a. Alamiah/Kodrat dan Konvensi/Kesepakatan
Perbedaan antara Physis (alam) dan Nomos (adat, hukum, konvensi/kesepakatan) adalah tema sentral dalam pemikiran Yunani pada paruh kedua abad ke-5 SM dan sangat penting untuk memahami karya-karya kaum Sofis mengenai tema itu.
Sebelum beralih ke perhatian kaum Sofis terhadap konsep-konsep ini dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka, ada baiknya membuat sketsa makna dari istilah-istilah Yunani.
Aristoteles mendefinisikan Physis sebagai :
" Substansi dari benda yang dalam dirinya-sendiri memiliki semacam sumber gerak " (Metafisika, 1015a13-15).
Istilah Physis berhubungan erat dengan kata-kerja Yunani yang berarti 'tumbuh' (phuō/to grow) dan aspek-dinamis dari Physis mencerminkan pandangan bahwa sifat-dasar benda-benda ditemukan dalam asal-muasal mereka dan prinsip-prinsip internal perubahan.
Beberapa pemikir Ionia yang sekarang disebut sebagai Pra-Sokrates, termasuk Thales dan Heraclitus, menggunakan istilah Physis untuk mengacu pada realitas secara keseluruhan, atau setidaknya komponen-material penyusun yang mendasarinya, yang merujuk pada penyelidikan terhadap Alam dalam konteks ini lebih sebagai historia (penyelidikan) daripada filsafat.
Istilah Nomos mengacu pada berbagai konsep normatif yang membentang dari kebiasaan/adat dan konvensi/kesepakatan hingga hukum positif.
Akan menyesatkan untuk menilai istilah ini hanya merujuk pada konvensi/kesepakatan manusia yang subjektif, seperti karya Heraclitus menerapkan istilah itu untuk pembedaan antara Nomoi yang berarti manusia dan Nomos yang berarti Ilahi yang esa (DK 22B2 dan 114) membuat jelas apa yang dimaksud.
Namun, semakin banyak perjalanan, seperti dicontohkan dalam tulisan The History of Herodutus, mengarah pada pemahaman yang lebih luas tentang beragam adat, konvensi/kesepakatan, dan hukum di antara komunitas-komunitas di dunia kuno.
Pengenalan ini menetapkan kemungkinan adanya dikotomi antara apa yang tidak-berubah dan sesuai dengan alam dan apa yang hanya merupakan produk dari konvensi/kesepakatan manusia yang subjektif.
Dikotomi antara Physis dan Nomos tampaknya merupakan suatu yang lumrah dalam pemikiran kaum Sofis dan lebih banyak ditulis oleh Protagoras dan Hippias dari pada lainnya.
Namun demikian, penjelasan paling Sofistik tentang pembedaan ini, mungkin ditemukan dalam fragmen Antiphon dalam karyanya On Truth.
Antiphon menerapkan pembedaan itu kepada gagasan tentang keadilan dan ketidak-adilan, dengan berpendapat bahwa mayoritas hal-hal yang dianggap adil menurut Nomos bertentangan langsung dengan alam dan karenanya tidak benar-benar adil atau adil secara alami (DK 87 A44).
Dorongan dasar dari argumen Antiphon adalah bahwa undang-undang dan konvensi/kesepakatan dirancang sebagai penghambat bagi pengejaran terhadap 'kesenangan' yang alamiah dari manusia.
Dalam sebuah bagian yang membahas diskusi tentang keadilan di bagian-awal Republic karya Plato, Antiphon juga menegaskan bahwa seseorang seharusnya menggunakan keadilan demi keuntungan-nya dengan menghargai hukum sebagai sesuatu yang penting ketika banyak saksi, tetapi mengabaikan ketika seseorang bisa menghindarinya begitu saja.
Meskipun argumen ini dapat ditafsirkan sebagai jalan melakukan antilogis tentang alam dan konvensi/kesepakatan, daripada rumusan untuk bersikap hati-hati menjalani kehidupan yang tidak bermoral, hal itu konsisten dengan pandangan hubungan antara sifat-dasar manusia dan keadilan yang dikemukakan oleh penggambaran Plato tentang Callicles dalam karyanya Gorgias dan Thrasymachus dalam karyanya Republic.
Callicles, seorang aristokrat muda Athena yang mungkin merupakan tokoh sejarah nyata atau ciptaan imajinasi Plato, bukanlah seorang Sofis, bahkan dia mengungkapkan penghinaan bagi mereka (Gorgias, 520a).
Namun, penjelasannya terhadap hubungan antara Physis dan Nomos berhutang pada pemikiran Sofistik.
Menurut Callicles, argumen Socrates yang mendukung pendapat lebih baik menderita/menerima ketidak-adilan daripada melakukan ketidak-adilan, dengan sengaja memanfaatkan suatu ambiguitas dalam istilah keadilan demi keuntungan sendiri.
Callicles berpendapat bahwa keadilan konvensional (berdasar kesepakatan) adalah semacam moralitas-budak yang dipaksakan oleh mayoritas yang-lemah untuk membatasi keinginan segelintir yang-kuat/superior.
Sebaliknya, apa yang adil menurut alam di lihat dengan mengamati kehidupan binatang di alam dan hubungan antara komunitas politik dimana di sana dapat terlihat bahwa yang-kuat menang atas yang-lemah.
Callicles sendiri mengambil argumen ini dalam arah hedonisme-sensual vulgar yang dimotivasi oleh nafsu untuk memiliki lebih daripada yang lain (pleonexia), tetapi hedonisme-sensual seperti itu tampaknya tidak menjadi konsekuensi yang pasti kepada penjelasan keadilan alamiah-nya.
Meskipun Thrasymachus Sang-Sofis tidak menggunakan pembedaan Physis/Nomos, penjelasan keadilan menurutnya dalam buku-satu Republic, (338d-354c) termasuk dalam kerangka kerja konseptual yang serupa.
Seperti Callicles, Thrasymachus menuduh Socrates melakukan penipuan yang disengaja dalam argumen-argumennya, terutama dalam pendapat bahwa seni-keadilan terkandung dalam penguasa yang menjaga rakyatnya.
Menurut Thrasymachus, kita lebih baik untuk berpikir hubungan penguasa/pemerintah dalam hal seorang penggembala yang mengawasi kawanan gembalanya dengan sebuah pandangan untuk memangsa pada akhirnya.
Keadilan dalam istilah sebagai konvensi/kesepakatan hanyalah keprihatinan naif untuk keuntungan orang lain.
Dari sudut pandang lain yang lebih alami, keadilan adalah aturan dari yang-lebih-kuat, sejauh penguasa menetapkan hukum-hukum yang meyakinkan banyak orang bahwa adalah adil bagi mereka yang menuruti apa yang menguntungkan bagi segelintir penguasa.
Sebuah penjelasan alternatif, dan lebih bermanfaat banyak lagi, tentang hubungan antara Physis dan Nomos ditemukan dalam pidato hebat Protagoras (Protagoras, 320c-328d).
Menurut mitos Protagoras, manusia pada awalnya dikirim oleh para Dewa ke dalam kondisi-alam yang keras, yang mengingatkan kita pada apa yang kemudian dijelaskan oleh Thomas Hobbes.
Kondisi kita membaik ketika Zeus memberi hadiah kepada kita rasa-malu dan keadilan, ini memungkinkan kita untuk mengembangkan keterampilan-politik dan karenanya hubungan-hubungan komunal yang beradab dan bajik.
Terlepas dari dukungan argumennya bahwa aretē dapat diajarkan kepada warga negara yang bebas, kisah ini mengemukakan sebuah pembelaan terhadap Nomos dengan dasar bahwa alam dengan sendirinya tidak cukup untuk perkembangan manusia yang dianggap sebagai binatang-politik.
b. Relativisme
Sumber utama tentang relativisme Sofistik terhadap pengetahuan dan/atau kebenaran adalah pernyataan terkenal dari Protagoras :
" Manusia adalah ukuran-nya. "
Penafsiran tesis Protagoras di atas selalu menjadi persoalan kontroversi.
Kehati-hatian diperlukan khususnya terhadap godaan untuk membaca epistemologis modern yang memperhatikan/membahas penjelasan Protagoras dan ajaran Sofistik tentang relativitas-kebenaran secara lebih umum.
Tesis ukuran Protagoras adalah sebagai berikut :
" Manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu, untuk segala yang-ada maka ia ada, dan untuk segala yang-tidak-ada maka ia tidak-ada. " (DK, 80B1).
Hampir ada konsensus ilmiah bahwa di sini Protagoras merujuk kepada seorang-manusia sebagai ukuran untuk apa-saja tetapi bukan 'umat-manusia (humankind)', meskipun istilah Yunani untuk 'manusia (human)' --hoanthropos-- tentu saja tidak mengeluarkan penafsiran kedua.
Akan tetapi, karya Plato Theaetetus (152a) menyarankan pembacaan pertama dan saya akan mengasumsikan kebenarannya di sini.
Pada pembacaan ini, kita dapat menilai Protagoras sedang menyatakan bahwa jika angin, misalnya, terasa (atau tampak) dingin bagi saya dan terasa (atau tampak) hangat bagi anda, maka angin itu dingin untuk saya dan hangat untuk anda.
Persoalan interpretatif lain menyangkut apakah kita harus menafsirkan maksud utama pernyataan Protagoras secara ontologis atau epistemologis.
Studi akademis serius oleh Kahn, Owen dan Kerferd antara lain menunjukkan bahwa, meskipun orang Yunani tidak memiliki perbedaan yang jelas antara penggunaan eksistensial dan predikatif dari kata 'to be', mereka cenderung memperlakukan penggunaan eksistensial sebagai jalan-pintas dari penggunaan predikatif.
Setelah memperoleh sketsa beberapa kesulitan interpretatif seputar pernyataan Protagoras, kita masih menyisakan setidaknya tiga bacaan yang mungkin (Kerferd, 1981a, 86).
Protagoras dapat menyatakan bahwa :
(i) tidak-ada angin yang sama-sekali-terlepas dari pikiran, yang-ada hanya angin subjektif pribadi.
(ii) ada sebuah angin yang-ada-terlepas dari persepsi-saya kepada-nya, tetapi dalam dirinya sendiri ia tidak dingin atau hangat karena kualitas ini bersifat pribadi.
(iii) ada angin yang-ada-terlepas dari persepsi-saya kepada-nya dan keduanya dingin dan hangat sejauh dua-kualitas dapat berada-disini di dalam pikiran-yang-sama terlepas dari 'entitas'.
Ketiga interpretasi adalah pilihan-pilihan yang masih ada, dengan (i) mungkin yang paling tidak masuk-akal. Namun, apapun pemasukan makna yang tepat terhadap relativisme Protagoras, petikan berikut dari Theaetetus menunjukkan bahwa relativisme Protagoras juga diperluas ke ranah politik dan etika :
" Apa-pun yang dianggap adil dan terpuji di sebuah kota adalah adil dan terpuji di kota itu, selama konvensi/kesepakatan tetap berlaku. " (167c).
Satu kesulitan yang ditimbulkan oleh petikan ini adalah bahwa meski Protagoras menyatakan bahwa semua kepercayaan sama benarnya, ia juga mempertahankan pendapat bahwa beberapa kepercayaan lebih unggul dari yang lain karena secara subjektif lebih cocok bagi mereka yang memeluknya.
Protagoras tampaknya menginginkan kedua pengertian di atas, sejauh ia menghilangkan kriteria objektif terhadap kebenaran sementara juga menyatakan bahwa beberapa keadaan subjektif lebih baik daripada keadaan subjektif yang lain.
Namun, keterikatannya pada keyakinan yang lebih baik dan lebih buruk dapat diambil untuk merujuk pada pengaruh sifat-persuasif dan kesenangan yang dibawa oleh keyakinan dan pidato tertentu daripada kebenaran objektifnya.
Sumber utama lainnya untuk relativisme Sofistik adalah Dissoi Logoi, sebuah contoh antilogis Protagoras yang tidak bertanggal dan anonim.
Dalam Dissoi Logoi kita menemukan argumen yang saling bersaing mengenai lima tesis, termasuk apakah yang baik dan yang buruk sama atau berbeda, dan serangkaian contoh relativitas berbagai praktik dan hukum budaya.
Secara keseluruhan, Dissoi Logoi dapat diambil tidak hanya untuk menjunjung tinggi relativitas kebenaran tetapi juga apa yang disebut Barney (2006, 89) sebagai tesis variabilitas :
" apa pun yang baik menurut beberapa kualitas tertentu adalah juga buruk dari sisi penilaian yang lain dan sama halnya dengan berbagai macam predikat yang berlawanan. "
c. Bahasa dan Realitas
Bisa dipahami mengingat program pendidikan mereka, kaum Sofis memberi tekanan besar pada kekuatan-berbicara (logos).
Logos adalah istilah yang sangat sulit untuk diterjemahkan dan dapat merujuk kepada pikiran/pemikiran dan tentang apa yang kita bicarakan dan pikirkan juga ucapan-ucapan yang rasional atau bahasa.
Para Sofis secara khusus tertarik dengan peran wacana-manusia dalam pembentukan-realitas.
Retorika adalah bagian-inti dari kurikulum, tetapi interpretasi sastra terhadap karya para penyair juga merupakan pokok pendidikan Sofistik.
Beberapa implikasi filosofis dari perhatian para Sofis terhadap 'ucapan/pidato' diulas dalam bagian 4, tetapi pada bagian ini adalah dimaksudkan untuk berkonsentrasi pada penjelasan Gorgias tentang kekuatan-retoris dari logos.
Fragmen-fragmen yang masih ada yang dikaitkan dengan Gorgias secara historis menunjukkan tidak hanya skeptisisme terhadap hakekat-ada (esensial being) dan akses epistemis kita ke ranah eksistensial ini, tetapi juga sebuah penegasan tentang kemahakuasaan-persuasif dari logos untuk membuat dunia alam-dan-praktis sesuai dengan kehendak manusia.
Melaporkan pidato Gorgias, About the Nonexistent atau on Nature, Sextus mengatakan bahwa sang-ahli retorika, meski mengambil pendekatan yang berbeda dari Protagoras, juga menghilangkan kriteria-kriteria (DK, 82B3).
Penghapusan kriteria-kriteria mengacu pada penolakan terhadap sebuah standar yang memungkinkan kita untuk membedakan secara jelas antara pengetahuan dan opini mengenai suatu-yang-ada (being) dan sifat-sifatnya (nature).
Sementara Protagoras menegaskan bahwa manusia adalah ukuran dari semua hal, Gorgias memusatkan perhatian pada status-kebenaran dari pengetahuan tentang suatu-yang-ada (being) dan sifat-sfatnya (nature) sebagai konstruksi diskursif.
Pidato About the Nonexistent atau on Nature melanggar ketentuan yang dikemukakan Parmenides bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apa-itu terhadap apa yang-tidak-ada.
Dengan menggunakan serangkaian argumen bersyarat seperti Zeno, Gorgias menegaskan bahwa :
" Tidak-ada sesuatu-pun yang-ada, dan jika sesuatu itu benar-benar-ada, ia tidak dapat dipahami/ditangkap/diketahui, dan jika dapat dipahami/ditangkap/diketahui, ia tidak dapat diartikulasikan dengan logos. "
Parodi yang lebih detail menampakkan karakter paradoks dari upaya untuk mengungkapkan kebenaran sifat-sifat suatu-yang-ada melalui logos :
" Oleh karena, dengan apa kita mengungkapkan adalah Logos, tetapi Logos bukanlah substansi dan benda-yang-ada. "
" Karena itu, kita tidak mengungkapkan suatu-yang-ada kepada kawan-kawan kita, tetapi logos, yang merupakan sesuatu selain substansi. " (DK, 82B3)
Bahkan jika pengetahuan tentang suatu-yang-ada dimungkinkan, penyebaran-nya dengan logos akan selalu terdistorsi oleh adanya ketidaksesuaian antara substansi dan penangkapan kita dan komunikasi antara mereka.
Gorgias juga mengemukakan, bahkan lebih provokatif, bahwa sejauh 'ucapan' adalah media di mana manusia mengartikulasikan pengalaman mereka tentang dunia, logos bukanlah pengungkapan dunia-eksternal, tetapi sebaliknya, dunia-eksternal yang mengungkapkan logos.
Pemahaman mengenai logos terhadap alam sebagai konstitutif daripada deskriptif di sini mendukung penegasan kemahakuasaan dari keahlian retoris.
Laporan Gorgias menunjukkan bahwa tidak ada pengetahuan tentang keabadian alam universal dan pemahaman/pengetahuan yang kita genggam akan realitas selalu dimediasi oleh interpretasi diskursif, yang pada gilirannya, membawa implikasi bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kepentingan manusia dan klaim kekuasaan.
Dalam Encomium to Helen Gorgias menyebut logos sebagai Tuan-Penguasa yang sangat kuat (DK, 82B11).
Jika manusia memiliki pengetahuan tentang masa lalu, sekarang atau masa depan, mereka tidak akan dipaksa untuk menerima pendapat yang tidak-dapat-diperkirakan sebagai nasihat bagi mereka.
Perselisihan tak berujung dari para astronom, politisi dan filsuf diambil untuk menunjukkan bahwa tidak ada logos yang definitif/pasti.
Ketidaktahuan manusia terhadap kebenaran tentang suatu-yang-tidak-ada dengan demikian dapat dieksploitasi dengan bujukan-retoris sejauh manusia menginginkan ilusi-kepastian yang diberikan oleh kata-kata yang diucapkan :
Pengaruh logos pada kondisi jiwa dapat bandingkan dengan kekuatan obat-obatan terhadap sifat tubuh.
Karena sama seperti obat yang berbeda mengeluarkan cairan yang berbeda dari tubuh, dan beberapa membunuh penyakit dan yang lain membuat bertahan hidup, demikian juga dalam kasus logos, beberapa membawa kesusahan, yang lain senang, beberapa menyebabkan ketakutan, yang lain membuat pendengar berani, dan beberapa obat menyihir jiwa dengan semacam bujukan jahat (DK, 82B11).
Semua yang berhasil membujuk orang-orang, kata Gorgias, melakukannya dengan mencetak logos tiruan.
Sementara bentuk-bentuk kekuatan lain membutuhkan kekuatan, logos membuat semuanya menjadi budak yang menuruti secara sukarela.
Penjelasan tentang hubungan antara ucapan persuasif, pengetahuan, pendapat, dan kenyataan ini, secara luas konsisten dengan penggambaran para ahli retorika oleh Plato dalam karyanya Gorgias.
Baik relativisme Protagoras dan penjelasan Gorgias tentang kemahakuasaan logos mengemukakan apa yang kita sekarang sebut sebagai sebuah penurunan epistemik anti-realisme.
Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi