Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, March 31, 2019

Sofisme 4 : Tema-Tema Utama Pemikiran Sofisme


a. Alamiah/Kodrat dan Konvensi/Kesepakatan

Perbedaan antara Physis (alam) dan Nomos (adat, hukum, konvensi/kesepakatan) adalah tema sentral dalam pemikiran Yunani pada paruh kedua abad ke-5 SM dan sangat penting untuk memahami karya-karya kaum Sofis mengenai tema itu.

Sebelum beralih ke perhatian kaum Sofis terhadap konsep-konsep ini dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka, ada baiknya membuat sketsa makna dari istilah-istilah Yunani.

Aristoteles mendefinisikan Physis sebagai :

" Substansi dari benda yang dalam dirinya-sendiri memiliki semacam sumber gerak " (Metafisika, 1015a13-15).

Istilah Physis berhubungan erat dengan kata-kerja Yunani yang berarti 'tumbuh' (phuō/to grow) dan aspek-dinamis dari Physis mencerminkan pandangan bahwa sifat-dasar benda-benda ditemukan dalam asal-muasal mereka dan prinsip-prinsip internal perubahan.

Beberapa pemikir Ionia yang sekarang disebut sebagai Pra-Sokrates, termasuk Thales dan Heraclitus, menggunakan istilah Physis untuk mengacu pada realitas secara keseluruhan, atau setidaknya komponen-material penyusun yang mendasarinya, yang merujuk pada penyelidikan terhadap Alam dalam konteks ini lebih sebagai historia (penyelidikan) daripada filsafat.

Istilah Nomos mengacu pada berbagai konsep normatif yang membentang dari kebiasaan/adat dan konvensi/kesepakatan hingga hukum positif.

Akan menyesatkan untuk menilai istilah ini hanya merujuk pada konvensi/kesepakatan manusia yang subjektif, seperti karya Heraclitus menerapkan istilah itu untuk pembedaan antara Nomoi yang berarti manusia dan Nomos yang berarti Ilahi yang esa (DK 22B2 dan 114) membuat jelas apa yang dimaksud.

Namun, semakin banyak perjalanan, seperti dicontohkan dalam tulisan The History of Herodutus, mengarah pada pemahaman yang lebih luas tentang beragam adat, konvensi/kesepakatan, dan hukum di antara komunitas-komunitas di dunia kuno.

Pengenalan ini menetapkan kemungkinan adanya dikotomi antara apa yang tidak-berubah dan sesuai dengan alam dan apa yang hanya merupakan produk dari konvensi/kesepakatan manusia yang subjektif.

Dikotomi antara Physis dan Nomos tampaknya merupakan suatu yang lumrah dalam pemikiran kaum Sofis dan lebih banyak ditulis oleh Protagoras dan Hippias dari pada lainnya.

Namun demikian, penjelasan paling Sofistik tentang pembedaan ini, mungkin ditemukan dalam fragmen Antiphon dalam karyanya On Truth.

Antiphon menerapkan pembedaan itu kepada gagasan tentang keadilan dan ketidak-adilan, dengan berpendapat bahwa mayoritas hal-hal yang dianggap adil menurut Nomos bertentangan langsung dengan alam dan karenanya tidak benar-benar adil atau adil secara alami (DK 87 A44).

Dorongan dasar dari argumen Antiphon adalah bahwa undang-undang dan konvensi/kesepakatan dirancang sebagai penghambat bagi pengejaran terhadap 'kesenangan' yang alamiah dari manusia.

Dalam sebuah bagian yang membahas diskusi tentang keadilan di bagian-awal Republic karya Plato, Antiphon juga menegaskan bahwa seseorang seharusnya menggunakan keadilan demi keuntungan-nya dengan menghargai hukum sebagai sesuatu yang penting ketika banyak saksi, tetapi mengabaikan ketika seseorang bisa menghindarinya begitu saja.

Meskipun argumen ini dapat ditafsirkan sebagai jalan melakukan antilogis tentang alam dan konvensi/kesepakatan, daripada rumusan untuk bersikap hati-hati menjalani kehidupan yang tidak bermoral, hal itu konsisten dengan pandangan hubungan antara sifat-dasar manusia dan keadilan yang dikemukakan oleh penggambaran Plato tentang Callicles dalam karyanya Gorgias dan Thrasymachus dalam karyanya Republic.

Callicles, seorang aristokrat muda Athena yang mungkin merupakan tokoh sejarah nyata atau ciptaan imajinasi Plato, bukanlah seorang Sofis, bahkan dia mengungkapkan penghinaan bagi mereka (Gorgias, 520a).

Namun, penjelasannya terhadap hubungan antara Physis dan Nomos berhutang pada pemikiran Sofistik.

Menurut Callicles, argumen Socrates yang mendukung pendapat lebih baik menderita/menerima ketidak-adilan daripada melakukan ketidak-adilan, dengan sengaja memanfaatkan suatu ambiguitas dalam istilah keadilan demi keuntungan sendiri.

Callicles berpendapat bahwa keadilan konvensional (berdasar kesepakatan) adalah semacam moralitas-budak yang dipaksakan oleh mayoritas yang-lemah untuk membatasi keinginan segelintir yang-kuat/superior.

Sebaliknya, apa yang adil menurut alam di lihat dengan mengamati kehidupan binatang di alam dan hubungan antara komunitas politik dimana di sana dapat terlihat bahwa yang-kuat menang atas yang-lemah.

Callicles sendiri mengambil argumen ini dalam arah hedonisme-sensual vulgar yang dimotivasi oleh nafsu untuk memiliki lebih daripada yang lain (pleonexia), tetapi hedonisme-sensual seperti itu tampaknya tidak menjadi konsekuensi yang pasti kepada penjelasan keadilan alamiah-nya.

Meskipun Thrasymachus Sang-Sofis tidak menggunakan pembedaan Physis/Nomos, penjelasan keadilan menurutnya dalam buku-satu Republic, (338d-354c) termasuk dalam kerangka kerja konseptual yang serupa.

Seperti Callicles, Thrasymachus menuduh Socrates melakukan penipuan yang disengaja dalam argumen-argumennya, terutama dalam pendapat bahwa seni-keadilan terkandung dalam penguasa yang menjaga rakyatnya.

Menurut Thrasymachus, kita lebih baik untuk berpikir hubungan penguasa/pemerintah dalam hal seorang penggembala yang mengawasi kawanan gembalanya dengan sebuah pandangan untuk memangsa pada akhirnya.

Keadilan dalam istilah sebagai konvensi/kesepakatan hanyalah keprihatinan naif untuk keuntungan orang lain.

Dari sudut pandang lain yang lebih alami, keadilan adalah aturan dari yang-lebih-kuat, sejauh penguasa menetapkan hukum-hukum yang meyakinkan banyak orang bahwa adalah adil bagi mereka yang menuruti apa yang menguntungkan bagi segelintir penguasa.

Sebuah penjelasan alternatif, dan lebih bermanfaat banyak lagi, tentang hubungan antara Physis dan Nomos ditemukan dalam pidato hebat Protagoras (Protagoras, 320c-328d).

Menurut mitos Protagoras, manusia pada awalnya dikirim oleh para Dewa ke dalam kondisi-alam yang keras, yang mengingatkan kita pada apa yang kemudian dijelaskan oleh Thomas Hobbes.

Kondisi kita membaik ketika Zeus memberi hadiah kepada kita rasa-malu dan keadilan, ini memungkinkan kita untuk mengembangkan keterampilan-politik dan karenanya hubungan-hubungan komunal yang beradab dan bajik.

Terlepas dari dukungan argumennya bahwa aretē dapat diajarkan kepada warga negara yang bebas, kisah ini mengemukakan sebuah pembelaan terhadap Nomos dengan dasar bahwa alam dengan sendirinya tidak cukup untuk perkembangan manusia yang dianggap sebagai binatang-politik.


b. Relativisme

Sumber utama tentang relativisme Sofistik terhadap pengetahuan dan/atau kebenaran adalah pernyataan terkenal dari Protagoras :

" Manusia adalah ukuran-nya. "

Penafsiran tesis Protagoras di atas selalu menjadi persoalan kontroversi.

Kehati-hatian diperlukan khususnya terhadap godaan untuk membaca epistemologis modern yang memperhatikan/membahas penjelasan Protagoras dan ajaran Sofistik tentang relativitas-kebenaran secara lebih umum.

Tesis ukuran Protagoras adalah sebagai berikut :

" Manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu, untuk segala yang-ada maka ia ada, dan untuk segala yang-tidak-ada maka ia tidak-ada. " (DK, 80B1).

Hampir ada konsensus ilmiah bahwa di sini Protagoras merujuk kepada seorang-manusia sebagai ukuran untuk apa-saja tetapi bukan 'umat-manusia (humankind)', meskipun istilah Yunani untuk 'manusia (human)' --hoanthropos-- tentu saja tidak mengeluarkan penafsiran kedua.

Akan tetapi, karya Plato Theaetetus (152a) menyarankan pembacaan pertama dan saya akan mengasumsikan kebenarannya di sini.

Pada pembacaan ini, kita dapat menilai Protagoras sedang menyatakan bahwa jika angin, misalnya, terasa (atau tampak) dingin bagi saya dan terasa (atau tampak) hangat bagi anda, maka angin itu dingin untuk saya dan hangat untuk anda.

Persoalan interpretatif lain menyangkut apakah kita harus menafsirkan maksud utama pernyataan Protagoras secara ontologis atau epistemologis.

Studi akademis serius oleh Kahn, Owen dan Kerferd antara lain menunjukkan bahwa, meskipun orang Yunani tidak memiliki perbedaan yang jelas antara penggunaan eksistensial dan predikatif dari kata 'to be', mereka cenderung memperlakukan penggunaan eksistensial sebagai jalan-pintas dari penggunaan predikatif.

Setelah memperoleh sketsa beberapa kesulitan interpretatif seputar pernyataan Protagoras, kita masih menyisakan setidaknya tiga bacaan yang mungkin (Kerferd, 1981a, 86).

Protagoras dapat menyatakan bahwa :

(i) tidak-ada angin yang sama-sekali-terlepas dari pikiran, yang-ada hanya angin subjektif pribadi.

(ii) ada sebuah angin yang-ada-terlepas dari persepsi-saya kepada-nya, tetapi dalam dirinya sendiri ia tidak dingin atau hangat karena kualitas ini bersifat pribadi.

(iii) ada angin yang-ada-terlepas dari persepsi-saya kepada-nya dan keduanya dingin dan hangat sejauh dua-kualitas dapat berada-disini di dalam pikiran-yang-sama terlepas dari 'entitas'.

Ketiga interpretasi adalah pilihan-pilihan yang masih ada, dengan (i) mungkin yang paling tidak masuk-akal. Namun, apapun pemasukan makna yang tepat terhadap relativisme Protagoras, petikan berikut dari Theaetetus menunjukkan bahwa relativisme Protagoras juga diperluas ke ranah politik dan etika :

" Apa-pun yang dianggap adil dan terpuji di sebuah kota adalah adil dan terpuji di kota itu, selama konvensi/kesepakatan tetap berlaku. " (167c).

Satu kesulitan yang ditimbulkan oleh petikan ini adalah bahwa meski Protagoras menyatakan bahwa semua kepercayaan sama benarnya, ia juga mempertahankan pendapat bahwa beberapa kepercayaan lebih unggul dari yang lain karena secara subjektif lebih cocok bagi mereka yang memeluknya.

Protagoras tampaknya menginginkan kedua pengertian di atas, sejauh ia menghilangkan kriteria objektif terhadap kebenaran sementara juga menyatakan bahwa beberapa keadaan subjektif lebih baik daripada keadaan subjektif yang lain.

Namun, keterikatannya pada keyakinan yang lebih baik dan lebih buruk dapat diambil untuk merujuk pada pengaruh sifat-persuasif dan kesenangan yang dibawa oleh keyakinan dan pidato tertentu daripada kebenaran objektifnya.

Sumber utama lainnya untuk relativisme Sofistik adalah Dissoi Logoi, sebuah contoh antilogis Protagoras yang tidak bertanggal dan anonim.

Dalam Dissoi Logoi kita menemukan argumen yang saling bersaing mengenai lima tesis, termasuk apakah yang baik dan yang buruk sama atau berbeda, dan serangkaian contoh relativitas berbagai praktik dan hukum budaya.

Secara keseluruhan, Dissoi Logoi dapat diambil tidak hanya untuk menjunjung tinggi relativitas kebenaran tetapi juga apa yang disebut Barney (2006, 89) sebagai tesis variabilitas :

" apa pun yang baik menurut beberapa kualitas tertentu adalah juga buruk dari sisi penilaian yang lain dan sama halnya dengan berbagai macam predikat yang berlawanan. "


c. Bahasa dan Realitas

Bisa dipahami mengingat program pendidikan mereka, kaum Sofis memberi tekanan besar pada kekuatan-berbicara (logos).

Logos adalah istilah yang sangat sulit untuk diterjemahkan dan dapat merujuk kepada pikiran/pemikiran dan tentang apa yang kita bicarakan dan pikirkan juga ucapan-ucapan yang rasional atau bahasa.

Para Sofis secara khusus tertarik dengan peran wacana-manusia dalam pembentukan-realitas.

Retorika adalah bagian-inti dari kurikulum, tetapi interpretasi sastra terhadap karya para penyair juga merupakan pokok pendidikan Sofistik.

Beberapa implikasi filosofis dari perhatian para Sofis terhadap 'ucapan/pidato' diulas dalam bagian 4, tetapi pada bagian ini adalah dimaksudkan untuk berkonsentrasi pada penjelasan Gorgias tentang kekuatan-retoris dari logos.

Fragmen-fragmen yang masih ada yang dikaitkan dengan Gorgias secara historis menunjukkan tidak hanya skeptisisme terhadap hakekat-ada (esensial being) dan akses epistemis kita ke ranah eksistensial ini, tetapi juga sebuah penegasan tentang kemahakuasaan-persuasif dari logos untuk membuat dunia alam-dan-praktis sesuai dengan kehendak manusia.

Melaporkan pidato Gorgias, About the Nonexistent atau on Nature, Sextus mengatakan bahwa sang-ahli retorika, meski mengambil pendekatan yang berbeda dari Protagoras, juga menghilangkan kriteria-kriteria (DK, 82B3).

Penghapusan kriteria-kriteria mengacu pada penolakan terhadap sebuah standar yang memungkinkan kita untuk membedakan secara jelas antara pengetahuan dan opini mengenai suatu-yang-ada (being) dan sifat-sifatnya (nature).

Sementara Protagoras menegaskan bahwa manusia adalah ukuran dari semua hal, Gorgias memusatkan perhatian pada status-kebenaran dari pengetahuan tentang suatu-yang-ada (being) dan sifat-sfatnya (nature) sebagai konstruksi diskursif.

Pidato About the Nonexistent atau on Nature melanggar ketentuan yang dikemukakan Parmenides bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apa-itu terhadap apa yang-tidak-ada.

Dengan menggunakan serangkaian argumen bersyarat seperti Zeno, Gorgias menegaskan bahwa :

" Tidak-ada sesuatu-pun yang-ada, dan jika sesuatu itu benar-benar-ada, ia tidak dapat dipahami/ditangkap/diketahui, dan jika dapat dipahami/ditangkap/diketahui, ia tidak dapat diartikulasikan dengan logos. "

Parodi yang lebih detail menampakkan karakter paradoks dari upaya untuk mengungkapkan kebenaran sifat-sifat suatu-yang-ada melalui logos :

" Oleh karena, dengan apa kita mengungkapkan adalah Logos, tetapi Logos bukanlah substansi dan benda-yang-ada. "

" Karena itu, kita tidak mengungkapkan suatu-yang-ada kepada kawan-kawan kita, tetapi logos, yang merupakan sesuatu selain substansi. " (DK, 82B3)

Bahkan jika pengetahuan tentang suatu-yang-ada dimungkinkan, penyebaran-nya dengan logos akan selalu terdistorsi oleh adanya ketidaksesuaian antara substansi dan penangkapan kita dan komunikasi antara mereka.

Gorgias juga mengemukakan, bahkan lebih provokatif, bahwa sejauh 'ucapan' adalah media di mana manusia mengartikulasikan pengalaman mereka tentang dunia, logos bukanlah pengungkapan dunia-eksternal, tetapi sebaliknya, dunia-eksternal yang mengungkapkan logos.

Pemahaman mengenai logos terhadap alam sebagai konstitutif daripada deskriptif di sini mendukung penegasan kemahakuasaan dari keahlian retoris.

Laporan Gorgias menunjukkan bahwa tidak ada pengetahuan tentang keabadian alam universal dan pemahaman/pengetahuan yang kita genggam akan realitas selalu dimediasi oleh interpretasi diskursif, yang pada gilirannya, membawa implikasi bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kepentingan manusia dan klaim kekuasaan.

Dalam Encomium to Helen Gorgias menyebut logos sebagai Tuan-Penguasa yang sangat kuat (DK, 82B11).

Jika manusia memiliki pengetahuan tentang masa lalu, sekarang atau masa depan, mereka tidak akan dipaksa untuk menerima pendapat yang tidak-dapat-diperkirakan sebagai nasihat bagi mereka.

Perselisihan tak berujung dari para astronom, politisi dan filsuf diambil untuk menunjukkan bahwa tidak ada logos yang definitif/pasti.

Ketidaktahuan manusia terhadap kebenaran tentang suatu-yang-tidak-ada dengan demikian dapat dieksploitasi dengan bujukan-retoris sejauh manusia menginginkan ilusi-kepastian yang diberikan oleh kata-kata yang diucapkan :

Pengaruh logos pada kondisi jiwa dapat bandingkan dengan kekuatan obat-obatan terhadap sifat tubuh.

Karena sama seperti obat yang berbeda mengeluarkan cairan yang berbeda dari tubuh, dan beberapa membunuh penyakit dan yang lain membuat bertahan hidup, demikian juga dalam kasus logos, beberapa membawa kesusahan, yang lain senang, beberapa menyebabkan ketakutan, yang lain membuat pendengar berani, dan beberapa obat menyihir jiwa dengan semacam bujukan jahat (DK, 82B11).

Semua yang berhasil membujuk orang-orang, kata Gorgias, melakukannya dengan mencetak logos tiruan.

Sementara bentuk-bentuk kekuatan lain membutuhkan kekuatan, logos membuat semuanya menjadi budak yang menuruti secara sukarela.

Penjelasan tentang hubungan antara ucapan persuasif, pengetahuan, pendapat, dan kenyataan ini, secara luas konsisten dengan penggambaran para ahli retorika oleh Plato dalam karyanya Gorgias.

Baik relativisme Protagoras dan penjelasan Gorgias tentang kemahakuasaan logos mengemukakan apa yang kita sekarang sebut sebagai sebuah penurunan epistemik anti-realisme.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi



Wednesday, March 27, 2019

Sofisme 3 : Tokoh-Tokoh Sofisme


PROTAGORAS

Protagoras dari Abdera (490-420 SM) adalah anggota paling terkemuka dari gerakan Sofisme dan Plato melaporkan dan mencatat sebagai orang pertama yang menarik bayaran dengan menggunakan gelar sebagai seorang Sofis (Protagoras, 349a).

Terlepas dari rasa ketidaksukaannya terhadap kaum Sofis, Plato menggambarkan Protagoras sebagai sosok yang cukup simpatik dan bermartabat.

Salah satu aspek yang lebih menarik dari kehidupan, pekerjaan dan karya-karya Protagoras adalah hubungannya dengan jenderal besar Athena dan negarawan bernama Pericles (c. 495-429 SM).

Pericles, yang merupakan negarawan paling berpengaruh di Athena selama lebih dari 30 tahun, termasuk dua tahun pertama Perang Peloponnesia, tampak sangat menghargai para Filsuf dan Sofis, dan Protagoras secara khusus, dipercaya olehnya untuk berperan merancang hukum sebuah kota-amal masyarakat Athena, Thurii pada tahun 444 SM

Dari perspektif filosofis, Protagoras paling terkenal karena penjelasan relativistik-nya terhadap kebenaran khususnya pendapat bahwa " Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu " dan sikap agnostisisme-nya terhadap para Dewa.

Topik kebenaran-relativistik akan dibahas di bagian 3b.

Agnostisisme Protagoras terkenal diartikulasikan dalam pendapat bahwa :

" Mengenai para Dewa saya tidak dalam salah satu posisi untuk mengetahui, bahwa (atau bagaimana) mereka ada atau bahwa (atau bagaimana) mereka tidak ada, atau seperti apa penampakan mereka karena ada banyak hal yang mencegah pengetahuan, materi yang tidak-jelas dan singkatnya waktu kehidupan manusia " (DK, 80B4).

Ini tampak mengekspresikan suatu bentuk agnostisisme agama, sebuah pendapat yang tidak-sepenuhnya asing bagi warga Athena yang berpendidikan.

Meskipun demikian, sesuai tradisi, Protagoras dihukum karena penghinaan terhadap kepercayaan masyarakat Athena yang mengarah pada kematiannya.

Sebagai sebuah konsekuensi, begitulah cerita berjalan, buku-bukunya dibakar dan Protagoras tenggelam di laut ketika pergi meninggalkan Athena.

Mungkin penting dalam konteks ini bahwa Protagoras tampaknya telah menjadi sumber pendapat kaum Sofis untuk " Membuat argumen yang lebih lemah mengalahkan yang lebih kuat " yang diparodikan oleh Aristophanes dalam karyanya The Cloud.

Plato memberi pendapat bahwa Protagoras berusaha untuk menawarkan pendidikan yang berbeda dari yang dimiliki para Sofis lain, seperti Hippias, dengan memusatkan perhatian pada instruksi-instruksi demi arete dalam arti kebajikan politik daripada studi-studi khusus seperti astronomi dan matematika (Protagoras, 318e).

Terlepas dari karya-karyanya, Truth and On the Gods (Kebenaran dan Tentang Para Dewa), yang masing-masing membahas penjelasan relativisme terhadap kebenaran dan agnostisisme, Diogenes Laertius mengatakan bahwa Protagoras menulis buku-buku berikut :

Antilogika, Seni Eristik, Imperatif, Tentang Ambisi, Tentang Tindakan-Tindakan Manusia yang Tidak Benar, Tentang Segala Di Sana di bawah Kubur, Tentang Ilmu Pengetahuan, Tentang Kebajikan, Tentang Gulat, Tentang Asal Muasal Segala Sesuatu dan Pengadilan atas Pemungutan Biaya.


GORGIAS

Gorgias dari Leontini (485 - 390 SM) umumnya dianggap sebagai anggota gerakan Sofisme, terlepas dari ketidaksesuaian dirinya terhadap kemampuan untuk mengajar aretē (Meno, 96c).

Fokus utama Gorgias adalah retorika dan memberi tekanan pentingnya berbicara/pidato persuasif pada pendidikan Sofistik, dan penerimaannya atas bayaran, pantas untuk menimbang dirinya sejajar dengan para Sofis terkenal lainnya untuk tujuan saat ini.

Gorgias mengunjungi Athena pada 427 SM. sebagai pemimpin kedutaan dari Leontini dengan maksud yang berhasil diwujudkan olehnya yaitu membujuk orang Athena untuk membuat aliansi melawan Syracuse.

Dia melakukan perjalanan secara luas di seluruh wilayah Yunani, menghasilkan uang dalam jumlah besar dengan memberikan pelajaran tentang pidato-retorika dan epideiktik.

Dalam karyanya Gorgias, Plato menggambarkan ahli retorika sebagai semacam selebritas, yang tidak memiliki pandangan yang baik terhadap implikasi-implikasi dari keahliannya, atau enggan untuk menyampaikan implikasi-implikasi itu, dan yang menyangkal tanggung jawabnya atas penggunaan keterampilan retorika yang salah oleh siswa-siswa yang bandel.

Meskipun Gorgias menampilkan dirinya sebagai orang yang cukup menghargai moralitas, struktur dramatik dialog-dialog Plato menunjukkan bahwa pembelaan terhadap ketidakadilan oleh Polus muridnya dan keterikatan terhadap hak-alami yang lebih kuat oleh Callicles murid mudanya sebagian didasarkan pada praanggapan konseptual retorika Gorgianic.

Kontribusi asli Gorgias terhadap filsafat terkadang diperdebatkan, tetapi fragmen-fragmen karyanya On Not Being atau Nature dan Helen --yang dibahas secara rinci di bagian 3c-- menonjolkan pendapat menarik terhadap kekuatan pidato retorik dan gaya argumentasi yang mengingatkan pada gaya Parmenides dan Zeno.

Gorgias juga mendapat pujian untuk orasi-orasi dan pidato lainnya dan risalah teknis tentang retorika berjudul At the Right Moment in Time.


ANTIPHON

Detail biografi seputar Antiphon Sang-Sofis (sekitar 470-411 SM) tidak jelas, salah satu persoalan yang belum terselesaikan adalah apakah dia harus diidentifikasi sebagai Antiphon dari Rhamnus (seorang negarawan dan guru retorika yang merupakan anggota oligarki yang memegang kekuasaan singkat di Athena pada 411 SM).

Namun, sejak publikasi fragmen-fragmennya dari karyanya On Truth di awal abad ke-20, ia dianggap sebagai perwakilan utama dari gerakan Sofisme.

On Truth, yang menampilkan berbagai pendirian pendapat dan posisi yang berlawanan pada hubungan antara alam dan konvensi/adat (lihat bagian 3a di bawah), seringkali dianggap sebagai sebuah teks penting dalam sejarah pemikiran politik karena diduga mengandung dukungan terhadap egalitarianisme :

Mereka yang lahir dari ayah-ayah terkenal kita hormati dan hargai, sedang mereka yang berasal dari keluarga yang tidak-istimewa tidak kita hargai atau hormati.

Dalam hal ini kita berperilaku seperti orang barbar terhadap satu sama lain.

Karena secara kodrati-alami pada dasarnya kita semua sama, baik orang barbar maupun orang Yunani, memiliki asal usul yang sama.

Oleh karena itu adalah sesuai untuk memenuhi kepuasan-alami yang dibutuhkan oleh semua manusia: semua memiliki kemampuan untuk memenuhi dengan cara yang sama, dan dalam semua ini tidak ada dari kita yang berbeda baik sebagai barbar ataupun sebagai orang Yunani.

Karena kita semua bernafas menghirup udara dengan mulut dan lubang-hidung dan kita semua makan menggunakan tangan (dikutip dalam Untersteiner, 1954).

Apakah pernyataan di atas harus diterima sebagai ekspresi pandangan Antiphon yang sesungguhnya, atau hanya sekedar bagian dari penyajian bentuk antilogis melawan pandangan-pandangan yang bertentangan tentang keadilan tetap merupakan pertanyaan terbuka, juga apakah posisi-pendapat semacam itu menyingkirkan identifikasi Antiphon-Sang-Sofis dengan Antiphon-Oligarkis dari Rhamnus.


HIPPIAS

Masa kehidupan yang pasti untuk Hippias dari Elis tidak diketahui, tetapi para cendekiawan umumnya menganggap bahwa ia hidup selama periode yang sama dengan Protagoras.

Jika penggambaran Plato terhadap Protagoras --dengan kadar lebih sedikit kepada Gorgias-- menunjukkan sedikit rasa hormat, ia menghadirkan Hippias sebagai sosok lucu yang terobsesi dengan uang, menganggap penting dirinya dan bingung.

Hippias terkenal karena polimati-nya ( menguasai ilmu di berbagai bidang ) (DK 86A14).

Bidang keahliannya tampaknya meliputi astronomi, tata bahasa, sejarah, matematika, musik, puisi, prosa, retorika, lukisan, dan patung.

Seperti Gorgias dan Prodicus, ia bertindak sebagai seorang utusan/duta dari kota kelahirannya.

Karyanya sebagai seorang sejarawan, termasuk penyusunan daftar pemenang Olimpiade, sangat berharga bagi Thucydides dan sejarawan berikutnya karena membuat penanggalan yang lebih tepat terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu.

Dalam matematika ia dikaitkan dengan penemuan kurva --quadratrix-- yang digunakan untuk membagi tiga sebuah sudut.

Dalam hal kontribusi filosofisnya, Kerferd mengajukan pendapat, atas dasar karya Plato, Hippias Major (301d-302b), bahwa Hippias mengajukan teori bahwa kelas atau jenis-benda tergantung pada benda yang melingkupi mereka.

Sulit untuk banyak memahami terhadap dugaan doktrin ini berdasarkan bukti-bukti yang tersedia.

Seperti yang disampaikan di atas, Plato menggambarkan Hippias secara filosofis dangkal dan tidak mampu mengimbangi Socrates dalam diskusi dialektik.


PRODICUS

Prodicus dari Ceos, yang hidup pada periode yang kira-kira sama dengan Protagoras dan Hippias, ia terkenal karena pendapatnya mengenai adanya perbedaan-perbedaan yang tipis diantara berbagai-makna dari kata-kata.

Dia dianggap telah menulis risalah berjudul On the Correctness of Names.

Plato memberikan penjelasan lucu terhadap metode Prodicus dalam bagian karyanya Protagoras berikut ini :

Prodicus kemudian berbicara :

" ... Mereka yang menghadiri diskusi seperti ini harus mendengarkan dengan tidak-memihak, tetapi tidak sama, untuk kedua lawan bicara. Ada perbedaan di sini. Kita seharusnya mendengarkan secara tidak-memihak tetapi tidak membagi perhatian kita secara sama yang berarti kita harus lebih banyak tertuju ke pembicara yang lebih-bijak dan lebih sedikit ke yang lebih tidak-terpelajar

... Dengan cara ini, pada saatnya pertemuan kita akan berubah menjadi sesuatu yang paling menarik, karena Anda sebagai pembicara, pasti akan mendapatkan penghormatan, bukannya pujian, dari mereka yang mendengarkan Anda. Karena penghormatan melekat dengan jujur dalam jiwa pendengar, tetapi pujian sering kali hanyalah ungkapan verbal yang menipu. Dan kemudian, juga kita, sebagai pendengar Anda, akan menjadi yang paling gembira, tetapi bukan menikmati kesenangan, karena menjadi gembira berarti untuk belajar sesuatu, untuk berpartisipasi dalam sejumlah kegiatan intelektual, tetapi menjadi senang berkaitan dengan makan atau mengalami kesenangan lain dalam tubuh "
(337a-c).

Pidato epideiktus Prodicus, The Choice of Heracles, dipilih untuk dipuji oleh Xenophon (Memorabilia, II.1.21-34) dan di samping pengajaran pribadinya ia tampaknya telah bertindak sebagai duta besar untuk Ceos (tempat kelahiran Simonides) pada beberapa peristiwa.

Socrates, walaupun barangkali dengan kadar ironi, gemar menyebut dirinya sebagai murid Prodicus (Protagoras, 341a; Meno, 96d).


THRASYMACHUSh

Thrasymachus adalah seorang ahli retorika terkenal di Athena pada akhir abad ke-5 SM, tetapi catatan kita mengenai pandangan-pandanganya, yang bertahan hanya termuat dalam karya Plato, Cleitophon dan Book One of Republic.

Ia digambarkan kurang ajar dan agresif, terhadap pandangan-pandangan tentang sifat keadilan yang akan dibahas dalam bagian 3a.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi



Sunday, March 24, 2019

Sofisme 2 : Makna Sofis


Istilah Sophist (sophistes) berasal dari kata Yunani, Sophia yang berarti kebijaksanaan dan Sophos yang berarti bijak.

Setidaknya sejak Homer, istilah-istilah ini memiliki penerapan yang luas, mulai dari pengetahuan-praktis dan sikap hati-hati dalam urusan-urusan publik hingga kemampuan-puitis dan pengetahuan-teoritis.

Tercatat, istilah Sophia dapat digunakan untuk menggambarkan kepandaian/kecerdikan yang tidak-jujur jauh sebelum munculnya gerakan Sofistik.

Theognis, misalnya, menulis pada abad ke-6 SM, menasihati Cyrnos untuk membantu menyebarkan wacananya kepada teman-teman yang lain, karena kepandaian/kecerdikan semacam itu (sophie) bahkan lebih-unggul daripada keutamaan yang luar-biasa (excellence) (Elegiac Poems, 1072, 213).

Pada abad ke-5 SM. istilah Sophistes masih dilekatkan secara luas kepada 'orang-orang bijak', termasuk penyair seperti Homer dan Hesiod, Seven Sage, 'fisikawan' Ionian dan berbagai 'peramal' dan 'nabi'.

Penggunaan istilah yang lebih sempit untuk merujuk pada guru profesional kebajikan atau keunggulan (aretē) menjadi lazim pada paruh kedua abad ke-5 SM, meskipun demikian hal ini seharusnya tidak dimengerti adanya perbedaan yang jelas antara Filsuf seperti Socrates, dan Sofis seperti Protagoras, Gorgias dan Prodicus.

Ini terbukti dari pertunjukan drama komedi yang ditulis oleh Aristophanes, The Clouds (423 SM), di mana Socrates digambarkan sebagai seorang Sofis dan Prodicus disanjung karena kebijaksanaannya.

Pertunjukan drama Aristophanes adalah titik awal yang baik untuk memahami sikap orang-orang Athena terhadap kaum Sofis.

The Clouds menggambarkan kesengsaraan Strepsiades, warga negara Athena lanjut usia yang terjerat hutang cukup besar.

Strepsiades memutuskan bahwa cara terbaik untuk melepaskan hutangnya adalah dengan mengalahkan kreditornya di pengadilan, untuk itu ia menghadiri The Thinkery, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang dikepalai oleh seorang Sofis yaitu Socrates.

Ketika ia gagal untuk mempelajari seni-berbicara di The Thinkery, Strepsiades membujuk putranya Pheidippides yang pada awalnya menolak untuk menggantikannya belajar di sana untuk menebus kegagalannya dan membebaskannya dari hutang. Strepsiades kemudian mengantarkan puteranya untuk menjadi anggota di The Thinkery.

Di sana mereka bertemu dengan dua orang guru ahli yang dekat dengan Socrates dan ditunjuk olehnya untuk membimbing Pheidippides, yaitu Sang-Bijaksana dan Sang-Cerdik, yang masing-masing merepresentasikan argumen-yang-kuat atau kehidupan yang adil dan disiplin-diri serta argumen-yang-lemah atau ketidakadilan dan kesenangan-diri.

Keduanya berdebat untuk menarik hati Pheidippides memilih salah satu diantara mereka sebagai guru. Atas dasar sebuah pemungutan suara, Sang-Cerdik dinyatakan menang dalam perdebatan dan membawa Pheidippides masuk ke dalam The Thinkery untuk menerima pendidikan bagaimana membuat argumen yang lebih lemah mengalahkan yang lebih kuat.

Bebeberapa saat kemudian, Strepsiades mengunjungi kembali The Thinkery dan menemukan bahwa Socrates telah mengubah putranya menjadi intelektual yang pucat dan tidak berguna.

Setelah Pheidippides lulus, ia berhasil membebaskan ayahnya dari belitan hutang. Melalui perdebatan ia mengalahkan para kreditor ayahnya. Sayang ia tidak hanya menang atas para kreditor Strepsiades, tetapi juga terjadi pemukulan kepada ayahnya dan Pheidippides mengajukan pembenaran retoris-yang-persuasif untuk tindakan yang dilakukan. Strepsiades menilai anaknya tidak bermoral karena memukul orang tua, Pheidippides membela diri bahwa tindakannya adalah benar dan tidak mampu dibantah ayahnya.

Ketika Pheidippides juga memukul ibunya, kemarahan Strepsiades mendorongnya untuk memimpin serangan gerombolan budak perusuh ke The Thinkery karena menyalahkan pendidikan Socrates kepada anaknya.

Penggambaran Aristophanes tentang Socrates sebagai Sang-Sofis mengungkapkan setidaknya tiga tingkat.

Hal pertama, ini menunjukkan bahwa perbedaan antara Socrates dan lawan-lawan Sofis-nya sangat tidak jelas bagi orang-orang sejaman mereka.

Meskipun Socrates tidak memungut bayaran dan sering menyatakan bahwa yang ia ketahui hanyalah bahwa ia tidak tahu apa-apa hampir semua hal, hubungannya dengan para Sofis mencerminkan ketidakpastian istilah Sofis dan kesulitannya untuk membedakan metode Socrates dengan metode para Sofis, setidaknya bagi warga negara Athena sehari-hari.

Kedua, penggambaran Aristophanes menunjukkan bahwa pendidikan Sofistik mencerminkan sebuah penurunan nilai-nilai kepahlawanan orang-orang Athena dibanding generasi sebelumnya.

Ketiga, pengaitan dengan para Sofis kepada kecerobohan-intelektual dan keragu-raguan-moral mendahului Plato dan Aristoteles.

Sikap permusuhan terhadap kaum Sofis merupakan faktor penting dalam keputusan pengadilan Athena untuk mengutuk Socrates dengan hukuman mati karena penghinaan terhadap kepercayaan umum masyarakat Athena.

Anytus, yang merupakan salah satu dari penuduh Socrates dalam persidangannya, jelas tidak peduli dengan hal-hal rinci misalnya bahwa pria yang dituduhnya tidak mengakui mengajar aretē atau tidak juga menarik bayaran untuk melakukan hal itu.

Anytus digambarkan oleh Plato, sebagai orang yang mengemukakan pendapat bahwa kaum Sofis berarti kehancuran bagi semua orang yang berhubungan dengan mereka dan sebagai orang yang mendukung pengusiran mereka dari kota (Meno, 91 M-92 M).

Sebagai bentuk pengungkapan yang sama, dalam hal sikap terhadap kaum Sofis, adalah diskusi Socrates dengan Hippocrates, seorang pemuda Athena kaya yang ingin menjadi murid Protagoras (Protagoras, 312a).

Hippocrates sangat ingin bertemu Protagoras sehingga dia membangunkan Socrates pada dini hari, namun kemudian mengakui bahwa dia sendiri merasa malu untuk dikenal sebagai seorang Sofis oleh sesama warga.

Plato juga menggambarkan bahwa Protagoras menyadari permusuhan dan kebencian yang ditimbulkan oleh profesinya (Protagoras, 316c-e).

Tidaklah mengherankan, Protagoras mengajukan pendapat bahwa orang asing yang mengaku dirinya bijak dan membujuk para pemuda kaya di kota-kota pusat kekuasaan untuk meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka dan bergaul dengan mereka akan menimbulkan kecurigaan.

Bahkan, Protagoras berpendapat bahwa seni Sofistik adalah seni kuno, tetapi bahwa para Sofis tua, termasuk penyair seperti Homer, Hesiod dan Simonides, nabi, peramal dan bahkan pelatih fisik, sengaja tidak mengadopsi nama Sofis karena takut penganiayaan.

Protagoras mengatakan bahwa meskipun ia telah mengadopsi strategi menyatakan secara terbuka untuk menjadi seorang Sofis, ia mengambil tindakan pencegahan lain --mungkin termasuk hubungannya dengan Jenderal Athena Pericles-- untuk mengamankan keselamatannya.

Kedudukan rendah para Sofis dalam opini publik Athena tidak berasal dari satu sumber tunggal.

Tidak diragukan lagi kecurigaan para intelektual adalah salah satu faktor di antara banyak faktor itu.

Akan tetapi, sumber pendapatan baru (jenis pekerjaan baru) dan pengambilan keputusan yang demokratis juga merupakan ancaman bagi aristokrat Athena yang konservatif.

Perubahan sosial yang mengancam ini tercermin dalam sikap terhadap konsep arete (keunggulan atau kebajikan) yang telah disinggung dalam ringkasan di atas.

Meski dalam epos Homer arete pada umumnya menunjukkan kekuatan dan keberanian seorang pria sejati, pada paruh kedua abad ke-5 SM semakin dikaitkan dengan keberhasilan dalam urusan publik melalui persuasi-retoris.

Dalam konteks kehidupan politik Athena akhir abad ke-5 SM pentingnya keterampilan dalam pidato persuasif atau retorika tidak dapat diremehkan.

Perkembangan demokrasi membuat penguasaan-kata yang diucapkan tidak hanya prasyarat keberhasilan politik tetapi juga sangat diperlukan sebagai bentuk pembelaan diri jika seseorang mengalami tuntutan hukum.

Dengan demikian, kaum Sofis menjawab kebutuhan yang meningkat di antara kaum muda dan ambisius.

Meno, seorang murid ambisius Gorgias, mengatakan bahwa aretē --dan karenanya fungsi-- seorang pria adalah untuk memerintah/mengatur masyarakat, yaitu mengatur urusan publiknya sehingga menguntungkan teman-temannya dan membahayakan musuh-musuhnya (73c-d).

Ini adalah cita-cita yang telah lama ada, tetapi satu hal terbaik yang terrealisasikan di Athena yang demokratis melalui retorika.

Retorika dengan demikian adalah inti dari pendidikan Sofistik (Protagoras, 318e), bahkan jika hampir semua Sofis berprofesi mengajar berbagai mata pelajaran yang lebih luas.

Kecurigaan terhadap kaum Sofis juga diinformasikan karena mereka meninggalkan model pendidikan aristokratis (paideia).

Sejak jaman Yunani Homeric, paideia telah menjadi perhatian para bangsawan yang berkuasa dan didasarkan pada seperangkat aturan moral yang sesuai dengan kelas prajurit aristokrat.

Model kerja kaum Sofis mensyaratkan bahwa aretē dapat diajarkan kepada semua warga negara yang bebas, sebuah pendapat yang dibela oleh Protagoras secara implisit dalam pidatonya yang hebat mengenai asal-mula keadilan.

Dengan demikian, para Sofis merupakan ancaman terhadap status-quo karena mereka membuat janji tanpa pandang bulu --dengan asumsi mempunyai kamampuan untuk membayar biaya-- untuk memberi kaum muda dan ambisius kekuatan untuk menang dalam kehidupan publik.

Karena itulah seseorang dapat dengan mudah mendefinisikan Sofis sebagai guru aretē yang dibayar, di mana arete dipahami dalam hal kapasitas untuk mencapai dan menggunakan kekuatan politik melalui pidato persuasif.

Meskipun demikian ini hanyalah titik awal. Dan capaian intelektual yang luas dan signifikan dari kaum Sofis --yang akan kita bahas dalam dua bagian berikut-- telah mengarahkan banyak orang untuk bertanya apakah mungkin atau dapat diharapkan untuk melekatkan-ciri pada mereka berdasar metode atau cara-pandang-unik yang akan berfungsi sebagai sebuah karakteristik pemersatu sementara juga membedakan mereka dengan para 'Filsuf'.

Studi-studi akademis yang serius pada abad ke-19 dan seterusnya sering terikat pada metode sebagai cara membedakan Socrates dari para Sofis.

Bagi Henry Sidgwick (1872, 288-307), misalnya, Socrates melakukan metode tanya-jawab untuk mencari kebenaran, sedangkan kaum Sofis memberikan 'Epideiktik' yang panjang atau menyampaikan pidato panjang demi tujuan-tujuan persuasi.

Tampaknya sulit untuk mempertahankan pembedaan-metodis yang jelas atas dasar ini, mengingat bahwa Gorgias dan Protagoras keduanya mengaku mahir dalam pidato-singkat dan bahwa Socrates terlibat dalam percakapan persuasif yang panjang --kebanyakan dalam bentuk mitos-- disepanjang dialog Platonis.

Lebih lagi, hanyalah penyesatan untuk mengatakan bahwa dalam semua kasus kaum Sofis tidak-peduli dengan kebenaran, karena dengan menegaskan relativitas-kebenaran dengan sendirinya adalah untuk membuat klaim kebenaran.

Pertimbangan lebih lanjut adalah bahwa Socrates melakukan kesalahan dengan penalaran yang keliru dalam banyak dialog-dialog Platonis, meskipun poin ini kurang relevan jika kita mengasumsikan bahwa kesalahan logis Socrates adalah tidak disengaja.

G.B. Kerferd (1981a) telah mengusulkan seperangkat kriteria metodologis yang lebih bernuansa untuk membedakan Socrates dari para Sofis.

Menurut Kerferd, kaum Sofis menggunakan metode argumen 'Eristik' dan 'Antilogis', sedangkan Socrates meremehkan 'Eristik' dan melihat 'Antilogis' sebagai langkah yang penting tetapi tidak-lengkap dalam perjalanan menuju dialektika.

Plato menggunakan istilah 'Eristik' untuk menunjukkan praktik --ini bukan hanya metode berbicara-- mencari kemenangan dalam argumen tanpa memperhatikan kebenaran.

Kita menemukan representasi teknik 'Eristik' dalam dialog karya Plato, Euthydemus, di mana saudara-saudara Euthydemus dan Dionysiodorous dengan sengaja menggunakan argumen yang sangat-buruk dan keliru untuk tujuan kontradiksi dan menang atas lawan mereka.

'Antilogis' adalah suatu metode meneruskan dari sebuah argumen tertentu, biasanya yang diajukan oleh lawan, menuju penetapan sebuah argumen yang berlawanan atau kontradiktif sedemikian rupa sehingga lawan harus meninggalkan posisi pertamanya atau menerima kedua posisi.

Metode argumentasi ini digunakan oleh sebagian besar kaum Sofis, dan contoh-contohnya ditemukan dalam karya Protagoras dan Antiphon.

Pendapat Kerferd bahwa kita dapat membedakan antara Filsafat dan Sofisme dengan melekatkan pada 'dialektika' masih menjadi masalah.

Dalam apa yang biasa diterima sebagai dialog-dialog 'Awal' Platonis, kita menemukan Socrates menggunakan metode sanggahan dialektik yang disebut sebagai 'Elenchus'.

Seperti yang dikemukakan Nehamas (1990), meski 'Elenchus' dapat dibedakan dari 'Eristik' karena kepeduliannya pada kebenaran, adalah lebih sulit untuk membedakannya dengan 'Antilogis' karena keberhasilannya selalu bergantung pada kapasitas lawan bicara untuk mempertahankan diri terhadap sanggahan dalam kasus tertentu.

Di sisi lain dalam dialog-dialog 'Tengah' dan 'Akhir' Plato, menurut interpretasi Nehamas, Plato mengaitkan dialektika dengan pengetahuan tentang forma-forma, tetapi ini tampak melibatkan ikatan epistemologis dan metafisik dengan ontologi-transenden yang oleh kebanyakan filsuf, kemudian dan sekarang, akan enggan untuk mendukungnya.

Upaya yang lebih baru untuk menjelaskan apa yang membedakan Filsafat dari Sofisme cenderung untuk memusatkan pada perbedaan tujuan moral atau dalam hal pilihan untuk cara menjalani hidup yang berbeda, seperti yang dikatakan Aristoteles dengan elegan (Metafisika IV, 2, 1004b24-5).

Bagian 4 akan kembali kepada pertanyaan apakah hal itu adalah cara terbaik untuk memikirkan perbedaan antara Filsafat dan Sofisme.

Namun demikian, sebelum ke sana adalah bermanfaat untuk membuat sketsa biografi dan minat para Sofis yang paling terkemuka dan juga mempertimbangkan beberapa tema umum dalam pemikiran mereka.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi



Tuesday, March 19, 2019

Sofisme 1 : Pengantar


Para Sofis adalah guru-profesional-dan-intelektual keliling yang sering mengunjungi Athena dan kota-kota Yunani lainnya pada paruh kedua abad ke-5 SM.

Sebagai imbal balas dari bayaran yang diterima, para Sofis menawarkan kepada pria-muda Yunani yang kaya, sebuah pendidikan untuk mencapai aretē (keutamaan, kemuliaan, kebajikan atau keunggulan), dengan cara demikian para Sofis memperoleh kekayaan dan ketenaran meskipun juga muncul sikap-antipati yang signifikan kepada mereka.

Sebelum abad ke-5 SM, pengertian aretē secara dominan dikaitkan dengan keutaman-keutamaan para pejuang-aristokratik seperti keberanian dan kekuatan-fisik.

Namun, di Athena yang demokratis pada abad ke-5 SM, aretē semakin dipahami dalam hal kemampuan untuk mempengaruhi sesama warga-negara dalam pertemuan-politik melalui persuasi-retoris.

Pendidikan Sofistik tumbuh dan memanfaatkan pergeseran pemahaman makna aretē ini.

Tokoh perwakilan gerakan Sofistik yang paling terkenal adalah Protagoras, Gorgias, Antiphon, Hippias, Prodicus, dan Thrasymachus.

Kesulitan-kesulitan historis dan filologis yang menghalangi sebuah interpretasi terhadap kaum Sofis cukup besar.

Hanya segelintir teks Sofistik yang bertahan dan apa yang kita ketahui tentang kaum Sofis sebagian besar diambil dari kesaksian, fragmen-fragmen yang bersumber dari tangan-kedua dan penggambaran secara umum yang bermusuhan dalam dialog-dialog karya Plato.

Masalah filosofis tentang karakteristik Sofisme masih diperdebatkan bahkan lebih rumit lagi.

Sebagian besar karena pengaruh Plato dan Aristoteles, istilah Sofisme menjadi bergeser untuk menandakan penggunaan penalaran-keliru yang disengaja, penipuan-intelektual dan pelanggaran terhadap keterikatan-moral.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel-artikel, adalah penyederhanaan yang berlebihan untuk memikirkan sejarah kaum Sofis dalam kerangka istilah-istilah (pengertian) di atas, karena mereka telah memberikan kontribusi yang murni dan asli pada pemikiran Barat.

Meskipun demikian Plato dan Aristoteles telah menetapkan pandangan-pandangan mereka kepada apa yang menyusun 'filsafat-yang-sah', sebagian dengan cara membedakan aktivitas mereka sendiri --dan Sokrates-- dari kaum Sofis. Jika seseorang sangat cenderung berpandangan demikian, maka Sofisme dapat dianggap, dalam pengertian konseptual maupun historis, sebagai 'filsafat-yang-lain'.

Mungkin karena kesulitan interpretatif yang disebutkan di atas, kaum Sofis mempunyai arti banyak-hal bagi banyak-orang.

Bagi Hegel (1995/1840) kaum Sofis adalah subjektivis yang memiliki reaksi skeptis terhadap dogmatisme objektif para filsuf Pra-Sokrates yang disintesakan dalam karya Plato dan Aristoteles.

Bagi klasikis utilitarian Inggris George Grote (1904), kaum Sofis adalah pemikir progresif yang mempersoalkan moralitas yang berlaku pada zaman mereka.

Karya yang lebih baru dari ahli teori Prancis seperti Jacques Derrida (1981) dan Jean Francois-Lyotard (1985) mengemukakan keterkaitan antara kaum Sofis dan Postmodernisme.

Artikel ini memberikan tinjauan luas terhadap kaum Sofis, dan menunjukkan beberapa persoalan filosofis sentral yang diangkat oleh karya mereka.

Bagian 1 membahas arti istilah Sofis. Bagian 2 menjelajahi kontribusi individual dari para Sofis yang paling terkenal. Bagian 3 membahas tiga tema yang sering dianggap sebagai karakteristik pemikiran Sofistik : perbedaan antara alamiah dan konvensi/kesepakatan, relativisme tentang pengetahuan dan kebenaran dan kekuatan bicara (kata-kata/pidato). Akhirnya, bagian 4 menganalisis upaya-upaya yang dilakukan Plato dan lainnya untuk menetapkan batas yang jelas antara filsafat dan Sofisme.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/
Pemahaman Pribadi