Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Tuesday, August 1, 2017

Rene Descartes 6 : Dasar Pengetahuan


a. Kepastian Mutlak Dan Lingkaran Cartesian

Ingat bahwa dalam karyanya First Meditation, Descartes mengibaratkan bahwa iblis-jahat menipu dirinya.

Jadi selama anggapan ini tetap ada, maka tidak ada harapan untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak-pasti.

Tetapi Descartes mampu menunjukkan keberadaan-Tuhan dari premis yang digenggam secara intuitif, sehingga memberikan secercah harapan untuk melepaskan diri dari skenario iblis-jahat itu.

Langkah berikutnya adalah menunjukkan bahwa Tuhan tidak-bisa menjadi penipu.

Pada awal karya Fourth Meditation, Descartes mengklaim bahwa "kehendak untuk menipu" adalah "bukti kejahatan-atau-kelemahan yang tidak-diragukan lagi" dengan demikian merupakan bentuk ke-tidak-sempurna-an.

Tetapi, karena Tuhan memiliki segala ke-sempurna-an dan tanpa ke-tidak-sempurna-an sama sekali, maka Tuhan tidak-bisa menjadi penipu.

Untuk itu memahami Tuhan mempunyai kehendak-menipu akan berimplikasi bahwa Tuhan tidak-memiliki ke-tidak-sempurna-an sekaligus juga memiliki ke-tidak-sempurna-an, yang itu adalah sama sekali tidak mungkin.

Pemahaman seperti itu seperti mencoba memahami gunung tanpa lembah.

Kesimpulan ini adalah tambahan terhadap premis keberadaan-Tuhan untuk menyediakan landasan kepastian-mutlak bagi Descartes yang telah ditetapkan sejak awal ketika menyusun karya Meditations.

Ini adalah kepastian-mutlak karena kedua kesimpulan itu yaitu "Tuhan ada" dan "Tuhan tidak-bisa menjadi penipu" telah menunjukkan diri bersumber dari penangkapan-langsung dan merupakan kebenaran-intuitif dengan kepastian-mutlak.

Hal di atas mengandung arti bahwa Tuhan tidak bisa menjadi penyebab-kesalahan manusia, karena Tuhan tidak menciptakan manusia dengan fakultas untuk menghasilkan kesalahan, atau tidak juga Tuhan menciptakan makhluk, seperti iblis-jahat, yang tugasnya menyesatkan dengan menipu manusia.

Sebaliknya, manusia adalah penyebab-kesalahan mereka sendiri ketika tidak menggunakan fakultas-penilaian mereka dengan benar.

Kedua, ciri-karakteristik Tuhan yang tidak-menipu juga berfungsi menjamin-kebenaran semua ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah.

Jadi Tuhan akan menjadi-penipu, jika ditemukan ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah tetapi salah, karena pikiran tidak bisa tidak-percaya bahwa itu benar.

Oleh karena itu, ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah harus benar di atas 'rasa sakit' karena adanya kontradiksi.

Ini juga berarti bahwa pengetahuan tentang keberadaan-Tuhan dibutuhkan agar memiliki pengetahuan dengan kepastian-mutlak.

Dengan demikian menurut Descartes, seorang Atheis, yang tidak mengakui keberadaan-Tuhan, tidak dapat memiliki pengetahuan apapun yang mutlak-pasti, termasuk pengetahuan-ilmiah.

Tetapi jaminan-kebenaran ini menimbulkan masalah serius dalam karya Meditations, yang berasal dari pendapat bahwa semua ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah pada akhirnya dijamin oleh keberadaan-Tuhan, dimana premis keberadaan-Tuhan tidak ditetapkan oleh Descartes hingga karyanya Third Meditation.

Ini berarti bahwa kebenaran-kebenaran yang dicapai dalam karyanya Second Meditation, seperti prinsip "Saya ada" atau "Saya substansi berpikir" dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam karya Third Meditation untuk menyimpulkan "Tuhan ada" bukanlah dipahami sebagai jelas-dan-terpilah karena kesimpulan keberadaan-Tuhan belum dicapai disini sehingga tidak-ada jaminan bahwa prinsip-prinsip itu adalah kepastian-mutlak, dan oleh karena itu prinsip-prinsip itu bukanlah kepastian-mutlak.

