranah 'alam' seperti yang didefinisikan oleh pengetahuan-ilmiah ----setidaknya ini dipahami oleh pengetahuan-ilmiah naturalisme pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Sebagai konsekuensinya, para pengabdi ilmu-pengetahuan naturalisme membutuhkan penjelasan alternatif mengenai sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan. Dan disinilah filsafat-analitik dalam pengertian titik-balik-perubahan kearah filsafat-bahasa tampak menawarkan suatu cara yang mengarah ke sana.

Demi alasan-alasan yang jelas, dan seperti petunjuk kutipan dari Quine di atas, kebenaran-analitik secara tradisional telah dikarekterisasikan sebagai " kebenaran oleh-sebab makna "

Meski secara historis, 'makna' dituangkan dalam beberapa cara berbeda : dalam pengertian abstrak, entitas-ideal ( Plato, Aristoteles, Husserl ) dan dalam pengertian konsep ( Locke, Hume ) dan dalam pengertian bahasa ( ditafsirkan sebagai sebuah sistem-simbol yang kongkret dan dapat dimengerti dengan penggunaan yang disetujui melalui kesepakatan).

Dalam konteks filsafat-analitik sebagai titik-balik-perubahan kearah filsafat-bahasa, semuanya menjadi mudah dengan mengambil pendekatan-yang-terakhir ( dalam pengertian bahasa ), dan oleh karena itu memperlakukan ke-analitik-kan sebagai turunan dari suatu fenomen-bahasa seperti ke-sinonim-man dan sifat-dapat-saling-menggantikan pada istilah-istilah.

Pandangan semacam itu sangat mudah diterima oleh kecenderungan-kecenderungan ilmiah, alamiah, dan empiris dari banyak para analis awal dan khususnya oleh penganut logika-positivisme.

Dengan asumsi-asumsi bahwa secara mendasar makna adalah sifat-bahasa dan bahwa bahasa adalah suatu kesepakatan sistem-simbol didalamnya simbol-simbol diberi-tanda dengan makna-makna oleh suatu otoritas, seseorang dapat menjelaskan ke-sinonim-man tanpa mengacu kepada apapun melampaui ranah waktu, ruang dan nalar.

Jika seseorang kemudian dapat menjelaskan sifat ke-analitik-kan dalam pengertian ke-sinonim-man dan menjelaskan sifat kepastian serta ke-a-priori-an keduanya dalam pengertian ke-analitik-kan, maka seseorang kemudian akan memiliki teori tentang kebenaran-analitik, kebenaran-yang-pasti dan kebenaran-a-priori yang konsisten dengan pengetahuan-ilmiah naturalisme.

Mengingat komitmen Quine sendiri pada ilmu-pengetahuan naturalisme, seseorang mungkin mengharapnya untuk bergabung dalam logika-positivisme dan yang lainnya berharap Quine menerima dan mendukung model-ini dan kemudian berjuang keras mengejar suatu versi yang dapat diterapkan terhadapnya.

Namun, Quine mengajukan suatu solusi yang lebih radikal terhadap persoalan sifat kepastian, ke-a-priori-an dan ke-analitik-kan pada pengetahuan-ilmiah naturalisme. Dengan menyebut salah satunya adalah, dia mengajukan pendapat untuk menolak perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, serta kepastian dan kontingen.

Dia mulai melemahkan paham yang berpendapat relasi-relasi ke-sinonim-man adalah ditetapkan oleh suatu otoritas atau 'definisi-stipulatif ' ( pemberian makna / definisi baru yang ditetapkan dalam konteks tertentu )

Dalam pandangan secara alamiah (  naturalistik ) terhadap bahasa dan makna, semua-makna dan relasi-relasi ke-sinonim--man menjadi harus dan sudah ditetapkan oleh sejumlah orang atau masyarakat yang membuat definisi-stipulatif dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Sebagai contoh, entah-siapa telah mengatakan / menetapkan, pada titik tertentu dalam sejarah, " mulai sekarang dan seterusnya simbol 'bujangan' harus dapat saling menggantikan dengan 'lelaki-yang-tidak-menikah'. "

Meski demikian, Quine bertanya secara retoris, " Lalu, siapa yang menentukan itu, atau kapan ? " (Quine 1951,24).
Intinya adalah kita tidak mempunyai bukti tentang penetapan definisi-stipulatif itu pernah terjadi.

Sehingga, pada akhirnya penjelasan  secara alamiah ( naturalistik ) tentang makna / ke-sinonim-man adalah sebuah teori yang tidak-dapat-dibuktikan secara empiris, sebuah jenis yang ingin dihindari oleh para positivis.

Bahkan, bukti empiris apapun yang kita miliki mengajukan pendapat bahwa teori-naturalistik tampak salah, seperti Quine melihatnya, " Definisi -----kecuali pada persoalan ekstrim dalam pengantar kesepakatan secara eksplisit terhadap notasi-baru---- bergantung pada relasi-relasi ke-sinonim-man sebelumnya. " (Quine, 1951, 27).

Dalam persoalan dimana definisi-stipulatif terjadi / muncul yaitu ketika seseorang membuat suatu definisi-stipulatif ----seperti dalam sebuah kamus, sebagai contoh---- Quine menjelaskan bahwa, hal itu jauh dari pengertian menetapkan ke-sinonim-man, karena 'stipulator' yang-menetapkan-definisi hanya memberi gambaran atau menggunakan relasi-relasi ke-sinonim-man yang sudah ada dalam bahasa.

Setelah melakukan eksplorasi beberapa jenis kasus didalamnya definisi-stipulatif tampak menetapkan relasi-relasi ke-sinonim-man, dia menyimpulkan bahwa semuanya kecuali satu ----tindakan banal menciptakan singkatan-baru---- bersandar pada relasi-relasi ke-sinonim-man yang sudah ada sebelumnya.

Hasil akhirnya adalah bahwa definisi-stipulatif tidak mampu menjelaskan kasus yang luas didalamnya ke-sinonim-man terjadi dan oleh karenanya definisi-stipulatif tidak bisa menjadi dasar-umum baik bagi ke-sinonim-man atau ke-analitik-kan

Sehingga dengan landasannya yang dilemahkan pandangan-alamiah ( naturalistik ) tentang sifat ke-analitik-kan, kepastian dan ke-a-priori-an runtuh.

Namun demikian, Quine tidak melakukan penolakan terhadap penjelasan teori-naturalistik tentang ketidak-mampuannya untuk menjelaskan fenomena ini, Quine justru menolak pemahaman bahwa teori-naturalistik harus menjelaskan perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, kepastian dan kontingen berdasar pendapat bahwa masing-masing kategori itu adalah kategori-palsu.

Tentu saja, pada pandangan pertama tampak ada suatu perbedaan antara analitik dan sintetik, a-priori dan a-posteriori, dan kepastian dan kontingen. Namun, ketika kita berupaya untuk memperoleh pemahaman lebih dalam terhadap fenomena ini dengan mendefinisikannya, kita tidak dapat melakukan.

Quine mengeksplorasi beberapa cara lain yang berbeda bagaimana menentukan sifat ke-analitik-kan untuk melengkapi ke-sinonim-man dan definisi-stipulatif, kesimpulan akhirnya semua itu tidak berhasil.

Sebaliknya, sifat ke-analtik-kan, kepastian, ke-sinonim-man dan konsep-konsep yang terkait tampak saling memberi kontribusi makna / definisi satu sama lain melalui cara yang dinyatakan Quine dengan " tidak melingkar datar, tetapi sesuatu semacam itu. Dalam ungkapan secara figuratif, memiliki bentuk kurva tertutup dalam ruangan. " (Quine 1951,29)

Karena tak-ada satupun diantaranya dapat didefinisikan tanpa melibatkan satu sama lain, tak-ada satupun dapat dihilangkan dengan mereduksi satu kedalam yang lainnya.

Daripada menarik kesimpulan bahwa ke-analitik-kan, kepastian dan ke-a-priori-an dan lain sebagainya adalah fenomena-primitif, Quine justru membawa sifat tidak-dapat-didefinisikan mereka untuk menunjukan tidak-ada perbedaan-murni yang dapat ditarik antara semua sifat-itu dengan lawan-lawan tradisionalnya.

Ini membawa kita kepada dogma kedua. Ketika Quine mengkritisi 'reduksionisme', secara prinsip, dalam pikirannya terdapat kecenderungan logika para-positivis untuk mengejar proyek-reduksi seolah-olah setiap-pernyataan dan apapun-pernyataan pengetahuan-ilmiah,  ditinjau dalam isolasi, dapat direduksi menjadi / dianalisa ke dalam unit-unit-kecil-pernyataan yang dapat diamati dan dikaitkan dengannya sedemikian rupa sehingga masing-masing unit dijelaskan secara unik sebagai verifikasi-dan-makna pernyataan itu.

Sebaliknya terhadap konsepsi yang bersifat 'atomistik', 'isolasi' atau 'lokal' dalam analisis verifikasi / reduktif ini, Quine berpendapat bahwa pernyataan pengetahuan-ilmiah memiliki kekuatan-prediktif dan oleh karenanya dapat ----dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya dan begitu juga dengan makna----, hanya sebagai bagian dari jejaring-besar pernyataan-pernyataan yang secara bersama membentuk teori-teori yang sulit-dijangkau yang dapat disebut 'pandangan-dunia'.

Dengan alasan ini, seseorang tidak pernah membuktikan kebenaran atau kesalahan sebuah pernyataan pengetahuan-ilmiah yang ter-isolasi. Sebaliknya pembuktian kebenaran atau kesalahan ( verfikasi atau falsifikasi ) ----dan juga makna---- adalah bersifat 'holistik'.

Pengamatan-pengamatan ( dan pengamatan pada kalimat-kalimat ) yang tampak membuktikan kebenaran sebuah unit-kecil-pernyataan tersendiri sesungguhnya memberi kontribusi parsial kepada verifikasi total-jaringan-teori secara keseluruhan dimana bagian-itu ada didalamnya.

Seperti bahasa menyarankan disini, dipandang secara holistik, verifikasi tidak pernah absolut. Disana tidak terdapat sejumlah pengamatan yang dapat dikelola, yang akan membuktikan kebenaran sebuah teori sebagai totalitas atau membuktikan sebuah unsur-konstitutif pernyataan apapun untuk semuanya.

Dengan tanda yang sama, pengamatan-pengamatan ( dan pengamatan pada kalimat-kalimat ) yang  tampak membuktikan kesalahan satu-unit-pernyataan tersendiri tidak membuktikan kesalahan teori secara totalitas dimana bagian-itu ada didalamnya.

Sebaliknya, pengamatan-pengamatan seperti itu hanya menuntut sejumlah penyesuaian yang perlu dilakukan pada teori itu. Mungkin salah-satu pernyataan konstituif-nya harus ditolak, tetapi tidak selalu satu-pernyataan yang pada awalnya tampak dapat dibuktikan kesalahannya. Menurut pandangan Quine, pernyataan-konstitutif apapun dapat diselamatkan dengan membuat penyesuaian dimana saja dalam jejaring-teori.

Pandangan holistik terhadap makna-dan-verfikasi ini menekankan kembali penolakan Quine terhadap perbedaan analitik / sintetik dan yang sejenisnya.

Holisme dalam ranah ini berimplikasi bahwa tidak-ada pernyataan dalam teori-teori yang imun dari revisi atau penolakan dalam sorotan bukti-bukti yang dapat diamati.

Ini berarti bahwa bahkan pernyataan-pernyataan yang secara tradisional dipikirkan merupakan kepastian dan atau analitik, seperti pernyataan pada matematika dan logika, dapat direvisi atau ditolak guna mempertahankan pernyataan-lain yang terikat lebih dalam kepadanya.

Serangan Quine kepada perbedaan analitik/sintetik tidak hanya mengikis dasar proyek-reduksi para positivis, tetapi juga praktek-umum analisis yang sejak dari awalnya telah dipahami untuk melibatkan transformasi kalimat kedalam kalimat lain yang secara semantik ekivalen ( sinonim ) tetapi secara gramatikal berbeda

Pada saat yang sama, holisme Quine tentang makna pada pernyataan pengetahuan-ilmiah dan verifikasinya digeneralisir menjadi suatu teori tentang makna-holisme yang diterapkan kepada semua pernyataan yang penuh-makna apapun pernyataan itu.

Namun demikian, mengikuti praktek dari Moore, metode analitik biasa diterapkan kepada pernyataan dalam isolasi, terpisah dari pertimbangan / tinjauan hubungan mereka dengan pernyataan lain yang bersama-sama mungkin menyusun suatu 'pandangan-dunia' filosofis.

Makna holisme Quinean mengikis dasar aspek analisis ini sama besar seperti yang dilakukannya pada pandangan isolasionis verifikasi dari logika-positivisme



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH3b
Pemahaman Pribadi



Wednesday, June 17, 2020

Filsafat Analitik 4a : Logika Positivisme dan Lingkaran Vienna


Logika-positivisme merupakan hasil mengkombinasikan aspek-aspek sentral dari positivisme yang dikemukakan oleh August Comte dan Ernst Mach dengan pandangan-pandangan meta-filosofis dan metodologi dari gerakan-analitik, khususnya seperti yang dipahami oleh para pendukung bahasa-ideal.

Dalam semua bentuknya, positivisme dijiwai oleh idealisasi terhadap pengetahuan-ilmiah seperti yang biasa dipahami paling-tidak dari masa Newton hingga sepanjang awal abad 20. Konsekuensinya, logika-positivisme pada intinya merupakan sebuah pandangan yang disebut 'saintisme' yaitu pandangan bahwa semua pengetahuan adalah pengetahuan-ilmiah.

Seperti yang telah ditunjukan oleh filsafat-ilmiah abad 20, pendefinisian dan pembatasan kepada pengetahuan-ilmiah adalah sebuah tugas yang sulit. Tetap saja, untuk beberapa abad adalah biasa untuk menganggap bahwa metafisika dan cabang-cabang lain dari filsafat yang dipratekan secara tradisional ----dengan tidak menyebut keyakinan-keyakinan relijius dan akal-sehat (common-sense)---- tidak dikualifikasikan sebagai pengetahuan-ilmiah. Dari sudut pandang 'saintisme', semua itu bukanlah bidang-bidang pengetahuan, dan pendapat-pendapatmya tidak seharusnya dinilai membawa bobot keseriusan apapun.

Di jantung logika-positivisme adalah sebuah cara baru dalam menyingkirkan pandangan-pandangan non-pengetahuan-ilmiah tertentu dengan menyatakan pandangan-pandangan-itu tidak hanya benar atau salah tetapi juga tanpa-makna.

Berdasar pada teori-verifikasi-makna, kadang juga disebut teori-makna-empiris, pernyataan non-tautologi apapun mempunyai makna jika dan hanya-jika pernyataan tersebut dapat dibuktikan secara empiris. Prinsip-verifikasi-makna ini adalah sama-dengan prinsip yang dipertahankan dalam karya Wittgensteins Tractatus bahwa dunia-makna adalah koekstensif dengan dunia-alam-empiris dalam ilmu-pengetahuan-ilmiah

Sesungguhnya logika-positivisme menarik banyak pandangan-pandangan mereka langsung dari Tractatus (meski pembacaan mereka terhadapnya telah dikritisi sebagai terlalu-cenderung menekankan bagian-bagian yang dekat dengan pengetahuan-ilmiah naturalisme dengan mengorbankan pandangan yang jauh dari pengetahuan-alam-ilmiah)

Bersama Wittgenstein, logika-positivisme menyimpulkan bahwa bagian terbesar filsafat-tradisional terdiri dari persoalan-persoalan semu yang tanpa-makna, yang muncul karena pemakaian bahasa yang salah dan bahwa peranan sesungguhnya dari filsafat adalah untuk menetapkan dan memaksa batas terhadap bahasa yang penuh-makna melalui analisis-bahasa.

Logika-positivisme diciptakan dan dipromosikan terutama oleh sejumlah pemikir Austro-Jerman yang dikaitkan dengan Lingkaran-Vienna dan Lingkaran-Berlin dengan derajat tingkatan yang sedikit.

Lingkaran-Vienna diawali sebagai sebuah kelompok-diskusi para filsuf yang berpikiran secara ilmiah atau mungkin para ilmuwan yang berpikiran secara filosofis yang diorganisir oleh Moritz Schlick tahun 1922.

Keanggotaannya yang pasti sulit untuk ditentukan, karena adanya figur-figur pinggiran yang menghadiri pertemuan-pertemuan diskusi atau paling tidak memiliki hubungan substansial dengan anggota-anggota inti, tetapi seringkali dikarakterisasikan sebagai pengunjung atau rekanan daripada anggota-penuh yang resmi.

Diantara anggotanya yang paling terkenal adalah Schlick sendiri, Otto Neurath, Herbert Feigl, Freidrich Waismann dan mungkin yang paling terkenal dari semuanya adalah Rudolph Carnap.

Para anggota kedua Lingkaran itu memberi banyak kontribusi kepada sejumlah diskusi-diskusi filosofis dan ilmiah, termasuk logika dan filsafat-kesadaran/pikiran ( sebagai contoh lihat artikel tentang Behaviorisme dan Teori Identitas dalam ensiklopedia ini ). Namun, kontribusi terpenting mereka terhadap perkembangan filsafat-analitik berada di dalam wilayah filsafat-bahasa, metodologi filosofis dan meta-filosofis. Adalah pandangan-pandangan mereka dalam wilayah ini yang dikombinasikan untuk membentuk logika-positivisme.

Logika positivisme dipopulerkan di Inggris-Raya oleh A.J Ayer yang pernah mengunjungi Lingkaran-Vienna pada tahun 1933. Buku karyanya berjudul Language, Thruth and Logic ( Ayer 1936 ) sangat berpengaruh dan tetap bertahan sebagai pengantar terbaik kepada logika-positivisme seperti yang dipahami pada masa puncak kejayaannya.

Demi membebaskan dari gejolak perang dunia II, beberapa anggota Lingkaran-Vienna beremigrasi ke Amerika-Serikat disana mereka mengamankan pos-pos pengajaran dan melakukan pengaruh yang sangat besar kepada filsafat akademis.

Meski demikian, hingga saat ini logika-positivisme telah melewati masa jayanya, konsekuensinya bukan lagi menjadi logika-positivisme yang memadai, seperti yang lebih dikenal luas sebelumnya, tetapi sesuatu yang lebih mengarah pada cara berfilsafat yang memusatkan perhatian pada bahasa, logika, dan pengetahuan ilmiah ( bahasan lebih dalam pada pokok ini, lihat artikel pada American Philosophy, khususnya bagian 4 )

Ironisnya, kematian/kemunduran logika-positivisme disebabkan terutama oleh suatu cengkeraman mematikan dalam pandangan intinya sendiri, yaitu teori-verifikasi-makna.

Menurut prinsip-verifikasi, suatu pernyataan non-tautologi mempunyai makna jika dan hanya-jika dapat dibuktikan secara empiris. Namun demikian, prinsip-verifikasi itu sendiri adalah non-tautologis tetapi tidak bisa dibuktikan secara empiris.

Konsekuensinya, kondisi itu membuat teori-verifikasi menjadi tanpa-makna. Bahkan terlepas dari persoalan yang sangat menghancurkan ini terdapat kesulitan-kesulitan dalam menetapkan ruang-lingkup prinsip-verifikasi itu sehingga dapat mengabdi pada tujuan-tujuan pengetahuan-ilmiah posivistik.

Dalam bentuk kuatnya ( yang diberikan di atas ) dasar/pondasi prinsip-verifikasi dirusak bukan hanya oleh dirinya tetapi juga oleh pernyataan-pernyataan tentang entitas-teoritis, sehingga memaksa pengetahuan-ilmiah untuk membuktikan-nya ( melakukan kerjanya ).

Disisi lain, versi-versi yang lebih-lemah dari prinsip-verifikasi seperti diberikan oleh karya edisi kedua Ayer Language, Truth, Logic ( 1946 ), tidak mampu menghilangkan jangkauan-penuh dari pernyataan-pernyataan metafisika dan non-ilmiah lainnya yang hendak didiskualifikasi oleh para positivis



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/analytic/#SH3a
Pemahaman Pribadi