Sehingga, karena premis-premis untuk argumen keberadaan-Tuhan bukanlah kepastian-mutlak, kesimpulan bahwa "Tuhan ada" juga bukanlah kepastian-mutlak.

Inilah yang dikenal sebagai "lingkaran-Cartesian", karena penalaran Descartes tampaknya masuk ke dalam lingkaran yang di dalamnya ia membutuhkan premis keberadaan-Tuhan demi kepastian-mutlak untuk kebenaran prinsip-prinsip-sebelumnya tetapi ia menggunakan prinsip-prinsip sebelumnya itu untuk memperoleh kesimpulan keberadaan-Tuhan dengan kepastian-nutlak.

Respons Descartes terhadap keprihatinan ini ditemukan dalam surat-jawaban-nya Second Replies.

Di sana dia berpendapat bahwa jaminan-kebenaran Tuhan hanyalah pengaitan terhadap kumpulan argumen-argumen sebelumnya dan bukanlah kesadaran-langsung terhadap argumen-argumen yang jelas-dan-terpilah yang saat itu sedang dipikirkan/dipertimbangkan.

Oleh karena itu, kebenaran-kebenaran yang dicapai sebelum kesimpulan keberadaan-Tuhan diperoleh adalah jelas-dan-terpilah ketika argumen-argumen itu sedang dipikirkan/dipertimbangkan namun tidak dapat menyandarkan sepenuhnya sebagai kepastian-mutlak ketika argumen-argumen tersebut digunakan kembali kemudian.

Tetapi begitu kesimpulan keberadaan-Tuhan telah ditunjukkan, pengumpulan kembali persepsi dari argumen-argumen yang jelas-dan-terpilah adalah memadai sebagai kepastian-mutlak, oleh karena itu merupakan pengetahuan-sempurna dari kesimpulan yang diambil itu (lihat juga Fifth Meditation pada VII 69-70: CSM II XXX).


b. Bagaimana Menghindari Kesalahan

Dalam Third Meditation, Descartes berpendapat bahwa hanya ide/gagasan yang disebut penilaian, yang secara tegas dapat menjadi benar atau salah, karena hanya dengan membuat penilaian maka kemiripan, kesesuaian atau korespondensi ide/gagasan dengan sesuatu dapat disetujui atau ditolak.

Jadi jika seseorang menyetujui bahwa sebuah ide/gagasan sesuai dengan sesuatu itu padahal sesungguhnya tidak, maka sebuah kesalahan telah terjadi.

Fakultas-penilaian ini dijelaskan lebih rinci dalam karyanya Fourth Meditation.

Disini penilaian digambarkan sebagai fakultas-pikiran yang dihasilkan dari interaksi antara fakultas-intelek dan kehendak.

Disini Descartes mengamati bahwa fakultas-intelek adalah terbatas sehingga manusia tidak bisa mengetahui segalanya, dan pengetahuan mereka terhadap sesuatu adalah terbatas.

Tetapi kehendak atau fakultas-pilihan tampak tak-terbatas karena bisa diterapkan pada apa saja.

Keterbatasan fakultas-intelek bersama dengan ke-tidak-terbatas-an kehendak adalah sumber kesalahan manusia.

Sebab kesalahan muncul bila kehendak melebihi pemahaman sedemikian sehingga sesuatu yang berada di luar batas pemahaman dapat disetujui secara sukarela atau ditolak.

Sederhananya : sesorang membuat kesalahan ketika mereka memilih untuk melakukan penilaian pada sesuatu yang tidak mereka pahami sepenuhnya.

Jadi kehendak harus diatur berada di dalam batas-batas apa yang dipahami akal pikiran untuk menghindari kesalahan.

Sesungguhnya, Descartes berpendapat bahwa penilaian seharusnya hanya dibuat pada sesuatu yang dipahami secara jelas-dan-terpilah, karena kebenaran mereka dijamin oleh ciri-karakteristik tidak-menipu Tuhan.

Jika seseorang hanya membuat penilaian terhadap apa yang dipahami dengan jelas-dan-terpilah dan tidak membuat penilaian tentang sesuatu yang tidak jelas, maka kesalahan akan dihindari sama sekali.

Sesungguhnya, manusia tidak mungkin salah jika peraturan ini selalu diikuti


Sumber:
http://www.iep.utm.edu/descarte/#H1
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment